Hukum penyelenggaraan kepariwisataan memerlukan perubahan dan pemberdayaan. Kondisi hukum saat ini tidak efektif dan potensial, sehingga mengganggu kinerja maupun pelayanan publik dari pelaku kepariwisataan, khususnya sektor birokrat dan industri. Dampaknya berimbas pada penurunan animo wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.
Hal itu dipaparkan Drs. Happy Marpaung, S.H. (56) dalam disertasi berjudul "Hukum Kepariwisataan Dalam Paradigma Otonomi Daerah pada Era Globalisasi" pada Sidang Terbuka Pertanggungjawaban Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Minggu (16/3) dengan promotor Prof.Dr.Lili Rasjidi,S.H., S.Sos., L.L.M. dan Dr. Asep Warlan Yusup,S.H.,M.H.
Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan konsep hukum kepariwisataan modern dan dengan landasan teori hukum pembangunan pariwisata. "Juga disertai asas-asas hukum pariwisata modern yang mampu menghadapi kendala dan paradigma lain yang muncul," tuturnya.
Dilakukannya analisis ilmiah terhadap hukum pariwisata, kata Happy, karena pihaknya melihat kasus yang terjadi dalam peristiwa hukum kepariwisataan selama ini memerlukan kebijakan kepariwisataan yang mampu memberikan perlindungan. "Kemudian, kepastian hukum serta manfaat terhadap para pelaku kepariwisataan. Pengaturan dan penegakan hukum kepariwisataan terbit dari dalam kesadaran hukum masyarakat, dan secara akademis dapat pula dikaji serta dikembangkan sebagai muatan kurikulum pada perguruan tinggi."
Hal ini sejalan ketika pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan pembangunan kepariwisataan dan merumuskan kebijakan kepariwisataan yang sesuai dengan dinamika sosial kemasyarakatan. "Pariwisata dikembangkan oleh pemerintah sebagai suatu program unggulan dalam pilihan ekonomi realistik untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, segala faktor produksi, usaha kepariwisataan serta pemasaran, diupayakan pemberdayaannya agar mampu mencapai tujuan kepariwisataan itu sendiri," ujar pengajar di NHI dan UPI ini.
Lebih lanjut dikatakan, pemberdayaan ini tidak hanya terjadi dalam faktor ekonomi serta sosial politik. "Namun secara lintas sektoral juga menyangkut faktor hukum sebagaimana karakter yang dikandung oleh produk kepariwisataan yang bersifat multisektoral. Maka, pemberdayaan hukum yang mengatur penyelenggaran kepariwisataan, turut pula diupayakan agar tujuan penyelenggaraan kepariwisataan dilakukan secara tertib dan terencana," ujar Happy Marpaung menambahkan.
Entri Populer
-
1 ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN PTUN BANDUNG PERKARA NO. 92/G/2001/PTUN BANDUNG TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN Sarinah, Agus kusnadi,...
-
A. Latar Belakang Keluarga Keluarga merupakan permulaan daripada kehidupan baru. Seorang anak dilahirkan. Belum ada yang mampu meramalkan na...
-
KETIDAKABSAHAN KEWENANGAN APARAT TERHADAP PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara tel...
-
Meningkatkan kesadaran Hukum Hukum harus dikembalikan pada keberadaan yang sebenarnya. Harus dikembalikan dari tidak hanya produk ideologi y...
-
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sis...
-
Tugas Perancangan kontrak Nama : Andi Gisellawaty Nim : B 111 06 217 Surat Perjanjian Kerja Sama Pada hari ini , Selasa tanggal 21 bulan Agu...
-
Page 1 PERKEMBANGAN PRAKTEK PENGADILAN MENGENAIKEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI OBJEKGUGATAN Oleh: Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH (K...
-
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.propatria.or.id/loaddown/Naskah%20Akademik/Naskah%20Akademik%20Perubahan%20UU%20No.%203...
-
PERBEDAAN ANTARA MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DENGAN KONTRAK MEMORANDUM OF UNDERSTANDING KONTRAK 1. Pengertian ❖ Nota kesepahaman yang ...
-
METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM * Relevansi Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa * Tri Dharma Perguru...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar