Menurut Pendapat Sudikno Mertokusumo
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, sernua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain (Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten, ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang- undang", sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang- undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa adanya dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain Undang-undang no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang juga untuk mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam peradilan. Dualisme ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan bahwa tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau "mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun 1970 dicabut (Varia Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu pula yang dijadikan alasan mengapa peradilan kita sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan kalau timbul istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan sebagainya. Apakah benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan peradilan kita dewasa ini disebabkan oleh dualisme sistem peradilan kita yang sudah berumur setengah abad lebih (pada hakekatnya sistem peradilan kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla Belanda)? Apakah benar bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di bawah dua atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah: berlarut-larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan- putusan yang tidak profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara dengan dalih "penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi adanya kolusi suap dan sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita dewasa ini tidaklah memenuhi harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan, banyak pencari keadilan dikecewakan oleh perlakuan maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang timbul ialah apakah salama ini (setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti sekarang? Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama dengan sekarang (bandingkan pasal 7 ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU no. 14 th 1970) dalam arti dualistis. Sepanjang pengetahuan saya selama ini belum pernah diadakan studi evaluasi yang intensif dan serius tentang sistem peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan tersebut di atas: apakah benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya kebebasan peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah betul bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya? Kiranya kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi kontribusi juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber daya manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang sistem peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah peradilan kita mulai pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini. Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of justice except the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the key man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972). Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak ada salahnya diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang bersih. Kalau kita hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu mengevaluasi sistem peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi tidaknya terutama kepentingan para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh sistem peradilan ataukah hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang saja? Mengubah undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya. Mengubah sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti yang sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam pembuatan rancangan undang undangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah peradilan kita akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil sikap: memulihkan segera citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber daya manusianya walaupun kita mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan, atau mengubah sistem peradilan yang akan makan waktu lebih lama lagi karena harus mengadakan penelitian, studi banding, pembentukan undang-undang dan sosialisasinya, yang hasilnya masih merupakan tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk sementara" Pemerintah tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan perkataan lain akan mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh karena itu mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu segera dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru kemudian dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau bersama-sama dengan peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus dapat dimulai dengan studi evaluasi peradilan kita dewasa ini.
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak- pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang -undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan -putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan "aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri.
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang peradilan agama.
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pad a Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. (SUMBER: http://sudiknoartikel.blogspot.com)
Daftar acuan
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial function", National College of State Trial Judges, Reno, Nevada
Yogyakarta, 18 Agustus 1997
Entri Populer
-
1 ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN PTUN BANDUNG PERKARA NO. 92/G/2001/PTUN BANDUNG TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN Sarinah, Agus kusnadi,...
-
A. Latar Belakang Keluarga Keluarga merupakan permulaan daripada kehidupan baru. Seorang anak dilahirkan. Belum ada yang mampu meramalkan na...
-
KETIDAKABSAHAN KEWENANGAN APARAT TERHADAP PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara tel...
-
Meningkatkan kesadaran Hukum Hukum harus dikembalikan pada keberadaan yang sebenarnya. Harus dikembalikan dari tidak hanya produk ideologi y...
-
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sis...
-
Tugas Perancangan kontrak Nama : Andi Gisellawaty Nim : B 111 06 217 Surat Perjanjian Kerja Sama Pada hari ini , Selasa tanggal 21 bulan Agu...
-
Page 1 PERKEMBANGAN PRAKTEK PENGADILAN MENGENAIKEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI OBJEKGUGATAN Oleh: Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH (K...
-
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.propatria.or.id/loaddown/Naskah%20Akademik/Naskah%20Akademik%20Perubahan%20UU%20No.%203...
-
PERBEDAAN ANTARA MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DENGAN KONTRAK MEMORANDUM OF UNDERSTANDING KONTRAK 1. Pengertian ❖ Nota kesepahaman yang ...
-
METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM * Relevansi Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa * Tri Dharma Perguru...
Minggu, 27 Maret 2011
Badan Peradilan
Ada banyak sekali pengertian dari Peradilan, antara lain :
- Menurut FOCHEMA ANDREA, Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.
- Menurut LEMAERE, Peradilan adalah sebagai suatu pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak.
- Menurut VAN KAN, Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan peradilan.
BADAN PERADILAN ZAMAN HINDIA BELANDA
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
1. Peradilan Gubernemen
2. Peradilan Pribumi
3. Peradilan Swapraja
4. Peradilan Agama
5. Peradilan Desa
1. PERADILAN GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
A. Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
– Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.
– Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”
3. Raad Van Justitie
4. Hooggerechtshof
B. Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
1. a. Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
b. Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.
2. Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada Hooggerechtshof.
3. Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.
BADAN PENGADILAN ZAMAN JEPANG
1. Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2. Semua Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
– Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
– Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
– Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
– Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
– Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.
- Menurut FOCHEMA ANDREA, Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.
- Menurut LEMAERE, Peradilan adalah sebagai suatu pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak.
- Menurut VAN KAN, Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan peradilan.
BADAN PERADILAN ZAMAN HINDIA BELANDA
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
1. Peradilan Gubernemen
2. Peradilan Pribumi
3. Peradilan Swapraja
4. Peradilan Agama
5. Peradilan Desa
1. PERADILAN GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
A. Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
– Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.
– Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”
3. Raad Van Justitie
4. Hooggerechtshof
B. Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
1. a. Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
b. Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.
2. Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada Hooggerechtshof.
3. Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.
BADAN PENGADILAN ZAMAN JEPANG
1. Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2. Semua Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
– Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
– Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
– Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
– Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
– Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.
Peradilan Desa 2
PENDAHULUAN
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik
untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya
telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun
desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang
kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa
Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).
Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama
yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman
(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing
setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda
Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.
menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang baru.
Fakta-fakta sejarah tersebut
1
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum
menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang
dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah
perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya
seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,
prostitusi,
kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat
banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah
dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang
cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,
tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi
demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan
penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap
sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam
persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak
setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian
khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk
pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis
oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman
non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah
Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.
Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini
untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala
niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam
mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan
substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa
pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.
penyalahgunaan
narkoba,
dan
sebagainya
telah
mengganggu
2
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig
adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi
tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi
petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan
kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa
teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas
kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa
yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi
administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim
disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang
melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua
bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan
embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;
Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh
prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas
diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk
hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa
pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat
oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan
3
demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah
“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua
istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.
Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan
desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman
untuk membuat awig-awig?
Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig
mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari
kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang
bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman
mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan
sebagai berikut:
”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
termasuk
4
Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat
awig-awig,
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang
berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu
merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,
landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig
dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman
dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan
jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa
pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5
dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat
awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai
“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman
yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-
masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada
awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat
oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang
mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
disamping
menyelenggarakan
pemerintahan
sendiri,
serta
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig
Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig
adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
Filosofi inilah yang
5
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),
dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan
umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu
manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada
dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam
manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya
dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan
lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir
yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai
suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
tiada lain
masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan
6
(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas
umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha
pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos
3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)
Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig
Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig
walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika
masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig
ditetapkan
(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah
mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa
itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,
ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,
dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman
Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan
awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek
pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis
telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa
hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan
sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama
desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan
awig-awig
(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan
memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,
polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan
hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum
Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).
secara
lisan
melalui
keputusan-keputusan
dalam
rapat
penting
untuk
dilakukan
dalam
rangka
penemuan
hukum
7
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –
terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig
yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara
Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis
di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam
kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya
mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,
sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig
terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-
awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet
(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam
beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti
misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara
Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,
yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format
peraturan
menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan
pokok)
mengenai
pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam
pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak
dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai
keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari
substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem
penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan
pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan
paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam
perundang-undangan,
sistematika
awig-awig
desa
pakraman
kehidupan
desa
pakraman,
sedangkan
aturan-aturan
8
awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan
ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu
persoalan hukum (perkara) tertentu, baik
pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau
parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau
pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun
kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa
dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig
umumnya
pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian
masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda
(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).
yang berupa sengketa maupun
dijelaskan
mekanisme
penyelesaian
masalah
apabila
terjadi
Sanksi dalam Awig-awig
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai
untuk
tujuan
keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),
kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini
dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi
adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda
(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa
jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya
pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.
Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari
yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi
mengembalikan
keseimbangan
apabila
terjadi
gangguan
9
kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),
sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama
(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara
danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci
untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman
secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru
banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan
atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di
sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan
sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara
umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa
terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala
dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)
desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang
sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau
kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara
pasupati atau pemelaspasan.
PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG
Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai
kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)
yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya
mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman
dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai
istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada
keseragaman
difinisi.
