Hukum penyelenggaraan kepariwisataan memerlukan perubahan dan pemberdayaan. Kondisi hukum saat ini tidak efektif dan potensial, sehingga mengganggu kinerja maupun pelayanan publik dari pelaku kepariwisataan, khususnya sektor birokrat dan industri. Dampaknya berimbas pada penurunan animo wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.
Hal itu dipaparkan Drs. Happy Marpaung, S.H. (56) dalam disertasi berjudul "Hukum Kepariwisataan Dalam Paradigma Otonomi Daerah pada Era Globalisasi" pada Sidang Terbuka Pertanggungjawaban Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Minggu (16/3) dengan promotor Prof.Dr.Lili Rasjidi,S.H., S.Sos., L.L.M. dan Dr. Asep Warlan Yusup,S.H.,M.H.
Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan konsep hukum kepariwisataan modern dan dengan landasan teori hukum pembangunan pariwisata. "Juga disertai asas-asas hukum pariwisata modern yang mampu menghadapi kendala dan paradigma lain yang muncul," tuturnya.
Dilakukannya analisis ilmiah terhadap hukum pariwisata, kata Happy, karena pihaknya melihat kasus yang terjadi dalam peristiwa hukum kepariwisataan selama ini memerlukan kebijakan kepariwisataan yang mampu memberikan perlindungan. "Kemudian, kepastian hukum serta manfaat terhadap para pelaku kepariwisataan. Pengaturan dan penegakan hukum kepariwisataan terbit dari dalam kesadaran hukum masyarakat, dan secara akademis dapat pula dikaji serta dikembangkan sebagai muatan kurikulum pada perguruan tinggi."
Hal ini sejalan ketika pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan pembangunan kepariwisataan dan merumuskan kebijakan kepariwisataan yang sesuai dengan dinamika sosial kemasyarakatan. "Pariwisata dikembangkan oleh pemerintah sebagai suatu program unggulan dalam pilihan ekonomi realistik untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, segala faktor produksi, usaha kepariwisataan serta pemasaran, diupayakan pemberdayaannya agar mampu mencapai tujuan kepariwisataan itu sendiri," ujar pengajar di NHI dan UPI ini.
Lebih lanjut dikatakan, pemberdayaan ini tidak hanya terjadi dalam faktor ekonomi serta sosial politik. "Namun secara lintas sektoral juga menyangkut faktor hukum sebagaimana karakter yang dikandung oleh produk kepariwisataan yang bersifat multisektoral. Maka, pemberdayaan hukum yang mengatur penyelenggaran kepariwisataan, turut pula diupayakan agar tujuan penyelenggaraan kepariwisataan dilakukan secara tertib dan terencana," ujar Happy Marpaung menambahkan.
Entri Populer
-
1 ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN PTUN BANDUNG PERKARA NO. 92/G/2001/PTUN BANDUNG TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN Sarinah, Agus kusnadi,...
-
A. Latar Belakang Keluarga Keluarga merupakan permulaan daripada kehidupan baru. Seorang anak dilahirkan. Belum ada yang mampu meramalkan na...
-
KETIDAKABSAHAN KEWENANGAN APARAT TERHADAP PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara tel...
-
Meningkatkan kesadaran Hukum Hukum harus dikembalikan pada keberadaan yang sebenarnya. Harus dikembalikan dari tidak hanya produk ideologi y...
-
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sis...
-
Tugas Perancangan kontrak Nama : Andi Gisellawaty Nim : B 111 06 217 Surat Perjanjian Kerja Sama Pada hari ini , Selasa tanggal 21 bulan Agu...
-
Page 1 PERKEMBANGAN PRAKTEK PENGADILAN MENGENAIKEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI OBJEKGUGATAN Oleh: Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH (K...
-
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.propatria.or.id/loaddown/Naskah%20Akademik/Naskah%20Akademik%20Perubahan%20UU%20No.%203...
-
PERBEDAAN ANTARA MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DENGAN KONTRAK MEMORANDUM OF UNDERSTANDING KONTRAK 1. Pengertian ❖ Nota kesepahaman yang ...
-
METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM * Relevansi Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa * Tri Dharma Perguru...
Senin, 22 Maret 2010
Civil Law and Common Law Convergence: Metode Kerjasama Mutualistik Bagi Hotel dan Biro Perjalanan Wisata
1.Pendahuluan
Pariwisata di Indonesia termasuk di Bali sejak terjadinya peristiwa memilukan ‘Bom Bali’ di Kuta telah membawa berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Tragisnya, sebagian besar hotel mengalami ‘almost zero rate’ atau mengalami tingkat hunian yang sangat rendah. Permasalahan tersebut berdampak begitu besar bagi kalangan hotelier dan industri-industri pendukung pariwisata, terjadi PHK, re-scheduling employs, dan kebijakan lainnya.
Pada umumnya, sebagian hotel di Bali mengandalkan kerjasama yang saling menguntungkan antara hotel dengan travel agency atau Biro Perjalanan Wisata. Kerjasama ini diikat dengan sebuah kontrak kerjasama yang di kalangan perhotelan disebut room contract rate. Dari room contract rate inilah masing-masing pihak memperoleh hasil yang bernilai ekonomi. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas atau dianalisis dari perspektif hukum bisnis pariwisata.
Untuk menganalisa atau mengkaji lebih ilmiah maka diperlukan identifikasi permasalahan yang jelas. Dalam Kajian tentang Civil law and Common Law convergence ini, maka perlu dilihat tiga hal mendasar yang terkait, yaitu:
1.Tradisi hokum yang diterapkan dalam kontrak kerjasama antara pihak hotel (hotelier) dengan Travel agent,
2.Elemen – elemen yang tertera pada kontrak kerjasama dan pertimbangan – pertimbangan dari elemen yang disepakati dalam kerjasama tersebut , dan
3.Realisasi operasional dari kontrak kerjasama antara hotelier dengan travel agent.
Dari pendekatan teori, pada kontrak kerjasama yang digunakan pada bisnis pariwisata seperti di perhotelan memiliki relevansi atau ada koherensi dengan beberapa teori hukum baik yang secara praktis digunakan maupun yang hanya menjadi landasan teori hukum saja. Masalah kontrak kerjasama adalah merupakan suatu kesepakatan yang didasari atas berbagai pertimbangan oleh kedua belah pihak. Di Indonesia pada umumnya aplikasi hukum yang diterapkan pada hukum kepariwisataan adalah menggunakan tradisi hukum sipil atau civil law yang merupakan warisan pemerintah Belanda (Wiyasa Putra, dkk : 2001; 21). Jika dikaitkan penerapan tradisi hukum, dalam masalah kontrak sebenarnya digunakan kedua tradisi hukum yaitu common law dan civil law. Pada common law keputusan-keputusan pengadilan dijadikan dasar pembentukan kontrak, sedangkan pada civil law, yang dijadikan dasar adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Per) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD).
Dalam tradisi common law, syahnya suatu kontrak ditentukan oleh keseriusan proses negosiasi, sedangkan pada civil law ditentukan oleh pernyataan kehendak untuk terikat (expression of will) para pihak (Wiyasa Putra:2001). Proses negosiasi dalam tradisi common law menjadi hal yang sangat penting. Oleh karenanya dalam proses ini seseorang yang terlibat dalam negosiasi hendaknya memiliki keterampilan tentang negosiasi yang baik.
Hukum bisnis dapat diklasifikasikan berdasarkan ruang lingkup berlakunya, yaitu hukum bisnis domestik dan hukum bisnis internasional (Wiyasa Putra:2001;24). Dilihat dari landasan hukumnya, masalah yang terkait dengan hotel dan travel agency telah diatur dalam Undang-Undang Kepariwisataan No 9 Tahun 1990, yang dalam pelaksanaanya diatur lagi terutama yang terkait dengan badan hukum secara terpisah oleh Keputusan Menteri. Badan usaha hotel diatur dalam Keputusan Menteri Pariwisata No KM.94/HK.103/MPPT-87, sedangkan badan hukum yang menyangkut Biro Perjalanan Wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pariwisata No.KM.96/HK. 103/MPPT-87 yang mengatur tentang usaha jasa angkutan wisata termasuk didalamnya Biro Perjalanan Wisata atau travel agency .
Dalam kaitannya dengan perjanjian kontrak kerjasama antara hotel dengan travel agency inipun umumnya kedua belah pihak memberlakukan kedua ruang lingkup ini. Pihak hotel selalu bekerjasama dengan travel agency domestik dan internasional dalam operasionalnya untuk memenuhi target pengisian room occupancy.
Elemen-Elemen Yang Umum Berlaku dalam Kontrak Kerjasama
Kontrak kerjasama antara hotel dan Biro Perjalanan Wisata (BPW) diberlakukan hampir pada sebagian hotel baik hotel kecil maupuan hotel besar di Bali. Kontrak kerjasama seperti ini adalah merupakan suatu kerjasama yang dilakukan secara terus menerus dan diatur melalui suatu periode masa kontrak. Akan tetapi beberapa item yang tercantum dalam kontrak sisesuaikan dengan kondisi kedua belah pihak ketika menandatangani kontrak tersebut. Elemen-elemen kontrak yang secara teoritis mencakup sepuluh elemen, tidak secara pasti berlaku di semua hotel. Kesepuluh elemen yang dimaksud adalah judul, tanggal kontrak, para pihak dalam kontrak, pertimbangan, Pengertian, Ruang Lingkup, Transaksi, Pilihan Forum, Penyelesaian Sengketa,Realisasi kontrak.
1.Judul
Dalam kontrak kerjasama ini elemen ‘judul’ nampaknya ditampilkan secara jelas misalnya CONTRACT BETWEEN AN HOTEL & NEW HORIZONS PTY LTD. Judul dalam kotrak dibuat sejelas mungkin untuk memastikan kedua perusahaan yang bekerjasama dan terikat dalam kontrak
2.Tanggal Kontrak
Tanggal kontrak yang tercantum dalam kontrak adalah tertanggal penandatangan kontrak. Tanggal tersebut adalah bertepatan dengan tanggal pada saat pertemuan negosiasi kedua belah pihak. Dalam formulir kontrak, tanggal tertulis tiga kali. Pertama tanggal pada bagian kiri atas, yaitu tanggal penulisan/negosiasi kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan dua tanggal dibawah baik pada kiri bawah maupun kanan bawah adalah tanggal saat menandatangani kontrak tetapi penulisan tanggal yang memiliki tujuan yang berbeda-beda ini tidak diberlakukan secara merata bagi setiap hotel.
