Entri Populer

Minggu, 19 Februari 2012

Cyber Crime

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.4law.co.il/indo1.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.
Page 1
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006

PERKEMBANGAN CYBERCRIME DAN UPAYA PENANGANANNYA
DI INDONESIA OLEH POLRI*)

Oleh : Kombes (Pol) Drs. Petrus Reinhard Golose, M.M1

PENDAHULUAN

Kebutuhan dan penggunaan akan
teknologi
informasi
yang
diaplikasikan dengan Internet dalam
segala bidang seperti e-banking, e-
commerce,
e-government,
e-
education dan banyak lagi telah
menjadi sesuatu yang lumrah.
Bahkan
apabila
masyarakat
terutama yang hidup di kota besar
tidak bersentuhan dengan persoalan
teknologi
informasi
dapat
dipandang
terbelakang
atau
”GAPTEK”.
Internet telah menciptakan dunia
baru yang dinamakan cyberspace2
yaitu sebuah dunia komunikasi
berbasis
komputer
yang
menawarkan realitas yang baru
berbentuk virtual (tidak langsung
dan tidak nyata). Walaupun
*) Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Mengenai “Penanganan Cybercrime di Indonesia ke
arah Pengembangan Kebijakan yang Menyeluruh
dan Terpadu”, diselenggarakan di Menara
Sjafruddin Prawiranegara Kompleks Perkantoran
Bank Indonesia Jakarta, 10 Agustus 2006.
1 Kepala Unit V IT/Cybercrime, Direktorat II Ekonomi
Khusus Bareskrim Polri.
2 Agus Rahardjo, Cybercrime pemahaman dan upaya
pencegahan kejahatan berteknologi, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti , 2002)
dilakukan secara virtual, kita dapat
merasa seolah-olah ada di tempat
tersebut dan melakukan hal-hal
yang dilakukan secara nyata,
misalnya bertransaksi, berdiskusi dan
banyak lagi, seperti yang dikatakan
oleh Gibson3
yang memunculkan
istilah tersebut pertama kali dalam
novelnya:
“A Consensual hallucination
experienced daily billions of
legitimate operators, in every
nation…A
graphic
representation of data abstracted
from the banks of every
computer in the human system.
Unthinkable complexity. Lines of
light ranged in the non-space of
the
mind,
clusters
and
constellations of data. Like city
lights, receeding”.
Perkembangan
Internet
yang
semakin hari semakin meningkat
baik teknologi dan penggunaannya,
membawa banyak dampak baik
positif maupun negatif. Tentunya
untuk yang bersifat positif kita
semua harus mensyukurinya karena
banyak manfaat dan kemudahan
yang didapat dari teknologi ini,
3
William Gibson , Neuromancer (New York : Ace ,
1984)
Page 2
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 30
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
misalnya kita dapat melakukan
transaksi perbankan kapan saja
dengan e-banking, e-commerce juga
membuat kita mudah melakukan
pembelian maupun penjualan suatu
barang tanpa mengenal tempat.
Mencari referensi atau informasi
mengenai ilmu pengetahuan juga
bukan hal yang sulit dengan adanya
e-library
dan
banyak
lagi
kemudahan
yang
didapatkan
dengan perkembangan Internet.
Tentunya, tidak dapat dipungkiri
bahwa teknologi Internet membawa
dampak negatif yang tidak kalah
banyak dengan manfaat yang ada.
Internet membuat kejahatan yang
semula bersifat konvensional seperti
pengancaman, pencurian dan
penipuan kini dapat dilakukan
dengan
menggunakan
media
komputer secara online dengan
risiko tertangkap yang sangat kecil
oleh individu maupun kelompok
dengan akibat kerugian yang lebih
besar baik untuk masyarakat
maupun
negara
disamping
menimbulkan kejahatan-kejahatan
baru.
Banyaknya dampak negatif yang
timbul dan berkembang, membuat
suatu paradigma bahwa tidak ada
komputer yang aman kecuali
dipendam dalam tanah sedalam 100
meter dan tidak memiliki hubungan
apapun juga4. David Logic5
4 Sto , Seni Internet Hacking
berpendapat tentang Internet yang
diibaratkan
kehidupan
jaman
cowboy tanpa kepastian hukum di
Amerika, yaitu:
”The Internet is a new frontier.
Just like the Wild, Wild West, the
Internet frontier is wide open to
both
exploitation
and
exploration. There are no sheriffs
on
the
Information
Superhighway. No one is there
to protect you or to lock-up
virtual desperados and bandits.
This lack of supervision and
enforcement leaves users to
watch out for themselves and for
each other. A loose standard
called
"netiquette"
has
developed but it is still very
different from the standards
found
in
"real
life".
Unfortunately,
cyberspace
remains wide open to faceless,
nameless con artists that can
carry out all sorts of mischief “
Seperti seorang hacker6
dapat
masuk ke dalam suatu sistem
jaringan perbankan untuk mencuri
informasi nasabah yang terdapat di
dalam server mengenai data base
rekening bank tersebut, karena
dengan adanya e-banking jaringan
tersebut dapat dikatakan terbuka
serta dapat diakses oleh siapa saja.
Kalaupun pencurian data yang
dilakukan sering tidak dapat
dibuktikan secara kasat mata karena
tidak ada data yang hilang tetapi
5 David Logic , Cybercrime (California : 2004)
6
Hacker adalah seseorang yang dapat memasuki
sistem jaringan komputer orang lain tanpa ijin
Page 3
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 31
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
dapat diketahui telah diakses secara
illegal dari sistem yang dijalankan.
Tidak kurang menghebohkannya
adalah beredarnya gambar-gambar
porno
hubungan
seksual/
pornografi, misalnya antara seorang
bintang sinetron Sukma Ayu dan
Bjah, penyanyi yang sedang naik
daun. Gambar-gambar tersebut
beredar secara luas di Internet baik
melalui e-mail
maupun dalam
tampilan website
yang dapat
disaksikan oleh siapa saja secara
bebas7.
Pengungkapan kejahatan ini masih
sangat kecil sekali, dikarenakan
banyak kendala dan hambatan yang
dihadapi
dalam
upaya
pengungkapannya. Saat ini, bagi
mereka yang senang akan perjudian
dapat juga melakukannya dari
rumah atau kantor hanya dengan
mengakses
situs
www.indobetonline.com
atau
www.tebaknomor.com dan banyak
lagi situs sejenis yang menyediakan
fasilitas tersebut dan memanfaatkan
fasilitas Internet banking untuk
pembayarannya.
E-commerce tidak sedikit membuka
peluang bagi terjadinya tindak
pidana penipuan, seperti yang
dilakukan oleh sekelompok pemuda
di Medan yang memasang iklan di
salah satu website terkenal “Yahoo”
dengan seolah - olah menjual mobil
7 Gatra , 20 Februari 2004
mewah Ferrary dan Lamborghini
dengan harga murah sehingga
menarik minat seorang pembeli dari
Kuwait8. Perbuatan tersebut dapat
dilakukan tanpa adanya hubungan
terlebih dahulu antara penjual dan
pembeli, padahal biasanya untuk
kasus penipuan terdapat hubungan
antara korban atau tersangka.
Dunia perbankan melalui Internet (e-
banking) Indonesia, dikejutkan oleh
ulah seseorang bernama Steven
Haryanto9, seorang hacker dan
jurnalis pada majalah Master Web.
Lelaki asal Bandung ini dengan
sengaja membuat situs asli tapi
palsu layanan Internet banking Bank
Central Asia, (BCA). Steven membeli
domain-domain dengan nama mirip
www.klikbca.com (situs asli Internet
banking BCA), yaitu domain
wwwklik-bca.com,
kilkbca.com,
clikbca.com, klickca.com.
dan
klikbac.com. Isi situs-situs plesetan
inipun nyaris sama, kecuali tidak
adanya security untuk bertransaksi
dan adanya formulir akses (login
form) palsu.
Jika nasabah BCA salah mengetik
situs BCA asli maka nasabah
tersebut masuk perangkap situs
plesetan yang dibuat oleh Steven
sehingga identitas pengguna (user
id) dan nomor identitas personal
8 Waspada , 21 Februari 2005 dengan judul “Penipuan
melalui Internet”
9 CyberTECH , 6 November 2002 dengan judul “Steven
Haryanto”
Page 4
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 32
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
(PIN)
dapat
di
ketahuinya.
Diperkirakan, 130 nasabah BCA
tercuri datanya. Menurut pengakuan
Steven pada situs bagi para
webmaster
di
Indonesia,
www.webmaster.or.id,
tujuan
membuat situs plesetan adalah agar
publik menjadi lebih berhati - hati
dan tidak ceroboh saat melakukan
pengetikan alamat situs (typo site),
bukan
untuk
mengeruk
keuntungan.
Menurut perusahaan Security Clear
Commerce di Texas USA, saat ini
Indonesia menduduki peringkat ke 2
setelah Ukraina dalam hal kejahatan
Carding10
dengan memanfaatkan
teknologi informasi (Internet) yaitu
menggunakan nomor kartu kredit
orang lain untuk melakukan
pemesanan barang secara online.
Komunikasi awalnya dibangun
melalui e-mail untuk menanyakan
kondisi barang dan melakukan
transaksi.
Setelah
terjadi
kesepakatan, pelaku memberikan
nomor kartu kreditnya dan penjual
mengirimkan barangnya, cara ini
relatif aman bagi pelaku karena
penjual biasanya membutuhkan 3 –
5 hari untuk melakukan kliring atau
pencairan dana sehingga pada saat
penjual mengetahui bahwa nomor
kartu kredit tersebut bukan milik
pelaku barang sudah terlanjur
terkirim.
10 Gatra , 13 September 2003
Selain carding, masih banyak lagi
kejahatan yang memanfaatkan
Internet. Tentunya masih hangat
dalam pikiran kita saat seorang
hacker bernama Dani Hermansyah,
pada tanggal 17 April 2004
melakukan
deface11
dengan
mengubah nama - nama partai yang
ada dengan nama- nama buah
dalam website www.kpu.go.id, yang
mengakibatkan
berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap
Pemilu yang sedang berlangsung
pada saat itu.
Dikhawatirkan, selain nama – nama
partai yang diubah bukan tidak
mungkin angka-angka jumlah
pemilih yang masuk di sana menjadi
tidak aman dan dapat diubah,
padahal dana yang dikeluarkan
untuk sistem teknologi informasi
yang digunakan oleh KPU sangat
besar sekali. Untung sekali bahwa
apa yang dilakukan oleh Dani
tersebut tidak dilakukan dengan
motif politik, melainkan hanya
sekedar menguji suatu sistem
keamanan yang biasa dilakukan oleh
kalangan underground12 (istilah bagi
dunia Hacker). Terbukti setelah
melakukan hal tersebut, Dani
memberitahukan apa yang telah
dilakukannya kepada hacker lain
11
Deface adalah perubahan pada tampilan ataupun
penambahan materi pada suatu website yang
dilakukan oleh hacker.
12 Underground adalah istilah yang sering digunakan
oleh hacker untuk komunitasnya.
Page 5
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
melalui chat room IRC khusus
Hacker
sehingga
akhirnya
tertangkap oleh penyidik dari Polda
Metro Jaya yang telah melakukan
monitoring di chat room tersebut13.
Deface disini berarti mengubah atau
mengganti tampilan suatu website.
Pada
umumnya,
deface
menggunakan teknik Structured
Query Language (SQL) Injection.
Teknik ini dianggap sebagai teknik
tantangan utama bagi seorang
hacker untuk menembus jaringan
karena setiap jaringan mempunyai
sistem keamanan yang berbeda-
beda serta menunjukkan sejauh
mana
kemampuan
operator
jaringan, sehingga apabila seorang
hacker dapat masuk ke dalam
jaringan tersebut dapat dikatakan
kemampuan hacker lebih tinggi dari
operator jaringan yang dimasuki.
Kelemahan admin
dari suatu
website
juga
terjadi
pada
penyerangan terhadap
website
www.golkar.or.id
milik
Partai
Golkar. Serangan terjadi hingga
1577 kali melalui jalan yang sama
tanpa adanya upaya menutup celah
tersebut disamping kemampuan
Hacker yang lebih tinggi, dalam hal
ini teknik yang digunakan oleh
Hacker adalah PHP Injection dan
mengganti tampilan muka website
dengan gambar wanita sexy serta
gorilla putih sedang tersenyum.
13 Suara Merdeka , 27 April 2004 dengan judul “Polisi
tangkap Hacker KPU”
Teknik
lain
adalah
yang
memanfaatkan
celah
sistem
keamanan server alias hole Cross
Server Scripting (XXS) yang ada pada
suatu situs. XXS adalah kelemahan
aplikasi
di
server
yang
memungkinkan user atau pengguna
menyisipkan baris-baris perintah
lainnya. Biasanya perintah yang
disisipkan adalah Javascript sebagai
jebakan, sehingga pembuat hole
bisa mendapatkan informasi data
pengunjung lain yang berinteraksi di
situs tersebut. Makin terkenal
sebuah website yang mereka
deface,
makin
tinggi
rasa
kebanggaan yang didapat. Teknik ini
pulalah yang menjadi andalan saat
terjadi cyberwar antara hacker
Indonesia dan hacker Malaysia,
yakni perang di dunia maya yang
identik dengan perusakan website
pihak lawan14.
Menurut Deris Setiawan15, terjadinya
serangan ataupun penyusupan ke
suatu jaringan komputer biasanya
disebabkan karena administrator
(orang yang mengurus jaringan)
seringkali terlambat melakukan
patching security (instalasi program
perbaikan yang berkaitan dengan
keamanan suatu sistem). Hal ini
mungkin saja disebabkan karena
14 Sinar Harapan , 10 April 2005 dengan judul “Cyber
War Indonesia – Malaysia agar dihentikan”
15
Deris Setiawan, Sistem Keamanan Komputer,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005)
Page 6
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
banyaknya komputer atau server
yang harus ditanganinya.
Dengan demikian maka terlihat
bahwa kejahatan ini tidak mengenal
batas wilayah (borderless) serta
waktu kejadian karena korban dan
pelaku sering berada di negara yang
berbeda. Semua aksi itu dapat
dilakukan hanya dari depan
komputer yang memiliki akses
Internet tanpa takut diketahui oleh
orang lain/ saksi mata, sehingga
kejahatan ini termasuk dalam
Transnational Crime/ kejahatan antar
negara
yang pengungkapannya
sering melibatkan penegak hukum
lebih dari satu negara.
Mencermati hal tersebut dapatlah
disepakati bahwa kejahatan IT/
Cybercrime
memiliki karakter
yang berbeda dengan tindak
pidana umum baik dari segi
pelaku, korban, modus operandi
dan tempat kejadian perkara
sehingga butuh penanganan dan
pengaturan khusus di luar KUHP.
Perkembangan teknologi informasi
yang demikian pesatnya haruslah di
antisipasi dengan hukum yang
mengaturnya dimana kepolisian
merupakan lembaga aparat penegak
hukum yang memegang peranan
penting didalam penegakan hukum,
sebab tanpa adanya hukum yang
mengatur dan lembaga yang
menegakkan
maka
dapat
menimbulkan kekacauan didalam
perkembangannya. Dampak negatif
tersebut
menimbulkan
suatu
kejahatan yang dikenal dengan
nama
“CYBERCRIME”
yang
tentunya harus diantisipasi dan
ditanggulangi. Dalam hal ini Polri
sebagai aparat penegak hukum
telah menyiapkan unit khusus untuk
menangani kejahatan cyber ini yaitu
UNIT V IT/CYBERCRIME Direktorat
II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.
PENGERTIAN CYBERCRIME
Dalam
beberapa
literatur,
cybercrime
sering diidentikkan
sebagai computer crime. The U.S.
Department
of
Justice
memberikan pengertian computer
crime sebagai:"…any illegal act
requiring knowledge of Computer
technology for its perpetration,
investigation, or prosecution".
Pengertian lainnya diberikan oleh
Organization
of
European
Community Development, yaitu:
"any
illegal,
unethical
or
unauthorized behavior relating to
the automatic processing and/or the
transmission of data".
Andi Hamzah dalam bukunya
“Aspek-aspek Pidana di Bidang
Komputer” (1989) mengartikan
cybercrime sebagai kejahatan di
bidang komputer secara umum
dapat diartikan sebagai penggunaan
komputer secara ilegal. Sedangkan
Page 7
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
menurut
Eoghan
Casey16
“Cybercrime is used throughout this
text to refer to any crime that
involves computer and networks,
including crimes that do not rely
heavily
on
computer“.
Ia
mengkategorikan cybercrime dalam
4 kategori yaitu:
1. A computer can be the object
of Crime.
2. A computer can be a subject of
crime.
3. The computer can be used as
the tool for conducting or
planning a crime.
4. The symbol of the computer
itself can be used to intimidate
or deceive.
Polri dalam hal ini unit cybercrime
menggunakan
parameter
berdasarkan dokumen kongres PBB
tentang The Prevention of Crime
and The Treatment of Offlenderes
di Havana, Cuba pada tahun 1999
dan di Wina, Austria tahun 2000,
menyebutkan ada 2 istilah yang
dikenal :
a. Cyber crime in a narrow sense
(dalam arti sempit) disebut
computer crime: any illegal
behaviour directed by means of
electronic operation that target
the security of computer system
16
Eoghan Casey , Digital Evidence and Komputer
Crime, (London : A Harcourt Science and Technology
Company, 2001) page 16
and
the data processed by
them.
b. Cyber crime in a broader sense
(dalam arti luas) disebut
computer related crime: any
illegal behaviour committed by
means on relation
to,
a
computer system offering or
system or network, including
such crime as illegal possession
in, offering
or distributing
information by means of
computer system or network.
Dari beberapa pengertian di atas,
cybercrime
dirumuskan sebagai
perbuatan melawan hukum yang
dilakukan dengan memakai jaringan
komputer sebagai sarana/ alat atau
komputer sebagai objek, baik untuk
memperoleh keuntungan ataupun
tidak, dengan merugikan pihak lain.
MODUS OPERANDI
Kejahatan yang berhubungan erat
dengan penggunaan teknologi yang
berbasis komputer dan jaringan
telekomunikasi ini dikelompokkan
dalam beberapa bentuk sesuai
modus operandi yang ada17, antara
lain:
a. Unauthorized
Access
to
Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan
memasuki/menyusup ke dalam suatu
17
Hinca IP Panjaitan dkk, Membangun Cyber Law
Indonesia yang demokratis (Jakarta : IMLPC, 2005)
Page 8
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
sistem jaringan komputer secara
tidak sah, tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari pemilik sistem
jaringan
komputer
yang
dimasukinya.
Biasanya
pelaku
kejahatan (hacker) melakukannya
dengan maksud sabotase ataupun
pencurian informasi penting dan
rahasia. Namun begitu, ada juga
yang melakukannya hanya karena
merasa tertantang untuk mencoba
keahliannya menembus suatu sistem
yang memiliki tingkat proteksi
tinggi. Kejahatan ini semakin marak
dengan berkembangnya teknologi
Internet/intranet.
Kita tentu belum lupa ketika
masalah Timor Timur sedang
hangat-hangatnya dibicarakan di
tingkat internasional, beberapa
website milik pemerintah RI dirusak
oleh hacker (Kompas, 11/08/1999).
Beberapa waktu lalu, hacker juga
telah berhasil menembus masuk ke
dalam data base berisi data para
pengguna jasa America Online
(AOL), sebuah perusahaan Amerika
Serikat yang bergerak dibidang e-
commerce yang memiliki tingkat
kerahasiaan tinggi (Indonesian
Observer, 26/06/2000). Situs Federal
Bureau of Investigation (FBI) juga
tidak luput dari serangan para
hacker, yang mengakibatkan tidak
berfungsinya situs ini beberapa
waktu
lamanya
(http://www.fbi.org)/.
b. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan
memasukkan data atau informasi ke
Internet tentang sesuatu hal yang
tidak benar, tidak etis, dan dapat
dianggap melanggar hukum atau
mengganggu ketertiban umum.
Sebagai contohnya, pemuatan suatu
berita bohong atau fitnah yang akan
menghancurkan martabat atau
harga diri pihak lain, hal-hal yang
berhubungan dengan pornografi
atau pemuatan suatu informasi yang
merupakan rahasia negara, agitasi
dan propaganda untuk melawan
pemerintahan yang sah dan
sebagainya.
c. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan
memalsukan data pada dokumen-
dokumen penting yang tersimpan
sebagai scripless document melalui
Internet. Kejahatan ini biasanya
ditujukan pada dokumen-dokumen
e-commerce
dengan membuat
seolah-olah terjadi "salah ketik"
yang
pada
akhirnya
akan
menguntungkan pelaku karena
korban akan memasukkan data
pribadi dan nomor kartu kredit yang
dapat saja disalah gunakan.
d. Cyber Espionage
Merupakan
kejahatan
yang
memanfaatkan jaringan Internet
Page 9
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
untuk melakukan kegiatan mata-
mata terhadap pihak lain, dengan
memasuki sistem jaringan komputer
(computer network system) pihak
sasaran. Kejahatan ini biasanya
ditujukan terhadap saingan bisnis
yang dokumen ataupun data
pentingnya (data base) tersimpan
dalam
suatu
sistem
yang
computerized (tersambung dalam
jaringan komputer)
e. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan
atau penghancuran terhadap suatu
data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung
dengan Internet. Biasanya kejahatan
ini dilakukan dengan menyusupkan
suatu logic bomb, virus komputer
ataupun suatu program tertentu,
sehingga data, program komputer
atau sistem jaringan komputer tidak
dapat digunakan, tidak berjalan
sebagaimana mestinya, atau berjalan
sebagaimana yang dikehendaki oleh
pelaku.
f. Offense against Intellectual
Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak
atas kekayaan intelektual yang
dimiliki pihak lain di Internet.
Sebagai contoh, peniruan tampilan
pada web page suatu situs milik
orang lain secara ilegal, penyiaran
suatu informasi di Internet yang
ternyata merupakan rahasia dagang
orang lain, dan sebagainya.
g. Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan
terhadap
keterangan
pribadi
seseorang yang tersimpan pada
formulir data pribadi yang tersimpan
secara computerized, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka
dapat merugikan korban secara
materil maupun immateril, seperti
nomor kartu kredit, nomor PIN ATM,
cacat atau penyakit tersembunyi dan
sebagainya.
UNDANG – UNDANG YANG
DIKENAKAN
Menjawab tuntutan dan tantangan
komunikasi global lewat Internet,
Undang-Undang yang diharapkan
(ius
konstituendum)
adalah
perangkat hukum yang akomodatif
terhadap perkembangan serta
antisipatif terhadap permasalahan,
termasuk
dampak
negatif
penyalahgunaan Internet dengan
berbagai motivasi yang dapat
menimbulkan korban-korban seperti
kerugian materi dan non materi.
