Entri Populer

Kamis, 23 Juli 2009

SIFAT HAK JAMINAN DALAM PRAKTEK PERBANKAN

SIFAT HAK JAMINAN DALAM PRAKTEK PERBANKAN
Sifat hak jaminan dalam praktek perbankan ada dua yaitu bersifat hak kebendaan dan bersifat hak perorangan. Yang tergolong jaminan yang bersifat hak kebendaan ialah: hipotik, crediet-verband, gadai, fidusial. Ini merupakan lembaga-lembaga jaminan yang dalam praktek perbankan telah dilembagakan sebagai jaminan yang bersifat kebendaan. Sedang jaminan yang bersifat perorangan ialah: perjanjian penggunaan, perutangan tanggung-menanggung, perjanjian garansi dan lain-lain.
Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Jaminan yang bersifat perorangan memberikan hak verhaal kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperolehpemenuhan dari piutangnya. Ciri khas dari jaminan yang bersifat kebendaan ialah: dapat dipertahankan (diminta pemenuhan) terhadap siapapun juga,yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak tersebut selalu mengikuti bendanya dalam arti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan hak eksekusi.
Mengenai sifat hak kebendaan dan kedudukan preferensi sebagai ciri darilembaga jaminan yang ampuh yang terdapat pada hipotik, tidak hanya dikenal dalam perundang-undangan di Nederland dan Indonesia karena berlakunya asas concordansi dahulu, melainkan juga dikenal diseluruh Negara Eropa bahkan sejak zaman Romawi dahulu.
Menurut Scholten : pada setiap hipotik dari seluruh perundang-undangan yang modern senantiasa mengenal dua kedudukan utama yang saling menonjol yaitu wewenang yang langsung terhadap bendanya dan kedudukan yang diutamakan terhadap kredit-kredit lainnya. Hanya titik beratnya kadang-kadang berlainan.
Mengenai sifat dari hipotik dan credietverband yang mengandung didalamnya sifat-sifat dari kebendaan, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan, disamping berlakunya syarat specialiteit (adanya kewajiban bahwa benda nyang menjadi jaminan ditunjuk secara khusus mengenai jenisnya, letaknya , luasnya, batasnya, terbukti dari surat ukur dan lain-lain)dan syarat publisiteit (adanya kewajiban untuk mendaftarkan dalam register umum) yang menjamin adanya nilai pembuktian yang kuat bagi sahnya pembebanan, kemudian janjinya dapat dilaksanakan dengan mudah serta grossenya mempunyai kekuatan executorial, semuanya itu sungguh-sungguh menjamin kuatnya hipotik dan credietverband sebagai lembaga jaminan. Padahal UUPA tidak mengatur tentang sifat hak kebendaan inipada hak-hak atas tanah yang dikenal dalam UUPA yaitu hak milik , hak guna bangunandan hak guna usaha. Karena UUPA mendasarkan pada hukum adat sedangkan hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan. Akan tetapi khususnya mengenai hak tanggungan yang merupakan lembaga jaminan atas tanah yang masih akan diatur secara khusus dalam undang-undang kiranya dasar pemikiran secara lain perlu mendapat perhatian dan mendapat pengaturan secara lain. Hal demikian mengingat bahwa lembaga jaminan tertentu itu harus mengandung ciri-ciri internasional, mengandung prinsip-prinsip sebagaimana dikenal dalam undang-undang modern, mengandung ciri-ciri yang menjamin kuatnya lembaga jaminan.
Disamping itu juga mengenal lembaga jaminan yang sifatnya sederhana, mudah, murah dan efisien. Alangkah menyedihkan suatu lembaga jaminan yang diharapkan menunjang kemajuan ekonomi menunjang kegiatan perkreditan, menunjang kegiatan penanaman modal, menunjang kegiatan pembangunan perumahan rakyat, menunjang perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah itu didalamnya justru tidak terdapat ciri-ciri dan prinsip-prinsip dan persyaratan-persyaratan yang dapat menampung dan mengimbangi kegiatan berbagai bidang tersebut.
Dalam praktek perbankan di Indonesia ini dapat disimpulkan adanya bentuk-bentuk lembaga jaminan yang sudah dilembagakan sebagai lembaga jaminan yang bersifat hak kebendaan ialah : hipotik, credietverband, pand dan fiducia.

ANALISA HUKUM ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG

Transaksi pembiayaan konsumen kendaraan bermotor melibatkan tiga pihak. Pertama, kreditur selaku badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan angsuran kebutuhan konsumen (motor atau mobil) dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala. Kedua, debitur selaku nasabah yang menerima fasilitas pembiayaan dari kreditur guna pembelian kendaraan bermotor. Ketiga, dealer selaku perusahaan yang menyediakan barang kebutuhan konsumen (motor atau mobil) dalam rangka pembiayaan konsumen. Hubungan antara resiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen resiko, asuransi malah dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu resiko. Dalam pasal 246 KUHD memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan meminta suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi di bidang industri pengangkutan baik darat, laut maupun udara berkembang dengan pesat. Di Indonesia pun penggunaan hasil-hasil produksi teknologi yang tinggi dibidang alat angkut pesat sekali, meskipun yang menikmati hasil produksi tersebut baru sebhagian golongan masyarakat saaja. Produksi kendaraan bermotor saat ini tidak terbilang jumlahnya disebabkan persaingan harga dan kualitas kendaraan pribadi dan alat angkut penumpang umum, baik yang melalui darat, laut maupun udara, dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya yang merupakan dampak lain yang harus dipeerhitungkan dari segi ekonomi.

Karena itu, bermacam-macam perusahaan telah muncul, khususnya prusahan yang berhubungan dengan kegiatan memberikan jaminan atau tangungan kepada seseorang atau kepada suatu aset tertentu, karena standar suatu saat dapat ditimpa oleh suatu kerugian atau peristiwa.
Karena itu kita menyaksikan puluhan bahkan ratusan perusahan asuransi di Indonesia menawarkan jasanya. Mereka menawarkan jasanya agar seseorang anggota masyarakat bersedia menjadi angota atau nasabah suatu perusahaan asuransi.

Pada kenyatannya kinerja perusahaan asuransi di Indonesia pada saat ini dapat dikatakan umumnya belum menggembirakan. Belum menggembirakan, yang mana dari pihak pengelola usaha asuransi belum memberikan pelayanan yang baik, bahkan sering kali melakukan penipuan terhadap konsumen atau muncul kesan dipersulit ketika akan menggugat hak, baik dalam asuransi jiwa maupun dalam asuransi kerugian.
Sedangkan dari pihak masyararat industri asuransi kurang diminati, disamping minimnya pengetahuan masyarakat terhadap asuransi, juga disebabkan masih rendahnya income per kapita masyarakat.

Bagi mereka yang akan bergabung atau menjadi nasabah perusahaan asuransi perlu mengetahui apa kriteria, pedoman layak dipertimbangkan ketika akan memilih suatu asuransi. Dalam hubungan ini, beberapa kriteria atau pedoman tersebut dapat dikemukakan antara lain :
1. Perusahaan asuransi hanya menjual program berdasarkan kemampuan nasabah. Jika kemampuan konsumen tak memenuhi implikasinya pertanggungan putus di tengah jalan.
2. Produk yang dijual sesuai dengan kebutuhan, artinya kebutuhan nasabah lebih diutamakan. Logikanya produk yang dibutuhkan masyarakat akan laris di pasaran, oleh sebab itu masyarakat sudah semakin sadar akan pentingnya suatu program asuransi.
3. Pastikan nasabah yang membeli polis dalam keadaan sehat. Ini penting agar tidak terjadi penipuan. Nasabah mengaku sehat, padahal mengidap penyakit, hal ini tentunya akan merugikan pihak asuransi. Hal ini berkaitan dengan pasal 1338 ayat (3) KUH perdata, yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
4. Ini berkaitan erat dengan komitmen nasabah dala program atau produk yang dipilih. Tak kalah penting lagi, asuransi harus dijual dengan tatap muka dalam hal ini tidak bisa menjual asuransi hanya lewat telepon.
5. Kondisi keuangan perusahaan asuransi sendiri. Saat ini ada sebagian perusahaan asuransi cenderung mengulur-ulur waktu ketiga akan membayar klaim. Oleh sebab itu faktor permodalan lebih menjadi perhatian perusahaan asuransi tersebut.

Gambaran negatif bahwa perusahaan asuransi yang mempersulit nasabah dalam hal klaim, bukan kebiasaan. Namun kadang kala nasabah mempersulit dirinya sendiri, antara lain dengan tidak jujur dalam mengisi formulir aplikasi (SPAJ) yang mana ketidak jujuran tersebut akan merugikan dirinya sendiri.
Kriteria yang di atas sangat penting. Sebab bila salah pilih, nasabah bisa rugi. Untuk itulah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diterapkan oleh asuransi di Indonesia. Oleh karena itu seorang agen dalam kegiatannya, dalam menyampaikan program?program asuransi yang ada di Indonesia harus. memberikan keterangan yang jelas dan benar mengenai perusahaan, produk?produk perusahaan asuransi maupun proposal kepada setiap calon pemegang polis, yang mana, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan. Di dalam surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ) telah dibutuhkan bahwa setiap keterangan yang diberikan oleh calon pemegang polis dan atau calon Tertanggung, oleh agen tidak boleh menyembunyikan informasi apapun kepada calon pemegang polis dan tidak memberikan keterangan yang bertentangan dengan ketentuan umum dan ketentuan khusus polis PT Asuransi di Indonesia.

Konsekuensi nasabah membeli polis harus dengan cara tanggung jawab. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam perlindungan nasabah peraturan, perundang?undangan yang berlaku dan berkaitan dengan desakan perasuransian terutama KUH Perdata dan KUHD sebagai acuan dalam hukum asuransi yang kemudian diberlakukan beberapa ketentuan?ketentuan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan?peraturan lainnya juga menyangkut polis.
Akan halnya kepada siapa seorang nasabah bisa berharap mendapat jaminan ketenangan, tentunya pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua kepada asuransi. Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas jiwanya bermaksud untuk mengalihkan resikonya itu atau setidak?tidaknya membagi resikonya itu kepada pihak lain yang bersedia menerima peralihan atau pembagian resiko tersebut. Peralihan resiko itu tidak terjadi dengan begitu saja, tanpa kewajiban apa?apa pada pihak yang memperalihkan. Hal itu harus diperjanjikan terlebih dahulu.

Contoh kasus, Bapak HD, mengaku, sakit hati. Kalim yang dia ajukan benar?benar dipersulit pihak asuransi, dan baru diluluskan setelah menunggu setahun. Pengusaha yang berdomisili di Jakarta ini menilai, Asuransi X melakukan wanprestasi alias ingkar janji. Pasalnya, asuransi pendidikan yang hendak ditutup tidak tunduk kepada kurs nilai rupiah yang berlaku, melainkan dipaksakan dengan kurs nilai tukar rupiah yang telah dipatok pihak asuransi.
Padahal, menurut pejanjian mengikuti kurs nilai tukar?rupiah yang berlaku, kasus kurang nyaman Bapak HD ini makin memperkuat anggapan bahwa konsumen selalu berada di pihak yang lemah. Apalagi hingga kini tidak ada aturan yang secara khusus mengatur akibat?akibat hukum yang timbul antara perusahaan asuransi dengan konsumen. Namun demikian hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (4) PP No. 73 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa agen harus memberikan informasi yang benar.

Kisah kelabu tadi memperpanjang kasusnya bermuara kepada betapa perlakuan perusahaan asuransi masih ada yang tak berubah dari pola?pola lama. Kewajiban membayar premi yang sudah ditunaikan dengan baik dan lancar seringkali tidak diikuti dengan kemudahan ketika klaim diajukan. Prosedurya malah rumit, berbelit?belit dan lama. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan ketika para konsumen dibujuk rayu untuk bergabung menjadi nasabah. Nasabah mesti pontang?panting terlebih dahulu, setelah itu jika beruntung haknya baru dipenuhi oleh perusahaan asuransi.

Namun dari sekian banyak ketentuan?ketentuan tersebut, satu hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung dapat dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia, yakni berupa polis. Adapun syarat?syarat umum polis harus memperhatikan tiga kepentingan, yakni :
1. Kepentingan nasabah: Kepentingan nasabah di sini agar bisa memberikan sesuatu hal yang jelas untuk kepentingan nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa dilindungi, mereka mendapatkan syarat?syarat yang sama di perusahaan asuransi.
2. Kepentingan instansi pembina atau pengawas: Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas yakni kepentingan pemerintah melalui direktorat asuransi, apa yang tercantum dalam undang?undang, peraturan?peraturan pemerintah harus menjadi referensi dan syarat?syarat umum polis tersebut.
3. Kepentingan industri asuransi: Yang dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah industri asuransi harus terlindungi dari usaha atau itikad buruk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi.

Seperti yang tersebut dalam Pasal 25 KUHD, bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu akta yang dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis (nasabah) seperti disebutkan dalam Pasal 11 (bab 1) undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. yang menimbulkan penafsiran berbeda mengenai hak dan kewajiban penanggung maupun tertanggung, yang tertera dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 1992.
Adapun dalam Pasal 5 (bab 11) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.O 17/1993, bahwa di dalam polis asuransi dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum begitu pula yang terdapat pada Pasal 6 Kep. Menkeu. No. 225/KMIK.017/1993, yang menyatakan bahwa dalam polis dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum, disamping itu tindakan yang dapat dianggap memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim secara wajar antara lain :
1. Memperpanjang masa penyelesaian klaim, dengan memilih dokumen lain yang pada dasarnya isi tersebut sama dengan dokumen yang telah ada.
2. Menunda pembayaran klaim, dengan mengkaitkan pembayaran klaim reasuransi.
3. Menerapkan prosedur yang tidak lagi dalam lingkup kegiatan asuransi.
4. Tidak menyelesaikan klaim dengan mengkaitkan pada penyelesaian klaim yang lain pada polis yang sama.

Di samping itu peran agen dalam kegiatan agency asuransi yang ada di Indonesia, yakni ?harus menyimpan informasi atau rahasia tentang nasabahnya dan juga tentang eksistensi perusahaannya. Sekali lagi agen harus menjaga kerahasiaan, ahli waris dan perusahaan serta menyediakan akses hanya untuk mereka.
Oleh karena itu setiap usaha asuransi yang ada di Indonesia mewajibkan semua agen agar mematuhi seluruh kebijakan, peraturan serta prosedur yang diberlakukan. Hal ini untuk menjamin bahwa perusahaan mampu memenuhi janji dan integritas dalam berurusan dengan nasabah. Berkenaan dengan ketentuan ini, tentu akan menimbulkan perselisihan yang mengakibatkan kerugian atau akibat?akibat hukum.

Untuk melindungi reputasi perusahaan seharusnya ada tindakan dalam hal terjadi pelanggaran atas peraturan ini termasuk didalamnya berupa pelanggaran hukum atau praktek?praktek yang tidak etis yakni memberhentikan pertanggungan dari tertanggung secara sepihak. Tertanggung dapat menuntut secara hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Usaha untuk mengatasi risiko akibat persaingan jual beli kendaraan bermotor dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain dengan mengadakan perjanjian asuransi yang mempunyai tujuan mengaplihkan sebagian atau seluruh risiko kepada pihak lain layng mampu menerima atau dengan mengganti kerugian kepada pembeli atau pemakaian dengan mengganti kerugian kepada orang yang menghadapi risiko itu. Manfaat dari suatu pertanggungan bagi kehidupan masyarakat dirasakan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai jenis pertanggungan atau asuransi dengan maksud memberikan jaminan sosial bagi anggota masyarakat pengguna. Keberadaan asuransi krugian, misalnya PT. Asuransi Jasa Raharja untuk pertanggungan asuransi kecelakaan adalah perwujudan pemberian jaminan perlindungan atau asuransi untuk masyarakat dengan cara pemberian jaminan sosial bagi segolongan masyarakat yang memang wajar memperolehnya yaitu para korban kecelakan lalulintas jalan baik yang melalui darat, sungai/danau, laut maupun udara. Sedangkan untuk kendaraan bermotor itu sendiri ada asuransi khusus sebagai pertanggungan atau asuransi apabila kendaraan itu mendapat kecelakaan dan atau hilang. Menganai pertanggungan atau asuransi ialah untuk memberikan jaminan kepada anggota masyarakat yang tertimpa musibah kecelakaan lalulintas di luar kesalahannya sendiri karena pengguna kendaraan baik pribadi atau umum yang ditumpanginya, karena baik kecelakaan lalu lintas, maupun hilang atau cacatnya kendaraan adalah merupakan suatu peristiwa yang tidak disengaja atauun tidak disangka-sangka terjadinya, sehingga dapat saja mengakibatkan seseorang menjadi luka, cacat dan meninggal dunia, sementara kendaraan bermotornyapun rusak atau menjadi hancur tidak dapat digunakan lagi.

Walaupun Asuransi kendaraan bermotor sebagai lembaga jaminan yang dipercayakan untuk pemberian jaminan perlindungan dirasakan semakin penting, tetapi masih terdapat anggota masyarakat yang belum memahami peranan Asuransi kendaraan bermotor dalam meringankan beban baik kepada korban kecelakaan, lalulintas ataupun jaminan kendaraan bermotor itu sendiri. Jumlah santunan yang disediakan Asuransi santunan kepada pengguna kendaraan bermotor dan pengendara yang menjadi korban relatif cukup besar dan bermanfaat bagi para korban dan menadpat kembali kendaran bermotor yang rusak menjadi layak pakai kembali.

B. Pokok Permaslahan
Dalam hal ini pokok permasalahan yang akan dibahas antara lain :
1. Sejumlah persyaratan untuk mengklaim asuransi kendaraan yang hilang, apakah ada kemudahan.
2. Bagaimana jalan keluar apabila perusahaan asuransi tersebut bangkrut ?
3. Bagaimana jalan keluar apabila pembayaran premi asuransi terhenti ?
4. Apakah dapat dipermudah untuk kendaraan bermotor yang diasuransikan hilang.

C. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban mahasiswa yang akan menyelesaikan studi tingkat akhir dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan atau memenuhi program S1 pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia. Disamping itu merupakan bentuk sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya dibidang ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan asuransi kendaraan bermotor.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menambah dan memadatkan ilmu pengetahuan hukum yang selama ini diperoleh, menjadi satu bentuk tulisan yang memberi ciri tersendiri sebagai seorang calon sarjana hukum. Akan tetapi penulis juga menyadari bahwa dalam membahas permasalahan dalam ilmu pengetahuan, waktu and hal-hal lainnya, sehingga menjadikan kewajiban penulis untuk memperbaiki dan menyempurnakan di kemudian hari.

D. Metode Penelitian
Dalam usaha untuk mencapai kelengkapan penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan sumber penelitian yaitu :
Penelitian Kepustakaan. Dalam hal ini penulis membaca dan mempelajari buku-buku, surat kabar, majalah dan penerbitan hubungan dengan obyek uraian skripsi. Dan perpustakaan.

E. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab dan setiap bab terdiri dari beberapa bab. Pembagian tersebut dilakukan secara sistematis sesuai dengan tahapan-tahapan uraiannya, sehingga tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh.

Adapun isi dari tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan latar belakang tujuan penulisan, metode penelitian yang didalamnyamenjelaskan jasa cara-cara penelitian untuk memperoleh data pembuatan skripsi ini dan sebagai uraian yang terakhir mengenai sistematika skripsi.

BAB II : Tujuan Umum Tentang Asuransi Atau Pertanggungan
Menguraikan pengertian dan macam-macam tujuan jenis pertanggungan atau asuransi serta premi dan polis dalam pertanggungan atau asuransi, premi dan polis asuransi serta diakhiri dengan klaim pertanggungan atau klaim asuransi.

BAB III : Pertanggungan asuransi dalam Hukum Dagang yaitu berisi mengenai pengertian dan pengaturannya, jenis dan macam pertanggungan atau asuransi, premi dan polis asuransi serta diakhiri dengan klaim pertanggungan atau klaim asuransi.

BAB IV : Analisa Hukum Asuransi Kendaraan Bermotor menurut KUH Dagang. Membicarakan Asuransi Kendaraan bermotor yang mendapat ganti rugi pertanggungan wajib kendaraan bermotor, proses pemberian ganti kerugian para penggunaan kendaraan bermotor dan cara klaim ganti rugi memuat KUHD.

BAB V : Penutup
Memuat kesimpulan penulis mengenai segala sesuatu yang telah diuraikan pada bab-bab yang terdahulu serta saran-saran yang mungkin bermanfaat bagi pembaca skripsi ini terutama bagi yang berkepentingan.

Hukum Kontrak

Syarat kontrak
Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:

1 Kesepakatan para pihak
2 [[Kecakapan]] para pihak
3 Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas
4 Sebab/[[causa]] yang diperbolehkan secara hukum.

Jumat, 03 Juli 2009

ANALISA SOSIOLOGI HUKUM BERDASARKAN METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM

Latar Belakang
Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum.Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.

Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu : 1. bagaimanakah Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam yang dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan 2. bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila dilihat dari sudut pandang internal maupun eksternal

Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan menggunakanMetode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum.

Penggunaan kerangka teori dan konsep adalah untuk melihat pendapat para ahli yang telah mendefinisikan, seperti : konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya adalah : “Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat”.

Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum sepert :
1. Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis).
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.

Dasr sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu :
1. Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen. “Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum tumbuh dan berkembang berdasarkan :
a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwa hukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volksgeisf).
b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia.
c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).
d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool of social engineering”.
2. Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi (non yuridis).
3. Sosilogi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat reprensip.

Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental.
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat
2. Pendekatan Hukum Alam.
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social dalam menciptakan masyarakat yang didasrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).

Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana parktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut.
2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehiduipan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan sebagainya.Pendapat Max Weber yaitu “ Interpretative Understanding” yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social, dimana tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau internal dan ekternal.
3. Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.
4. Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera padsa peraturan itu ? dan harus menguji dengan data empiris.
5. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Penguraian Metode Pendekatan Sosilogi Hukum, Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, Hukum sebagai social Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat.

Metode Pendekatan Sosiologi Hukum,
Dalam pengkajian hukum positif masih mendominasi studi hukum pada Fakultas Hukum, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative. Dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan social kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.scientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif,
Untuk membanding hal tersebut diatas, maka pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, maka perlu menguraikan lebih dahulu dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis. Contoh : apakah seorang bermaksud lebih dari seorang isteri terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 40.
2. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern. Contoh : pada masyarakat sederhana ada dewam masyarakat adat sedangkan pada masyarakat modern adalah Putusan Hakim.
3. Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia. Contoh: diatatinya atau dilanggarnya hukum yang berlaku dalam masyarakat.
4. Sejarah Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Contoh : Monumen ordinantie ( HIR/Rbg).
5. Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara. Contoh Hukum adat Batak dengan hukum adat jawa atau hukum singapura dengan hukum Negara Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat yang dilengkapi dengan contoh diatas, dapat dipahami bahwa berbeda dengan pendekatan yuridis normative/pendekatan doktrin hukum.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol,
Dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat,
Hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, Alat pengubah masyarakat adalah analogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlkihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru. Peran perubahan/pengubahan tersebut dipegang oleh hakim melalui interprestasi dalam mengadili kasus yang dihadapinya secara seimbang (balance) dan harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Studi tentang aspek social actual dari lembaga hukum.
2. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif.
3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum.
4. Studi tentang metodologi hukum.
5. Sejarah hukum.
6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi adari kasus-kasus individual yang pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak.
Dari keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam melakukan “interprestasi”, maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, yang semula hanya merupakan unsur-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

Menganalisa Faktor Internal.
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi oleh factor internal yang hidup didalam masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa factor internal bahwa metode pendekatan tersebut dipengaruhi kebijakan dasar yaitu Dewan Hukum Adat pada masyarakat sederhana, sedangkan pada masyarakat modern adalah putusan hakim. Juga dipengaruhi kebijakan pemberlakuan, akibat pengaruh kebijakan dasar tersebut dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar dan apabila tidak melaksanakan maka akan terkena sanksi kebijakan pemberlakuan, pada masyarakat sederhana keputusan dewan kepala adat harus dilaksanakan dengan ketentuan musyarakat dewan adat, sedangkan pada masyarakat modern, keputusan Hakim adalah merupakan kebijakan dasar sedangkan kebijakan pemberlakukan adalah apabila tidak melaksanakan putusan tersebut akan mendapat sanksi yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.

Menganilsa Faktor Eksternal
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi juga oleh faktor eksternal yang hidup diluar masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan, buka kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa faktor eksternal mempengaruhi metode pendekatan tersebut, terhadap kebijakan dasar eksternal yaitu peraturan nasional yang menaungi keamaan dan ketentraman masyarakat sederhana tersebut, seperti pemberlakuan hak penguasan tanah adat (Hak Ulayat), sedangkan pada masyarakat modern adalah peraturan perundangan-undangan pertanahan (Hukum Agraria) yang melindungi masyarakat modern didalam hal penguasaan tanah. Sangat jelas terlihat bahwa kebijakan pemberlakuan, sebagai akibat dipengaruh kebijakan dasar tersebut, dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar yang berupa peraturan perundang-undang dan apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka akan hilang hak penguasaan tanah tersebut yaitu kebijakan pemberlakuan pada masyarakat modern.

Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didas untukrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law).

Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut yaitu Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data empiris.

Dengan dilakukan metode Pendekatan Sosiologi Hukum, adalah pengkajian hukum positif, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum (pendekatan yuridis normative dan pendekatan pengkajian hukum pada kenyataa didalam kehidupan social kemasyarakatan). Sedangkan Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, adalah pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, dengan menguraikan lebih dahulu pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya yaitu : Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis, Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern, Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia, Sejarah Hukum sebagai iilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau sampai dengan sekarang, dan Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat.adalah untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

by : Timur Abimanyu
.

DAFTAR PUSTAKA

----------Uraian, Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989),

Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)hal.13. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961), hal 32.

Prof.DR.H.Zainuddi Ali,MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu.

Ilmu Kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu sosilogi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.

----------------Donald Black. Sociological Justice, (New York : Academic Pres, 1989)..

Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Remadja Karya, 1985).

----------------Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976)

----------------Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh, Florida, 1986).

Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen. Jakaarta, 1950.

Putusan Mahkamah Agung. No. 59 K/Sip/ 1958 “ Menurut Hukum Adat Karo sebidang tanah “ Lesain” yaitu sebidang tanah kosong, yang letaknya dalam kampung, bias menjadi hak milik perorangan, setelah tanah itu diusahakan secara intensif oleh seseorang penduduk kampung itu “

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. “Hak Ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam golongan obyek pendaftaran tanah teknis tidak mungkin, karena batas-bayas tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antara masyarakat hukum yang berbatasan”.

Dalam “Advies der Agrarische Commisale” yang tercetak, Landsdrukkerij 1930, terdapat segala sesuatu yang menurut pendapat saya merupakan kecaman sehat terhadap masalah ini. Keberatan-keberatan yang menentang advies tadi, adalah terdapat dalam verslag dari panitya untuk mempelajari Advoes Der Agrarische Commisale 1932, panitya mana dibentuk oleh perkumpulan “ Indie-Nederland”.

UU No. 4 tahun 1996. ( Undang Undang Hak Tanggungan). “Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta 1975”.

Soewardu. “ Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia “Jakarta, 1950, hal..60. Ceramah Koesano tentang “ Pembangunan Hukum Adat”.

Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta, 1968,

Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil) Bandung, 1970, hal. 21-23.

Poesponoto, Soebakti. “ Asa-asas dan susunan Hukum Adat”. Penerbit : Pradnya Paramita. Jakarta, 1976.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat Hukum Adat (87).

Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Provinsi Papua (87).

12 UU Darurat No. 1 tahun 1952 ko UU No. 24 tahun 1954 tentang pemindahan hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang bertakluk pada hukum barat (LN.1952-1 jo LN.1954-78. TLN.626).

Untuk jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : Agrarisch Besluit (S.1870-118) dan Ordonnantie.S.1872-237a jo S.1913-699). Untuk luar jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : S.1874-94f (Sumatra) diganti dengan Erfpachts, S.1877-55 (keresidenan Menado) Ordonnantie Buitengewesten, S. 1888-58 (Zuider-en Oosterafdeking Borneo)(S.1914-367), S.1910-61 Wefpacht Ordonnantie Zelfberturende Landschappen Buitengewestenm S. 1915-474 Pemberian kewenangan kepada penguasa swapraja untuk memberikan hak-hak barat atas tanah (21).

Reglement omtrent de Partikuliere Landerijen bewesten de Cimanuk op java (S.1912-422).

Prent K. Adisubrata, j. Porwadarminta. “ Kamus Latin Indonesia” Yayasan : Kanisius. Semarang 1960. Hal.9 ( Buku . Prof. Budi Harsono).

Subekti,R. “ ASEAN LAW ASSOCIATION”. Harian Sinar Harapan tgl 25, Jakarta., 1984. di Singapura, bahwa dalam pembaharuan dan pembinaan Hukum Nasional, kita perlu belajar dari perkembangan Hukum Negara tetangga lain, namun diingatkan, dalam pembaharuan Hukum Nasional sebanyak-bantknya kita harus berpedoman kepada falsafah bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ditegaskan bahwa para ahli Hukum kita tidak kalah dari para ahli Hukum dari negara-negara ASEAN yang lain. Dan sebagai bukti Prof. Subekti menunjuk kepada prodak Undang-Undang Pokok Agraria, yang dinilainya sebagai produk hukum yang hebat. Undang-Undang itu merupakan system hukum kita sendiri, yang dengan tegas membuang jauh-jauh hukum tanah Belanda yang tercerai-berai, dan sekarang ini kita mempunyai Hukum Tanah yang seragam.

Andteas H. Roth. Sebagai yang dikutip oleh Gautama, Sudargo..
“Adanya kesepakatan Universal, bahwa suatu negara diperbolehkan tidak mengijinkan orang-oreang lain selain warganegaranya sendiri untuk memperoleh benda-benda tetap diwilayh kekuasaannya”. Dimana Roth merumuskan “ Rule Number 6” yaitu yang berdasarkan Hukum Internasional. Keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing untuk berparttisipasi dalam kehidupan ekonomi negara dimana ia bertempat tinggal, tidak sampai meliputi pemilikan semua atau benda-benda tertentu, baik benda bergerak maupun benda tetap.

Hadilusuma, Hilman. “Sejarah Hukum Adat Indonesia”. Penerbit Alumni, Bandung tahun 1978..

Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. ” Proe Advies Derde Juristen Conggres”. Di Jakarta disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechtelijke Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934.

Ward, Barbara dan Rene, Dubos. “Satu Bumi : Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planet Kecil”. Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran dan Yayasan Obor. Jakarta :Gramedia, 1974.

Koentjaraningrat. “ Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.” Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1969, hal. 19.

Rabu, 01 Juli 2009

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Pendahuluan

Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum harus tangkas dalam memberikan suatu pendapat hukum. Sebab permasalahan ternyata tidak harus berakhir di meja persidangan. Dengan mempertimbangkan asas subsidiaritas maka, banyak sekali upaya hukum disamping penyelesaian di meja hijau yang bisa dilakukan oleh pihak bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan hukum perburuhan sebagai salah satu kerangka hukum positif yang diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia, turut mengakomodir penyelesaian diluar kompetensi pengadilam umum. Dengan dikenalnya upaya hukum arbitrasi, mediasi, litigasi, dan sebagainya, maka pemilihan urutan yang benar mempengaruhi ketepatan beracara untuk menyelesaikan masalah dengan cepat, cermat, dan tepat. Tugas ini mengangkat suatu kasus yang telah selesai di pengadilan, dan menganalisis, apabila kasus ini belum diperkarakan, maka upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan, serta upaya hukum apa yang paling tepat serta urutan upaya hukum apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus mengenai hukum perburuhan.
Makalah ini akan mengandaikan apabila terjadi suatu fakta hukum yang berkutat pada ranah hukum perburuhan, dan fakta ini haruslah memiliki suatu permasalahan yang berkaitan antara hubungan buruh dengan buruh, buruh dengan majikan ataupun buruh dengan penguasa. Dari berbagai proses penyelesaian yang diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, ternyata ada kelemahan dan kelebihan masing-masing upaya penyelesaian, sehingga perlu dicermati lebih dalam satu per satu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diusahakan melalui penyelesaian perselisihan yang terbaik, yaitu penyelesaian perselisihan oleh para pihak yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian ini dapat diselesaikan melaui Bipartit, Tripartit, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini di sebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk meningkatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaiakn kasus-kasus pemutusan hubunga kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak. Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serkat buruh di satu perusahaan tidak dapat di batasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya terkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perseorangan belum terakomodasi. Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :

1. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
2. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, pertauran perusaahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3. pengakhiran hubungan kerja;
4. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.

Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan.
Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang No.39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.
Penyelesaian Melalui Bipartie
Bipartie merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian PHI oleh penguasa dan pekerja atau serikat pekerja adalah dengan melakukan penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Penyelesaian perselisihan melalui bipartite ini memiliki jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan, sedangkan apabila jangka waktu terlampau maka perundingan dinyatakan batal demi hukum. Ketentuan perundingan tersebut setidak-tidaknya harus memuat antara lain mengenai nama lengkap, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan, serta tanda tangan para pihak. Hasil perundingan kedua belah pihak atas perjanjian tersebut acapkali disebut dengan perjanjian bersama yang wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial di wilayah para pihak membuat perjanjian bersama tersebut.

Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi ialah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 1 UUPPHI). Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan “perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Apablia tidak terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari pihak yang dapat dilakukan oleh para pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Penyelesaian masalah di tahap mediasi sangat cepat tidak lebih dari 30 hari kerja, dan mediator wajib untuk memulai sidang mediasi selambat-lambatnya 7 hari sejak dilimpahkan (pasal 10 dan 15 UUPHI)

Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai.
Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut.

Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama, dan apabila didalam Perjanjian Kerja Bersama tidak diatur tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara Arbitrase, maka para pihak dapat membuat Perjanjian pendahuluan yang berisikan penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase pada saat sengketa telah terjadi.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak dapat diajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena Putusan Arbitarse bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke Mahkamah Agung RI.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Dalam UU PPHI, disebutkan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 hakim, satu hakim karir dan dua hakim ad hoc. Hakim ad hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc, sambungnya, dianggap orang yang mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik. "Tujuannya, karena hokum perburuhan ini mempunyai sifat yang spesifik, maka,dibutuhkan orang-orang khusus yang mengerti permasalahan perburuhan. Masalah perburuhan kan tidak hukumansis, ada faktor social, ekonomi, politik, dan sebagainya," tegasnya. Berbeda dengan hakim peradilan umum yang merupakan murni hukum.

Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
• di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
• di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Kesimpulan
•Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam kaitannya dengan hukum perburuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni baik mengunakan penyelesaian di dalam maupun di luar persidangan.
•Penyelesaian ditingkat bipartite lebih efektif dibandingkan penyelesaian permasalahan ditingkat perselisihan, tetapi ada dua persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak yaitu : mengembangkan sikap kerja sama sejajar (patnership equality) dengan menempatkan SP/SB sebagai bagian perusahaan dan bukan subordinasi perusahaan, serta mengembangkan sikap saling percaya (mutual trust).

Saran
• Penyelesaian Hubungan Perburuhan haruslah mengutamakan musyawarah dan mufakat. Pihak yang bersengketa harus dapat memposisikan diri dan memiliki kemampuan dalam bernegosiasi, menjadikan permasalahan perburuhan dapat diselesaikan dalam tingkat Tripartit tanpa harus melalui mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga pemborosan terhadap waktu dan materi dapat di minimalkan.
• Memperkuat penyelesaian non ligitasi sebagai pilihan utama dan berwibawa (berkeadilan bagi kedua belah pihak) yaitu : Pekerja/Buruh dan Pengusaha diberi keleluasaan untuk memilih juru damai (konsiliator/mediator) yang ada, serta memfasilitasi terbentuknya sistem arbitrasi yang bebas / independent, mandiri, dan berwibawa.


Daftar Pustaka
- Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta 2004.
—————- Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia, 2000 dan Undang-undang HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001.
—————- Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004.
—————- Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Beserta penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004.
—————- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jurnal HAM Vol.1 No.1, Oktober 2003, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003.
Keleung, Bukit. Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan. http://library.usu.ac.id/download/fh/hkmadm-kelelung.pdf.

Computer crime (cyber Crime)

Computer crime, cybercrime, e-crime, hi-tech crime or electronic crime generally refers to criminal activity where a computer or network is the source, tool, target, or place of a crime. These categories are not exclusive and many activities can be characterized as falling in one or more. Additionally, although the terms computer crime and cybercrime are more properly restricted to describing criminal activity in which the computer or network is a necessary part of the crime, these terms are also sometimes used to include traditional crimes, such as fraud, theft, blackmail, forgery, and embezzlement, in which computers or networks are used. As the use of computers has grown, computer crime has become more important.

Computer crime can broadly be defined as criminal activity involving an information technology infrastructure, including illegal access (unauthorized access), illegal interception (by technical means of non-public transmissions of computer data to, from or within a computer system), data interference (unauthorized damaging, deletion, deterioration, alteration or suppression of computer data), systems interference (interfering with the functioning of a computer system by inputting, transmitting, damaging, deleting, deteriorating, altering or suppressing computer data), misuse of devices, forgery (ID theft), and electronic fraud.[1]

Computer crime issues have become high-profile, particularly those surrounding hacking, copyright infringement through warez, child pornography, and child grooming. There are also problems of privacy when confidential information is lost or intercepted, lawfully or otherwise.

Jaminan fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terdapat berbagai pengaturan mengenai fidusia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan fidusia sebagai lembaga jaminan yang diakui undang-undang. Pada Pasal 12 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa, 1. Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang dengan : a. dibebani hipotik, jika tanahnya hak milik atau HGB b. dibebani fidusia, jika tanahnya hak pakai atas tanah negara. 2. Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimakksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.


Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Hukum perlindungan anak era industri

Fenomena yang sering terjadi berkaitan dengan pelaksanaan hak
keperdataan anak adalah penelantaran anak.

Pada era industrialisasi, dimana semua orang (laki atau perempuan)
dituntut berperan aktif dalam kerasnya nafas masyarakat industri,
fenomena penelantaran anak akan semakin meninggi.

Kedua orangtua yang terlibat aktif dalam masyarakat industri, misalnya
sebagai pekerja yang seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak
pada melalaikan kewajiban mendidik anak, sehingga anak telantar.

Ketidakmampuan orangtua melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya
disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya anaknya banyak sementara
penghasilan minim, sehingga perhatian terhadap anak tidak penuh.

Dapat pula disebabkan oleh suasana kehidupan orangtua yang tidak
harmonis, sehingga tidak mendukung pertumbuhan dan pendidikan anak.
Atau keaktifan orangtua di luar rumah tanpa meluangkan waktu dan
perhatian kepada anak, sehingga berakibat anak broken home dan
frustrasi.

Ujung-ujungnya anak melampiaskan kekesalannya ke luar rumah, bergaul
dengan anak-anak yang mengalami nasib sama. Yang lebih parah lagi,
anak terjerumus ke dalam dunia hitam, menjadi anggota geng,
mengkomsumsi obat terlarang, terlibat tawuran, bahkan terlibat tindak
kejahatan.

Yang lebih memprihatinkan, banyak anak perempuan menggeluti "profesi"
sebagai penjaja cinta, pereks, cewek matre atau apapun namanya yang
melayani lelaki hidung belang.

Fenomena pelacuran anak di mall, diskotik, supermarket, plaza, yang
tumbuh di kota akibat industrialisasi, sudah mulai menggejala di
Indonesia. Di Asia, paling sedikit terdapat satu juta anak menjadi
budak seks di bursa prostitusi.

Menurut Dilma Felizardo, di Brasil banyak anak perempuan usai 8 tahun
direkrut menjadi pelacur di bagian timur negeri itu. Menurut data
Unicef, 2-10 juta anak perempuan berusia 10-15 tahun bekerja sebagai
pelacur di Brasil (Suara Pembaruan, 23 Juli 1994).

Di Indonesia juga banyak anak telantar yang menghidupi dirinya sendiri
dengan bekerja, baik di sektor formal maupun informal, menjadi
pedagang asongan, penyemir sepatu, joki di kawasan three in one di
Jakarta, pemulung atau pengemis.

Menurut Data YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), sebanyak 2,4
juta anak terserap sebagai pekerja di sektor formal dan informal.
Jumlah tersebut saat ini tentu lebih banyak lagi. Salah satu alasan
mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga. Akibatnya,
pendidikan dan masa depan anak terbengkalai.

Aspek pidana

Perlindungan dari aspek hukum pidana ditujukan pada anak yang menjadi
korban kejahatan atau menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. Anak yang
menjadi korban kejahatan dapat terjadi di rumah (keluarga) atau di
luar rumah.

Fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggayuti
kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras,
terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stres
dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.

Apabila perlakuan kasar orangtua menyebabkan sakit, luka atau kematian
anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat
dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orangtuanya.

Masih ingat kisah nyata Ari Hanggara, seorang anak yang disiksa ayah
kandungnya, yang kemudian difilmkan. Yang lebih mengerikan, di antara
perlakuan kasar yang diterima anak berupa pelecehan seksual,
menyetubuhi atau memperkosa anak. Berapa banyak ayah kandung yang
"memakan" anak gadisnya sendiri, bahkan sebagian di antaranya ada yang
membuahkan bayi.

Upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah:

Pertama, harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu,
ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak
menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya
dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat
dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga
terdekat.

Kedua, diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak
yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial
agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Disamping itu,
perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi
kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban
kekerasan dalam keluarga.

Fenomena lain berkaitan dengan dampak industrialisasi terhadap
perlindungan anak dari aspek hukum pidana adalah munculnya anak yang
menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh pengidap
pedofilia.

Perilaku pedolifia tidak selalu ditujukan pada sesama jenis (umumnya
oleh pria dewasa terhadap anak laki), tapi bisa juga dilakukan
terhadap lawan jenis. Kita tentu masih ingat pada Robot Gedek alias
Sis, yang baru-baru ini menyodomi beberapa anak laki dan kemudian
membunuhnya.

Anak sering menjadi korban pedofilia karena mereka secara sosial
kedudukannya lemah, mudah diperdaya (ditipu), mudah dipaksa dan takut
untuk melapor kepada orangtuanya kendati telah berkali-kali menjadi
korban. Disamping itu, anak telantar yang banyak berkeliaran di tempat
umum atau daerah kumuh, terutama di masyarakat industri, juga tidak
sedikit yang menjadi korban perilaku pedofilia.

Anak yang menjadi korban pedofilia perlu disosialisasikan di pusat
pemulihan, baik yang diselenggarakan instansi pemerintah, swasta, LSM,
atau lembaga pemerhati hak anak korban kejahatan seksual. Segala
kebutuhan fisik dan sosial anak korban kejahatan seksual selama masa
pemulihan sedapat mungkin dipenuhi dengan baik.

Untuk merealisasikan program ini, sudah barang tentu diperlukan dana
tidak sedikit dan partisipasi masyarakat. Apabila tidak diadakan
pemulihan, dikhawatirkan anak yang menjadi korban akan tertular
perilaku pedofilia, yang kelak dibalaskan kepada anak lain.

Era industrialisasi mengintrodusir munculnya kehidupan kota yang makin
ramai. Berdirinya mall ternyata mampu menyedot minat anak, baik untuk
sekadar mejeng atau bahkan melakukan tindak pidana. Derasnya arus
informasi dan telekomunikasi juga memberikan sumbangan terhadap
penyimpangan perilaku anak.

Maraknya industri pertelevisian dekade terakhir mampu mengubah gaya
dan pola pikir anak. Sebagian besar tayangan televisi lebih banyak
menonjolkan kekerasan dan seks. Akibatnya, muncul sekelompok anak yang
menjadi pelaku tindak kejahatan.

Proses hukum terhadap anak bermasalah atau anak yang terlibat tindak
pidana sering tidak menguntungkan anak. Sejak penyelidikan/penyidikan,
anak yang tersangkut tindak pidana, sudah didera penderitaan. Misalnya
dibentak atau ditangani (ditempeleng, dicubit, disabet dengan pecut
atau kabel). Jika meronta ketika hendak ditangkap, tersangka anak
diseret atau digelandang seperti layaknya penjahat kambuhan kelas
kakap.

Dalam proses pengendalian, terdakwa anak kadang dibaurkan dengan orang
dewasa, kendati persidangan dilakukan secara tertutup. Selama menunggu
sidang, tidak jarang terdakwa anak disatukan di dalam ruang tahanan
dewasa dan menjadi tontonan umum.

Demikian juga dalam pemeriksaan di persidangan-kendati hakim, jaksa
dan pengacara tidak memakai toga-tetap saja berjalan formal di ruang
sidang biasa, sehingga terkesan angker.

Ada pula anak disidang tanpa didampingi orangtua atau wali, pengacara
atau pekerja sosial yang seharusnya memberikan bantuan dan dorongan
selama proses perkara. Dalam memidana, tidak jarang hakim menjatuhkan
hukuman penjara yang pelaksanaannya dilakukan di LP dewasa. Sekeluar
dari penjara anak bersangkutan malah lebih bandel atau jadi bocah
preman, karena menimba ilmu dari penjahat dewasa selama menjalani
hukuman.

RUU peradilan anak

Mengingat perlindungan hukum terhadap anak diberikan dalam berbagai
peraturan yang menyebar, pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang
Peradilan Anak (RUUPA). RUUPA saat ini tengah digodok di DPR untuk
mendapatkan persetujuan legislatif sebelum disahkan Presiden. RUUPA
hendak mengatur seluruh aspek perlindungan anak, baik dari segi
perdata, pidana maupun hukum acaranya.

Sejak digulirkan, RUUPA banyak mendapat tentangan keras dari
masyarakat, terutama dari golongan Islam yang keberatan terhadap
ketentuan dalam RUUPA yang dinilai bertentangan dengan Syariat Islam.

RUUPA hendak mengatur soal pengangkatan anak yang tidak dikenal di
dalam Islam. Demikian juga keinginan menyatukan semua aspek hukum
(perdata, pidana dan hukum acara) dalam UUPA dinilai bertentangan
dengan sendi ilmu hukum yang berlaku yang mengenal pembedaan antara
hukum privat dan publik.

Kendati mendapat reaksi keras dari masyarakat, ternyata ada hal baru
dalam RUUPA, yaitu diatur secara khusus proses peradilan (pidana) bagi
perkara anak, mulai dari penyidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman
sampai pelaksanaan hukuman.

Menurut RUUPA batas usia anak dapat diseret ke pengadilan pidana
adalah 8-18 tahun. RUUPA dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
anak dan melindungi anak telantar serta anak yang tersangkut tindak
pidana, RUUPA mengintrodusir lembaga baru, yaitu Lembaga Sosial
Rehabilitasi Anak (LSRA) untuk menangani anak telantar.

Kita sangat berharap agar RUUPA dapat segera disahkan agar
perlindungan hukum terhadap anak dapat lebih terjamin. Supaya tidak
menimbulkan gejolak, ketentuan yang bertentangan dengan rasa keadilan
dan nilai yang hidup di masyarakat, hendaknya diperbaiki agar RUUPA
dapat diterima masyarakat dan dapat dilaksanakan dengan baik.

Perkara Pelanggaran Perda Tidak Bisa Dikasasi

Permohonan kasasi aktivis Falum Gong ditolak MA. Ia dihukum berdasarkan Perda Ketertiban Umum.

Salah satu perkara yang tidak bisa diajukan kasasi adalah perkara yang ancaman hukumannya adalah pidana paling lama satu tahun penjara. Sementara ancaman kurungan di dalam Perda tidak boleh lebih dari 6 bulan.



Pasal 45 A Ayat (1) UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung membatasi perkara yang bisa diajukan kasasi, antara lain putusan praperadilan, perkara pidana yang diancam dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun penjara dan perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.



Nah, mengacu pada ketentuan di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa setiap perkara pelanggaran terhadap Peraturan Daerah (Perda) tidak dapat diajukan kasasi. Hal tersebut dikarenakan, berdasarkan Pasal 143 Ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan Perda dapat memuat ancaman hukuman kurungan paling lama 6 bulan.



Argumen hukum inilah yang digunakan majelis kasasi Mahkamah Agung saat menolak permohonan kasasi Hok Soebagio. Kepada hukumonline, Soebagio menuturkan bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman percobaan 2 bulan kurungan dengan masa percobaan 6 bulan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena dianggap telah terbukti melanggar Pasal 8 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Daerah No 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.



Soebagio menjelaskan, duduk perkara persoalan ini ketika pada April 2005, ia beserta beberapa sebelas aktivis Falun Gong menggelar aksi solidaritas di depan Kedutaan Besar China. “Aksi yang kami lakukan saat itu hanyalah duduk di trotoar sambil meditasi dan mempertunjukkan beberapa gambar yang memperlihatkan bagaimana para pengikut Falun Gong di China disiksa secara kejam oleh pemerintah China,” cerita Soebagio.



Merasa demonstrasinya sudah memenuhi ketentuan yang terdapat dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, Soebagio pun melanjutkan aksi solidaritasnya. Namun, sekira satu jam, aparat kepolisian dari Polres Jakarta Selatan kemudian mengusir Soebagio c.s sekaligus mengangkutnya ke Kantor Polres Jakarta Selatan karena dianggap melanggar jalur hijau sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Angka 1 dan 2 Perda Ketertiban Umum. “Saya beserta kawan-kawan ditangkap dan menginap selama satu malam di Polres Metro Jakarta Selatan.”



Proses hukum pun berlanjut ke pengadilan. Herman Allositandi, hakim PN Jakarta Selatan, saat itu melalui putusannya bernomer 367/Pid/TPR/PN Jak Sel, memvonis Soebagio dkk telah terbukti bersalah melanggar Perda No 11 Tahun 1998. Atas putusan PN Jaksel ini, Soebagio melalui kuasa hukumnya dari LBH Jakarta lantas mengajukan banding. Namun usaha bandingnya sia-sia. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah menguatkan putusan PN Jaksel. Di tingkat kasasi, perjuangan Soebagio kembali kandas.



Perda No 11 Tahun 1988

Pasal 8

Kecuali untuk keperluan dinas, setiap orang dilarang untuk:

1. memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan untuk umum

2. melakukan perbuatan dengan alasan apapun yang dapat merusak jalur hijau dan atau taman beserta

kelengkapannya.



Pasal 27 Ayat (1)

Perbuatan yang melanggar pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 23 dan pasal 24 Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya (3) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)





Ajukan PK

Kini, Soebagio coba mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Soebagio beralasan tindakan aparat kepolisian yang menangkap dan menahannya selama satu malam justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 Ayat (3) Perda No 11 Tahun 1988. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa dalam melakukan tugasnya, penyidik tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan.



Selain itu, Soebagio beralasan aksi solidaritas yang saat itu dilakukannya telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dimana dijelaskan tentang tempat-tempat yang dilarang untuk dilakukannya unjuk rasa, yaitu di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara dan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.



“Dengan demikian, trotoar di seberang kedubes RRC adalah tempat terbuka untuk umum. Sehingga putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan yang sudah menghukum kami, jelas telah bertentangan dengan UU No 9 Tahun 1998,” tegas Soebagio. “Selain itu, berdasarkan peta lokasi yang kami peroleh dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta, lokasi tempat kami berunjuk rasa ternyata bukanlah jalur hijau,” tambahnya.



Sementara, dalam berkas jawaban atas permohonan PK Soebagio, pihak Polres Metro Jakarta Selatan membantah semua dalil Soebagio. Mengenai kewenangan menangkap yang dipertanyakan Soebagio misalnya. Polres Jaksel beralasan hal itu merupakan kewenangan dari lembaga Praperadilan, bukan PK.



Polres Jaksel juga menyatakan bahwa dalil Soebagio yang mengaku sudah melakukan unjuk rasa sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 menjadi tidak relevan, karena demonstrasi yang dilakukan para aktivis falun gong tersebut dinilai sudah melanggar jalur hijau, yang dengan kata lain melanggar Perda No 11 Tahun 1988.



Tindak pidana ringan atau bukan?

Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chaerul Huda menuturkan, pada prinsipnya orang yang melanggar suatu Perda dapat dikenakan sanksi pidana. “Sepanjang Perda itu mengatur mengenai sanksi pidana,” jelas Huda.



Lebih jauh Huda menerangkan, berdasarkan ketentuan di dalam KUHAP, terhadap suatu tindak pidana ringan sebenarnya bisa dilakukan sidang ditempat. “Terhadap tindak pidana ringan yaitu tindak pidana yang diancam oleh kurungan maksimal tiga bulan, dapat dilakukan sidang ditempat.” Penjelasan Huda menjadi menjelaskan mengapa aparat penyidik dalam ketentuan Perda No 11 Tahun 1988 tidak boleh melakukan penangkapan apalagi penahanan.



Sedangkan dalam perkara Soebagio ini, Huda melihat adanya kekeliruan hukum jika perkara tetap diperiksa di Pengadilan. “Jadi tidak jelas perkaranya. Apakah tindak pidana ringan atau bukan. Karena kalau diperiksa di pengadilan, menjadi hilang karakterisitik tindak pidana ringannya".

Hukum Pidana Khusus

HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

A. Pengertian Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan : “ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

B. Dasar hukum dan kekhususan. UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

Hk. Administrasi Ø Hk. Pidana Ekonomi ( UU No 7 Drt 1955). Ø
UU Hk Pidana > KUHPM
UU Pidana Ø TP. Korupsi; /> UU lain Ø TP. Narkotika Ø TP Terorisme
Hk. TP. Khusus
Hubungan : Hk. TP Khusus – Hk Pidana Umum : Hk. Pidana Umum – Hk. TP.Pid Khusus
Ps 103 KUHP
Melengkapi


Perundang-undangan Pidana :

1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.

1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)

Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

C. Kekhususan T.P. Khusus. Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.

1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs) 1.1. Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs) 1.2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang) 1.3. Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs) 1.4. Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs) 1.5. Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara. (ket.khs) 1.6. Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs). 1.7. Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus). 1.8. Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang) 1.9. Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs) 1.10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs) 1.11. Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs) 1.12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs) 1.13. Tindak pidananya dapat bersifat politik ( ket.khs). 1.14. Dapat pula berlaku asas retro active 2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal. 1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3] 2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain; 3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi. 4. Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara; 5. Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE); 6. Dianutnya Peradilan In absentia; 7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank; 8. Dianut Pembuktian terbalik; 9. Larangan menyebutkan identitas pelapor; 10. Perlunya pegawai penghubung; 11. Dianut TTS dan TT D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus. Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus : 1. Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955) 2. Tindak pidana Korupsi 3. Tindak Pidana Terorisme. Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi. ad 1. Hukum Pidana Ekonomi I. Pengertian, dan dasar Hukum UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP). II. Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah: a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah- ubah; b. Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum); c. Peradilan in absentia; Peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962. d. Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi; e. Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran; f. Perluasan berlakunya hukum pidana g. Penyelesaian di luar acara (schikking).[6] h. Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi. i. Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum. j. Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. k. Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi

III. Perumusan Tindak Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi. Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e. Tindak pidana berdasarkan Ps 26. Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini. Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah : a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1). b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1) c. Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1). Tindak Pidana berdasarkan Pasal 32 Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan : a. pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c; d. tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8; e. suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10; f. tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28 g. atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas. Rumusan lengkap Ps 32 sbb: Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas. Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955. Rumusan secara lengkap sbb: Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini. Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:

1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
2. tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.

Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :

1. tagihan-tagihan;
2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.

Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps 399 KUHP. Ps 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :

1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.

1. UU No 8 Prp tahun 1962 LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
2. UU No 9 Prp tahun 1962 LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.

IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum. Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48. Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada. Menurut Ps 36 seorang Hakim atau Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1). V. Badan-Badan Pegawai Penghubung. Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung. Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan persetujuan Menteri Kehakiman. Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP. VI.Tindakan Tatatertib Sementara Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu, tujuan dan tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tatatertib sementara. Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:

1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan tindakan tetatertib sementara

1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)

Tujuan pengambilan tindakan tetatertib sementara

1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
2. supaya tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapatdisita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.

Tindakan Melaksanakan Tindakan Tetatertib Sementara

1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan, dibawah pengampuan
3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.

Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tatateretib Sementara Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan : a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa. b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa. Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim. Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut : a. oleh hakim karena jabatannya b. atas tuntutan jaksa c. atas permohonan terdakwa. Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan: a. tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib. b. dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat. Uang pengganti kerugian itu dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.
VII. Sanksi
Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955. Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila hakim tidak menentukan lain.[10]. Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu. Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan. 1. UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah. 2. UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu : a. memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya; b. menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara; c. melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat). 3. UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. BERSAMBUNG KE TPK 1

[1] Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3] Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4] UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5] Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6] Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi. Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7] Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb No 240 tahun 1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995. Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea. Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8] Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9] RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10] Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11] Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12] Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.