Entri Populer

Senin, 18 April 2011

KETIDAKABSAHAN KEWENANGAN APARAT TERHADAP PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN

KETIDAKABSAHAN KEWENANGAN APARAT TERHADAP

PRODUK HUKUM YANG DIHASILKAN





I. Pendahuluan



Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi fenomena ini terutama disebabkan oleh alasan politik. Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting di dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan pusat atau terpusat yang cenderung otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal yang dipilih langsung oleh masyarakat. Alasan lainnya atas maraknya proses desentralisasi adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan kepada masyarakat oleh penyelenggara pemerintahan. Didalam konteks ini titik berat desentralisasi adalah pelayanan bukan kekuasaan. Dengan kata lain desentralisasi adalah suatu upaya mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya (bringing the State closer to the people).



Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari provider menjadi fasilitator.[1]



Pemerintah sebagai lembaga eksekutif yang juga berwenang membuat produk hukum, namun pada suatu saat terbentur pada masalah-masalah pelik terkait produk hukum dan kewenangannya tersebut. Hal ini sering terjadi di pelbagai kondisi dan kesempatan. Produk hukum yang dihasilkan kadangkala membuat rakyat merugi. Kondisi yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya pola komunikasi yang baik antara pemerintah dengan warga masyarakatnya.



Lebih lanjut dalam setiap pelaksanaan pemerintahan, aparat pemerintah apakah itu menteri, gubernur atau bupati dalam pelbagai kasus kerapkali mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang melebihi lingkup kewenangannya. Hal ini terjadi akibat kurang fahamnya aparat tersebut akan tugas pokok dan fungsi sebagai aparatur pemerintah. Implikasi berikutnya adalah bukan hanya sah atau tidaknya kebijakan tersebut akan tetapi pada produk hukum yang diterbitkannya. Oleh karena akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan kewenangan yang tidak sesuai bisa jadi apapun yang dihasilkan dapat dibatalkan.



Aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya didasarkan atas suatu dasar yaitu yang disebut kewenangan. Ada kewenangan yang diberikan langsung oleh undang-undang dan ada yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kewenangan tersebutlah aparatur pemerintah menjadi berkuasa melakukan sesuatu yang tentunya telah diatur dalam peraturan atas kewenangan tersebut dan menjalankan fungsinya sebagai aparat. Namun ketika aparat pemerintah tersebut manjalankan kekuasaannya akan tetapi melebihi atau tidak termasuk dalam lingkup kewenangannya, atau dapat juga keabsahan dari kewenagannya itu masih diragukan karena tidak sesuai dengan kewenangannya yang sebenarnya, maka apa akibat hukum yang timbul terhadap produk hukum yang diterbitkan.



Berdasar pada uraian pendahuluan di atas yang menjadi permasalahan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut ;

1. Apa saja bentuk pelimpahan kewenangan
2. Apakah implikasi hukum dari ketidakabsahan kewenanganan aparat terhadap produk hukum yang dihasilkan



II. Pembahasan

II.I Kewenangan dan Pelimpahan kewenagan

Wewenang dalam kamus yang sama didefinisikan sebagai kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Kewenangan atau wewenang dalam literatur berbahasa Inggris disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.[2]

Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi Kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik Prinsip moral – menentukan siapa yang berhak memerintah - mengatur cara dan prosedur melaksanakan wewenang. Sebuah bangsa atau negara mempunyai tujuan. Kegiatan untuk mencapai tujuan disebut tugas Hak moral untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan disebut kewenangan. Tugas dan kewenangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara disebut fungsi.[3]

Berdasar pada pengertian kewenangan di atas terlihat jelas bahwa kewenangan dapat dijalankan apabila mendapatkan keabsahan atau legitimasi. Berarti sebaliknya apabila tidak mendapat legitimasi maka kewenangan dan aparat yang melaksanakan kewenangan tersebut tidak sah. Kewenangan untuk menjalankan suatu tugas dipegang oleh orang atau aparat yang berhak atau yang berwenang. Namun apabila timbul permasalahan apakah bisa aparat yang tidak berwenang menjalankan tugas atau melakukan perbuatan hukum mewakili aparat lain yang berwenang. Jawabannya adalah bisa asalkan kewenangan dari aparat yang berwenang tersebut dilimpahkan kepada aparat tersebut.

Menurut Prof. Dr. Muchsan, S.H Kewenangan dari aparat dibagi 2 macam yaitu; kewenagan atributif dan kewenagan non atributif. [4]

1. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif bersifat permanent atau tetap ada selama undang-undan mengaturnya. Misal Presiden berhak membuat Rancangan Undang-undang (RUU). Kewenangan ini secara langsung diberikan oleh Peraturan perundang-undangan yakni Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Gubernur berhak membuat Peraturan Gubernur sebagaimana diatur dalam UU No32 Tahun 2004. Keabsahan dari kewenangan ini tidak perlu dipertanyakan karena sumbernya dari peraturan perundang-undangan.
2. Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain. Kewenagan non atributif bersifat insidental dan berakhir jika pejabat yang berwenagan telah menariknya kembali. Misal penerbitan izin oleh Bupati atau Kepala Daerah seharusnya dilakukan oleh Bupati itu sendiri, namun pada saat Bupati tersebut tidak ditempat, maka dapat diwakilkan pada Wakil Bupati sebagai penjabat sementara.

Dalam politik hukum pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu mandat dan delegasi. [5]

· Dalam pelimpahan wewenang secara mandat, yang beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebabnya pertanggung jawaban tetap pada mandans.

· Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah delegataris.

II.2 Ketidakabsahan Kewenangan dan Implikasinya

Dalam hal ini yang akan dibahas adalah tentang bagaimana keabsahan produk hukum yang dihasilkan akibat tidak sahnya kewenangan aparat yang membuat produk hukum tersebut. Oleh karenannya menurut Prof. Dr. Muchsan, S.H. Ketidakwenangan seorang aparat ada tiga bentuk;

1. Ratione Materiae yaitu ketidakwenangan aparat dikarenakan oleh lingkup materi. Misalnya Presiden sebagai lembaga Eksekutif berhak membuat Peraturan Presiden. Wakil Presiden dalam hal ini tidak memiliki kewenangan yang sama yakni dengan mengeluarkan Peraturan Wakil Presiden karena materinya sudah berbeda.
2. Ratione Loccus yaitu ketidakwenangan aparat oleh karena wilayah hukumnya. Misalnya Polres Sleman tidak wenang menangani kasus yang terjadi di wilayah hukum Polres Yogyakarta dan begitu sebaliknya, meskipun yang menangkap tersangka adalah Polres Sleman.
3. Ratione Temporis yaitu ketidakwenangan aparat oleh sebab daluarsa atau lewat waktu. Misal suatu kasus telah terjadi dahulu sebelumnya dan baru diungkit sekarang, padahal menurut peraturan kasus tersebut telah daluarsa.

II.3 Akibat Hukum Aparat yang Tidak Berwenang

Dalam menjalankan kekuasaannya aparat pemerintahan dibatasi oleh sah atau tidaknya kewenangan tersebut padanya. Apabila kewenangan tersebut sah misalnya dalam penerbitan suatu keputusan atau produk hukum lainnya, maka produk hukum tersebut sah dan dapat dilaksanakan karena telah mendapat legitimasi. Namun apabila aparat tersebut tidak wenang, maka berarti aparat tersebut tidak mendapat legitimasi yang akibatnya adalah sebagai berikut;

1. Perbuatan itu sendiri tidak sah
2. Produk yang dibuat menjadi batal. Dalam teori kebatalan (Nietig Theorie) batal dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu;

· batal mutlak (absolute nietig)

· batal demi hukum (nietig van rechts wege)

· dapat dibatalkan (vernietig baar)

Perbedaan kebatalan terletak pada dua hal yaitu;

· akibat hukum yang dimunculkan berbeda

· aparat yang wenang membatalkan berbeda

Batal mutlak akibatnya semua perbnuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Sehingga dikembalikan seperti semula. Misalnya seseorang menyewa rumah pada orang yang idiot, setelah beberapa tahun berjalan ternyata diketahui bahwa orang yang menyewakan idiot yang dalam hukum berarti tidak wenang melakukan perbuatan hukum. Oleh karenanya perbuatan sewa-menyewa tersebut dianggap tidak sah dan harus batal.

Batal demi hukum;

1. Berdasarkan akibat hokum yang ditimbulkannya;

· seperti batal mutlak yakni semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.

· Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain dinyatakan batal.

2. Berdasar pada aparat yang berhak menyatakan batal

Dalam hal ini aparat yang berhak menyatakan batal adalah lembaga yudikatif dan eksekutif. Misalnya pada beberapa waktu yang lalu Menteri dalam negeri pernah membatalkan Keputusan Bupati Grobokan. Menteri sebagai pejabat eksekutif dan tingkatnya lebih dari Bupati mempunyai hak untuk membatalkan keputusan bupati tersebut.

3. Berlaku saat dinyatakan batal

Batal demi hukum berlakunya saat dinyatakan suatu keputusan atau suatu hal oleh pihak yang berwenang dinyatakan batal. Sehingga apapaun keputusan yang telah dikeluarkan apabila telah dinyatakan batal maka kebatalan itu telah berlaku.

Kriteria Kebatalan;

Batal menurut teori hukum mempunyai kriteria. Suatu Keputusan atau lainnya dianggap batal apabila telah masuk pada kategori berikut ini;

Adanya persyaratan yang tidak terpenuhi

Persyaratan tersebut dapat memiliki dua akibat yaitu;

Apabila syaratnya mutlak harus dipenuhi, maka keputusan tersebut dapat batal mutlak artinya segala sesuatunya dari hasil keputusan yang telah dihasilkan dan produk hukum yang diterbitkan dianggap belum pernah ada dan harus dikembalikan seperti sediakala.

Apabila syaratnya relatif atau tidak mutlak, maka keputusan tersebut dapat batal demi hukum.

Sebagai contoh syarat untuk menjadi calon Bupati adalah lulusan Strata satu , apabila ada seseorang yang tidak mempunyai ijazah S1 tapi kemudian atas suatu sebab berhasil menjadi seorang Bupati, lama kemudian baru diketahui bahwa dia tidak memenuhi syarat mutlak berupa pendidikan harus S1, maka Keputusan menjadi bupati dan produk hukum yang dihasilkan dari kekuasaan dan kewenangan dari jabatan Bupati tersebut batal.

Dalam hal ini meskipun harus batal mutlak, namun demi mencapai suatu kemanfaatan yang lebih banyak, maka dapat dipilih bata demi hukum oleh karena tidak mungkin membatalkan seluruh apa yang telah dibuat Bupati tersebut selama menjabat.

Dalam filsafat hukum, menurut Emmanuel Kant hukum layaknya seperti dua mata uang logam, satu sisi sesuatu itu benar menurut hukum (recht matig) disisi lain bermanfaat demi rakyat (doel matig). Namun untuk mencapai tujuan hukum, maka harus diutamakan sisi kemanfaatannya.

III. Penutup

Pemerintah sebagai aparat dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat diberi kewenangan yang terbagi atas kewenangan yang sifatnya atributif (non orisinil) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan. Kedua adalah kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain.



Dalam politik hukum pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu mandat dan delegasi

· Dalam pelimpahan wewenang secara mandat, yang beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebabnya pertanggung jawaban tetap pada mandans.

· Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah delegataris.

Kewenangan yang ada pada aparat sifatnya melekat selama belum dicabut dengan begitu jelas bahwa kewenangan tersebut harus memiliki legiitimasi atau keabsahan. Ketidakabsahan kewenangan aparat terhadap produk hukum yang dihasilkan memiliki akibat diantaranya; pertama, perbuatan itu sendiri tidak sah. Kedua, produk yang dibuat menjadi batal. Dalam teori kebatalan (Nietig Theorie) batal dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu; batal mutlak (absolute nietig), batal demi hukum (nietig van rechts wege), dapat dibatalkan (vernietig baar).



Sebagai aparat pemerintah seharusnya mengetahui batasan-batasan atas kewenangan yang dimiliki sehingga tidak sampai terjadi akibat hukum yakni kebatalan. Hal ini penting karena setiap keputusan yang dikeluarkan dari ketidak absahan kewenangan aparat akan berdampak tidak hanya pada aparat dan perbuatannya saja melainkan lebih lanjut pada produk hukum yang dihasilkan dan kemudian pada peraturan pelaksnanya. Oleh karenanyasebagai aparat pemerintah perlu juga mengetahui ilmu hukum dan pengetahuan lain tentang bagaimana melaksanakan amanah rakyat.







11



[1] Dr. Ir. Deddy Supriady Bratakusumah, BE, MURP, MSc, adalah Tenaga Ahli Pengembangan

Otonomi Daerah Bappenas-red.

[2] Ruslan Effendi, Peranan, Wewenang, dan Kekuasaan, Makalah.2009

[3] Uwes Fatoni, M.Ag. Staf Pengajar Fakultas Dakwah UIN SGD Bandung sejak tahun 2002.

[4] Guru besar Hukum Administrasi Negara UGM

[5] istilah dalam mandate (mandans = yang melimpahkan mandat, mandataris = yang mendapat mandat)

istilah dalam delegasi (delegans = yang melimpahkan delegasi, delegataris = yang mendapat delegasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar