Entri Populer

Jumat, 03 September 2010

Psikologi Hukum

Ketika orang mendengar psikologi asosiasinya masih terbatas. Masih
berkisar pada tes inteligensi, meramal sifat orang, mengurusi orang gila, dan
semacamnya. Tampaknya sangat sempit dan bias dalam menilai. Kenapa?
Karena pada dasarnya semua ilmu bila harus dipelajari dengan serius memang
menjadi tidak mudah dicerna. Karena pengertian yang ditangkap masyarakat
terbatas pada masalah yang kecil-kecil, sederhana, tampak di permukaan saja,
terlebih lagi bila menyenangkan. Itu semua bisa terlihat dari informasi-informasi
yang diminati, ringan, dan mengarah ke hal-hal yang psikologi semu
(pseudopsychology).
Memang tidak salah kalangan diluar psikologi tidak bisa menilai dengan
tepat apa itu psikologi. Justru kalangan yang berkecimpung di psikologilah yang
berkewajiban menjelaskannya.
Terlepas dari itu semua, perkembangan psikologi akhir-akhir ini sangat
cepat. Meliputi hampir semua aspek kehidupan yang melibatkan manusia. Tidak
hanya luasnya jangkauan yang bisa digarap psikologi, tetapi kajian terhadap
berbagai aspek kehidupan itu juga makin mendalam.
Relevansi
Perkembangan psikologi bukan semata karena agresivitasnya menjangkau
berbagai bidang, tetapi juga karena kebutuhan akan psikologi di berbagai bidang.
Hubungannya timbal baik memang.
Di Indonesia, beberapa waktu yang lalu seorang menteri menyatakan
pentingnya peran serta psikologi dalam proses peradilan. Tampaknya tidak
banyak tanggapan terhadap ide itu. Terbukti sampai saat ini belum ada tindak
lanjutnya. Barangkali dari keduanya, kalangan psikologi dan hukum sama-sama
belum yakin akan perlunya kerjasama itu. Barangkali juga karena belum siap.
Atau mungkin karena sebab yang lain.
Apa relevansinya campur tangan psikologi terhadap proses peradilan dan
hukum umumnya? Memang ada yang agak sinis melihat hal ini. Baik dari
kalangan psikologi maupun hukum. Anggapannya, karena keduanya berbeda
maka tidak perlu kerjasama.
Hukum dan psikologi memang berbeda, kalau dilihat dari sudut
perbedaannya. Namun psikologi dan hukum juga sama, kalau dilihat dari
kesamaannya. Nah, mau dilihat dari mana? Bila dilihat dari objek formalnya
memang berbeda. Di sisi lain objek material keduanya sama, manusia. Kalau
sama-sama menangani masalah manusia, kenapa tidak bekerja sama?
Dengan memahami permasalahan tadi tidak mengherankan bila seorang
menteri kita mengharapkan sumbangan psikologi terhadap hukum. Kenapa
sumbangan psikologi terhadap hukum? Kenapa bukan sumbangan hukum
terhadap psikologi? Tentu saja selama namanya kerjasama, psikologi dan hukum
bisa saling menyumbang. Bisa juga saling disumbang. Legalisasi atau
perlindungan hukum terhadap suatu eksperimen psikologi, misalnya, berarti
hukum memberi sumbangan terhadap psikologi. Contoh lainnya, hukum
perburuhan bisa dijadikan landasan oleh para psikolog dalam memberikan
perlakuan terhadap karyawan. Banyak lagi contoh sumbangan hukum terhadap psikologi.
Sebaliknya, psikologi juga bisa memberi kontribusi yang tidak sedikit
terhadap hukum. Banyaknya sumbangan psikologi yang diharapkan bisa
diberikan kepada hukum tercermin dalam pernyataan Hutchins (1933) yang
menulis bahwa hukum selalu mendasarkan pada asumsi-asumsi tentang
bagaimana orang berperilaku dan psikolog tahu bagaimana orang berperilaku.
Menarik sekali pertanyaan diatas. Dilihat dari tahun ketika hal itu
disampaikan saja memperlihatkan adanya kesadaran yang sudah lama muncul
tentang betapa besar relevansi melibatkan psikologi dalam masalah hukum.
Kesadaran itu muncul justru karena ahli - ahli hukum sadar bahwa hukum tidak
bisa hanya sekedar dalam buku tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
hukum itu daIam tingkah laku. Dengan kata lain perluasan titik pandang dari law in
books ke law in actions membawa psikologi untuk berperan serta dalam berbagai
aspek tentang hukum.
Bidang Garapan
Cetusan ide pentingnya peran psikologi dalam hukum di negara yang ilmu
pengetahuannya maju, Inggris dan Amerika Serikat misalnya, ternyata juga tidak
lantas disambut olen kalangan psikologi. Masyarakat Psikologi - Hukum Amerika
baru berdiri tahun 1968. Divisi Kriminologi dan Psikologi Hukum Masyarakat
Psikologi Inggris berdiri tahun 1977. Sedangkan Divisi PsikoIogi dan Hukum dari
APA (American Psychology Association) yang merupakan divisi kei-41 baru ada di
tahun 1981. Dengan demikian antisipasi masyarakat psikologi terhadap
kebutuhan hukum akan psikologi tidak secepat yang dibayangkan.
Dimana saja sebenarnya psikologi bisa memberi sumbangan pada hukum?
Dalam tulisannya yang termuat di British Journal of Psychology Volume 79 edisi
1988, Lloyd - Bostock mengemukakan ada beberapa bidang hukum yang telah
dikaji dan diintervensi psikologi. Reliabilitas saksi, proses pengambilan keputusan
pengadilan, pemidanaan anak - anak, dinamika kelompok juri (di Indonesia tidak
melibatkan juri dalam proses peradilan), adalah contoh dari bidang yang sangat
relevan bila dicampur - tangani psikologi.
Saksi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses
pengadilan. Dengan kesaksian - kesaksian keputusan dijatuhkan. Secara
psikologis kesaksian bisa diuji reliabilitasnya. Konsep - konsep memori bisa
menguji apakah kesaksian itu benar atau karena sugesti penyidik, pembela, jaksa,
atau hakim.
Proses pengambilan keputusan juga tidak bisa lepas dari konsep psikologi,
karena keputusan hakim tidak hanya melandaskan pada hukum tertulis, tetapi
juga dipengaruhi pikiran dan perasaan, berarti tidak lepas dari konsep psikologi
yang mempelajari semua itu.
Richard Lanyon dalam tulisannya di Professional Psychology Volume 17
Nomor 3, yang terbit tahun 1986 mengemukakan tentang pengukuran psikologis
di pengadilan. Dalam uraiannya yang cukup rinci dia mengemukakan perlunya
data secara pasti bahwa hakim harus memiliki beberapa kapasitas psikis yang
memadai. Diasumsikan bahwa kompetensi hakim, juga penuntut, dan pembela
sangat mempengaruhi keputusan pengadilan. Bayangkan saja bagaimana jadinya
bila mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup. Untuk mengukur kompetensi
itu psikologi memiliki Competency Assessment Instrument. Dengan konsep
psikologi juga telah dikembangkan alat tes lain yang dikenal dengan the Georgia
Court Competency Test..
Memang cukup banyak alat ukur psikologis yang bisa dimanfaatkan dalam
rangka keperluan hukum. Satu contoh lagi Minnesota Multiphasix Personality
Inventory bisa mengungkap kebenaran orang yang berpura - pura gila. Karena
atribut gila bisa melepaskan tanggung jawab pidana, maka sering digunakan
untuk pembelaan. Jadi, seandainya alat bantu psikologi seperti ini sudah
dilibatkan maka pemutusan perkara bisa lebih baik.
Konteks Indonesia
Cerita diatas memang banyak terjadi di Amerika dan Eropa sana.
Bagaimana di Indonesia? Belum terjawabnya ajakan sang menteri untuk
melibatkan ahli psikologi dalam proses pengadilan berarti peran psikologi belum
banyak. Di beberapa perguruan tinggi memang diajarkan psikologi sosial bagi
mahasiswa fakultas hukum. Kriminologi juga dipelajari mahasiswa psikologi.
Namun penerapan langsung psikologi dalam berbagai proses hukum masih kecil.
Ada beberapa sebab yang menghambat peran serta psikologi dalam
berbagai proses hukum. Kurangnya tenaga psikologi di negeri ini masih
mencolok. Dan jumlah yang terbatas itu juga belum banyak yang tertarik untuk
menekuni psikologi dalam konteks hukum. Dari kalangan hukum juga masih
muncul suara yang bernada melecehkan psikologi. Masih cukup banyak yang
egosentrismenya menonjol.
Barangkali peranan psikologi akan bisa diwujudkan bila sudah ada
kesadaran yang cukup besar baik dari kalangan psikologi maupun dari kalangan
hukum. Dengan tumbuhnya kesadaran ini maka akan membangkitkan kemauan
untuk mempelajari kaitan psikologi dengan hukum. Setelah mempelajari akan
muncul ahli dalam bidang psikologi dan sekaligus hukum. Dialah yang kemudian
diharapkan akan menerapkan psikologi dalam konteks hukum.
Sangat menarik bila kemudian muncul kemauan untuk mendiskusikan
masalah ini antara ahli psikologi dan ahli hukum. Dengan akan diadakannya
seminar Sumbangan Psikologi dalam Era Sadar Hukum oleh Fakultas Psikologi
UGM pada 2 Desember besok ini kita mengharapkan ada pemikiran yang bisa
diterapkan kemudian. Ide yang menarik ini memang langka.

Pengertian Penologi

Banyak dari masyarakat tidak mengenal istilah penologi. Bagi sebagian mahasiswa juga ada yang asing dengan kata ini, meskipun sudah hidup dalam lingkungan akademisi. Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, ada satu mata kuliah yang diberi nama penologi. Karena fenomena yang saya temukan, yaitu banyak orang yang tidak mengenal istilah tersebut, saya berinisiatif untuk memuat tulisan ringkas tentang pengertian penologi ini.

Dari asal kata, Penologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu poena dan logos.[1] Poena memiliki arti pain (kesakitan) atau suffering (penderitaan) atau hukuman. Sedangkan kata logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukuman.[2] Keterangan lebih lanjut, dikatakan dalam Encyclopedia Americana, ilmu yang dikaji dalam penologi ini sudah dikenal sebagai bidang studi penting dan sudah menjadi masalah dalam masyarakat pada saat itu, tetapi tidak dikenal dengan nama penologi. Francais Lieber (1829-1832) lah yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah penology.[3] Menurutnya, penologi memiliki pengertian sebagai berikut:

“Penology that part if the science of criminology which studies the principles of punishment and the management of prisons, reformatories, and other confinement units” [Encyclopedia Americana, (New York: American Corporation, 1957, Vol.21), hlm.540]

Penologi merupakan bidang studi dari kriminologi yang mempelajari prinsip-prinsi dari penghukuman dan manajemen penjara, reformatori (asrama) dan unit-unit pengekang lainnya.

Sementara itu, penologi oleh Bahrudin Suryobroto adalah sebagai berikut:

“Ilmu atau pengetahuan tentang hukuman yang terpenting dewasa ini, ialah hukuman hilang kemerdekaan, dengan segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaannya”[4]

Pada masa lalu, penologi masih berpijak pada kebijakan penyiksaan terhadap para pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan, tetapi dalam perkembangannya, kajian penologi diperluas hingga mencakup kebijakan-kebijkan yang tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga mengkaji tentang masa percobaan, pengobatan (medical treatment), dan pendidikan yang ditujukan untuk penyembuhan atau rehabilitasi.[5]

Lebih jelas, Thomas Sunaryo mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya kajian teoritik dan penelitian dalam bidang penologi, terutama tentang penjara, muncul suatu pemikiran dan kritik terhadap praktek-praktek yang terjadi dalam hal yang berkaitan dengan pemenjaraan, khususnya yang terkait dengan mismanajamen penjara dan dampak buruk pemenjaraan itu sendiri. Hal ini kemudian memunculkan rekomendasi yang berkisar dari usulan perbaikan lingkungan dan manajemen penjara serta perlakuan terhadap terpidana penjara hingga usulan yang menuntut segera diterapkannya upaya de-institutionalisasi dan pidana alternatif sebagai pengganti penjara. Dua gagasan yang terkahir ini ditujukan terutama bagi first offenders dan tindakan kejahatan ringan lainnya dengan tujuan agar para pelaku dapat terhindar dari pengaruh buruk kehidupan penjara (prisonization). Thomas Sunaryo menyimpulkan bahwa kajian penologi meliputi bentuk-bentuk pemidanaan; dasar-dasar pembenaran (justifikasi) pemidanaan; sejarah perkembangan pemidanaan; penjara dan permasalahannya; serta gagasan dengan institusionalisasi dan pidana alternatif sebagai pengganti pidana penjara.[6]

Dalam hubungannya dengan kriminologi, W.A Bonger menjelaskan bahwa kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki segala kejahatan seluas-luasnya (teoritis atau murni) sehingga disusunlah suatu studi tentang kriminologi praktis dan tercakup dalam tujuh pembagian, yaitu:[7]

1. antropologi kriminil
2. sosiologi kriminil
3. psikologi kriminil
4. psiko dan neuro-patologi kriminil
5. penologi
6. kriminologi terapan, dan
7. kriminalistik

E. H. Sutherland dan Donald R. Cressey mengemukakan bahwa ruang lingkup kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum,[8] dan karenanya Kriminologi dibagi dalam tiga bagian:

1. Sosiologi Hukum, sebagai analisa ilmiah atas kondisi-kondisi berkembangnya hukum pidana
2. Etiologi Kejahatan, yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan, dan
3. Penologi, yang menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan.

[1] Salah seorang teman saya di kampus, nama panggilannya adalah Jodi, mengatakan bahwa asal kata penologi juga merupakan olahan dari dua kata, yaitu penalty dan logos. Penalti memiliki arti hukuman. Oleh karena itu dia mengartikan penologi sebagai ilmu tentang hukuman.

[2] Thomas Sunaryo, Buku Modul Mata Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan: PENOLGI, 2009, hlm.1. Mengutip dari International Encyclopedia of the Social Sciences, New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972, Vol.11, 12, halaman 513; dan dari Surwaniyati Sartono, Bahan Kuliah Penologi, FISIP-UI, 1989 (tidak diterbikan dan untuk kalangan sendiri).

[3] Thomas, Ibid., hlm.1

[4] Ibid., hlm.2, mengutip dari Suwarniyati Sartomo, 1989.

[5] Ibid., hlm.2, mengutip dari http://www.britania.com/EBchecked/topic/450231/penology

[6] Ibid., hlm.2 dan 3

[7] Ibid., hlm.3, mengutip dari W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, terjemahan oleh R. A Koesnoen. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal.21-28

[8] Ibid., hlm.3, mengutip dari Edwin H. Sutherland dan Donald R Cressey, Principles of Criminolgy. Chicago, Philadelpia , New York: J. B. Lippincott Company, 1960, hlm.3