Entri Populer

Senin, 22 Februari 2010

Mediasi Perbankan III

Mediasi Perbankan


PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI FUNGSI MEDIASI PERBANKAN

Dalam rangka upaya penyelesaian apabila terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, maka Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang mediasi perbankan, dimana penyelesaian sengketa nasabah dengan bank akan dilakukan oleh assosiasi perbankan melalui lembaga mediasi perbankan yang independent. Namun demikian, mengingat pembentukan lembaga mediasi perbankan independent belum dapat dilaksanakan dalam waktu singkat, maka pada tahap awal fungsi mediasi tersebut dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diinformasikan kepada para nasabah Bank Sulut mengenai alternatif penyelsaian sengketa melalui lembaga mediasi perbankan, sebagaimana yang telah diatur oleh ketentuan Bank Indonesia tersebut.

I. PERSYARATAN SENGKETA YANG DAPAT DIAJUKAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN

1. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaian melalui fungsi mediasi perbankan adalah pengaduan nasabah yang telah diselesaikan oleh Bank Sulut berdasarkan surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari Bank Sulut, namun menurut nasabah bahwa penyelesaian tersebut belum memberikan jalan keluar (solusi) bagi nasabah yang bersangkutan.
2. Pengajuan penyelesaian sengketa melalui fungsi mediasi perbankan (Bank Indonesia) hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi nasabah Bank Sulut.
3. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan, dengan nilai paling banyak (maksimal) sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan dapat berupa nilai kumulatif dari beberapa transasksi keuangan.
4. Sengketa tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbiterase, peradilan, dan lembaga mediasi lainnya.
5. Cakupan nilai tuntutan financial tidak ntermasuk kerugian immateriil.
6. Sengketa akan diajukan pada Bank Indonesia sebagai pelaksana tahap awal dari fungsi mediasi perbankan, namun Bank Indonesia tidak akan memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank, tetapi hanya melakukan fasilitasi nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan sengketa secara mendasar agar dapat tercapai kesepakatan.

II. PROSEDUR PENGAJUAN OLEH NASABAH

1. Pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah dilakukan secara tertulis, dengan menyertakan dokumen berupa :
* Fotokopi surat hasil penyelsaian pengaduan sebelumnya dari Bank Sulut
* Fotokopi indentitas nasabah yang masih berlaku
* Menandatangani surat pernyataan bahwa sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapat keputusan dari lembaga arbiterase, peradilan, lembaga mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
* Fotokopi dokumen pendukung yang terkait dengan sengketa yang diajukan.
* Surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian sengketa dikuasakan.
2. Petugas Bank Sulut akan menjelaskan kepada nasabah mengenai prosedur dan proses beracara pada mediasi perbankan.
3. Formulir pengaduan penyelesaian sengketa disediakan di seluruh kantor Bank Sulut atau dapat diakses melalui web-site Bank Sulut www.banksulut.co.id.
4. Surat pengajuan ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia, Menara Radius Prawiro lantai 19, jalan M.H. Tahmrin No.2 jakarta 10110 dengan tembusan kepada Direksi Bank Sulut Jl. Sam Ratulangi No.9 Manado 95111.
5. Apabila telah terbentuk lembaga mediasi perbankan independen, maka surat pengajuan akan diajukan pada alamat lembaga mediasi independen tersebut.
6. Batas waktu pengajuan surat penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan adalah tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan sebelumnya dari Bank Sulut.

Mediasi Perbankan II

Mediasi

adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.

Sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan, penyelenggaraan mediasi dilakukan apabila sengketa antara nasabah dengan Bank yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh Bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.

Saat ini mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan selambat-lambatnya 31 Desember 2007. Setelah tanggal tersebut mediasi dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan yang independen. Fungsi mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan Bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan Bank. Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah.
Pengajuan Penyelesaian Sengketa

1. Pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum, dan atau Bank lain yang menjadi nasabah Bank tersebut.

2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.

3. Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4. Jumlah maksimum nilai tuntutan finansial sebagaimana dimaksud pada angka 3 di atas dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa.

5. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pengajuan Penyelesaian sengketa (Formulir isian dapat diambil pada cabang Bank terdekat). Formulir ini ditujukan kepada: Direktorat Investigasi dan mediasi perbankan, Bank Indonesia Menara Radius Prawiro Lt. 19 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110 Dengan tembusan disampaikan kepada Bank yang bersangkutan

6. Pengajuan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari Bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos. Contoh: Apabila tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari Bank kepada nasabah adalah pada tanggal 5 Juni 2006, maka pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos (apabila disampaikan melalui pos) dilakukan paling lambat pada tanggal 30 Agustus 2006.

7. Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan Bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.

8. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 7 dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan Bank yang dituangkan secara tertulis.

9. Kesepakatan tertulis mengenai perpanjangan waktu pelaksanaan proses mediasi sebagaimana dimaksud pada angka 8 mencantumkan secara jelas alasan dilakukannya perpanjangan waktu, antara lain untuk menghadirkan narasumber tertentu yang memiliki keahlian dan kompetensi sesuai masalah yang disengketakan. Perpanjangan waktu dimaksud dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan : a. Para pihak memiliki itikad baik dengan mematuhi aturan mediasi dan perjanjian mediasi (agreement to mediate) b. Jangka waktu proses mediasi hampir berakhir, namun menurut penilaian mediator masih terdapat prospek untuk tercapai kesepakatan.

10. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan. Yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan Bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Mediasi Perbankan

Menunjuk Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, bersama ini kami informasikan bahwa Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah, dan cepat dalam hal penyelesaian pengaduan nasabah oleh Bank belum dapat memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.

Pengajuan penyelesaian sengketa dimaksud dapat disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan persyaratan sebagai berikut :

1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.
2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank.
3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
4. Nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan jumlah maksimal adalah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaiannya Sengketa.
5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank
6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir terlampir atau dibuat sendiri oleh Nasabah dan dilengkapi dokumen pendukung antara lain:
1. Foto copy surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank kepada Nasabah.
2. Foto copy bukti identitas Nasabah yang masih berlaku.
3. Surat penyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
4. Foto copy dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang diajukan
5. Foto copy surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa dikuasakan.

Minggu, 07 Februari 2010

STATUS DAN KEDUDUKAN MPR PASCA AMANDEMEN KE-IV UUD 1945

Abstrak

Sebelum amandemen UUD 1945, Republik Indonesia menganut prinsip supremasi MPR atau supremasi parlemen. Artinya, paham kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Gagasan untuk meniadakan kedudukan MPR pada amandemen ke-IV tahun 2002 sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukanlah satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat. Sehingga konsekuensi terhadap amandemen ke-IV UUD 1945 telah mengubah sedikit banyak tentang struktur ketatanegaraan di Indonesia baik secara sistem maupun secara kelembagaan. Sistem yang diterapkan pada lembaga MPR (pasca amandemen) telah berimplikasi pada sistem perwakilan di parlemen.

Keywords: amandemen; MPR; status dan kedudukan; struktur ketatanegaraan; sistem perwakilan

A. Pendahuluan

Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia membentuk suatu negara nasional dan mengatur susunan negara (ketatanegaraan) dalam suatu konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Dasar. Konstitusi memiliki arti dan peranan penting dalam suatu negara karena hakikat sebuah konstitusi merupakan cerminan jiwa, semangat, nilai moral (akhlak), nilai budaya dan ideologi, serta filsafat perjuangan sebuah bangsa. Konstitusi sebagai hukum tertinggi di Republik Indonesia tidak lain adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). UUD 1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Oleh sebab itulah mengapa konstitusi dianggap sangat sakral. Namun, sebuah konstitusi hanyalah merupakan sebuah teks secara tertulis seperti UUD (walaupun ada negara yang tidak memiliki konstitusi secara tertulis, seperti Inggris, Israel, Saudi Arabia). Sehingga sebuah UUD yang disebut sebagai hukum tertinggi pun tak luput dari kelemahan-kelemahan yang harus selalu disempurnakan dan disesuaikan dengan seluruh sendi kehidupan kebangsaan. Seperti pernyataan Moris, salah seorang peserta dan penanda tangan naskah UUD Amerika Serikat (ditetapkan tahun 1787) menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take council from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provided…” . Sejak saat itu, UUD Amerika Serikat (selama kurang lebih dua ratus tahun) telah dilakukan amandemen sebanyak 27 kali.

Fakta sejarah mengenai amandemen UUD 1945 juga telah membuktikan bahwa perlunya suatu penyempurnaan. Misalnya dalam dua dekade pemerintahan (orde lama dan orde baru) dengan menggunakan UUD 1945 mewujudkan suatu pemerintahan yang otoriter dan jauh daru tujuan-tujuan bernegara. Sehingga ketika rezim orde baru tumbang timbul keinginan untuk mengamandemen UUD 1945. Berikut ini adalah alasan-alasan lain mengapa perlunya UUD 1945 diamandemen, antara lain:

1) Alasan historis; sejak semula dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara kita (BPUPKI dan PPKI) sebagai UUD yang bersifat sementara karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa.

2) Alasan filosofis; UUD 1945 terdapat percampuradukan berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, antara negara hukum dengan paham negara kesatuan.

3) Alasan teoritis; dari pandangan teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonojolkan prinsip totaliterisme (staats idee integralistik).

4) Alasan yuridis; adanya klausul perubahan dalam Pasal 37.

5) Alasan praktis-politis; tidak adanya pembatasan kekuasaan serta pasal-pasal dalam UUD bisa menimbulkan multiinterpretasi yang dapat disalagunakan oleh penguasa.

Selama rentang waktu empat tahun (1999 – 2002) UUD telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Perubahan pertama yang menjadi fokus adalah mengenai pembatasan kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif. Perubahan kedua meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM. Kemudian materi perubahan ketiga UUD 1945 ialah ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum. Sedangkan materi perubahan keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.

Tabel 1. Perubahan-Perubahan dalam Amandemen UUD 1945

Perubahan Pasal-Pasal

I, tahun 1999 Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945

II, tahun 2000 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, BabXII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C UUD 1945

III, tahun 2001 Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1) dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945

IV, tahun 2002 Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat (3), Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945

Perubahan-perubahan yang tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Setelah perubahan (hingga perubahan keempat), materi mauatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan dari 71 butir ketentuan berdasarkan naskah aslinya. Sehingga dapat dikatakan, Indonesia mempunyai sebuah konstitusi baru dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasca amandemen (perubahan) keempat UUD 1945, telah terjadi perubahan menonjol dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945 mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara. Setidaknya terdapat 28 subyek kelembagaan atau subyek hukum tata negara dan administrasi negara. Lembaga-lembaga tersebut ada yang merupakan lembaga-lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Pertimbangan Presiden. Namun lembaga-lembaga lama yang masih mempunyai kewenangan dalam pemerintahan seperti legislatif dan eksekutif, masih tetap ada. Hanya saja, kewenangan-kewenangan masing-masing lembaga tersebut lebih dipertegas. Hal ini dikarenakan alasan-alasan mengapa UUD 1945 perlu diamandemen agar tidak terjadi executive heavy serta benar-benar menjalankan sistem check and balances. Kemudian dari masing-masing lembaga tersebut, ada yang diberi kewenangan langsung oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 seperti misalnya MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Ada pula yang hanya disebutkan secara eksplisit nama lembaganya saja serta hanya disebutkan fungsinya saja, misalnya KPK, KPU, Bank Sentral, dan sebagainya.

Selain perubahan terhadap struktur ketatanegaraan, perubahan UUD 1945 berimplikasi pada sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Yang menarik untuk dikaji secara mendalam ialah tentang lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang selama ini super body tak luput menjadi incaran untuk diamandemen. Hal tersebut memang harus dilakukan, mengingat penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui sistem supremasi MPR telah menimbulkan kekuasaan yang begitu besar dibidang eksekutif. Keadaan yang demikian telah menempatkan MPR hanya sebatas pelengkap demokrasi saja. Namun setelah amandemen, terjadi perombakan besar-besaran dalam tubuh MPR. Jika dahulu terdapat utusan-utusan golongan maupun daerah, maka sekarang utusan-utusan tersebut dihilangkan dan diganti dengan sebuah lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tentunya implikasi yang terjadi ialah munculnya sistem perwakilan yang ada di parlemen. Karena setelah muncul lembaga DPD, maka Indonesia memiliki sistem dan pelembagaan yang berbeda dalam parlemen.

B. Eksistensi MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Amandemen

Salah satu alasan mengapa MPR perlu dirombak (dalam amandemen UUD 1945) karena kekuasaan yang besar dari MPR itu sendiri, tidak jarang diselewengkan atau dipergunakan sebagai alat memperbesar kekuasaan Presiden di luar ketentuan UUD 1945. Sebagai contohnya ialah pemberian kekuasaan tidak terbatas pada Presiden melalui TAP MPR No.V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila.

Praktik-praktik yang melanggar UUD 1945 di atas, meyebabkan MPR dalam Sidang Tahunan 2001 memutuskan meniadakan Pasal 1 ayat (2) dan menggantinya menjadi: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan itu mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara namun hanya menjadi lembaga negara yang setara dengan Presiden. Hal ini merupakan suatu perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena prinsip supremasi MPR telah berganti menjadi keseimbangan antar lembaga negara.

Tabel 2. Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945

Dihilangkannya MPR yang berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi bagi penyelenggaraan Negara. Salah satu konsekuensinya ialah kedudukan ketetapan-ketetapan MPR (TAP MPR) yang telah banyak dikeluarkan sebelumnya mengingat bahwasanya MPR bukan lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Kedudukan TAP MPR berdasarkan ketentuan Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000, hasil produk MPR tersebut menempati urutan kedua setelah UUD.

Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, seyogianya dilakukan pengalihan pengaturan terhadap tap-tap MPR yang telah dikeluarkan itu sesuai dengan materi yang diatur, seandainya ketentuan-ketentuan yang dimaksud dirasakan masih diperlukan. Terhadap tap-tap MPR yang mengatur hal-hal yang bersifat pokok menyangkut kepentingan rakyat dan negara secara umum dimasukkan menjadi materi yang diatur oleh konstitusi. Sedangkan terhadap tap-tap MPR yang bersifat mengatur masalah penyelenggaraan negara, materi pengaturan dialihkan untuk menjadi undang-undang.

Sebagai wujud bahwa TAP MPR tidak lagi dimasukkan kedalam hirarki peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tabel 3. Perbandingan Hirarki Peraturan Perundang-undangan menurut TAP MPR No.III/MPR/2000 dengan UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

TAP MPR No.III/MPR/2000 UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Lembaga Negara Non Pemerintah;

6. Peraturan Menteri;

7. Peraturan Lembaga Negara Non Departemen;

8. Peraturan Daerah;

9. Peraturan Gubernur;

10. Peraturan Bupati/Walikota;

11. Peraturan Kepala Desa.

C. Desain Kelembagaan MPR Pasca Perubahan

Gagasan meniadakan untuk meniadakan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaultan rakyat dan harus tunduk serta bertanggung jawab kepada rakyat.

Seperti yang terlihat pada tabel 3, struktur kelembagaan MPR saat ini (pasca amandemen) terdiri dari DPR dan DPD. Hal ini merupakan perwujudan dari perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” kemudian setelah diubah berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsur Utusan Golongan dan mengubah Utusan Daerah menjadi DPD. Penghapusan golongan menurut Bagir Manan, lebih didorong pertimbangan pragmatik daripada konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat. Kemudian perubahan sistem utusan daerah dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam penyelenggaraan sehari-hari praktik negara dan pemerintahan, disamping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.

Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua kamar (bikameral). Tetapi dari susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Karena dalam konsep dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Jika anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD.

Perubahan-perubahan yang mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut:

1) Susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR.

2) Bersamaan dengan perubahan struktural tersebut, maka MPR bukan lagi sebuah lembaga yang supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, sehingga kewenangannya pun berubah secara mendasar.

3) Diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan UUD 1945.

4) Diadopsinya prinsip pemilihan Presiden satu paket dengan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi kepada MPR, melainkan langsung oleh rakyat.

D. Kesimpulan

MPR pasca amandemen keempat UUD 1945 telah banyak mengalami perubahan serta perkembangan mendasar baik bagi sistem pemerintahan maupun bagi MPR secara struktural. Dengan diubahnya Pasal 1 ayat (2) telah memberikan konsekuensi bahwa MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara atau supreme body. Ketentuan baru ini menggambarkan sebuah susunan kelembagaan negara yang tadinya vertikal hirarkis (spremasi MPR) menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (check and balances).

Perubahan lain yang terjadi dalam lingkup MPR ialah perubahan keanggotan yang menghilangkan Utusan Golongan dan mengubah Utusan Daerah menjadi DPD. Sebuah lembaga perwakilan yang apabila bergabung dengan DPR akan membentuk MPR. Dengan kata lain, MPR (saat ini) terdiri dari anggota DPR dan DPD. Konsekuensi dari sistem perwakilan seperti ini ialah kerancuan terhadap sistem perwakilan yang diterapkan di Indonesia. Apakah itu unikameral, bikameral, atau trikameral? Namun ada beberapa pakar menyebutkan bahwa semuanya tidak tercakup dalam sistem perwakilan kita, sehingga ada yang menyebut bahwa sistem perwakilan di Indonesia ialah “sistem MPR”. Namun yang paling mendekati adalah sistem perwakilan bikameral mangingat tidak adanya lagi Utusan Golongan di MPR.

Sehingga menurut hemat penulis, perlunya penyempurnaan tentang sistem perwakilan apa yang dipakai oleh Indonesia, agar tidak terjadi kerancuan kewenangan antar lembaga perwakilan Indonesia.
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan atau “Civilizated Organization” Dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara , dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri . Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas nya masing – masing antara lain
Tugas Lembaga Negara

Tugas umum lembaga negara antara lain :

1. Menjaga kestabilan atau stabilitas keamanan , politik , hukum , ham , dan budaya
2. Menciptakan suatu lingkungan yang kondusif , aman , dan harmonis
3. Menjadi badan penghubung antara negara dan rakyatnya
4. Menjadi sumber insipirator dan aspirator rakyat
5. Memberantas tindak pidana korupsi , kolusi , maupun nepotisme
6. Membantu menjalankan roda pemerintahan negara

Dalam Negeri

1. DPR atau dewan perwakilan rakyat bertugas untuk menampung segala usulan dari rakyat
2. MPR Majelis perwakilan rakyat dimana bertugas mengatur susunan amandemen / UUD 1945
3. TNI Tentara Nasional Indonesia bertugas untuk mengatur keamanan dan stabilitas negara
4. PN Pengadilan negeri bertugas untuk menghukum atau mengadili masalah masalah yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana
5. KPK Komisi pemberantasan korupsi bertugas untuk memberantas para oknum / aparat yang melakukan tindak korupsi

Luar Negeri

Adapun lembaga negara luar negeri yang bersifat internasional adalah sebagai berikut .

1. FBI Federal Bureau Investigation “yang bertugas mengatasi masalah tindak pidana dalam maupun luar negeri”.
2. CIA Central intellegence of America ” yang bertugas “dibalik layar” dalam urusan keamanan eksternal dan internal dari amerika maupun negara-negara lainnya

Lembaga Negara-negara

Adapun artinya adalah lembaga yang anggotanya terdiri dari beberapa negara dan mempunyai fungsi menjaga kestabilan anggota-anggotanya . Dan Menciptakan suatu kerja sama regional antar negara anggota baik bilateral dan multiteral sehingga tercipta hubungan simbiosis mutualisme antar negara anggota contoh lembaga negara-negara adalah

1. PBB Perserikatan bangsa-bangsa terdiri dari banyak negara di seluruh dunia dan berfungsi menjaga kestabilan politik , ekonomi , pangan , dan keamanan di seluruh dunia
2. NATO Terdiri dari negara-negara superpower gabungan antara eropa dan amerika seperti amerika serikat , inggris dan rusia bertugas menjaga keamanan dan meningkatkan hubungan kerja sama regional antar amerika-eropa.dalam kenyataannya lebih bertugas menjaga keamanan di seluruh dunia atau bisa disebut juga “polisi dunia”
3. ASEAN Association of South East Asia Nation adalah badan / lembaga negara-negara yang beranggotakan negara – negara di asia tenggara yang bertugas menjaga dan meningkatkan hubungan dan keharmonisan baik di bidang politik , sosial , budaya , ekonomi

Persoalan yang terjadi tentang lembaga negara

* Seringkali lembaga negara disalahartikan sebagai alat politik dan militer salah satu contohnya nato , nato dijadikan dalih uni eropa dan amerika sebagai alat militer untuk menyerang negara-negara timur tengah guna memonopoli minyaknya.Namun begitu , Nato mempunyai peran yang besar karena juga menjaga stabilitas ekonomi dunia
* Ada juga jika terjadi suatu peperangan atau pertikaian dan konflik maka negara anggota suatu lembaga negara negara akan dibela sedangkan yang bukan akan dimusuhi atau dikenai sanksi
* Seringkali PBB bukan menjadi perserikatan bangsa-bangsa akan tetapi amerika justru yang lebih mendominasi karena amerika merupakan salah satu pendiri pbb dan penyokong dana pbb oleh karena itu amerika bebas untuk melakukan intervensi kepada negara-negara yang sedang terjadi pertikaian dan bebas untuk menjatuhkan sanksi atau menyerang negara-negara yang dianggap membangkang / keluar dari jalur pbb


E. Daftar Pustaka

Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003

Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat, Pancur Siwa, Jakarta, 2002

Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung, Setjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Cetakan kedua, 2006

Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah disampaikan dalam simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003

Jurnal Konstitusi Vol. 4 No. 3, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2007

Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002

Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan

Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen I, II, III, dan IV

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

“Hak Preogratif Presiden”

LEMBAGA KEPRESIDENAN

REPUBLIK INDONESIA

“Hak Preogratif Presiden”

1. Abstrak

Sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia yang telah 4 kali mengamandem UUD 1945 mengakibatkan secara tidak langsung perubahan struktur ketatanegaraan bangsa Indonesia. Maka teori dan pemikiran tentang pengoganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Salah satunya adalah lembaga kepresidenan, dimana lembaga kepresidenan yang terdiri dari presiden dan wakil presiden.

2. Pembahasan

Indonesia yang menganut system pemerintahan presidensial dan bentuk Negara republic, Maka selalu ada presiden yang diangkat bukan berdasarkan keturunan di Negara yang berbentuk kerajaan. Jika system pemerintahan yang dianut dalam republic itu adalah presidensial, maka presiden berfungsi sebagai kepala (head of state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government). Sedangkan sistem pemerintahan parlementer, maka biasanya jabatan kepala pemerintahan di pegang oleh perdana menteri, sedangkan presiden/raja berfungsi sebagai kepala Negara seperti di Prancis.

Kekuasaan pemerintahan negara oleh presiden duatur dan ditentukan dalam Bab III UUD 1945 yang memang di beri judul kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III UUD 1945 ini berisi 17 Pasal yang mengatur berbagai aspek mengenai presidendan lembaga kepresidenan, termasuk rincian kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan pemerintahan. Yang terperinci dalam hal ini adalah apa yang ditentukan dalam pasal 4 ayat 1 yaitu “Presiden Republic Indonesia memegang kekuasaan pemrintahan menurut undang-undang dasar”. Dalam menjalankan tugasnya dan kewajibanya menurut undang-undang dasar itu, ia dibantu oel wakil presiden. Ini jelaas dirumuskan dalam ayat 2 yaitu “Dalam melakukan kewajibanya, Presiden di Bantu oleh satu orang wakil Presiden. Sedangkan dalam Pasal 17 ayat 1 UUD 1945 ditentukan “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”.

Maka dapat dikatakan bahwa kualitas wakil presiden dan para menteri Negara sebagai pembantu presiden mempunyai perbedaan prinsipil satu sama lain. Para menteri Negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai saru kesatuan institusi. Di dalam institusi kepresidenan itu terdapat dwi-tunggal pasangna presiden dan wakil presiden yang secara bersamaan dipilih oelh rakyat. Oleh karena itu, seperti halnya presiden, wakil presiden juga adalah atasan para menteri Negara. Namun dalam hubunganya antara presiden dan wakil presiden, apakah kedudukan sebagai pembantu itu menyebabkan wakil presiden dapat juga dusebut sebagai bahawan presiden ?. Bukankah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Justru karena keduanya dipilih dalam satu pasangna secara langusung oleh rakyatitulah maka kata “dibantu” dalam rumusan Pasal 4 ayat 2 UUD 1945, untuk menegaskan bahwa bagaimanapun juga tingginya, jabatan wakil presiden tetap merupakan bawahan presiden. Wakil presiden adalah wakil dan bukan presiden. Tetapi dalam keadaan tertentu, wakil presiden dapat menjadi pengganti presiden atau dapat menjadi pelaku kewajiban atau pelaksana tugas presiden.

Namun sejalan dengan perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia yang dahulu eksekutif heavy menjadi legelatif heavy, yaitu dengan di amandemenya UUD 1945 pada tahun 2002. Dimana dahulu sebelum amandemen ke-4 kewenangan presiden sebagai kepala Negara yang mempunnyai hak preogratif dalam menjalakan kewenangannya tidak harus meminta persetujuan DPR , Namun setelah amandemen ke-4 presiden tidak lagi mempunyai hak preogratif sebagai kepala engara karena presiden dalam menjalankan kewenanganya harus meminta persetujuan DPR dan bukan pertimbangan dan bila persetujuan tersebut tidak di berikan maka keputusan tersebut tidak dapat dijalankan. Indonesia yang menganut system pemerintahan presidensial setelah melakukan amandemen yang ke-4 terhadap UUD 1945 maka kewenangan presiden sebagai kepala Negara mengalami pergeseran kewenagnan yaitu terpangkasnya hak preogratif dari presiden sebagai kepala Negara. Fungsi kepala negara yang mempunyai hak preogatif adalah memengang kekuasaan yang tidak berada di ranah eksekutif, yudikatif dan legeslatif dan hak preogratif presiden adalah kewenangan yang tidak tergantung dengan lembaga lain atau tanpa meminta persetujan dari lembaga legeslatif/ DPR. Hak preogratif presiden itu pada mulanya berasal dari monarki konstitusional. Seperti halnya Negara jepang, Jepang yang menganut system pemerintahan parlementer, Raja Jepang yang berfungsi sebagai kepala Negara tidak mempunyai kewenangan apapun dalam pemerintahan baik legislative, eksekutif dan yudikatif. Raja Jepang hanya mempunyai kewenangan yang bersifat simbolik atau hanya dalam upacara kenegaraan dan keagamaan. Sedangkan di Indonesia persegeseran kewenangan dari kepala Negara yaitu presiden hanya mempunyai kewenangan yang bersifat simbolik seperti mengangkat duta, kepala POLRI, panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, atau pengangkatan DPR, DPD, hakim agung, hakim mahkamah konstitusi, anggota BPK yang semuanya hanya bersifat administrative. (AW-07)

“Hak Preogratif Presiden”

LEMBAGA KEPRESIDENAN

REPUBLIK INDONESIA

“Hak Preogratif Presiden”

1. Abstrak

Sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia yang telah 4 kali mengamandem UUD 1945 mengakibatkan secara tidak langsung perubahan struktur ketatanegaraan bangsa Indonesia. Maka teori dan pemikiran tentang pengoganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Salah satunya adalah lembaga kepresidenan, dimana lembaga kepresidenan yang terdiri dari presiden dan wakil presiden.

2. Pembahasan

Indonesia yang menganut system pemerintahan presidensial dan bentuk Negara republic, Maka selalu ada presiden yang diangkat bukan berdasarkan keturunan di Negara yang berbentuk kerajaan. Jika system pemerintahan yang dianut dalam republic itu adalah presidensial, maka presiden berfungsi sebagai kepala (head of state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government). Sedangkan sistem pemerintahan parlementer, maka biasanya jabatan kepala pemerintahan di pegang oleh perdana menteri, sedangkan presiden/raja berfungsi sebagai kepala Negara seperti di Prancis.

Kekuasaan pemerintahan negara oleh presiden duatur dan ditentukan dalam Bab III UUD 1945 yang memang di beri judul kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III UUD 1945 ini berisi 17 Pasal yang mengatur berbagai aspek mengenai presidendan lembaga kepresidenan, termasuk rincian kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan pemerintahan. Yang terperinci dalam hal ini adalah apa yang ditentukan dalam pasal 4 ayat 1 yaitu “Presiden Republic Indonesia memegang kekuasaan pemrintahan menurut undang-undang dasar”. Dalam menjalankan tugasnya dan kewajibanya menurut undang-undang dasar itu, ia dibantu oel wakil presiden. Ini jelaas dirumuskan dalam ayat 2 yaitu “Dalam melakukan kewajibanya, Presiden di Bantu oleh satu orang wakil Presiden. Sedangkan dalam Pasal 17 ayat 1 UUD 1945 ditentukan “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”.

Maka dapat dikatakan bahwa kualitas wakil presiden dan para menteri Negara sebagai pembantu presiden mempunyai perbedaan prinsipil satu sama lain. Para menteri Negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai saru kesatuan institusi. Di dalam institusi kepresidenan itu terdapat dwi-tunggal pasangna presiden dan wakil presiden yang secara bersamaan dipilih oelh rakyat. Oleh karena itu, seperti halnya presiden, wakil presiden juga adalah atasan para menteri Negara. Namun dalam hubunganya antara presiden dan wakil presiden, apakah kedudukan sebagai pembantu itu menyebabkan wakil presiden dapat juga dusebut sebagai bahawan presiden ?. Bukankah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Justru karena keduanya dipilih dalam satu pasangna secara langusung oleh rakyatitulah maka kata “dibantu” dalam rumusan Pasal 4 ayat 2 UUD 1945, untuk menegaskan bahwa bagaimanapun juga tingginya, jabatan wakil presiden tetap merupakan bawahan presiden. Wakil presiden adalah wakil dan bukan presiden. Tetapi dalam keadaan tertentu, wakil presiden dapat menjadi pengganti presiden atau dapat menjadi pelaku kewajiban atau pelaksana tugas presiden.