Dalam
Surat
Edaran
Gubernur
Bali
Nomor
10
470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar
Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan
dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002
lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau
Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk
pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun;
(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling
lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan
Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,
pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar
Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali
Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan
bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi
Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”
Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa
disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai
penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan
Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP
BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali
tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa
menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat
sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang
penduduk Bali dikelompokkan
11
tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah
penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-
awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai
saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua
golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang
beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan
hak dan kewajibannya saja.
Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya
ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan
(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa
Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;
(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:
ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa
Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;
na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut
pararem.
Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada
prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman
Gadungan meliputi:
a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut
bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;
b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat
desa).
Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,
seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman
12
Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan
Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa
Penida, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,
adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil
dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan
dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap
waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan
perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai
masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak
dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).
Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena
harus menunggu adanya pararem.
Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam
awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model
ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam
Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian
tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain
penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya
Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:
(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu
saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah
bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga
sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;
(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking
krama;
(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.
Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu
dengan menyatakan sebagai berikut:
Swaddharman lan olih-olihan tamiu:
13
ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok
ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten
ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;
na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;
ca. Tan piwal ring sapargin desane;
ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan
sapanunggilannya.
Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin
Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa
sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).
Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,
tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan
perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan
prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya
tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara
detil dalam awig-awignya.
Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-
masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini
dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-
awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi
tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap
awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai
penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa
pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada
umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban
sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,
seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban
tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan
sukarela (dana punia), dan sebagainya.
14
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu
apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar
awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa
pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa
pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman
satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu
oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),
bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan
petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa
pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta
pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal
sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka
mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir
dan bathin).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.
Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah
penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan
penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan
model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang
terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara
kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam
15
awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang
tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,
berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin
terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang
bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,
penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan
bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian
dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang
artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya masing-masing.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan
penduduk
penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
pendatang
ditangani
oleh
prajuru
desa
pakraman
sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana
Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.
Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin
Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan
Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal
Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan
Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan
Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu
16
Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.
Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.
Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.
Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003
Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik
untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya
telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun
desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang
kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa
Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).
Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama
yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman
(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing
setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda
Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.
menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang baru.
Fakta-fakta sejarah tersebut
1
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum
menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang
dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah
perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya
seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,
prostitusi,
kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat
banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah
dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang
cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,
tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi
demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan
penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap
sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam
persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak
setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian
khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk
pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis
oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman
non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah
Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.
Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini
untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala
niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam
mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan
substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa
pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.
penyalahgunaan
narkoba,
dan
sebagainya
telah
mengganggu
2
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig
adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi
tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi
petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan
kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa
teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas
kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa
yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi
administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim
disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang
melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua
bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan
embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;
Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh
prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas
diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk
hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa
pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat
oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan
3
demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah
“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua
istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.
Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan
desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman
untuk membuat awig-awig?
Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig
mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari
kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang
bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman
mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan
sebagai berikut:
”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
termasuk
4
Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat
awig-awig,
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang
berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu
merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,
landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig
dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman
dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan
jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa
pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5
dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat
awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai
“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman
yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-
masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada
awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat
oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang
mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
disamping
menyelenggarakan
pemerintahan
sendiri,
serta
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig
Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig
adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
Filosofi inilah yang
5
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),
dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan
umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu
manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada
dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam
manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya
dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan
lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir
yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai
suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
tiada lain
masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan
6
(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas
umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha
pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos
3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)
Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig
Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig
walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika
masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig
ditetapkan
(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah
mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa
itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,
ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,
dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman
Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan
awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek
pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis
telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa
hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan
sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama
desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan
awig-awig
(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan
memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,
polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan
hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum
Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).
secara
lisan
melalui
keputusan-keputusan
dalam
rapat
penting
untuk
dilakukan
dalam
rangka
penemuan
hukum
7
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –
terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig
yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara
Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis
di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam
kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya
mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,
sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig
terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-
awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet
(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam
beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti
misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara
Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,
yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format
peraturan
menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan
pokok)
mengenai
pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam
pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak
dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai
keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari
substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem
penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan
pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan
paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam
perundang-undangan,
sistematika
awig-awig
desa
pakraman
kehidupan
desa
pakraman,
sedangkan
aturan-aturan
8
awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan
ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu
persoalan hukum (perkara) tertentu, baik
pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau
parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau
pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun
kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa
dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig
umumnya
pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian
masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda
(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).
yang berupa sengketa maupun
dijelaskan
mekanisme
penyelesaian
masalah
apabila
terjadi
Sanksi dalam Awig-awig
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai
untuk
tujuan
keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),
kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini
dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi
adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda
(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa
jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya
pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.
Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari
yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi
mengembalikan
keseimbangan
apabila
terjadi
gangguan
9
kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),
sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama
(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara
danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci
untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman
secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru
banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan
atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di
sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan
sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara
umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa
terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala
dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)
desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang
sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau
kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara
pasupati atau pemelaspasan.
PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG
Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai
kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)
yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya
mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman
dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai
istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada
keseragaman
difinisi.
Dalam
Surat
Edaran
Gubernur
Bali
Nomor
10
470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar
Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan
dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002
lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau
Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk
pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun;
(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling
lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan
Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,
pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar
Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali
Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan
bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi
Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”
Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa
disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai
penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan
Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP
BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali
tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa
menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat
sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang
penduduk Bali dikelompokkan
11
tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah
penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-
awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai
saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua
golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang
beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan
hak dan kewajibannya saja.
Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya
ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan
(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa
Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;
(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:
ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa
Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;
na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut
pararem.
Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada
prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman
Gadungan meliputi:
a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut
bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;
b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat
desa).
Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,
seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman
12
Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan
Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa
Penida, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,
adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil
dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan
dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap
waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan
perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai
masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak
dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).
Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena
harus menunggu adanya pararem.
Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam
awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model
ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam
Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian
tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain
penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya
Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:
(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu
saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah
bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga
sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;
(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking
krama;
(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.
Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu
dengan menyatakan sebagai berikut:
Swaddharman lan olih-olihan tamiu:
13
ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok
ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten
ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;
na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;
ca. Tan piwal ring sapargin desane;
ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan
sapanunggilannya.
Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin
Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa
sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).
Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,
tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan
perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan
prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya
tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara
detil dalam awig-awignya.
Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-
masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini
dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-
awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi
tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap
awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai
penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa
pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada
umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban
sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,
seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban
tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan
sukarela (dana punia), dan sebagainya.
14
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu
apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar
awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa
pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa
pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman
satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu
oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),
bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan
petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa
pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta
pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal
sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka
mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir
dan bathin).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.
Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah
penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan
penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan
model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang
terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara
kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam
15
awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang
tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,
berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin
terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang
bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,
penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan
bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian
dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang
artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya masing-masing.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan
penduduk
penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
pendatang
ditangani
oleh
prajuru
desa
pakraman
sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana
Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.
Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin
Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan
Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal
Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan
Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan
Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu
16
Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.
Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.
Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.
Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003
Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Peradilan Desa 2
PENDAHULUAN
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik
untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya
telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun
desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang
kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa
Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).
Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama
yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman
(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing
setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda
Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.
menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang baru.
Fakta-fakta sejarah tersebut
1
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum
menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang
dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah
perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya
seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,
prostitusi,
kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat
banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah
dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang
cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,
tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi
demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan
penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap
sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam
persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak
setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian
khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk
pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis
oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman
non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah
Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.
Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini
untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala
niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam
mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan
substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa
pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.
penyalahgunaan
narkoba,
dan
sebagainya
telah
mengganggu
2
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig
adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi
tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi
petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan
kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa
teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas
kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa
yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi
administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim
disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang
melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua
bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan
embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;
Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh
prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas
diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk
hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa
pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat
oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan
3
demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah
“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua
istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.
Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan
desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman
untuk membuat awig-awig?
Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig
mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari
kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang
bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman
mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan
sebagai berikut:
”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
termasuk
4
Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat
awig-awig,
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang
berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu
merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,
landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig
dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman
dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan
jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa
pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5
dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat
awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai
“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman
yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-
masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada
awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat
oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang
mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
disamping
menyelenggarakan
pemerintahan
sendiri,
serta
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig
Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig
adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
Filosofi inilah yang
5
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),
dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan
umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu
manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada
dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam
manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya
dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan
lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir
yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai
suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
tiada lain
masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan
6
(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas
umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha
pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos
3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)
Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig
Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig
walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika
masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig
ditetapkan
(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah
mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa
itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,
ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,
dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman
Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan
awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek
pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis
telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa
hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan
sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama
desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan
awig-awig
(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan
memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,
polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan
hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum
Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).
secara
lisan
melalui
keputusan-keputusan
dalam
rapat
penting
untuk
dilakukan
dalam
rangka
penemuan
hukum
7
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –
terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig
yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara
Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis
di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam
kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya
mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,
sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig
terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-
awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet
(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam
beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti
misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara
Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,
yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format
peraturan
menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan
pokok)
mengenai
pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam
pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak
dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai
keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari
substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem
penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan
pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan
paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam
perundang-undangan,
sistematika
awig-awig
desa
pakraman
kehidupan
desa
pakraman,
sedangkan
aturan-aturan
8
awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan
ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu
persoalan hukum (perkara) tertentu, baik
pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau
parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau
pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun
kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa
dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig
umumnya
pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian
masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda
(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).
yang berupa sengketa maupun
dijelaskan
mekanisme
penyelesaian
masalah
apabila
terjadi
Sanksi dalam Awig-awig
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai
untuk
tujuan
keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),
kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini
dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi
adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda
(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa
jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya
pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.
Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari
yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi
mengembalikan
keseimbangan
apabila
terjadi
gangguan
9
kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),
sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama
(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara
danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci
untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman
secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru
banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan
atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di
sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan
sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara
umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa
terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala
dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)
desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang
sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau
kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara
pasupati atau pemelaspasan.
PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG
Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai
kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)
yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya
mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman
dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai
istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada
keseragaman
difinisi.
Dalam
Surat
Edaran
Gubernur
Bali
Nomor
10
470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar
Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan
dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002
lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau
Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk
pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun;
(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling
lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan
Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,
pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar
Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali
Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan
bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi
Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”
Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa
disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai
penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan
Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP
BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali
tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa
menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat
sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang
penduduk Bali dikelompokkan
11
tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah
penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-
awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai
saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua
golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang
beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan
hak dan kewajibannya saja.
Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya
ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan
(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa
Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;
(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:
ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa
Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;
na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut
pararem.
Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada
prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman
Gadungan meliputi:
a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut
bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;
b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat
desa).
Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,
seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman
12
Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan
Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa
Penida, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,
adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil
dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan
dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap
waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan
perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai
masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak
dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).
Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena
harus menunggu adanya pararem.
Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam
awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model
ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam
Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian
tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain
penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya
Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:
(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu
saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah
bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga
sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;
(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking
krama;
(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.
Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu
dengan menyatakan sebagai berikut:
Swaddharman lan olih-olihan tamiu:
13
ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok
ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten
ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;
na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;
ca. Tan piwal ring sapargin desane;
ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan
sapanunggilannya.
Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin
Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa
sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).
Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,
tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan
perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan
prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya
tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara
detil dalam awig-awignya.
Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-
masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini
dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-
awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi
tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap
awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai
penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa
pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada
umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban
sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,
seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban
tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan
sukarela (dana punia), dan sebagainya.
14
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu
apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar
awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa
pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa
pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman
satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu
oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),
bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan
petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa
pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta
pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal
sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka
mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir
dan bathin).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.
Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah
penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan
penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan
model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang
terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara
kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam
15
awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang
tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,
berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin
terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang
bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,
penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan
bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian
dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang
artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya masing-masing.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan
penduduk
penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
pendatang
ditangani
oleh
prajuru
desa
pakraman
sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana
Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.
Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin
Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan
Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal
Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan
Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan
Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu
16
Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.
Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.
Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.
Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003
Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik
untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya
telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun
desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang
kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa
Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).
Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama
yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman
(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing
setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda
Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.
menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang baru.
Fakta-fakta sejarah tersebut
1
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum
menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang
dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah
perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya
seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,
prostitusi,
kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat
banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah
dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang
cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,
tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi
demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan
penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap
sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam
persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak
setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian
khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk
pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis
oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman
non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah
Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.
Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini
untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala
niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam
mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan
substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa
pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.
penyalahgunaan
narkoba,
dan
sebagainya
telah
mengganggu
2
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig
adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi
tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi
petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan
kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa
teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas
kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa
yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi
administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim
disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang
melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua
bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan
embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;
Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh
prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas
diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk
hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa
pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat
oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan
3
demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah
“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua
istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.
Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan
desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman
untuk membuat awig-awig?
Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig
mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari
kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang
bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman
mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan
sebagai berikut:
”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
termasuk
4
Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat
awig-awig,
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang
berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu
merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,
landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig
dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman
dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan
jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa
pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5
dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat
awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai
“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman
yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-
masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada
awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat
oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang
mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
disamping
menyelenggarakan
pemerintahan
sendiri,
serta
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig
Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig
adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
Filosofi inilah yang
5
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),
dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan
umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu
manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada
dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam
manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya
dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan
lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir
yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai
suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
tiada lain
masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan
6
(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas
umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha
pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos
3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)
Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig
Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig
walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika
masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig
ditetapkan
(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah
mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa
itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,
ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,
dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman
Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan
awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek
pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis
telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa
hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan
sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama
desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan
awig-awig
(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan
memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,
polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan
hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum
Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).
secara
lisan
melalui
keputusan-keputusan
dalam
rapat
penting
untuk
dilakukan
dalam
rangka
penemuan
hukum
7
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –
terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig
yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara
Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis
di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam
kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya
mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,
sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig
terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-
awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet
(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam
beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti
misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara
Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,
yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format
peraturan
menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan
pokok)
mengenai
pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam
pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak
dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai
keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari
substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem
penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan
pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan
paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam
perundang-undangan,
sistematika
awig-awig
desa
pakraman
kehidupan
desa
pakraman,
sedangkan
aturan-aturan
8
awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan
ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu
persoalan hukum (perkara) tertentu, baik
pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau
parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau
pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun
kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa
dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig
umumnya
pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian
masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda
(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).
yang berupa sengketa maupun
dijelaskan
mekanisme
penyelesaian
masalah
apabila
terjadi
Sanksi dalam Awig-awig
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai
untuk
tujuan
keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),
kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini
dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi
adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda
(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa
jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya
pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.
Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari
yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi
mengembalikan
keseimbangan
apabila
terjadi
gangguan
9
kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),
sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama
(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara
danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci
untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman
secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru
banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan
atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di
sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan
sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara
umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa
terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala
dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)
desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang
sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau
kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara
pasupati atau pemelaspasan.
PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG
Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai
kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)
yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya
mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman
dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai
istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada
keseragaman
difinisi.
Dalam
Surat
Edaran
Gubernur
Bali
Nomor
10
470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar
Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan
dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002
lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau
Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk
pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun;
(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling
lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan
Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,
pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar
Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali
Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan
bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi
Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”
Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa
disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai
penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan
Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP
BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali
tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa
menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat
sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang
penduduk Bali dikelompokkan
11
tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah
penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-
awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai
saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua
golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang
beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan
hak dan kewajibannya saja.
Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya
ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan
(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa
Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;
(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:
ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa
Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;
na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut
pararem.
Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada
prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman
Gadungan meliputi:
a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut
bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;
b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat
desa).
Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,
seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman
12
Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan
Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa
Penida, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,
adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil
dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan
dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap
waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan
perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai
masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak
dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).
Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena
harus menunggu adanya pararem.
Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam
awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model
ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam
Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian
tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain
penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya
Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:
(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu
saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah
bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga
sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;
(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking
krama;
(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.
Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu
dengan menyatakan sebagai berikut:
Swaddharman lan olih-olihan tamiu:
13
ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok
ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten
ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;
na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;
ca. Tan piwal ring sapargin desane;
ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan
sapanunggilannya.
Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin
Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa
sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).
Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,
tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan
perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan
prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya
tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara
detil dalam awig-awignya.
Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-
masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini
dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-
awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi
tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap
awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai
penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa
pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada
umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban
sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,
seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban
tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan
sukarela (dana punia), dan sebagainya.
14
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu
apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar
awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa
pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa
pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman
satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu
oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),
bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan
petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa
pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta
pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal
sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka
mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir
dan bathin).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.
Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah
penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan
penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan
model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang
terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara
kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam
15
awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang
tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,
berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin
terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang
bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,
penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan
bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian
dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang
artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya masing-masing.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan
penduduk
penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
pendatang
ditangani
oleh
prajuru
desa
pakraman
sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana
Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.
Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin
Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan
Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal
Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan
Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan
Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu
16
Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.
Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.
Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.
Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003
Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Langganan:
Postingan (Atom)