Selain ketiga tanggal di atas, dalam kontrak ini juga ada tanggal- tanggal yang berfungsi lain disepakati. Tanggal tersebut meliputi
1.Tanggal berlakunya kontrak ( contract validity yaitu kontrak berlaku mulai misalnya tanggal 1 April 2004 hingga 31 Maret 2005).
2.Tanggal pemberlakuan check out time yang khusus
3.Tanggal pemberlakuan Release Date terutama membedakan release date untuk low , high dan peak season yang berkenaan dengan pemberian room allotment.
3. Para Pihak dalam Kontrak
Pada umumnya contract rate hotel yang melibatkan travel agency yang berasal dari negara-negara commonwealth seperti Asutralia, New Zealand, penerapan kontraknya menggunakan menggunakan tradisi common law. Sehingga secara eksplisit tidak menyebut dengan istilah pihak kedua belah pihak secara berkali-kali. Kata ‘both parties’ hanya disebut sekali saja. Penyebutan inipun tidak lebih dominan terkait dengan permasalahan hukumnya tetapi justru permasalah yang menyangkut masalah operasional (masalah amendment) dalam proses pelaksanaan kerjasama. Walaupun secara ekplisit tidak disebutkan para pihak dengan tegas, akan tetapi baik pihak Hotelmaupun pihak BPW tersebut tetap menganggap bahwa kontrak ini adalah milik kedua belah pihak.
4.Pertimbangan
Dari aspek pertimbangan, dalam kontrak ini juga tidak memberi justifikasi secara tertulis. Tetapi segala yang diputuskan secara tertulis dalam kontrak ini sesungguhnya sudah melalui suatu tahapan dan proses. Dalam menempuh tahapan dan proses, sudah pasti didasari oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sebagai contoh: kesepakatan dalam memberikan harga untuk room rate berupa single US$ 18.00 Double US$ 18.00 dan Triple US$ 21.00 sudah melalui suatu pertimbangan yang cukup matang. Keberanian pihak hotel memberikan harga yang sangat rendah pada saat itu didasari atas tingkat persaingan pengisian antar . Banyak hotel memberlakukan 2 for 1 contract atau setiap client yang menginap dua malam hanya membayar satu malam saja. Dengan kondisi ini, maka pihak hotel memandang perlu dilakukan kebijakan penyesuaian nilai kontrak dalam menghadapi persaingan yang sudah tidak terbendung lagi.Dengan demikian hal-hal yang bersifat situasional juga menjadi pertimbangan dalam kontrak tersebut . Beberapa item pokok contract rate yang sering menjadi pertimbangan :
1.Contract Validity
Secara umum contract rate validity berlaku untuk satu tahun opersional.Tahun opeasional perusahaan umumnya mulai dari tanggal 1 April hingga 31 Maret tahun berikutnya. Perpanjangan contract rate biasanya dilakukan minimal tiga bulan sebelum masa kontrak berakhir. Apabila akan ada perpanjagan, maka didahului dengan mengadakan proses negosiasi ulang antara kedua belah pihak. Hasil dari negosiasi ulang tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat perpanjangan masa kontrak tahun berikutnya.
2.Currency
Kesepakatan tentang penggunaan currency adalah hal yang cukup penting dalam item yang dibahas dalam kontrak. Adanya penetapan tentang penggunaan currency (mata uang) yang akan digunakan dalam transaksi dari realisasi kontrak pada tahun operasional.Di Bali umumnya digunakan US Dollar. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka pembayaran yang dilakukan oleh pihak travel agency kepada pihak hotel tidak akan mengalami masalah.Biasanya dari pihak hotel setiap bulan mengirim standard rate yang digunakan untuk claim kepada travel agency, karena fluktuasi nilai dollar terhadap rupiah tidak selalu sama untuk periode tertentu. Jadi departemen akunting akan menyampaikan pengumuman kepada pihak travel agency tentang currency ini secara periodik.
3.Room Rates
Kesepakatan tentang room rate dilakukan dengan berbagai pertimbangan antar kedua belah pihak. Bagi pihak hotel, dengan memberikan room rate yang dalam kontrak ini cukup rendah atau tinggi tentunya sudah melalui proses pertimbangan dari kebijakan menejemen hotel.Rendah atau tingginya room rate yang disepakati oleh pihak hotel sudah mempertimbangkan akan prospek bisnis ke depan serta sejarah kerjasama yang telah dilalui. Dari pertimbangan room rate ini hotel berharap agar hotel selalu diberikan dukunga berupa reservasi secara berkelanjutan selama masa kontrak masih berlaku
4.Free night offer
Free night offer pada umumnya berisikan tentang kesepakatan bagi pihak hotel untuk memberikan harga kamar gratis bagi client dari travel agency yang menginap di hotel dalam kurun waktu tertentu, misalnya bagi client yang menginap minimal 10 malam, maka pada malam terakhir diberikan gratis (tidak bayar kamar). Apabila sebagian besar client yang menginap menginap dalam kurn waktu yang cukup lama, umumnya pihak hotel akan rela memberikan free night ini.
5.Preferential check out time
Wisatawan yang menginap, terutama yang berasal dari Australia hampir rata-rata berangkat sore hari karena pesawat menuju Asutralia juga rata-rata sore hari. Oleh karenanya wisatawan Australia lebih sering meminta agar waktu untuk meninggalkan hotel (check out time) sore hari atau malam hari. Kesepakatan ini juga penting bagi hotel, karena pihak hotel agar bisa mengatur alokasi (room assigment) bagi setiap wisatawan yang akan menginap pada saat wisatawan yang lain sudah meninggalkan hotel. Jadi dengan kesepakatan yang jelas ini, pihak hotel berkesempatan untuk mengatur sirkulasi penghunian kamar setiap hari.
6.Extra bed
Ada kalanya wisatawan baru meminta disediakan extra bed setelah tiba di hotel, tetapi adapula yang sejak berada dinegaranya sudah meminta untuk disediakan extra bed. Untuk hal ini travel agency melakukan negosiasi harga yang layak untuk extra bed serta memperhitungkan kelayakan kamar yang bisa diisi extra bed di dalam kamarnya.
7.Charge for refrigerator
Ada sebagian hotel yang menyediakan kulkas, tetapi bentuk persediaannya kulkas yang dalam keadaan kosong. Tetapi ada juga yang menyewa dengan membayar uang tambahan atau extra charge. Permintaan untuk menyediakan kulkas di dalam kamar bisa dilakukan melalui travel agency maupun langsung. Oleh karenanya, dalam kontrak juga dibicarakan agar tidak terjadi over charge atau kelebihan pembayaran.
8.Meal rate
Harga makanan atau meal rate tidak terlalu menjadi perhatian besar bagi travel agency, terutama apabila travel agency tersebut melakukan kerjasam dengan hotel-hotel kecil. Akan tetapi jika bekerjasama dengan hotel besar, maka masalah harga makanan sangat penting, terutama pada model makan prasmanan, atau buffee. Dalam kontrak kerjasama ini untuk meal rate hanya diklasifikasikan pada konteks adanya party, jadi bukan perhitungan ketika makan yang bersifat reguler atau sehari-hari, kecuali bentuknya paket.
9.Brochure support
Kesepakatan tentang brochur support adalah bentuk kesepakatan yang dibuat guna adanya proses timbal balik atas jasa yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Travel agency menyanggupi untuk mempromosikan hotel yang mau memberikan dukungan dana promosi dalam jumlah tertentu (disesuaikan dengan besarnya ruang yang disepakati). Dengan memberi bantuan promosi kepada travel agency maka pihak hotel tidak perlu lagi harus melakukannya sendiri berpromosi ke negara tersebut. Demikian juga pihak travel agency akan secara konsisten malakukan upaya promosi sesuai dengan kesepakatan yang disepakati dalam item ini.
10.Room Allotment
Allotment of room adalah jatah kamar yang harus diberikan oleh pihak hotel kepada travel agency. Batasan jatah kamar yang harus diberikan disepakati sesuai dengan kemampuan hotel untuk menyediakan secara pasti jatah tersebut. Pemberian jatah tersebut biasanya dibeda-bedakan antara travel yang satu dengan yang lainnya, dan perbedaannya juga pada season yang berlangsung. Pada low season misalnya, jatah kamar diberikan lebih banyak, dan pada high season jatah kamar akan lebih sedikit. Yang perlu di tekankan dalam kesepakatan ini adalah jatah kamar tidak bisa ditolak oleh pihak hotel. Demikian juga pihak hotel memberikan tekanan dengan menggunakan cut date atau release date, dimana pihak travel agency harus sudah memastikan kamar yang dipesan sebagai jatah pada jarak waktu yang ditentukan, khususnya yang masuk katagori sebagai allotment. Jika terjadi keterlambatan pemberitahuan dari pihak travel agency maka pihak hotel punya hak untuk tidak menerima pemesanan kamar yang terkatagori jatah tersebut
11.Special benefits
Special benefit. Maksudnya adalah kesepakatan pihak hotel untuk memberikan sesuatu yang spesial kepada travel agency. Pemberian khusus ini berupa kebijakan hotel untuk memberikan sesuatu seperti birthay cake, fruit basket, decorated room, free dinner. Semua yang diberikan oleh hotel dalam bentuk special benefit semata-mata diberikan kepada wisatawan yang meminta sesuatu melalui special request. Special benefit ini benar-benar hanya sebagai hadiah yang diberikan oleh pihak hotel kepada wisatawan.Sedangkan travel agency diuntungkan karena akan bisa menjadi alat promosi untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak menginap di hotel yang memberikan special benefit.
Dengan demikian semua yang telah disepakati disini, merupakan realisasi sistem dalam common law yang mana pertimbangan- pertimbangannya tidak tertulis secara tegas dalam kontrak.
4.1.4. Pengertian
Sebagaimana pada umumnya dalam tradisi civil law bahwa suatu istilah dalam kontrak kerjasama diberi penjabaran makna atau arti dari peristilahan yang digunakan dalam kontrak tersebut. Akan tetapi dalam common law tidak terlalu melihat dari sisi yang demikian. Nampak ada kecenderungan yang berkeinginan praktis dalam common law. Oleh karenanya, dalam commom law walaupun tidak dibuat pengertian-pengertian secara khusus tetapi peristilahan yang digunakan sudah dipahami oleh kedua belah pihak. Sebagai contoh: penggunaan intilah ‘free dinner’ bukan berarti makan secara bebas, akan tetapi mendapat makan gratis dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Dalam kontrak tidak lagi dijabarkan pengetian dari free dinner tersebut, tetapi langsung diterapkan bahwa setiap masa tinggal tertentu, client secara otomatis mendapat jatah untuk makan malam gratis. Jadi dengan demikian, pengertian-pengertian tidak lagi bahas secara rinci sebagaimana dalam civil law.
5.Ruang Lingkup
Yang dimaksud dengan ruang lingkup disini adalah ruang lingkup yang terkait dengan kontrak tersebut. Secara khusus, ruang lingkup dari kotrak ini meliputi ruang ringkup kerjasama dibidang pelayanan, baik pelayanan reservasi, kedatangan, pelayanan di dalam hotel, sampai pada pelayanan tamu meninggalkan hotel. Ruang lingkup kerjasama ini juga mencakup promosi,system pembayaran atau transaksi bagi kedua belah pihak.
6.Transaksi
Disamping promosi, juga mencakup system pembayaran atau transaksi bagi kedua belah pihak. mekanisme pembayaran atau transaksi juga ditetapkan dalam kerjasama ini, misalnya melalui claim advice, atau Bank transfer, dll.
7.Pilihan Hukum
Dalam kotrak kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak semua kontrak menyebutkan kemungkinan pilihan hukum dalam menyelesaikan sengketa. Sebagian besar permasalahan yang berkenaan dengan perselisihan, kesalah pahaman, serta ketidak sepakatan dalam operasional kontrak ini diselesaikan dengan jalan penyelesaian bersifat privat. Para pihak tidak mengharapkan kerjasama ini menyebabkan masing-masing pihak menemui jalan buntu dalam menyelesaikan persoalan Sekecil apapun masalah yang dihadapi, permasalahan yang terkait dengan kerjasama dengan pihak travel agency diupayakan diselesaikan dengan segera, sehingga tidak berlarut-larut bahkan harus meneylesaikan melalui jalur pengadilan atau hukum.
8.Pilihan Forum
Berbeda halnya dengan pilihan hukum, bahwa forum adalah cara terbaik digunakan menyelesaikan permasalahan. Dalam kontrak ini, walaupun tidak disebut langsung, tetapi dalam realisasinya forum ini selalu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak tersebut.
9. Penyelesaian Sengketa
Dilihat dari elemen penyelesaian sengketa, sebenarnya dalam kerjasama bisnis dengan pihak yang berasal dari kebiasaan menggunakan common law agaknya sangat tidak mengharapkan terjadinya sengketa dalam kerjasama. Justru yang dicari adalah jangan sampai terjadi sengketa dan berupaya menjadi dekat dan akrab dalam berbisnis. Oleh karena demikian, dalam kontrak kerjasama dengan model common law pula tidak dicantumkan mekanisme secara tertulis yang digunakan dalam menyelesaikan setiap sengketa. Akan tetapi secara operasional, setiap permasalahan sebelum menjadi sengketa diselesaikan terlebih dahulu dengan melalui berbagai pertemuan para pihak. Dengan demikian bisa meminimalkan terjadinya sengketa dalam realisasi kerjasama bagi kedua pihak.
10.Realisasi Kontrak
Setiap kontrak kerjasama yang dibuat oleh hotel tidak sebatas konsep belaka, melainkan untuk kepentingan operasional,memberikan atau meningkatkan pendapatan yang maksimal bagi pihak hotel maupun BPW. Dengan demikian, disamping secara konseptual, maka yang lebih penting dalam kerjasama tersebut adalah realisasi dari pada konsep itu sendiri.
Keuntungan yang diperoleh hotel dengan mengadakan kontrak ini yang paling berarti bahwa ketika musim sepi (law season) pihak hotel sangat dibantu yaitu diberikan client secara reguler sehingga dari berbagai travel agent yang diajak kerjasama Dilihat dari kenyataan ini nampaknya hotel sangat memerlukan model kerjasama yang sedemikian rupa, walaupun secara konseptual isi kontrak kerjasama tersebut tidak secara utuh menguraikan permasalahan yang dibutuhkan oleh pihak hotel terutama bagi yang terbiasa menggunakan tradisi hukum civil law. Dan Ternyata pada hubungan internasional,seperti pada dunia pariwisata sesungguhnya sebagian bisnis di Indonesia sudah menggunakan tradisi common law.
KESIMPULAN
Setelah memperhatikan dan menelaah berbagai hal mengenai contract rate yang diterapkan dalam bekerjasama antara hotel dengan BPW, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Kedua belah pihak, umumnya memiliki kesepakatan dalam menggunakan tradisi hokum baik menggunakan tradisi kontrak common law maupun civil law. Isi kontrak tersebut nampak menyentuh masalah-masalah pokok saja dan tidak dibuat dengan kalimat yang terlalu panjang. Yang dipentingkan dalam konsep ini adalah esensi dari kontrak tersebut.
2.Dalam penerapan kontrak kerjasama melalui contract rate pada hakekatnya berisikan elemen-elemen sebagaimana yang diuraikan dalam prinsip-prinsip hukum dalam kontrak kerjasama, akan tetapi penggunaan tradisi common law pada konsep tersebut menyebabkan tidak dicantumkannya secara detail tentang elemen-elemen yang biasanya ada pada konsep hukum dalam kontrak.
3.Dengan ditandatangani dan diterapkannya konsep contract rate oleh kedua belah pihak, maka konsep tersebut tidak hanya semata-mata dibuat secara konseptual tetapi diimplementasikan dengan nyata untuk kepentingan pendapatan bagi kedua usaha yang saling bekerjasama.
4.Dengan terealisasinya kontrak kerjasama antara hotel dan BPW di Bali, maka perpaduan antara penerapan civil law dan common law menjadi metode yang cukup baik dalam memperoleh target pasar baik bagi hotel maupun bagi travel agency.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Pariwisata No KM.94/HK.103/MPPT-87,
Keputusan Menteri Pariwisata No.KM.96/HK. 103/MPPT-87
Undang-Undang Kepariwisataan No 9 Tahun 1990
Wyasa Putra, Ida Bagus,SH,M.Hum, dkk. : 2001: Hukum Bisnis PARIWISATA. PT. Reflika Aditama, Bandung.
Wyasa Putra,Ida Bagus. 2004. Materi Kuliah Hukum Pariwisata Kajian Pariwisata Pasca Sarjana Unud.
Pariwisata di Indonesia termasuk di Bali sejak terjadinya peristiwa memilukan ‘Bom Bali’ di Kuta telah membawa berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Tragisnya, sebagian besar hotel mengalami ‘almost zero rate’ atau mengalami tingkat hunian yang sangat rendah. Permasalahan tersebut berdampak begitu besar bagi kalangan hotelier dan industri-industri pendukung pariwisata, terjadi PHK, re-scheduling employs, dan kebijakan lainnya.
Pada umumnya, sebagian hotel di Bali mengandalkan kerjasama yang saling menguntungkan antara hotel dengan travel agency atau Biro Perjalanan Wisata. Kerjasama ini diikat dengan sebuah kontrak kerjasama yang di kalangan perhotelan disebut room contract rate. Dari room contract rate inilah masing-masing pihak memperoleh hasil yang bernilai ekonomi. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas atau dianalisis dari perspektif hukum bisnis pariwisata.
Untuk menganalisa atau mengkaji lebih ilmiah maka diperlukan identifikasi permasalahan yang jelas. Dalam Kajian tentang Civil law and Common Law convergence ini, maka perlu dilihat tiga hal mendasar yang terkait, yaitu:
1.Tradisi hokum yang diterapkan dalam kontrak kerjasama antara pihak hotel (hotelier) dengan Travel agent,
2.Elemen – elemen yang tertera pada kontrak kerjasama dan pertimbangan – pertimbangan dari elemen yang disepakati dalam kerjasama tersebut , dan
3.Realisasi operasional dari kontrak kerjasama antara hotelier dengan travel agent.
Dari pendekatan teori, pada kontrak kerjasama yang digunakan pada bisnis pariwisata seperti di perhotelan memiliki relevansi atau ada koherensi dengan beberapa teori hukum baik yang secara praktis digunakan maupun yang hanya menjadi landasan teori hukum saja. Masalah kontrak kerjasama adalah merupakan suatu kesepakatan yang didasari atas berbagai pertimbangan oleh kedua belah pihak. Di Indonesia pada umumnya aplikasi hukum yang diterapkan pada hukum kepariwisataan adalah menggunakan tradisi hukum sipil atau civil law yang merupakan warisan pemerintah Belanda (Wiyasa Putra, dkk : 2001; 21). Jika dikaitkan penerapan tradisi hukum, dalam masalah kontrak sebenarnya digunakan kedua tradisi hukum yaitu common law dan civil law. Pada common law keputusan-keputusan pengadilan dijadikan dasar pembentukan kontrak, sedangkan pada civil law, yang dijadikan dasar adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Per) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD).
Dalam tradisi common law, syahnya suatu kontrak ditentukan oleh keseriusan proses negosiasi, sedangkan pada civil law ditentukan oleh pernyataan kehendak untuk terikat (expression of will) para pihak (Wiyasa Putra:2001). Proses negosiasi dalam tradisi common law menjadi hal yang sangat penting. Oleh karenanya dalam proses ini seseorang yang terlibat dalam negosiasi hendaknya memiliki keterampilan tentang negosiasi yang baik.
Hukum bisnis dapat diklasifikasikan berdasarkan ruang lingkup berlakunya, yaitu hukum bisnis domestik dan hukum bisnis internasional (Wiyasa Putra:2001;24). Dilihat dari landasan hukumnya, masalah yang terkait dengan hotel dan travel agency telah diatur dalam Undang-Undang Kepariwisataan No 9 Tahun 1990, yang dalam pelaksanaanya diatur lagi terutama yang terkait dengan badan hukum secara terpisah oleh Keputusan Menteri. Badan usaha hotel diatur dalam Keputusan Menteri Pariwisata No KM.94/HK.103/MPPT-87, sedangkan badan hukum yang menyangkut Biro Perjalanan Wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pariwisata No.KM.96/HK. 103/MPPT-87 yang mengatur tentang usaha jasa angkutan wisata termasuk didalamnya Biro Perjalanan Wisata atau travel agency .
Dalam kaitannya dengan perjanjian kontrak kerjasama antara hotel dengan travel agency inipun umumnya kedua belah pihak memberlakukan kedua ruang lingkup ini. Pihak hotel selalu bekerjasama dengan travel agency domestik dan internasional dalam operasionalnya untuk memenuhi target pengisian room occupancy.
Elemen-Elemen Yang Umum Berlaku dalam Kontrak Kerjasama
Kontrak kerjasama antara hotel dan Biro Perjalanan Wisata (BPW) diberlakukan hampir pada sebagian hotel baik hotel kecil maupuan hotel besar di Bali. Kontrak kerjasama seperti ini adalah merupakan suatu kerjasama yang dilakukan secara terus menerus dan diatur melalui suatu periode masa kontrak. Akan tetapi beberapa item yang tercantum dalam kontrak sisesuaikan dengan kondisi kedua belah pihak ketika menandatangani kontrak tersebut. Elemen-elemen kontrak yang secara teoritis mencakup sepuluh elemen, tidak secara pasti berlaku di semua hotel. Kesepuluh elemen yang dimaksud adalah judul, tanggal kontrak, para pihak dalam kontrak, pertimbangan, Pengertian, Ruang Lingkup, Transaksi, Pilihan Forum, Penyelesaian Sengketa,Realisasi kontrak.
1.Judul
Dalam kontrak kerjasama ini elemen ‘judul’ nampaknya ditampilkan secara jelas misalnya CONTRACT BETWEEN AN HOTEL & NEW HORIZONS PTY LTD. Judul dalam kotrak dibuat sejelas mungkin untuk memastikan kedua perusahaan yang bekerjasama dan terikat dalam kontrak
2.Tanggal Kontrak
Tanggal kontrak yang tercantum dalam kontrak adalah tertanggal penandatangan kontrak. Tanggal tersebut adalah bertepatan dengan tanggal pada saat pertemuan negosiasi kedua belah pihak. Dalam formulir kontrak, tanggal tertulis tiga kali. Pertama tanggal pada bagian kiri atas, yaitu tanggal penulisan/negosiasi kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan dua tanggal dibawah baik pada kiri bawah maupun kanan bawah adalah tanggal saat menandatangani kontrak tetapi penulisan tanggal yang memiliki tujuan yang berbeda-beda ini tidak diberlakukan secara merata bagi setiap hotel.
Selain ketiga tanggal di atas, dalam kontrak ini juga ada tanggal- tanggal yang berfungsi lain disepakati. Tanggal tersebut meliputi
1.Tanggal berlakunya kontrak ( contract validity yaitu kontrak berlaku mulai misalnya tanggal 1 April 2004 hingga 31 Maret 2005).
2.Tanggal pemberlakuan check out time yang khusus
3.Tanggal pemberlakuan Release Date terutama membedakan release date untuk low , high dan peak season yang berkenaan dengan pemberian room allotment.
3. Para Pihak dalam Kontrak
Pada umumnya contract rate hotel yang melibatkan travel agency yang berasal dari negara-negara commonwealth seperti Asutralia, New Zealand, penerapan kontraknya menggunakan menggunakan tradisi common law. Sehingga secara eksplisit tidak menyebut dengan istilah pihak kedua belah pihak secara berkali-kali. Kata ‘both parties’ hanya disebut sekali saja. Penyebutan inipun tidak lebih dominan terkait dengan permasalahan hukumnya tetapi justru permasalah yang menyangkut masalah operasional (masalah amendment) dalam proses pelaksanaan kerjasama. Walaupun secara ekplisit tidak disebutkan para pihak dengan tegas, akan tetapi baik pihak Hotelmaupun pihak BPW tersebut tetap menganggap bahwa kontrak ini adalah milik kedua belah pihak.
4.Pertimbangan
Dari aspek pertimbangan, dalam kontrak ini juga tidak memberi justifikasi secara tertulis. Tetapi segala yang diputuskan secara tertulis dalam kontrak ini sesungguhnya sudah melalui suatu tahapan dan proses. Dalam menempuh tahapan dan proses, sudah pasti didasari oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sebagai contoh: kesepakatan dalam memberikan harga untuk room rate berupa single US$ 18.00 Double US$ 18.00 dan Triple US$ 21.00 sudah melalui suatu pertimbangan yang cukup matang. Keberanian pihak hotel memberikan harga yang sangat rendah pada saat itu didasari atas tingkat persaingan pengisian antar . Banyak hotel memberlakukan 2 for 1 contract atau setiap client yang menginap dua malam hanya membayar satu malam saja. Dengan kondisi ini, maka pihak hotel memandang perlu dilakukan kebijakan penyesuaian nilai kontrak dalam menghadapi persaingan yang sudah tidak terbendung lagi.Dengan demikian hal-hal yang bersifat situasional juga menjadi pertimbangan dalam kontrak tersebut . Beberapa item pokok contract rate yang sering menjadi pertimbangan :
1.Contract Validity
Secara umum contract rate validity berlaku untuk satu tahun opersional.Tahun opeasional perusahaan umumnya mulai dari tanggal 1 April hingga 31 Maret tahun berikutnya. Perpanjangan contract rate biasanya dilakukan minimal tiga bulan sebelum masa kontrak berakhir. Apabila akan ada perpanjagan, maka didahului dengan mengadakan proses negosiasi ulang antara kedua belah pihak. Hasil dari negosiasi ulang tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat perpanjangan masa kontrak tahun berikutnya.
2.Currency
Kesepakatan tentang penggunaan currency adalah hal yang cukup penting dalam item yang dibahas dalam kontrak. Adanya penetapan tentang penggunaan currency (mata uang) yang akan digunakan dalam transaksi dari realisasi kontrak pada tahun operasional.Di Bali umumnya digunakan US Dollar. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka pembayaran yang dilakukan oleh pihak travel agency kepada pihak hotel tidak akan mengalami masalah.Biasanya dari pihak hotel setiap bulan mengirim standard rate yang digunakan untuk claim kepada travel agency, karena fluktuasi nilai dollar terhadap rupiah tidak selalu sama untuk periode tertentu. Jadi departemen akunting akan menyampaikan pengumuman kepada pihak travel agency tentang currency ini secara periodik.
3.Room Rates
Kesepakatan tentang room rate dilakukan dengan berbagai pertimbangan antar kedua belah pihak. Bagi pihak hotel, dengan memberikan room rate yang dalam kontrak ini cukup rendah atau tinggi tentunya sudah melalui proses pertimbangan dari kebijakan menejemen hotel.Rendah atau tingginya room rate yang disepakati oleh pihak hotel sudah mempertimbangkan akan prospek bisnis ke depan serta sejarah kerjasama yang telah dilalui. Dari pertimbangan room rate ini hotel berharap agar hotel selalu diberikan dukunga berupa reservasi secara berkelanjutan selama masa kontrak masih berlaku
4.Free night offer
Free night offer pada umumnya berisikan tentang kesepakatan bagi pihak hotel untuk memberikan harga kamar gratis bagi client dari travel agency yang menginap di hotel dalam kurun waktu tertentu, misalnya bagi client yang menginap minimal 10 malam, maka pada malam terakhir diberikan gratis (tidak bayar kamar). Apabila sebagian besar client yang menginap menginap dalam kurn waktu yang cukup lama, umumnya pihak hotel akan rela memberikan free night ini.
5.Preferential check out time
Wisatawan yang menginap, terutama yang berasal dari Australia hampir rata-rata berangkat sore hari karena pesawat menuju Asutralia juga rata-rata sore hari. Oleh karenanya wisatawan Australia lebih sering meminta agar waktu untuk meninggalkan hotel (check out time) sore hari atau malam hari. Kesepakatan ini juga penting bagi hotel, karena pihak hotel agar bisa mengatur alokasi (room assigment) bagi setiap wisatawan yang akan menginap pada saat wisatawan yang lain sudah meninggalkan hotel. Jadi dengan kesepakatan yang jelas ini, pihak hotel berkesempatan untuk mengatur sirkulasi penghunian kamar setiap hari.
6.Extra bed
Ada kalanya wisatawan baru meminta disediakan extra bed setelah tiba di hotel, tetapi adapula yang sejak berada dinegaranya sudah meminta untuk disediakan extra bed. Untuk hal ini travel agency melakukan negosiasi harga yang layak untuk extra bed serta memperhitungkan kelayakan kamar yang bisa diisi extra bed di dalam kamarnya.
7.Charge for refrigerator
Ada sebagian hotel yang menyediakan kulkas, tetapi bentuk persediaannya kulkas yang dalam keadaan kosong. Tetapi ada juga yang menyewa dengan membayar uang tambahan atau extra charge. Permintaan untuk menyediakan kulkas di dalam kamar bisa dilakukan melalui travel agency maupun langsung. Oleh karenanya, dalam kontrak juga dibicarakan agar tidak terjadi over charge atau kelebihan pembayaran.
8.Meal rate
Harga makanan atau meal rate tidak terlalu menjadi perhatian besar bagi travel agency, terutama apabila travel agency tersebut melakukan kerjasam dengan hotel-hotel kecil. Akan tetapi jika bekerjasama dengan hotel besar, maka masalah harga makanan sangat penting, terutama pada model makan prasmanan, atau buffee. Dalam kontrak kerjasama ini untuk meal rate hanya diklasifikasikan pada konteks adanya party, jadi bukan perhitungan ketika makan yang bersifat reguler atau sehari-hari, kecuali bentuknya paket.
9.Brochure support
Kesepakatan tentang brochur support adalah bentuk kesepakatan yang dibuat guna adanya proses timbal balik atas jasa yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Travel agency menyanggupi untuk mempromosikan hotel yang mau memberikan dukungan dana promosi dalam jumlah tertentu (disesuaikan dengan besarnya ruang yang disepakati). Dengan memberi bantuan promosi kepada travel agency maka pihak hotel tidak perlu lagi harus melakukannya sendiri berpromosi ke negara tersebut. Demikian juga pihak travel agency akan secara konsisten malakukan upaya promosi sesuai dengan kesepakatan yang disepakati dalam item ini.
10.Room Allotment
Allotment of room adalah jatah kamar yang harus diberikan oleh pihak hotel kepada travel agency. Batasan jatah kamar yang harus diberikan disepakati sesuai dengan kemampuan hotel untuk menyediakan secara pasti jatah tersebut. Pemberian jatah tersebut biasanya dibeda-bedakan antara travel yang satu dengan yang lainnya, dan perbedaannya juga pada season yang berlangsung. Pada low season misalnya, jatah kamar diberikan lebih banyak, dan pada high season jatah kamar akan lebih sedikit. Yang perlu di tekankan dalam kesepakatan ini adalah jatah kamar tidak bisa ditolak oleh pihak hotel. Demikian juga pihak hotel memberikan tekanan dengan menggunakan cut date atau release date, dimana pihak travel agency harus sudah memastikan kamar yang dipesan sebagai jatah pada jarak waktu yang ditentukan, khususnya yang masuk katagori sebagai allotment. Jika terjadi keterlambatan pemberitahuan dari pihak travel agency maka pihak hotel punya hak untuk tidak menerima pemesanan kamar yang terkatagori jatah tersebut
11.Special benefits
Special benefit. Maksudnya adalah kesepakatan pihak hotel untuk memberikan sesuatu yang spesial kepada travel agency. Pemberian khusus ini berupa kebijakan hotel untuk memberikan sesuatu seperti birthay cake, fruit basket, decorated room, free dinner. Semua yang diberikan oleh hotel dalam bentuk special benefit semata-mata diberikan kepada wisatawan yang meminta sesuatu melalui special request. Special benefit ini benar-benar hanya sebagai hadiah yang diberikan oleh pihak hotel kepada wisatawan.Sedangkan travel agency diuntungkan karena akan bisa menjadi alat promosi untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak menginap di hotel yang memberikan special benefit.
Dengan demikian semua yang telah disepakati disini, merupakan realisasi sistem dalam common law yang mana pertimbangan- pertimbangannya tidak tertulis secara tegas dalam kontrak.
4.1.4. Pengertian
Sebagaimana pada umumnya dalam tradisi civil law bahwa suatu istilah dalam kontrak kerjasama diberi penjabaran makna atau arti dari peristilahan yang digunakan dalam kontrak tersebut. Akan tetapi dalam common law tidak terlalu melihat dari sisi yang demikian. Nampak ada kecenderungan yang berkeinginan praktis dalam common law. Oleh karenanya, dalam commom law walaupun tidak dibuat pengertian-pengertian secara khusus tetapi peristilahan yang digunakan sudah dipahami oleh kedua belah pihak. Sebagai contoh: penggunaan intilah ‘free dinner’ bukan berarti makan secara bebas, akan tetapi mendapat makan gratis dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Dalam kontrak tidak lagi dijabarkan pengetian dari free dinner tersebut, tetapi langsung diterapkan bahwa setiap masa tinggal tertentu, client secara otomatis mendapat jatah untuk makan malam gratis. Jadi dengan demikian, pengertian-pengertian tidak lagi bahas secara rinci sebagaimana dalam civil law.
5.Ruang Lingkup
Yang dimaksud dengan ruang lingkup disini adalah ruang lingkup yang terkait dengan kontrak tersebut. Secara khusus, ruang lingkup dari kotrak ini meliputi ruang ringkup kerjasama dibidang pelayanan, baik pelayanan reservasi, kedatangan, pelayanan di dalam hotel, sampai pada pelayanan tamu meninggalkan hotel. Ruang lingkup kerjasama ini juga mencakup promosi,system pembayaran atau transaksi bagi kedua belah pihak.
6.Transaksi
Disamping promosi, juga mencakup system pembayaran atau transaksi bagi kedua belah pihak. mekanisme pembayaran atau transaksi juga ditetapkan dalam kerjasama ini, misalnya melalui claim advice, atau Bank transfer, dll.
7.Pilihan Hukum
Dalam kotrak kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak semua kontrak menyebutkan kemungkinan pilihan hukum dalam menyelesaikan sengketa. Sebagian besar permasalahan yang berkenaan dengan perselisihan, kesalah pahaman, serta ketidak sepakatan dalam operasional kontrak ini diselesaikan dengan jalan penyelesaian bersifat privat. Para pihak tidak mengharapkan kerjasama ini menyebabkan masing-masing pihak menemui jalan buntu dalam menyelesaikan persoalan Sekecil apapun masalah yang dihadapi, permasalahan yang terkait dengan kerjasama dengan pihak travel agency diupayakan diselesaikan dengan segera, sehingga tidak berlarut-larut bahkan harus meneylesaikan melalui jalur pengadilan atau hukum.
8.Pilihan Forum
Berbeda halnya dengan pilihan hukum, bahwa forum adalah cara terbaik digunakan menyelesaikan permasalahan. Dalam kontrak ini, walaupun tidak disebut langsung, tetapi dalam realisasinya forum ini selalu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak tersebut.
9. Penyelesaian Sengketa
Dilihat dari elemen penyelesaian sengketa, sebenarnya dalam kerjasama bisnis dengan pihak yang berasal dari kebiasaan menggunakan common law agaknya sangat tidak mengharapkan terjadinya sengketa dalam kerjasama. Justru yang dicari adalah jangan sampai terjadi sengketa dan berupaya menjadi dekat dan akrab dalam berbisnis. Oleh karena demikian, dalam kontrak kerjasama dengan model common law pula tidak dicantumkan mekanisme secara tertulis yang digunakan dalam menyelesaikan setiap sengketa. Akan tetapi secara operasional, setiap permasalahan sebelum menjadi sengketa diselesaikan terlebih dahulu dengan melalui berbagai pertemuan para pihak. Dengan demikian bisa meminimalkan terjadinya sengketa dalam realisasi kerjasama bagi kedua pihak.
10.Realisasi Kontrak
Setiap kontrak kerjasama yang dibuat oleh hotel tidak sebatas konsep belaka, melainkan untuk kepentingan operasional,memberikan atau meningkatkan pendapatan yang maksimal bagi pihak hotel maupun BPW. Dengan demikian, disamping secara konseptual, maka yang lebih penting dalam kerjasama tersebut adalah realisasi dari pada konsep itu sendiri.
Keuntungan yang diperoleh hotel dengan mengadakan kontrak ini yang paling berarti bahwa ketika musim sepi (law season) pihak hotel sangat dibantu yaitu diberikan client secara reguler sehingga dari berbagai travel agent yang diajak kerjasama Dilihat dari kenyataan ini nampaknya hotel sangat memerlukan model kerjasama yang sedemikian rupa, walaupun secara konseptual isi kontrak kerjasama tersebut tidak secara utuh menguraikan permasalahan yang dibutuhkan oleh pihak hotel terutama bagi yang terbiasa menggunakan tradisi hukum civil law. Dan Ternyata pada hubungan internasional,seperti pada dunia pariwisata sesungguhnya sebagian bisnis di Indonesia sudah menggunakan tradisi common law.
KESIMPULAN
Setelah memperhatikan dan menelaah berbagai hal mengenai contract rate yang diterapkan dalam bekerjasama antara hotel dengan BPW, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Kedua belah pihak, umumnya memiliki kesepakatan dalam menggunakan tradisi hokum baik menggunakan tradisi kontrak common law maupun civil law. Isi kontrak tersebut nampak menyentuh masalah-masalah pokok saja dan tidak dibuat dengan kalimat yang terlalu panjang. Yang dipentingkan dalam konsep ini adalah esensi dari kontrak tersebut.
2.Dalam penerapan kontrak kerjasama melalui contract rate pada hakekatnya berisikan elemen-elemen sebagaimana yang diuraikan dalam prinsip-prinsip hukum dalam kontrak kerjasama, akan tetapi penggunaan tradisi common law pada konsep tersebut menyebabkan tidak dicantumkannya secara detail tentang elemen-elemen yang biasanya ada pada konsep hukum dalam kontrak.
3.Dengan ditandatangani dan diterapkannya konsep contract rate oleh kedua belah pihak, maka konsep tersebut tidak hanya semata-mata dibuat secara konseptual tetapi diimplementasikan dengan nyata untuk kepentingan pendapatan bagi kedua usaha yang saling bekerjasama.
4.Dengan terealisasinya kontrak kerjasama antara hotel dan BPW di Bali, maka perpaduan antara penerapan civil law dan common law menjadi metode yang cukup baik dalam memperoleh target pasar baik bagi hotel maupun bagi travel agency.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Pariwisata No KM.94/HK.103/MPPT-87,
Keputusan Menteri Pariwisata No.KM.96/HK. 103/MPPT-87
Undang-Undang Kepariwisataan No 9 Tahun 1990
Wyasa Putra, Ida Bagus,SH,M.Hum, dkk. : 2001: Hukum Bisnis PARIWISATA. PT. Reflika Aditama, Bandung.
Wyasa Putra,Ida Bagus. 2004. Materi Kuliah Hukum Pariwisata Kajian Pariwisata Pasca Sarjana Unud.
Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Indonesia
Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakukan Syari’at Islam atau disebut Khilafah yakni negara yang hukumnya sepenuhnya menjalankan hukum Islam. Walaupun demikian, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka hukum Islam akan selalu mempengaruhi setiap penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab dalam menetapkan suatu peraturan perundang-undangan, satu hal yang harus diperhatikan adalah kondisi sosiologis masyarakat setempat. Sebab suatu peraturan Negara tidak boleh bertentangan dengan keyakinan suatu agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang Maha Esa.” Dan Pasal 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Ini berarti dalam setiap penyusunan hukum negara, harus menghormati hukum suatu agama, terutama Islam sebagai kaum mayoritas. Bahkan pada awal perjuangan kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti harus berdasarkan syari’at Islam tetapi tetap menghormati pemeluk agama lainnya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, akan tetapi kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kewajiban menjalankan syariat Islam diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Namun tetap saja hukum Islam akan selalu mempengaruhi hukum Indonesia, namun hukum tersebut merupakan hukum yang telah diadopsi menjadi hukum adat.
Sebagai contoh dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dengan kata lain, jika orang tersebut beragama Islam, maka perkawinan harus sesuai dengan Syari’at Islam. Sehingga khusus bagi umat Islam, harus melakukan pernikahan dengan pencatatan oleh KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan pernikahan agama lain, dicatat pada Kantor Catatan Sipil. Begitu juga apabila orang muslim menikah dengan non-muslim, maka hanya bisa dicatat pada Kantor Catatan Sipil, sebab sebagian besar ulama tidak mengakui adanya pernikahan beda agama. Disini terlihat jelas eksistensi hukum Islam.
Adapun contoh lainnya adalah dalam peraturan ketenagakerjaan, harus memberikan waktu kepada karyawan yang muslim untuk menjalankan sholat lima waktu, hal ini terlihat jelas pada hari Jum’at, maka seluruh karyawan akan diberikan waktu istirahat yang lebih lama dari biasanya sebab Islam mengharuskan umatnya sholat Jum’at secara berjama’ah di Masjid. Bahkan sekolah-sekolah pada umumnya akan lebih awal menghentikan proses belajar mengajar pada hari Jum’at. Disini juga terlihat jelas eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia.
Namun ke-eksistensi-an hukum Islam tersebut tidak terlihat pada hukum pidana. Pada tindak pidana zina misalnya, hukum Islam memandang zina adalah kejahatan yang berat, bahkan diancam dengan hukuman mati jika pelakunya adalah orang yang terikat perkawinan. Tentu saja hukuman mati tersebut akan dilaksanakan jika semua bukti dan saksi telah dengan pasti menyatakan bahwa perzinahan telah dilakukan tanpa ada keraguan. Namun dalam hukum Indonesia, yakni KUHP yang mengatur tentang hukum pidana, perzinahan bukanlah suatu kejahatan jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Negara baru akan bertindak jika ada unsur perkosaan, atau laporan dari suami atau isteri yang telah berzina dengan orang lain. Sebab dalam KUHP tidak ada larangan terhadap zina yang dilakukan atas kerelaan pelaku atau suka sama suka. Hal ini menurut penulis memang perlu dibenahi sebab KUHP kita merupakan warisan KUHP Belanda, yang tidak sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Mengenai zina ini, saya rasa bukan hanya agama Islam saja yang akan mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang harus mendapatkan hukuman, agama lainnya pun yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa pasti mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang berbahaya.
Sebagai contoh dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dengan kata lain, jika orang tersebut beragama Islam, maka perkawinan harus sesuai dengan Syari’at Islam. Sehingga khusus bagi umat Islam, harus melakukan pernikahan dengan pencatatan oleh KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan pernikahan agama lain, dicatat pada Kantor Catatan Sipil. Begitu juga apabila orang muslim menikah dengan non-muslim, maka hanya bisa dicatat pada Kantor Catatan Sipil, sebab sebagian besar ulama tidak mengakui adanya pernikahan beda agama. Disini terlihat jelas eksistensi hukum Islam.
Adapun contoh lainnya adalah dalam peraturan ketenagakerjaan, harus memberikan waktu kepada karyawan yang muslim untuk menjalankan sholat lima waktu, hal ini terlihat jelas pada hari Jum’at, maka seluruh karyawan akan diberikan waktu istirahat yang lebih lama dari biasanya sebab Islam mengharuskan umatnya sholat Jum’at secara berjama’ah di Masjid. Bahkan sekolah-sekolah pada umumnya akan lebih awal menghentikan proses belajar mengajar pada hari Jum’at. Disini juga terlihat jelas eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia.
Namun ke-eksistensi-an hukum Islam tersebut tidak terlihat pada hukum pidana. Pada tindak pidana zina misalnya, hukum Islam memandang zina adalah kejahatan yang berat, bahkan diancam dengan hukuman mati jika pelakunya adalah orang yang terikat perkawinan. Tentu saja hukuman mati tersebut akan dilaksanakan jika semua bukti dan saksi telah dengan pasti menyatakan bahwa perzinahan telah dilakukan tanpa ada keraguan. Namun dalam hukum Indonesia, yakni KUHP yang mengatur tentang hukum pidana, perzinahan bukanlah suatu kejahatan jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Negara baru akan bertindak jika ada unsur perkosaan, atau laporan dari suami atau isteri yang telah berzina dengan orang lain. Sebab dalam KUHP tidak ada larangan terhadap zina yang dilakukan atas kerelaan pelaku atau suka sama suka. Hal ini menurut penulis memang perlu dibenahi sebab KUHP kita merupakan warisan KUHP Belanda, yang tidak sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Mengenai zina ini, saya rasa bukan hanya agama Islam saja yang akan mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang harus mendapatkan hukuman, agama lainnya pun yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa pasti mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang berbahaya.
Hukum Islam Tentang Nikah Siri
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
Syariat Islam
Syariat Islam adalah ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
* Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
* Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
Daftar isi
[sembunyikan]
* 1 Sumber Hukum Islam
o 1.1 Al-Qur'an
o 1.2 Ijtihad
* 2 Lihat pula
[sunting] Sumber Hukum Islam
[sunting] Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.
[sunting] Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain
* Ijma', kesepakatan para ulama
* Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
* Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
* 'Urf, kebiasaan
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
* Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
* Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
Daftar isi
[sembunyikan]
* 1 Sumber Hukum Islam
o 1.1 Al-Qur'an
o 1.2 Ijtihad
* 2 Lihat pula
[sunting] Sumber Hukum Islam
[sunting] Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.
[sunting] Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain
* Ijma', kesepakatan para ulama
* Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
* Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
* 'Urf, kebiasaan
HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL INDONESIA
HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL INDONESIA
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawwab.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawwab.
METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM
METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM
* Relevansi
Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa
* Tri Dharma Perguruan Tinggi
1. Pendidikan
Proses belajar mengajar dibangku perkuliahan, perpustakaan dan tempat lain yang erat hubungannya dengan proses belajar
1. Penelitian
Ketidak puasan yang telah diperoleh dari proses belajar karena ketidak sinkronnya antara teori dengan apa yang ada dalam kenyataan, dengan cara melakukan penelitian guna mencari dan menemukan jaaban dari persoalan-persoalan yang muncul.
1. Pengabdian kepada Masyarakat
Dari hasil penelitian kita aplikasikan kedalam masyarakat, diantaranya dengan melakukan penyuluhan hokum, dan sebagainya.
Tugas ILMU dan PENELITIAN
1. Deskripsi (menggambarkan)
Ilmu dan Penelitian mempunyai tugas untuk menggambarkan secra jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipersoalkan.
1. Eksplanasi (menerangkan)
Ilmu dan Penelitian bertugas untuk menerangkan kondisi-kondisi yang mendasasri terjadinya peristiwa atau persoalan
1. Menyusun Teori (mengembangkan)
Ilmu dan Penelitian bertugas membuat atau mencari dan merumuskan hukum-hukum atau tata mengenai hubungan antara kondisi yang satu dengan kondisi yang lain atau peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
1. Estimasi
Ilmu dan Penelitian bertugas membuat ramalan dan proyeksi mengenai peristiwa-peristiwa yang kemungkinan akan terjadi atau akan timbul dimasa yang akan mendatang.
1. Penanggulangan
Ilmu dan Penelitian bertugas untuk melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan peristiwa atau persoalan tertentu.
Menemukan KEBENARAN
1. Pendekatan Non Ilmiah
¶ Akal sehat (logika)
Yaitu suatu tindakan atau serangkai konsep yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan.
¶ Prasangka
Yaitu pencapaian pengetahuan secara akal sehat yang diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukan hal tersebut.
¶ Intuisi (pendekatan a priori)
Yaitu orang yang menentukan pendapatnya mengenai sesuatu berdasarkan atas pengetahuan yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak disadari atau yang tidak dipikirkan terlebih dahulu.
¶ Penemuan coba-coba
Yaitu penemuan yang diperoleh tanpa kepastian akan diperolehnya suatu kondisi tertentu akan dipecahkan suatu masalah.
Pada umunya merupakan serangkaian percobaan tanpa kesadaran pemecahan permasalahan tertentu, pemecahan permasalahan terjadi secara kebetulan setelah terjadi serangkaian usaha.
Penemuan coba-coba ini tidak efisien dan tidak terkontrol.
¶ Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
Otoritas ilmiah yaitu orang-orang yang biasanya telah memperoleh atau menempuh pendidikan formal tertinggi atau yang mempunyai pengalaman kerja ilmiah dalam suatu bidang yang cukup.
1. Pendekatan Ilmuah
¶ Metode Ilmiah
Yaitu metode yang didasari dengan teori-teori tertentu dimana teori tadi berkembang melalui penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris dan tentunya teori tadi dapat diuji kebenarannya secara obyektif.
Hasrat Ingin Tahu (animal rationalitas)
Untuk mencari kebenaran yang universal atau diakui oleh masyarakat secara umum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Koheren
2. Koresponden
3. Pragmatis
Hasrat ingun tahu bias didapat secara :
1. Secara Ilmiah
Dapat diperoleh dengan cara penelitian yang disertai dengan metode-metode tertentu dengan teori-teori yang berkaitan. Dan tentunya teori tadi akan berguna, bermanfaat serta berkembang apabila disusun secara sistematis dan terkontrol.
1. Secara Non ilmiah
Dapat dilakukan dengan cara :
- Akal sehat (logika)
- Prasangka
- Intuisi (pendekatan a priori)
- Penemuan coba-coba
- Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
PENELITIAN HUKUM
NO
METODE
NORMATIF
EMPIRIS atau SOSIOLOGIS
1
Pendekatan Normatif Empiris
2
Kerangka ¶ Peraturan perundang undangan
¶ Pembuktian melalui pasal
¶ Teori-teori Sosiologi Hukum
¶ Pembuktian melalui masyarakat
3
Sumber Data Data Skunder Data Primer
4
Analisis ¶ Logis normatif
¶ Silogisme
¶ Kualitatif
¶ Kuantitatif
Penjelasan Tabel.
* Penelitian Normatif
yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan
* Penelitian Empiris
yaitu penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.
* Pendekatan yaitu awal mula atau langkah-langkah sebelum melakukan penelitian
* Data skunder yaitu data data yang diperoleh dari kepustakaan
* Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dalam kehidupan masyarakat dengan cara wawancara, interview dan sebagainya
* Analisis
- Logis normatif yaitu berdasarkan logika dan peraturan perundang-undangan.
- Silogisme yaitu menarik kesimpulan yang sudah ada.
- Kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
- Kuantitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka.
DATA
Yaitu fakta yang relevan atau aktual yang diperoleh untuk membuktikan atau menguji kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian.
v Data menurut sumbernya :
1. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian
Contoh : - Obsevasi
- Wawancara
- Kuisioner (kuisioner terbuka atau tertutup, face to face)
- Sample, dan sebagainya.
1. Data skunder
Yaitu data yang diperoleh melalui study kepustakaan.
Data skunder dibidang Hukum :
* Bahan hukum primer
Data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
Contoh : - Pancasila
- UUD 1945
- Traktat
- Doktrin
- Yurisprudensi
- Adat dan kebiasan
* Bahan hukum skunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer dan dapat membantu serta menganalisis.
Contoh : - RUU
- Buku-buku para Sarjana
- Hasil penelitian
- Jurnal
- Makalah
- Dan sebagainya
* Bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hokum primer dan skunder.
Contoh : Koran, kliping, majalah, dan sebagainya.
v Data menurut sifatnya
1. Data Kualitatif
Yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan harga
1. Data Kuantitatif
Yaitu data terbentuk secara nomor bilangan yang diperoleh dari hubungan secara langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka.
Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan 30 %.
v Data menurut peranan
1. Data utama
Yaitu data yang langsung berhubungan dengan masalah penelitian.
Contoh : Wawancara
1. Data tambahan
Yaitu data yang merupakan data pelengkap.
Contoh : Observasi.
Macam-macam Penelitian HUKUM NORMATIF
1. Penelitian Inventaris Hukum Positif
Yaitu merupakan kegiatan mengkritisi yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain.
Ada 3 (tiga) kegiatan pokok dalam melakukan penelitian inventrisasi hukum positif tersebut, yaitu :
1. Penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukan sebagai norma hukum positif dan norma yang dianggap norma sosial yang bukan hukum.
2. Mengumpulkan norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum tersebut.
3. Dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah di identifikasikan dan di kumpulkan kedalam suatu sistem yang menyeluruh (kompherensif).
Ada 3 (tiga) konsep pokok dalam melakukan kriteria identifikasi :
- Persepsi Legisme Positifistis
Yaitu bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat yang berwenang.
Berdasarkan konsep tersebut pada kegiatan berikutnya hanya dikumpulkan hukum perundang-undangan atau peraturan-peraturan tertulis saja.
- Konsep mencerminkan hokum dengan kehidupan masyarakat.
Konsep yang menekankan pentingnya norma dan arti hukum meskipun tidak tertulis apabila norma itu secara konkrit dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat maka norma tersebut harus dianggap sebagai hukum.
- Konsepsi bahwa hukum identik dengan putusan hakim (pejabat yang berwenang) dan kepala adat.
1. Penelitian Azas-azas Hukum
Penelitian yang dilakukan untuk menemukan azas-azas hukum atau rechtbeginselen yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis.
Azas hukum berguna untuk memberikan penilaian secara etis terhadap hukum.
Azas Hukum bisa berupa :
¶ Azas Konstitutif yaitu azas yang harus ada dalam kehidupan suatu sistem hukum atau disebut azas hukum umum.
¶ Azas Regulatif yaitu azas yang diperlukan untuk dapat berprosesnya suatu sistem hukum tersebut.
* Cara membuat Azas Hukum :
1. Tentukan pasal-pasal yang akan dijadikan patokan
2. Menyusun sistematika dari pasal-pasal tersebut dengan menghasilkan klasifikasi tertentu.
3. Menganalisis pasal-pasal tersebut dengan mempergunakan asas-asas hukum yang ada.
4. Menyusun suatu konstruksi untuk menemukan asas hukum yang belum ada.
* Cara menyusun Azas Hukum :
- Mencakup semua bahan hokum yang diteliti
- Konsisten atau tidak melenceng atau tidak menympang
- Memenuhi syarat estetis atau tidak bertentangan dengan norma kesusilaan
- Sederhana dalam perumusannya.
1. Penelitian In Concreto (kongkrit)
Penelitian yang dilakukan untuk menemukan dari suatu perkara yang kongkrit.
Peneliian ini juga merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya sesuai diterapkan secara in concreto guna menyelesaikan suatu perkara hukum dan dimanakah bunyi peraturan hukum dapat ditemukan.
Ciri-ciri penelitian ini yaitu ;
- Diterapkan oleh seorang Hakim
- Harus ada inventarisasi hukum terlebih dahulu.
1. Peneltian terhadap Sistematika Hukum.
Penelitian yang dilakukan terhadap sistematika peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Penelitian terhadap Sinkronisasi Vertikal dan Horizontal
Penelitian Sinkronisasi Vertikal : Penelitian terhadap hirarki perundang-undangan
Penelitian Sinkronisasi Horizontal : Penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional untuk mencari sejauh mana perundang-undangan itu konsisten
1. Penelitian Sejarah Hukum
Penelitian yang berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah perundang-undangan …………..
Penelitian ini beracuan pada :
- Landasan Filosofis
- Landasan Yuridis
- Landasan Politis
1. Penelitian Perbandingan Hukum.
Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan dua hal atau lebih subsistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berlaku secara lintas dengan berbagai sistematika beberapa Negara dengan membandingkan kedua subsistem tersebut maka dapat ditemukan unsur-unsur perasaan serta perbedaan kedua sistem tersebut.
Sifat PENELITIAN
1. Eksploratoris (penelitian terhadap data awal)
Penelitian yang dilakukan terhadap suatu gejala atau peristiwa yang belum mempunyai suatu pengetahuan atau sumber data atau bahan.
Ciri : Selalu diawali dengan kata “Inventarisasi ….”
1. Deskriptif (penelitian sebab akibat)
Penelitian yang dimaksudkan untuk memebrikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru.
Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Analisis ….”
- Sudah ada hipotesa
1. Eksplanatoris (mebuktikan)
Penelitian yang dilakukan untuk menguji hipotesa terhadap suatu masalah yang sudah lengkap.
Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Efektifitas ….”
- Sudah ada kesimpulan
Syarat membuat TOPIK
1. Manageble topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus terjangkau dengan mempertimbangkan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan.
1. Obtainable topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus mempertimbangkan bahan kepustakaan dan teknik pengumpulan data.
1. Signifinance topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus diperhatikan secara signifikan maksudnya topic yang diambil cukup penting untuk diambil dan dapat disumbangkan untuk penelitian.
1. Intersted topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus menarik minat peneliti atau pembaca.
Syarat membuat Judul Penelitian
- Harus menggambarkan permasalahan yang diteliti
- Harus mengandung minimum dua variable
- Harus menggambarkan tipe atau sifat penelitian
Bentuk penlitian
* Diagnostic
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai terjadinya suatu peristiwa
* Deskriptif
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan saran-saran apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelasaikan masalah yang terjadi.
* Evaluatif
Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap program-program yang sudah dilakukan.
Tujuan penelitian
* Fact finding
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta saja.
* Problem finding
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah.
* Problem identification
Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah.
Penerapan penelitian
* Penelitian murni
Bertujuan untuk pengembangan ilmu itu sendiri atau bersifat teori maupun untuk perkembangan metode penelitian.
* Penelitian terapan
Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul atau yang ada dalam masyarakat.
Pemikiran
- Deduktif
Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.
- Induktif
Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum.
Sistematika penulisan Tugas Akhir
- Legal Memorandum
Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang belum mempunyai kekuatan hukum yang inkrah.
- Study Kasus
Penelitian yang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai ketetapan hukum.
- Skripsi
Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat..
* Relevansi
Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa
* Tri Dharma Perguruan Tinggi
1. Pendidikan
Proses belajar mengajar dibangku perkuliahan, perpustakaan dan tempat lain yang erat hubungannya dengan proses belajar
1. Penelitian
Ketidak puasan yang telah diperoleh dari proses belajar karena ketidak sinkronnya antara teori dengan apa yang ada dalam kenyataan, dengan cara melakukan penelitian guna mencari dan menemukan jaaban dari persoalan-persoalan yang muncul.
1. Pengabdian kepada Masyarakat
Dari hasil penelitian kita aplikasikan kedalam masyarakat, diantaranya dengan melakukan penyuluhan hokum, dan sebagainya.
Tugas ILMU dan PENELITIAN
1. Deskripsi (menggambarkan)
Ilmu dan Penelitian mempunyai tugas untuk menggambarkan secra jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipersoalkan.
1. Eksplanasi (menerangkan)
Ilmu dan Penelitian bertugas untuk menerangkan kondisi-kondisi yang mendasasri terjadinya peristiwa atau persoalan
1. Menyusun Teori (mengembangkan)
Ilmu dan Penelitian bertugas membuat atau mencari dan merumuskan hukum-hukum atau tata mengenai hubungan antara kondisi yang satu dengan kondisi yang lain atau peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
1. Estimasi
Ilmu dan Penelitian bertugas membuat ramalan dan proyeksi mengenai peristiwa-peristiwa yang kemungkinan akan terjadi atau akan timbul dimasa yang akan mendatang.
1. Penanggulangan
Ilmu dan Penelitian bertugas untuk melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan peristiwa atau persoalan tertentu.
Menemukan KEBENARAN
1. Pendekatan Non Ilmiah
¶ Akal sehat (logika)
Yaitu suatu tindakan atau serangkai konsep yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan.
¶ Prasangka
Yaitu pencapaian pengetahuan secara akal sehat yang diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukan hal tersebut.
¶ Intuisi (pendekatan a priori)
Yaitu orang yang menentukan pendapatnya mengenai sesuatu berdasarkan atas pengetahuan yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak disadari atau yang tidak dipikirkan terlebih dahulu.
¶ Penemuan coba-coba
Yaitu penemuan yang diperoleh tanpa kepastian akan diperolehnya suatu kondisi tertentu akan dipecahkan suatu masalah.
Pada umunya merupakan serangkaian percobaan tanpa kesadaran pemecahan permasalahan tertentu, pemecahan permasalahan terjadi secara kebetulan setelah terjadi serangkaian usaha.
Penemuan coba-coba ini tidak efisien dan tidak terkontrol.
¶ Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
Otoritas ilmiah yaitu orang-orang yang biasanya telah memperoleh atau menempuh pendidikan formal tertinggi atau yang mempunyai pengalaman kerja ilmiah dalam suatu bidang yang cukup.
1. Pendekatan Ilmuah
¶ Metode Ilmiah
Yaitu metode yang didasari dengan teori-teori tertentu dimana teori tadi berkembang melalui penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris dan tentunya teori tadi dapat diuji kebenarannya secara obyektif.
Hasrat Ingin Tahu (animal rationalitas)
Untuk mencari kebenaran yang universal atau diakui oleh masyarakat secara umum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Koheren
2. Koresponden
3. Pragmatis
Hasrat ingun tahu bias didapat secara :
1. Secara Ilmiah
Dapat diperoleh dengan cara penelitian yang disertai dengan metode-metode tertentu dengan teori-teori yang berkaitan. Dan tentunya teori tadi akan berguna, bermanfaat serta berkembang apabila disusun secara sistematis dan terkontrol.
1. Secara Non ilmiah
Dapat dilakukan dengan cara :
- Akal sehat (logika)
- Prasangka
- Intuisi (pendekatan a priori)
- Penemuan coba-coba
- Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
PENELITIAN HUKUM
NO
METODE
NORMATIF
EMPIRIS atau SOSIOLOGIS
1
Pendekatan Normatif Empiris
2
Kerangka ¶ Peraturan perundang undangan
¶ Pembuktian melalui pasal
¶ Teori-teori Sosiologi Hukum
¶ Pembuktian melalui masyarakat
3
Sumber Data Data Skunder Data Primer
4
Analisis ¶ Logis normatif
¶ Silogisme
¶ Kualitatif
¶ Kuantitatif
Penjelasan Tabel.
* Penelitian Normatif
yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan
* Penelitian Empiris
yaitu penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.
* Pendekatan yaitu awal mula atau langkah-langkah sebelum melakukan penelitian
* Data skunder yaitu data data yang diperoleh dari kepustakaan
* Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dalam kehidupan masyarakat dengan cara wawancara, interview dan sebagainya
* Analisis
- Logis normatif yaitu berdasarkan logika dan peraturan perundang-undangan.
- Silogisme yaitu menarik kesimpulan yang sudah ada.
- Kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
- Kuantitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka.
DATA
Yaitu fakta yang relevan atau aktual yang diperoleh untuk membuktikan atau menguji kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian.
v Data menurut sumbernya :
1. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian
Contoh : - Obsevasi
- Wawancara
- Kuisioner (kuisioner terbuka atau tertutup, face to face)
- Sample, dan sebagainya.
1. Data skunder
Yaitu data yang diperoleh melalui study kepustakaan.
Data skunder dibidang Hukum :
* Bahan hukum primer
Data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
Contoh : - Pancasila
- UUD 1945
- Traktat
- Doktrin
- Yurisprudensi
- Adat dan kebiasan
* Bahan hukum skunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer dan dapat membantu serta menganalisis.
Contoh : - RUU
- Buku-buku para Sarjana
- Hasil penelitian
- Jurnal
- Makalah
- Dan sebagainya
* Bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hokum primer dan skunder.
Contoh : Koran, kliping, majalah, dan sebagainya.
v Data menurut sifatnya
1. Data Kualitatif
Yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan harga
1. Data Kuantitatif
Yaitu data terbentuk secara nomor bilangan yang diperoleh dari hubungan secara langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka.
Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan 30 %.
v Data menurut peranan
1. Data utama
Yaitu data yang langsung berhubungan dengan masalah penelitian.
Contoh : Wawancara
1. Data tambahan
Yaitu data yang merupakan data pelengkap.
Contoh : Observasi.
Macam-macam Penelitian HUKUM NORMATIF
1. Penelitian Inventaris Hukum Positif
Yaitu merupakan kegiatan mengkritisi yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain.
Ada 3 (tiga) kegiatan pokok dalam melakukan penelitian inventrisasi hukum positif tersebut, yaitu :
1. Penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukan sebagai norma hukum positif dan norma yang dianggap norma sosial yang bukan hukum.
2. Mengumpulkan norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum tersebut.
3. Dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah di identifikasikan dan di kumpulkan kedalam suatu sistem yang menyeluruh (kompherensif).
Ada 3 (tiga) konsep pokok dalam melakukan kriteria identifikasi :
- Persepsi Legisme Positifistis
Yaitu bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat yang berwenang.
Berdasarkan konsep tersebut pada kegiatan berikutnya hanya dikumpulkan hukum perundang-undangan atau peraturan-peraturan tertulis saja.
- Konsep mencerminkan hokum dengan kehidupan masyarakat.
Konsep yang menekankan pentingnya norma dan arti hukum meskipun tidak tertulis apabila norma itu secara konkrit dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat maka norma tersebut harus dianggap sebagai hukum.
- Konsepsi bahwa hukum identik dengan putusan hakim (pejabat yang berwenang) dan kepala adat.
1. Penelitian Azas-azas Hukum
Penelitian yang dilakukan untuk menemukan azas-azas hukum atau rechtbeginselen yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis.
Azas hukum berguna untuk memberikan penilaian secara etis terhadap hukum.
Azas Hukum bisa berupa :
¶ Azas Konstitutif yaitu azas yang harus ada dalam kehidupan suatu sistem hukum atau disebut azas hukum umum.
¶ Azas Regulatif yaitu azas yang diperlukan untuk dapat berprosesnya suatu sistem hukum tersebut.
* Cara membuat Azas Hukum :
1. Tentukan pasal-pasal yang akan dijadikan patokan
2. Menyusun sistematika dari pasal-pasal tersebut dengan menghasilkan klasifikasi tertentu.
3. Menganalisis pasal-pasal tersebut dengan mempergunakan asas-asas hukum yang ada.
4. Menyusun suatu konstruksi untuk menemukan asas hukum yang belum ada.
* Cara menyusun Azas Hukum :
- Mencakup semua bahan hokum yang diteliti
- Konsisten atau tidak melenceng atau tidak menympang
- Memenuhi syarat estetis atau tidak bertentangan dengan norma kesusilaan
- Sederhana dalam perumusannya.
1. Penelitian In Concreto (kongkrit)
Penelitian yang dilakukan untuk menemukan dari suatu perkara yang kongkrit.
Peneliian ini juga merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya sesuai diterapkan secara in concreto guna menyelesaikan suatu perkara hukum dan dimanakah bunyi peraturan hukum dapat ditemukan.
Ciri-ciri penelitian ini yaitu ;
- Diterapkan oleh seorang Hakim
- Harus ada inventarisasi hukum terlebih dahulu.
1. Peneltian terhadap Sistematika Hukum.
Penelitian yang dilakukan terhadap sistematika peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Penelitian terhadap Sinkronisasi Vertikal dan Horizontal
Penelitian Sinkronisasi Vertikal : Penelitian terhadap hirarki perundang-undangan
Penelitian Sinkronisasi Horizontal : Penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional untuk mencari sejauh mana perundang-undangan itu konsisten
1. Penelitian Sejarah Hukum
Penelitian yang berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah perundang-undangan …………..
Penelitian ini beracuan pada :
- Landasan Filosofis
- Landasan Yuridis
- Landasan Politis
1. Penelitian Perbandingan Hukum.
Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan dua hal atau lebih subsistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berlaku secara lintas dengan berbagai sistematika beberapa Negara dengan membandingkan kedua subsistem tersebut maka dapat ditemukan unsur-unsur perasaan serta perbedaan kedua sistem tersebut.
Sifat PENELITIAN
1. Eksploratoris (penelitian terhadap data awal)
Penelitian yang dilakukan terhadap suatu gejala atau peristiwa yang belum mempunyai suatu pengetahuan atau sumber data atau bahan.
Ciri : Selalu diawali dengan kata “Inventarisasi ….”
1. Deskriptif (penelitian sebab akibat)
Penelitian yang dimaksudkan untuk memebrikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru.
Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Analisis ….”
- Sudah ada hipotesa
1. Eksplanatoris (mebuktikan)
Penelitian yang dilakukan untuk menguji hipotesa terhadap suatu masalah yang sudah lengkap.
Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Efektifitas ….”
- Sudah ada kesimpulan
Syarat membuat TOPIK
1. Manageble topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus terjangkau dengan mempertimbangkan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan.
1. Obtainable topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus mempertimbangkan bahan kepustakaan dan teknik pengumpulan data.
1. Signifinance topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus diperhatikan secara signifikan maksudnya topic yang diambil cukup penting untuk diambil dan dapat disumbangkan untuk penelitian.
1. Intersted topic
Topic yang dipilih oleh peneliti harus menarik minat peneliti atau pembaca.
Syarat membuat Judul Penelitian
- Harus menggambarkan permasalahan yang diteliti
- Harus mengandung minimum dua variable
- Harus menggambarkan tipe atau sifat penelitian
Bentuk penlitian
* Diagnostic
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai terjadinya suatu peristiwa
* Deskriptif
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan saran-saran apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelasaikan masalah yang terjadi.
* Evaluatif
Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap program-program yang sudah dilakukan.
Tujuan penelitian
* Fact finding
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta saja.
* Problem finding
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah.
* Problem identification
Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah.
Penerapan penelitian
* Penelitian murni
Bertujuan untuk pengembangan ilmu itu sendiri atau bersifat teori maupun untuk perkembangan metode penelitian.
* Penelitian terapan
Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul atau yang ada dalam masyarakat.
Pemikiran
- Deduktif
Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.
- Induktif
Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum.
Sistematika penulisan Tugas Akhir
- Legal Memorandum
Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang belum mempunyai kekuatan hukum yang inkrah.
- Study Kasus
Penelitian yang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai ketetapan hukum.
- Skripsi
Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat..
Langganan:
Postingan (Atom)