Namun sejalan dengan perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia yang dahulu eksekutif heavy menjadi legelatif heavy, yaitu dengan di amandemenya UUD 1945 pada tahun 2002. Dimana dahulu sebelum amandemen ke-4 kewenangan presiden sebagai kepala Negara yang mempunnyai hak preogratif dalam menjalakan kewenangannya tidak harus meminta persetujuan DPR , Namun setelah amandemen ke-4 presiden tidak lagi mempunyai hak preogratif sebagai kepala engara karena presiden dalam menjalankan kewenanganya harus meminta persetujuan DPR dan bukan pertimbangan dan bila persetujuan tersebut tidak di berikan maka keputusan tersebut tidak dapat dijalankan. Indonesia yang menganut system pemerintahan presidensial setelah melakukan amandemen yang ke-4 terhadap UUD 1945 maka kewenangan presiden sebagai kepala Negara mengalami pergeseran kewenagnan yaitu terpangkasnya hak preogratif dari presiden sebagai kepala Negara. Fungsi kepala negara yang mempunyai hak preogatif adalah memengang kekuasaan yang tidak berada di ranah eksekutif, yudikatif dan legeslatif dan hak preogratif presiden adalah kewenangan yang tidak tergantung dengan lembaga lain atau tanpa meminta persetujan dari lembaga legeslatif/ DPR. Hak preogratif presiden itu pada mulanya berasal dari monarki konstitusional. Seperti halnya Negara jepang, Jepang yang menganut system pemerintahan parlementer, Raja Jepang yang berfungsi sebagai kepala Negara tidak mempunyai kewenangan apapun dalam pemerintahan baik legislative, eksekutif dan yudikatif. Raja Jepang hanya mempunyai kewenangan yang bersifat simbolik atau hanya dalam upacara kenegaraan dan keagamaan. Sedangkan di Indonesia persegeseran kewenangan dari kepala Negara yaitu presiden hanya mempunyai kewenangan yang bersifat simbolik seperti mengangkat duta, kepala POLRI, panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, atau pengangkatan DPR, DPD, hakim agung, hakim mahkamah konstitusi, anggota BPK yang semuanya hanya bersifat administrative. (AW-07)

Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

I. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.

Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.

Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik (Socio Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga negara.

Untuk memahami kedudukan dan hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus memahami konteks sejarah dan suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga negara dapat dilihat dari konteks negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam konteks negara dapat diketahui melalui sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku sebagaimana yang dianut dalam UUD NRI 1945. dalam konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja Infra Struktur Politik masyarakat yang meliputi partai politik (political party), golongan kepentingan (interest group), golongan penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media political communication), dan tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan- kebijakan penyelenggara negara.


II. LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

UUD 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.

Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

A. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sebelum Perubahan UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR memiliki tugas dan wewenang yang sangat besar dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR disebut sebagai “lembaga tertinggi negara”, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang hierarki hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang.

Setelah Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam sistem ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling mengimbangi.

Saat ini, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi keanggotaan tersebut sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representation by election).

Dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:

1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
5. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.


B. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.

Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam pemilu, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.

Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945 bahwa DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif).
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.

Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki fungsi yang diatur secara eksplisit dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).

Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.


C. Dewan Perwakilan Daerah
Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah.

Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:

1. memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2. meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;
3. mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Dalam bidang pengawasan, DPD mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan menjadi sangat terbatas karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota DPD ini memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang dalam kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden, maupun Wakil Presiden.

UUD NRI Tahun 1945 menentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Penetapan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD menunjukan kesamaan status provinsi- provinsi itu sebagai bagian integral dari negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.


D. Presiden
Perubahan UUD 1945 yang cukup siknifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.

Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.

Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances system, dalam UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.

Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip checks and balances system serta hubungan kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut harus dengan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu.

Adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.

E. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial
Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).

Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.

Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.

Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.

Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.

1. Mahkamah Agung
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

2. Mahkamah Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.


3. Komisi Yudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.

Wewenang Komisi Yudisial menurut ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan undang-undang berjumlah 7 (tujuh) orang dan berstatus sebagai pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial diajukan Presiden kepada DPR, dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

Komisi ini dibentuk sebagi respon tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan hakim agung di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Komisi Yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan dilakukan secara internal peradilan terhadap para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat dilakukan penindakan secara tegas terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.


F. Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor. Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai lembaga negara, anggotanya dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- undang.

Mengingat BPK sebagai lembaga negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan independensi dalam melaksanakan tugasnya, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E ayat (1)] serta menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].


III. PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas tertentu sama dengan proses legalisasi kearah perilaku penyimpangan.
Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan, terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.

Model sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga negara menggambarkan model interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan dalam konsep fungsional.

Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi tindak lanjut.

Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi dalam kesatuan sumber yang secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat dikontrol oleh semua pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua penyelenggara negara adalah bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam rangka mengupayakan penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab serta mampu mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.

Penyelenggaraan negara yang aktif dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada struktur kelembagaan akan menjadikan pola teknis operasional yang merupakan terobosan penting dalam perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada hukum. Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan melalui pembenahan sistem yang transparan dan mampu mengubah sistem yang dipandang dapat mencemari penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen.

Terkahir, kesadaran kolektivitas dari penyelenggaran negara dan masyarakat untuk membangun sistem penyelenggaraan negara yang transparan menjadi syarat mutlak berhasilnya suatu negara. Penyelenggara negara dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan dalam rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan serta tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya membangun dan kontrol akan membangun sistem dan mekanisme yang bertanggung jawab. Kesadaran kolektifitas dari masyarakat, kelompok, dan organisasi sosial akan membangun kerangka struktural fungsional yang optimal dan menunjang upaya mengedepankan kedaulatan rakyat dalam kerangka negara hukum.


[Penulis (DR. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, MA.) Lahir di Klaten, 08 April 1960, Jabatan Ketua MPR RI periode 2004 – 2009. Riwayat Pendidikan: SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan Klaten, tamat 1972,Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar Ponorogo, 1973,Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, tamat 1978, IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta (Fakultas Syari’ah), 1979, Universitas Islam Madinah, Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, tamat 1983 Judul Skripsi “Mauqif Al-Yahud Min Islam Al Anshar”, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah Arab Saudi, Jurusan Aqidah, tamat 1987 Judul Thesis “Al Bathiniyyun Fi Indonesia,’Ardh wa Dirosah”, Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, Fakultas Dakwah & Ushuluddin, jurusan Aqidah,tamat 1992. Riwayat Pekerjaan : Ketua MPR RI, Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam, Universitas Muhamadiyah Jakarta, Dosen Pasca Sarjana Megister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah Jakarta, Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafiiyah, Jakarta. Pengalaman Organisasi: Anggota PII,1973, Andalan Koordinator Pramuka Gontor, 1977-1978, Training HMI IAIN Yogyakarta, 1979,Ketua PPI Arab Saudi, 1983-1985, Anggota Pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, 1999-sekarang, Koordinator Agama Forum Indonesia Damai (FID), 2001, Koordinator Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA), 2002, Dewan Penasehat Ikatan Da’I Indonesia (IKADI), Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI. Pengalaman Politik: Ketua Majlis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Keadilan, 1998-2000, Presiden Partai Keadilan, 2000-2003, Presiden Partai Keadilan Sejahtera,2003-2004.)

MENIMBANG PERLUNYA KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN DI DUNIA MAYA

Globalisasi telah menyebabkan banyak perubahan pada masyarakat lokal yang
terinspirasi oleh pengaruh internasional. Dahulu, masalah yang terjadi pada
masyarakat tertentu hampir dapat dipastikan tidak akan menjadi masalah atau potensi
masalah di masyarakat lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dari luar pada saat
itu relatif mengalami resistensi yang besar terlebih dahulu.

Namun, kini secara umum dunia telah mengalami “transformasi global”, yaitu
perubahan yang sangat mendasar dalam berbagai bidang kehidupan. Sejumlah faktor
yang diduga telah mendorong terjadinya transformasi global tersebut, antara lain
(Rosenau, 1990 : 7-20) :
1. Adanya pergeseran global dari industrial order menuju post-industrial order
yang diwarnai oleh adanya perkembangan, inovasi dan kreasi baru yang pesat
di bidang teknologi, khususnya teknologi komunikasi, transportasi serta
teknologi informasi.
2. Terhubungnya dunia melalui rangkaian jaringan yang kompleks maka muncul
pula isu-isu baru seperti lingkungan, terorisme, cybercrime dan lain-lain, yang

1 Dosen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Budi Luhur.

1
merupakan produk langsung dari teknologi baru, gagasan dan nilai yang
mengglobal serta interdependensi dunia yang semakin besar.
3. Dengan tersimpulkannya jaringan-jaringan masalah yang berlingkup global
maka dapat diperkirakan bahwa kapabilitas negara akan berkurang dalam
melakukan penanganan secara memuaskan atas isu-isu baru tersebut. Hal ini
tentunya karena isu-isu baru tersebut seringkali tidak sepenuhnya berada
dalam jangkauan yuridiksi mereka.
4. Umpan balik terhadap seluruh interaksi dari dinamika dan kekuatan yang
mendorong perubahan global tersebut.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, teknologi telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat khususnya di bidang teknologi informasi.
Perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak lain pada dunia. Dunia
kini tengah dilanda demam internet.

Faktor Komunikasi dan Teknologi Informasi dalam Era Globalisasi

Diantara faktor-faktor penggerak transformasi global, perkembangan
teknologi merupakan faktor yang paling kuat. Perkembangan teknologi telah
mengubah wajah dunia yang semula di dominasi oleh industri mekanik menuju suatu
dunia yang dipenuhi oleh teknologi informasi. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat pasca teknologi
mekanik atau dikenal sebagai era revolusi mikroelektronik secara keseluruhan
(Brown, 1998 : 174-191).

Kontribusi media massa dan komunikasi lintas wilayah yang menjangkau
hampir semua belahan dunia, menyebabkan pola perekonomian dunia kemudian
bergeser dari Resources Based Economy menjadi Information Based Economy.

2
Globalisasi kemudian menjadi suatu proses dimana relasi sosial terjadi tanpa jarak
dan tiada batasan-batasan fisik yang nyata. Secara maya kemudian dunia menjadi
satu hamparan yang terbuka tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang dikenal di
dalam kehidupan nyata seperti batas wilayah nasional.
Globalisasi
telah
menimbulkan
dampak yang sangat besar dalam berbagai
dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan suatu proses internasionalisasi
seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya, proses ini hanya pada tatanan
ekonomi. Namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman.

Menurut Malcom Waters ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu :
globalisasi ekonomi, globalisasi politik dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi
globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space, seperti : etnospace, technospace,
financespace, mediaspace, ideaspace dan sacrispace. Tentu saja tidak terhindarkan
akan terjadinya proses penguniversalisasian sistem nilai dalam lingkup global,
khususnya dimensi kebudayaan. Pada tahap ini terjadilah suatu keadaan dimana
sistem nilai kehidupan manusia menjadi tidak pasti, karena sesungguhnya telah ada
berbagai sistem nilai di dunia ini (pikiran-rakyat.com, 2006).

Sementara, globalisasi menurut Martin Albrow merupakan keseluruhan dari
tujuan dimana orang-orang di dunia tergabung menjadi satu masyarakat dunia, atau
dikenal sebagai masyarakat global (Baylis & Smith, 1998 : 15). Menurut Barley
dalam bukunya “The Term Of Globalization” perubahan-perubahan pada bidang
kehidupan manusia yang menandai beberapa aspek utama akibat langsung terjadinya
globalisasi sangat terasa pada :
1. Bidang ekonomi, dimana terjadi sebuah pasar global disertai oleh terjadinya
aliran kapital. Faktor-faktor produksi dipercepat dengan munculnya
perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi antarnegara.

3
2. Bidang politik, dimana kedaulatan negara semakin melemah sementara
otoritas dari organisasi internasional seharusnya semakin penting.
3. Bidang sosial budaya, dimana terjadi kontak antarbudaya bangsa-bangsa di
dunia dan pengaruhnya yang berbeda terhadap kebudayaan yang ada.
Melalui arus globalisasi, bumi terasa seperti sebuah kampung besar, penduduk
dunia seperti para penghuni sebuah kampung. Adapun privacy seseorang cenderung
menjadi rahasia umum. Sedangkan produk busana, makanan, kemajuan teknologi di
suatu negara dengan mudah menjadi milik umum termasuk mata uang. Semua itu
sangat dimungkinkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dengan pemahaman tersebut, menurut para penganjur globalisasi “tidak ada
pilihan” lain bagi setiap negara kecuali mengikutinya. Jika tidak akan tertinggal atau
terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan pesat. Secara historis
globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan atau agama ke seluruh
penjuru dunia (pikiran-rakyat.com, 2006).
Globalisasi informasi yang terjadi sekarang dimungkinkan karena adanya
penggunaan media elektronik dalam mengirim dan menerima informasi. Mula-mula
melalui radio dan televisi hingga kemudian melalui jaringan internet. Efek yang
dimungkinkan oleh penggunaan radio dan televisi adalah ruang dan waktu menjadi
kecil. Para ahli komunikasi menyebutnya sebagai gejala time space compression atau
menyusutnya ruang dan waktu. Akan tetapi, dalam penggunaan radio dan televisi,
betapapun luas jangkauannya, ternyata dapat diawasi oleh kekuasaan politik suatu
negara.

Kondisi yang berbeda terjadi pada pemakaian jaringan informasi yang dikenal
sebagai internet. Pada internet pembatasan tersebut tak lazim diberlakukan. Dalam

4
kenyataan dan secara teoritis hubungan melalui internet dan e-mail tidak bisa diawasi
dan dibatasi oleh pemerintah manapun.

Media internet memiliki akibat sosial budaya sebagai berikut :
1. Mengecilnya ruang dan waktu telah mengakibatkan hampir tak ada kelompok
orang atau bagian dunia yang hidup dalam suatu isolasi yang jelas. Informasi
tentang keadaan tempat lain dan tentang situasi orang lain, dapat menciptakan
suatu pengetahuan umum yang jauh lebih luas dan actual dari yang ada
sebelum ini. Informasi itu pada gilirannya dapat menimbulkan solidaritas
global yang melintasi kelompaok etnis, batas teritorial negara atau berbagai
kelompok agama. Sebaliknya, informasi yang cepat ini semakin memudahkan
pula sekelompok orang atau orang perorangan di suatu tempat untuk
merancang kejahatan bagi kelompok atau orang perorangan lain yang berada
sangat jauh.
2. Dalam bidang politik batas-batas teritorial suatu negara menjadi tidak relevan.
Batas negara tidak menjadi batas dari aliran informasi, karena seseorang di
negara tertentu dapat berhubungan langsung dengan orang lain di negara yang
berbeda tanpa dapat dihalangi oleh siapapun.
3. Suatu gejala yang amat dasyat pengaruhnya adalah bahwa dalam internet atau
dalam cyberspace, semua kategori dalam suatu social space menjadi tidak
relevan. Diferensiasi sosial yang ada dalam masyarakat berdasarkan usia, jenis
kelamin, agama, status sosial, tingkat pendidikan, besarnya pendapatan,
pengalaman kerja atau tinggi-rendahnya reputasi diterobos tanpa kaidah yang
jelas dalam cyberspace. Sebagai contoh, siapa saja dapat mengirim
informasinya ke dalam cyberspace untuk diterima atau ditolak oleh orang lain

5
bahkan mungkin juga terjadi dialog di dalamnya tanpa memandang reputasi,
usia, dan lain-lain. Sesuatu yang sulit terjadi di dalam media massa manapun.


Gejala Kejahatan Dunia Maya Sebagai Bagian Globalisasi

Dalam era globalisasi perkembangan terjadi sangat cepat seiring dengan
peningkatan teknologi informasi. Internet, selain memberi manfaat juga menimbulkan
dampak negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi tersebut.
Dampak ini terlihat dari adanya cybercrime (kejahatan dunia maya) yang terjadi di
berbagai belahan dunia. Kejahatan di dunia maya merupakan salah satu jenis
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi
informasi yakni komputer.
Sejumlah
kejahatan
cybercrime yang cukup menonjol belakangan ini adalah :
1. Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain dan
jaringan komunikasi data penyalahgunaan network orang lain.
2. Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan
privasi orang/lembaga lain terganggu atau gangguan pada fungsi komputer
yang digunakan.
3. Melakukan akses-akses ke server tertentu atau ke internet yang tidak diizinkan
oleh peraturan organisasi/ penyusupan ke web server sebuah situs, kemudian
si penyusup mengganti halaman depan situs tersebut.
4. Tindakan penyalahgunaan kartu kredit orang lain di internet.
5. Tindakan atau penerapan aplikasi dalam usaha untuk membuka proteksi
sebuah software atau sistem secara ilegal.

6
6. Pembuatan program ilegal yang dibuat untuk dapat menyebar dan
menggandakan diri secara cepat dalam jaringan (biasanya melalui e-mail liar)
yang bertujuan untuk membuat kerusakan dan kekacauan sistem.
Perkembangan internet dapat dirunut dari peristiwa peluncuran pesawat
sputnik milik Uni Soviet yang ditanggapi oleh Amerika Serikat dengan membuat
proyek peluncuran pesawat luar angkasa. Untuk kepentingan pesawat luar angkasa itu
dibangunlah suatu jaringan informasi yang memang diperlukan untuk
mengoperasikannya. Pada awalnya jaringan sistem informasi yang dibuat untuk
lingkup lokal yang tertutup atau yang dikenal sebagai Local Area Network /LAN.
Sekitar awal tahun 1990-an, LAN pun kemudian digunakan untuk kepentingan
kekuasaan khususnya kepentingan militer bagi Amerika Serikat (Agus Rahardjo, 2002
: 3). LAN kemudian dikembangkan secara terbatas menjadi Wide Area Network
(WAN), untuk kemudian menjadi suatu sistem dengan berbagai mesin informasi yang
luar biasa seperti yang kemudian dikenal sebagai internet.
Pada masa-masa awal, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi pada
umumnya dan internet pada khususnya tidak bisa dinikmati secara luas seperti
sekarang. Tetapi hanya dapat digunakan dan untuk memfasilitasi kepentingan para elit
saja. Seiring dengan perjalanan waktu, para industriawan berhasil mengaplikasikan
internet untuk keperluan industri. Dengan kata lain, penaklukan antarnegara bukan
hanya sebatas memperluas wilayah. Melainkan juga penguasaan sumber-sumber bagi
mesin industri (Kompas, 2000). Selain itu, penguasaan pengetahuan dan teknologi
yang kemudian diterapkan di dalam dunia industri terutama pasca Perang Dingin.
Internet tidak lagi semata digunakan untuk kepentingan militer, tetapi beralih fungsi
menjadi sebuah media massa yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan
manusia.

7
Internet mulai digunakan sebagai alat propaganda politik, transaksi bisnis atau
perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan, manufaktur, perancangan, pemerintah,
prostitusi, pornografi dan kejahatan. Internet telah memberikan cakrawala baru dalam
kehidupan manusia. Internet membawa kita kepada ruang atau dunia baru yang
tercipta yang dinamakan Cyberspace. Cyberspace merupakan tempat seseorang
berada pada waktu yang bersangkutan sedang mengarungi dunia informasi global
interaktif yang bernama internet (Armehdi Mahzar, 1999 : 9).
Dari sekian banyak aktivitas yang ada dalam cyberspace, yang paling
mendapat perhatian adalah perbuatan yang dilakukan oleh para cracker. Gejala
cracker dalam tahun-tahun terakhir memang mencemaskan karena mereka telah
menggunakan keahliannya untuk melakukan kejahatan. Perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh para cracker tersebut yang dinamakan sebagai cybercrime.
Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana
yang berkaitan dengan cyberspace. Baik yang menyerang fasilitas umum ataupun
kepemilikan pribadi di cyberspace.
Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak
diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan
dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hamper
pasti akan terkena imbas dari perkembangan cybercrime ini.
Memasuki abad 21, memudarnya batas-batas geografis membuat paradigma-
paradigma penyelesaian dan praktik kejahatan lama menjadi tidak terpakai lagi.
Kekuatan jaringan dan personal komputer berbasis Pentium menjadikan setiap
komputer sebagai alat yang potensial bagi para pelaku kejahatan. Globalisasi aktivitas
kriminal yang memungkinkan para penjahat melintas batas elektronik merupakan

8
masalah nyata dengan potensi mempengaruhi setiap negara, hukum dan warga negara
(kompas.com, 2006).

Hacking

Apabila berbicara tentang jaringan komputer yang bernama internet, menurut
kongres PBB ke-10 di Wina, Austria, ada tiga hal yang paling penting pada sistem
komputer dan keamanan data, yaitu : assurance confidentiality, integrity or
availability of data dan processing function (Michael Benedict, 1991 : 2). Dalam
kaitannya dengan keamanan dan integritas jaringan internet yang berbasis komputer,
maka tingkat keamanan yang rendah akan mengakibatkan sistem informasi yang ada
tidak mampu menghasilkan kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, keamanan dan
integritas penting dalam upaya menjaga konsistensi kinerja dari sistem atau jaringan
internet yang bersangkutan (Rudi Hendrawan, 1995 : 100).

Kejahatan dunia maya merupakan tindakan kriminal dengan menggunakan
komputer dan internet untuk mencuri data atau merusak sistem komputer tertentu.
Pelaku kejahatan dalam dunia maya diistilahkan dengan peretas (hacker). Eric
Raymond menyebutkan lima ciri-ciri dari peretas, yaitu (Eric Raymond, 1994) :
1. Gemar mempelajari detil sistem komputer atau bahasa pemrograman.
2. Gemar melakukan praktik pemrograman (tidak hanya sebatas teori).
3. Mampu menghargai hasil peretasan (hacking) orang lain.
4. Dapat mempelajari pemrograman dengan cepat.
5. Mahir dalam sistem operasi atau bahasa pemrograman tertentu.
Selain peretas sejati (motifnya hanya untuk belajar), ada juga tipe peretas yang
menyalahgunakan kemampuan mereka untuk melakukan kejahatan melalui komputer
dengan melakukan pencurian nomor kartu kredit sampai ke perusakan jaringan

9
tertentu dalam komputer. Mereka cenderung berada dalam keadaan konflik dengan
pihak kepolisian, administrator jaringan maupun dengan peretas topi putih.
Fenomena semakin merebaknya keberadaan cracker yakni mereka yang
berniat jahat berupa keinginan untuk merusak atau ingin memiliki sesuatu telah
meresahkan banyak pihak. Untuk itu, penting kiranya ada sebuah langkah konkrit
pada tingkatan yang lebih luas untuk melakukan kerjasama dalam upaya
menanggulangi tindak kejahatan di dunia maya tersebut. Walaupun tidaklah mudah
untuk mewujudkannya, akan tetapi bila di lihat dari tingkat kerugian yang diderita,
kerjasama internasional tentang penanggulangan kejahatan dunia maya tetap penting
untuk di kedepankan.

Perlunya Kerjasama Internasional dalam Menangani Kejahatan Di Dunia Maya

Permasalahan yang ditimbulkan akibat perkembangan teknologi komputer dan
informasi, menunjukkan perlu adanya upaya yang menyeluruh untuk menanggulangi
cybercrime. Kesadaran dari para pengguna jasa internet terhadap cyberethics juga
akan turut membantu. Selain itu, kerjasama antara negara-negara pengguna jasa
internet juga membantu menanggulangi paling tidak mengurangi kejahatan internet
yang melintasi batas-batas negara.

Pada dasarnya interaksi internet bersifat bebas (dengan adanya civil
cyberliberty) dan pribadi (privacy). Prinsip-prinsip dasar yang diakui umum dari
aktivitas elektronik melalui internet adalah transparansi, yaitu adanya keterbukaan dan
kejelasan dalam setiap interaksi internet, kehandalan dengan informasi yang dapat
dipercaya serta kebebasan dimana para pelaku bisnis, konsumen ataupun pribadi
dapat secara bebas mengakses atau berinteraksi tanpa adanya hambatan, kesulitan
ataupun tekanan dalam bentuk apapun.

10
Namun
demikian,
kebebasan
cyber dalam aktivitas internet itu haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan kepentingan umum atau
konsumen, melanggar hak pribadi orang lain, mengganggu keamanan nasional,
mengancam integritas bangsa serta melanggar nilai dan norma kesusilaan dan
moralitas. Cyberliberty dalam internet dapat dipakai sebagai media yang efektif untuk
melancarkan ancaman internet (cyberthreat). Cyberliberty juga memudahkan orang
melakukan kejahatan yang merusak moralitas, nilai dan norma seperti perjudian,
prostitusi maupun pornografi.

Telah banyak contoh bentuk kejahatan yang terjadi di dunia maya, seperti
kasus-kasus mafia cyber yang merebak pertengahan tahum 2004 di Amerika Serikat.
Lalu di Indonesia sendiri pernah mengalami, ketika sistem jaringan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) pada tahun 2004 disusupi oleh para hacker. Hal ini tentu saja
mencemaskan karena ketika dunia semakin tergantung kepada teknologi dan
manajemen berbasis pada informasi, ternyata kemajuan dalam penanggulangan
kejahatan berbasis teknologi ini dapat dikatakan berjalan perlahan.
Penanggulangan
cybercrime oleh nagara-negara secara bersama sangatlah
penting dilakukan, terutama kerjasama internasional yang menyelenggarakan
pengawasan dan pengontrolan cybercrime. Sesungguhnya cybercrime sangat
mengganggu terutama bagi negara-negara maju yang kebanyakan sistem
administrasinya menggunakan sistem internet.

Pada 23 November 2001 di Budapest, Hongaria, 30 negara sepakat untuk
menandatangani Convention on Cybercrime, merupakan kerjasama multilateral yang
diadakan guna menanggulangi penyebaran aktivitas kriminal melalui internet dan
jaringan komputer lainnya. Melalui kerjasama ini diharapkan dapat menggugah

11
masyarakat internasional untuk ikut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan
berteknologi tinggi.

Akan tetapi upaya penanggulangan cybercrime ini menemukan masalah dalam
perihal yurisdiksi. Pengertian yurisdiksi sendiri adalah kekuasaan atau kompetensi
hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi ini
merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan
prinsip tidak campur tangan. Yurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan
yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu
hubungan atau kewajiban hukum.
Dalam
kegiatan
cyberspace, Darrel Menthe menyatakan yurisdiksi di
cyberspace membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum
internasional. Hanya melalui prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional,
negara-negara dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap
pertanyaan mengenai yurisdiksi internet.

Pendapat Menthe ini dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip
yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional dalam kegiatan cyberspace oleh
setiap negara, maka akan mudah bagi negara-negara untuk mengadakan kerjasana
dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi
cybercrime.

Penutup

Pada dasarnya, teknologi internet merupakan sesuatu yang bersifat netral,
dalam artian bahwa teknologi tersebut tidak bersifat baik ataupun jahat. Akan tetapi
dengan keluasan fungsi dan kecanggihan teknologi informasi yang terkandung di

12
dalamnya ditambah semakin merebaknya globalisasi dalam kehidupan mendorong
para pelaku kejahatan untuk menggunakan internet sebagai sarananya.

Cybercrime pada saatnya akan menjadi bentuk kejahatan serius yang dapat
membahayakan keamanan individu, masyarakat dan negara serta tatanan kehidupan
global. Kegiatan-kegiatan kenegaraan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat dan negara tidak selalu bisa dijamin aman dari ancaman penjahat dalam
dunia maya. Karena pelaku-pelaku cybercrime secara umum adalah orang-orang yang
memiliki keunggulan kemampuan keilmuan dan teknologi. Pada sisi lain, kemampuan
aparat untuk menanganinya sungguh jauh kualitasnya di bawah para pelaku kejahatan
tersebut.
Mengingat
bahwa
cybercrime tidak mengenal batas-batas negara maka dalam
upaya penanggulangannya memerlukan suatu koordinasi dan kerjasama antarnegara.
Cybercrime memperlihatkan salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk
diadakannya suatu kerjasama internasional. Secara hukum hal tersebut telah
mengalami kemajuan sebab di Budapest, Hongaria, 30 negara telah sepakat untuk
menandatangani Convention on Cybercrime, yang merupakan kerjasama internasional
untuk penanggulangan penyebaran aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan
komputer lainnya.

Meski demikian efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya masih perlu dicari
format yang tepat, karena seperti kasus-kasus sebelumnya banyak konvensi
internasional yang terbentur dalam pelaksanaannya. Salah satu unsur yang akan
menjadi tantangan dalam menerapkan suatu konvensi adalah perbedaan persepsi
terhadap masalah yang bermuara dari perbedaan kepentingan dan pengalaman.
Apalagi di dalam cybercrime ketiadaan batas dalam menanggulanginya merupakan
hal baru dalam sejarah penegakan hukum. Dengan kata lain, masalah kejahatan di

13
dunia maya tetap akan menyita waktu banyak pihak untuk mendapatkan penyelesaian
yang tepat dikarenakan dampak buruknya telah menyebar secara luas ke berbagai
lapisan.

Walaupu nampaknya belum ada suatu bentuk kerjasama internasional yang
benar-benar efektif menghilangkan perilaku kejahatan dalam dunia maya, tetapi
konfrensi di Budapest telah menjadi landasan penting bagi adanya kerjasama-
kerjasama lanjutan berkaitan dengan isu yang sama. Setidaknya, merebaknya
fenomena praktik kejahatan di dunia maya telah menyadarkan banyak pihak akan arti
pentingnya peningkatan kemampuan berkaitan dengan penguasaan teknologi
komputer agar pandangan bahwa pelaku kejahatan selangkah lebih maju dari kita bisa
ditumbangkan. Ketika masalah praktik kejahatan dalam dunia maya telah menjadi isu
politik, maka peluang ke arah kerjasama menjadi lebih terbuka dan memiliki arti yang
signifikan untuk diselesaikan.

Daftar Pustaka
Brown, S, New Forces, Old Forces and The Future of The World Politics (Boston :
Scott and Foresmand Company, 1998)

Baylis, John, The Globalization of World Politics : An Introduction To International
Relation (New York : Oxford University, Press Inc, 1998)

Benedict, Michael, Cyberspace, (Massachusetts : MIT Press, 1991)

Hendrawan, Rudi, Computer Fraud, (Bandung : UNPAR, 1995)

Kegley Jr, Wittoft, World Politics (New York : St. Mountin Press, 1997)

Raymond, Eric, The New Hacker’s Dictionary (Masachussets : MIT Press, 1994)

Rosenau, J.N, Turbulence In World Politics, A Theory Of Change And Continuity
(New York : Harvester, 1990)

Rahardjo, Agus, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi (Bandung : PT. Chitra Aditya Bhakti, 2002)


14
Zaleski, Jeff, Spiritualitas Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer
Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman Manusia (Bandung : Mizan, 1999)

Kompas, 28 Juni 2000
http://www.pikiran-rakyat.com Diakses tanggal 17 November 2006

http://kompas.com/kompas Diakses tanggal 17 November 2006

http://www.detikinet.com Diakses tanggal 18 November 2006

www.komonfo.go.id Diakses tanggal 18 November 2006