Saat ini, Indonesia belum memiliki
Undang - Undang khusus/ cyber law
yang
mengatur
mengenai
cybercrime walaupun rancangan
Page 10
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
undang undang tersebut sudah ada
sejak tahun 2000 dan revisi terakhir
dari rancangan undang-undang
tindak pidana di bidang teknologi
informasi sejak tahun 2004 sudah
dikirimkan ke Sekretariat Negara RI
oleh Departemen Komunikasi dan
Informasi serta dikirimkan ke DPR
namun dikembalikan kembali ke
Departemen
Komunikasi
dan
Informasi untuk diperbaiki. Tetapi,
terdapat beberapa hukum positif
lain yang berlaku umum dan dapat
dikenakan bagi para pelaku
cybercrime terutama untuk kasus-
kasus yang menggunakan komputer
sebagai sarana, antara lain:
a. Kitab Undang Undang Hukum
Pidana
Dalam upaya menangani kasus-
kasus yang terjadi para penyidik
melakukan
analogi
atau
perumpamaan dan persamaaan
terhadap pasal-pasal yang ada
dalam KUHP. Pasal-pasal didalam
KUHP biasanya digunakan lebih dari
satu Pasal karena melibatkan
beberapa perbuatan sekaligus pasal
- pasal yang dapat dikenakan dalam
KUHP pada cybercrime antara lain :
1) Pasal 362 KUHP yang dikenakan
untuk kasus carding dimana
pelaku mencuri nomor kartu
kredit milik orang lain walaupun
tidak secara fisik karena hanya
nomor kartunya saja yang
diambil dengan menggunakan
software card generator
di
Internet
untuk
melakukan
transaksi di e-commerce. Setelah
dilakukan transaksi dan barang
dikirimkan, kemudian penjual
yang ingin mencairkan uangnya
di bank ternyata ditolak karena
pemilik kartu bukanlah orang
yang melakukan transaksi.
2) Pasal 378 KUHP dapat dikenakan
untuk penipuan dengan seolah
olah menawarkan dan menjual
suatu produk atau barang
dengan memasang iklan di salah
satu website sehingga orang
tertarik untuk membelinya lalu
mengirimkan uang kepada
pemasang iklan. Tetapi, pada
kenyataannya, barang tersebut
tidak ada. Hal tersebut diketahui
setelah uang dikirimkan dan
barang yang dipesankan tidak
datang
sehingga
pembeli
tersebut menjadi tertipu.
3) Pasal 335 KUHP dapat dikenakan
untuk kasus pengancaman dan
pemerasan yang dilakukan
melalui e-mail yang dikirimkan
oleh pelaku untuk memaksa
korban melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh
pelaku
dan
jika
tidak
dilaksanakan akan membawa
dampak yang membahayakan.
Hal ini biasanya dilakukan karena
Page 11
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
pelaku biasanya mengetahui
rahasia korban.
4) Pasal 311 KUHP dapat dikenakan
untuk kasus pencemaran nama
baik dengan menggunakan
media
Internet.
Modusnya
adalah pelaku menyebarkan e-
mail
kepada teman-teman
korban tentang suatu cerita yang
tidak benar atau mengirimkan e-
mail ke suatu mailing list
sehingga
banyak
orang
mengetahui cerita tersebut.
5) Pasal 303 KUHP dapat dikenakan
untuk menjerat permainan judi
yang dilakukan secara online di
Internet dengan penyelenggara
dari Indonesia.
6) Pasal 282 KUHP dapat dikenakan
untuk penyebaran pornografi
maupun website porno yang
banyak beredar dan mudah
diakses di Internet. Walaupun
berbahasa Indonesia, sangat sulit
sekali untuk menindak pelakunya
karena mereka melakukan
pendaftaran domain tersebut
diluar negri dimana pornografi
yang
menampilkan
orang
dewasa bukan merupakan hal
yang ilegal.
7) Pasal 282 dan 311 KUHP dapat
dikenakan
untuk
kasus
penyebaran foto atau film
pribadi seseorang yang vulgar di
Internet , misalnya kasus Sukma
Ayu-Bjah.
8) Pasal 378 dan 262 KUHP dapat
dikenakan pada kasus carding,
karena
pelaku
melakukan
penipuan seolah-olah ingin
membeli suatu barang dan
membayar
dengan
kartu
kreditnya yang nomor kartu
kreditnya merupakan curian.
9) Pasal 406 KUHP dapat dikenakan
pada kasus deface atau hacking
yang membuat sistem milik
orang lain, seperti website atau
program menjadi tidak berfungsi
atau
dapat
digunakan
sebagaimana mestinya.
b. Undang-Undang No 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta.
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-
Undang No 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, program komputer
adalah sekumpulan intruksi yang
diwujudkan dalam bentuk bahasa,
kode, skema ataupun bentuk lain
yang apabila digabungkan dengan
media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus,
termasuk
persiapan
dalam
merancang intruksi-intruksi tersebut.
Hak cipta untuk program komputer
berlaku selama 50 tahun (Pasal 30).
Harga program komputer/ software
yang sangat mahal bagi warga
Page 12
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
negara
Indonesia
merupakan
peluang yang cukup menjanjikan
bagi para pelaku bisnis guna
menggandakan
serta
menjual
software bajakan dengan harga
yang sangat murah. Misalnya,
program anti virus seharga $ 50
dapat dibeli dengan harga
Rp20.000,00. Penjualan dengan
harga sangat murah dibandingkan
dengan software
asli tersebut
menghasilkan keuntungan yang
sangat besar bagi pelaku sebab
modal yang dikeluarkan tidak lebih
dari Rp 5.000,00 perkeping.
Maraknya pembajakan software di
Indonesia
yang
terkesan
“dimaklumi” tentunya sangat
merugikan pemilik hak cipta.
Tindakan pembajakan program
komputer tersebut juga merupakan
tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu
“Barang siapa dengan sengaja dan
tanpa
hak
memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu program komputer
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) “.
c. Undang-Undang No 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-
Undang No 36 Tahun 1999,
Telekomunikasi
adalah
setiap
pemancaran, pengiriman, dan/atau
penerimaan dan setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat,
tulisan, gambar, suara, dan bunyi
melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik lainnya.
Dari definisi tersebut, maka Internet
dan segala fasilitas yang dimilikinya
merupakan salah satu bentuk alat
komunikasi
karena
dapat
mengirimkan dan menerima setiap
informasi dalam bentuk gambar,
suara maupun film dengan sistem
elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet yang
mengganggu ketertiban umum atau
pribadi dapat dikenakan sanksi
dengan menggunakan Undang-
Undang ini, terutama bagi para
hacker yang masuk ke sistem
jaringan
milik
orang
lain
sebagaimana diatur pada Pasal 22,
yaitu Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak,
tidak sah, atau memanipulasi:
a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke jasa telekomunikasi
c) Akses ke jaringan telekomunikasi
khusus
Apabila anda melakukan hal
tersebut seperti yang pernah terjadi
pada website KPU www.kpu.go.id,
maka dapat dikenakan Pasal 50
yang berbunyi “Barang siapa yang
melanggar ketentuan sebagaimana
Page 13
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah)”
d. Undang-Undang No 8 Tahun
1997
tentang
Dokumen
Perusahaan
Dengan
dikeluarkannya
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997
tanggal 24 Maret 1997 tentang
Dokumen Perusahaan, pemerintah
berusaha
untuk
mengatur
pengakuan atas mikrofilm dan
media lainnya (alat penyimpan
informasi yang bukan kertas dan
mempunyai tingkat pengamanan
yang dapat menjamin keaslian
dokumen yang dialihkan atau
ditransformasikan.
Misalnya
Compact Disk - Read Only Memory
(CD - ROM), dan Write - Once -
Read - Many (WORM), yang diatur
dalam Pasal 12 Undang-Undang
tersebut sebagai alat bukti yang sah.
e. Undang-Undang No 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan
Undang-Undang yang paling ampuh
bagi seorang penyidik untuk
mendapatkan informasi mengenai
tersangka yang melakukan penipuan
melalui Internet, karena tidak
memerlukan prosedur birokrasi yang
panjang dan memakan waktu yang
lama, sebab penipuan merupakan
salah satu jenis tindak pidana yang
termasuk dalam pencucian uang
(Pasal 2 Ayat (1) Huruf q).
Penyidik dapat meminta kepada
bank yang menerima transfer untuk
memberikan identitas dan data
perbankan yang dimiliki oleh
tersangka tanpa harus mengikuti
peraturan sesuai dengan yang diatur
dalam Undang-Undang Perbankan.
Dalam Undang-Undang Perbankan
identitas dan data perbankan
merupakan bagian dari kerahasiaan
bank sehingga apabila penyidik
membutuhkan informasi dan data
tersebut, prosedur yang harus
dilakukan adalah mengirimkan surat
dari Kapolda ke Kapolri untuk
diteruskan ke Gubernur Bank
Indonesia.
Prosedur
tersebut
memakan waktu yang cukup lama
untuk mendapatkan data dan
informasi yang diinginkan.
Dalam Undang-Undang Pencucian
Uang proses tersebut lebih cepat
karena Kapolda cukup mengirimkan
surat kepada Pemimpin Bank
Indonesia di daerah tersebut dengan
tembusan kepada Kapolri dan
Gubernur Bank Indonesia, sehingga
data dan informasi yang dibutuhkan
lebih
cepat
didapat
dan
Page 14
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
memudahkan proses penyelidikan
terhadap pelaku, karena data yang
diberikan oleh pihak bank,
berbentuk: aplikasi pendaftaran,
jumlah rekening masuk dan keluar
serta kapan dan dimana dilakukan
transaksi maka penyidik dapat
menelusuri keberadaan pelaku
berdasarkan data– data tersebut.
Undang-Undang ini juga mengatur
mengenai alat bukti elektronik atau
digital evidence sesuai dengan Pasal
38 huruf b yaitu alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu.
f. Undang-Undang No 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25
Tahun 2003, Undang-Undang ini
mengatur mengenai alat bukti
elektronik sesuai dengan Pasal 27
huruf b yaitu alat bukti lain berupa
informasi
yang
diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu.
Digital evidence atau alat bukti
elektronik sangatlah berperan dalam
penyelidikan kasus terorisme, karena
saat ini komunikasi antara para
pelaku di lapangan dengan
pimpinan atau aktor intelektualnya
dilakukan dengan memanfaatkan
fasilitas di Internet untuk menerima
perintah atau menyampaikan kondisi
di lapangan karena para pelaku
mengetahui pelacakan terhadap
Internet lebih sulit dibandingkan
pelacakan melalui handphone.
Fasilitas yang sering digunakan
adalah e-mail dan chat room selain
mencari
informasi
dengan
menggunakan search engine serta
melakukan propaganda melalui
bulletin board atau mailing list.
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Menurut Undang-Undang No 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal
1 angka 13 penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Dalam memulai penyidikan tindak
pidana
Polri
menggunakan
parameter alat bukti yang sah sesuai
dengan Pasal 184 KUHAP yang
dikaitkan dengan segi tiga
pembuktian/evidence triangle untuk
memenuhi aspek legalitas dan aspek
legitimasi untuk membuktikan
tindak pidana yang terjadi. Adapun
rangkaian kegiatan penyidik dalam
melakukan
penyidikan
adalah
Page 15
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
Penyelidikan,
Penindakan,
pemeriksaan dan penyelesaian
berkas perkara.
1. Penyelidikan
Tahap penyelidikan merupakan
tahap pertama yang dilakukan oleh
penyidik
dalam
melakukan
penyelidikan tindak pidana serta
tahap tersulit dalam proses
penyidikan mengapa demikian?
Karena dalam tahap ini penyidik
harus dapat membuktikan tindak
pidana yang terjadi serta bagaimana
dan sebab - sebab tindak pidana
tersebut untuk dapat menentukan
bentuk laporan polisi yang akan
dibuat. Informasi biasanya didapat
dari NCB/Interpol yang menerima
surat pemberitahuan atau laporan
dari negara lain yang kemudian
diteruskan ke Unit cybercrime/
satuan yang ditunjuk.
Dalam penyelidikan kasus-kasus
cybercrime yang modusnya seperti
kasus
carding
metode yang
digunakan hampir sama dengan
penyelidikan dalam menangani
kejahatan narkotika terutama dalam
undercover dan control delivery.
Petugas setelah menerima informasi
atau laporan dari Interpol atau
merchant yang dirugikan melakukan
koordinasi dengan pihak shipping
untuk
melakukan
pengiriman
barang.
Permasalahan yang ada dalam kasus
seperti ini adalah laporan yang
masuk terjadi setelah pembayaran
barang ternyata ditolak oleh bank
dan barang sudah diterima oleh
pelaku, disamping adanya kerjasama
antara carder dengan karyawan
shipping sehingga apabila polisi
melakukan koordinasi informasi
tersebut akan bocor dan pelaku
tidak dapat ditangkap sebab
identitas yang biasanya dicantumkan
adalah palsu.
Untuk kasus hacking atau memasuki
jaringan komputer orang lain secara
ilegal dan melakukan modifikasi
(deface), penyidikannya dihadapkan
problematika yang rumit, terutama
dalam hal pembuktian. Banyak saksi
maupun tersangka yang berada di
luar yurisdiksi hukum Indonesia,
sehingga
untuk
melakukan
pemeriksaan maupun penindakan
amatlah sulit, belum lagi kendala
masalah bukti-bukti yang amat rumit
terkait dengan teknologi informasi
dan kode-kode digital yang
membutuhkan SDM serta peralatan
komputer forensik yang baik.
Dalam hal kasus-kasus lain seperti
situs porno maupun perjudian para
pelaku
melakukan
hosting/
pendaftaran diluar negeri yang
memiliki yuridiksi yang berbeda
dengan
negara
kita
sebab
pornografi secara umum dan
perjudian bukanlah suatu kejahatan
di Amerika dan Eropa walaupun
alamat yang digunakan berbahasa
Page 16
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 44
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
Indonesia dan operator daripada
website ada di Indonesia sehingga
kita tidak dapat melakukan tindakan
apapun terhadap mereka sebab
website tersebut bersifat universal
dan dapat di akses dimana saja.
Banyak rumor beredar yang
menginformasikan
adanya
penjebolan bank-bank swasta secara
online oleh hacker tetapi korban
menutup-nutupi permasalahan
tersebut. Hal ini berkaitan dengan
kredibilitas bank bersangkutan yang
takut apabila kasus ini tersebar akan
merusak kepercayaan terhadap bank
tersebut oleh masyarakat. Dalam hal
ini penyidik tidak dapat bertindak
lebih jauh sebab untuk mengetahui
arah serangan harus memeriksa
server dari bank yang bersangkutan,
bagaimana kita akan melakukan
pemeriksaan jika kejadian tersebut
disangkal oleh bank.
2. Penindakan
Penindakan kasus cybercrime sering
mengalami hambatan terutama
dalam penangkapan tersangka dan
penyitaan barang bukti. Dalam
penangkapan tersangka sering kali
kita tidak dapat menentukan secara
pasti siapa pelakunya karena mereka
melakukannya
cukup
melalui
komputer yang dapat dilakukan
dimana saja tanpa ada yang
mengetahuinya sehingga tidak ada
saksi yang mengetahui secara
langsung.
Hasil pelacakan paling jauh hanya
dapat menemukan IP Address dari
pelaku dan komputer yang
digunakan. Hal itu akan semakin
sulit apabila menggunakan warnet
sebab saat ini masih jarang sekali
warnet yang melakukan registrasi
terhadap pengguna jasa mereka
sehingga
kita
tidak
dapat
mengetahui
siapa
yang
menggunakan komputer tersebut
pada saat terjadi tindak pidana.
Penyitaan barang bukti banyak
menemui permasalahan karena
biasanya pelapor sangat lambat
dalam melakukan pelaporan, hal
tersebut membuat data serangan di
log server sudah dihapus biasanya
terjadi pada kasus deface, sehingga
penyidik menemui kesulitan dalam
mencari log statistik yang terdapat di
dalam server sebab biasanya secara
otomatis server menghapus log yang
ada untuk mengurangi beban server.
Hal ini membuat penyidik tidak
menemukan data yang dibutuhkan
untuk dijadikan barang bukti
sedangkan data log statistik
merupakan salah satu bukti vital
dalam kasus
hacking
untuk
menentukan
arah
datangnya
serangan.
Page 17
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 45
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
3. Pemeriksaan
Penerapan
pasal-pasal
yang
dikenakan dalam kasus cybercrime
merupakan suatu permasalahan
besar yang sangat merisaukan,
misalnya apabila ada hacker yang
melakukan pencurian data apakah
dapat ia dikenakan Pasal 362 KUHP?
Pasal tersebut mengharuskan ada
sebagian atau seluruhnya milik
orang lain yang hilang, sedangkan
data yang dicuri oleh hacker
tersebut sama sekali tidak berubah.
Hal tersebut baru diketahui biasanya
setelah selang waktu yang cukup
lama karena ada orang yang
mengetahui rahasia perusahaan atau
menggunakan data tersebut untuk
kepentingan pribadi.
Pemeriksaan terhadap saksi dan
korban
banyak
mengalami
hambatan, hal ini disebabkan karena
pada saat kejahatan berlangsung
atau dilakukan tidak ada satupun
saksi yang melihat (testimonium
de auditu).
Mereka hanya
mengetahui
setelah
kejadian
berlangsung karena menerima
dampak dari serangan yang
dilancarkan tersebut seperti tampilan
yang berubah maupun tidak
berfungsinya program yang ada, hal
ini terjadi untuk kasus-kasus
hacking.
Untuk kasus carding, permasalahan
yang ada adalah saksi korban
kebanyakan berada di luar negri
sehingga sangat menyulitkan dalam
melakukan
pelaporan
dan
pemeriksaan
untuk
dimintai
keterangan dalam berita acara
pemeriksaan saksi korban. Apakah
mungkin nantinya hasil BAP dari luar
negri yang dibuat oleh kepolisian
setempat
dapat
dijadikan
kelengkapan isi berkas perkara?
Mungkin apabila tanda tangan
digital (digital signature) sudah
disahkan maka pemeriksaan dapat
dilakukan dari jarak jauh dengan
melalui e-mail atau messanger.
Internet sebagai sarana untuk
melakukan
penghinaan
dan
pelecehan sangatlah efektif sekali
untuk “pembunuhan karakter”.
Penyebaran gambar porno atau e-
mail
yang
mendiskreditkan
seseorang sangatlah sering sekali
terjadi. Permasalahan yang ada
adalah, mereka yang menjadi
korban jarang sekali mau
menjadi saksi karena berbagai
alasan. Apabila hanya berupa tulisan
atau foto2 yang tidak terlalu vulgar
penyidik tidak dapat bersikap aktif
dengan langsung menangani kasus
tersebut melainkan harus menunggu
laporan dari mereka yang merasa
dirugikan karena kasus tersebut
merupakan
delik
aduan
(pencemaran nama baik dan
perbuatan tidak menyenangkan).
Peranan saksi ahli sangatlah besar
sekali
dalam
memberikan
Page 18
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 46
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
keterangan pada kasus cybercrime,
sebab apa yang terjadi didunia maya
membutuhkan ketrampilan dan
keahlian yang spesifik. Saksi ahli
dalam kasus cybercrime
dapat
melibatkan lebih dari satu orang
saksi
ahli
sesuai
dengan
permasalahan
yang
dihadapi,
misalnya dalam kasus deface,
disamping saksi ahli yang menguasai
desain grafis juga dibutuhkan saksi
ahli yang memahami masalah
jaringan serta saksi ahli yang
menguasai program.
4. Penyelesaian berkas perkara
Setelah penyidikan lengkap dan
dituangkan dalam bentuk berkas
perkara maka permasalahan yang
ada adalah masalah barang bukti
karena belum samanya persepsi
diantara aparat penegak hukum,
barang bukti digital adalah barang
bukti dalam kasus cybercrime yang
belum memiliki rumusan yang jelas
dalam penentuannya sebab digital
evidence tidak selalu dalam bentuk
fisik yang nyata.
Misalnya untuk kasus pembunuhan
sebuah pisau merupakan barang
bukti utama dalam melakukan
pembunuhan sedangkan dalam
kasus cybercrime barang bukti
utamanya adalah komputer tetapi
komputer
tersebut
hanya
merupakan fisiknya saja sedangkan
yang utama adalah data di dalam
hard disk komputer tersebut yang
berbentuk file, yang apabila dibuat
nyata dengan print membutuhkan
banyak
kertas
untuk
menuangkannya, apakah dapat
nantinya barang bukti tersebut
dalam bentuk compact disc saja,
hingga saat ini belum ada Undang-
Undang yang mengatur mengenai
bentuk dari pada barang bukti
digital (digital evidence) apabila
dihadirkan sebagai barang bukti di
persidangan.
UPAYA YANG DILAKUKAN
Untuk meningkatkan penanganan
kejahatan cyber yang semakin hari
semakin berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi maka Polri
melakukan beberapa tindakan,
yaitu:
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia
merupakan suatu masalah yang
tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri
mengirimkan anggotanya untuk
mengikuti berbagai macam kursus di
negara–negara maju agar dapat
diterapkan
dan
diaplikasikan
di Indonesia, antara lain: CETS di
Canada,
Internet
Investigator
di Hongkong, Virtual Undercover di
Washington, Computer Forensic di
Jepang.
Page 19
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 47
Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
b. Sarana Prasarana
Perkembangan tehnologi yang cepat
juga tidak dapat dihindari sehingga
Polri berusaha semaksimal mungkin
untuk meng-up date dan up grade
sarana dan prasarana yang dimiliki,
antara lain Encase Versi 4, CETS,
COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan koordinasi
Melakukan
kerjasama
dalam
melakukan
penyidikan
kasus
kejahatan cyber karena sifatnya yang
borderless dan tidak mengenal batas
wilayah, sehingga kerjasama dan
koordinasi dengan aparat penegak
hukum negara lain merupakan hal
yang sangat penting untuk
dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai
kejahatan
cyber
dan
cara
penanganannya kepada satuan di
kewilayahan (Polda) serta pelatihan
dan ceramah kepada aparat
penegak hukum lain (jaksa dan
hakim) mengenai cybercrime agar
memiliki kesamaan persepsi dan
pengertian yang sama dalam
melakukan penanganan terhadap
kejahatan cyber terutama dalam
pembuktian dan alat bukti yang
digunakan.