Entri Populer

Rabu, 01 Juli 2009

Hukum perlindungan anak era industri

Fenomena yang sering terjadi berkaitan dengan pelaksanaan hak
keperdataan anak adalah penelantaran anak.

Pada era industrialisasi, dimana semua orang (laki atau perempuan)
dituntut berperan aktif dalam kerasnya nafas masyarakat industri,
fenomena penelantaran anak akan semakin meninggi.

Kedua orangtua yang terlibat aktif dalam masyarakat industri, misalnya
sebagai pekerja yang seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak
pada melalaikan kewajiban mendidik anak, sehingga anak telantar.

Ketidakmampuan orangtua melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya
disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya anaknya banyak sementara
penghasilan minim, sehingga perhatian terhadap anak tidak penuh.

Dapat pula disebabkan oleh suasana kehidupan orangtua yang tidak
harmonis, sehingga tidak mendukung pertumbuhan dan pendidikan anak.
Atau keaktifan orangtua di luar rumah tanpa meluangkan waktu dan
perhatian kepada anak, sehingga berakibat anak broken home dan
frustrasi.

Ujung-ujungnya anak melampiaskan kekesalannya ke luar rumah, bergaul
dengan anak-anak yang mengalami nasib sama. Yang lebih parah lagi,
anak terjerumus ke dalam dunia hitam, menjadi anggota geng,
mengkomsumsi obat terlarang, terlibat tawuran, bahkan terlibat tindak
kejahatan.

Yang lebih memprihatinkan, banyak anak perempuan menggeluti "profesi"
sebagai penjaja cinta, pereks, cewek matre atau apapun namanya yang
melayani lelaki hidung belang.

Fenomena pelacuran anak di mall, diskotik, supermarket, plaza, yang
tumbuh di kota akibat industrialisasi, sudah mulai menggejala di
Indonesia. Di Asia, paling sedikit terdapat satu juta anak menjadi
budak seks di bursa prostitusi.

Menurut Dilma Felizardo, di Brasil banyak anak perempuan usai 8 tahun
direkrut menjadi pelacur di bagian timur negeri itu. Menurut data
Unicef, 2-10 juta anak perempuan berusia 10-15 tahun bekerja sebagai
pelacur di Brasil (Suara Pembaruan, 23 Juli 1994).

Di Indonesia juga banyak anak telantar yang menghidupi dirinya sendiri
dengan bekerja, baik di sektor formal maupun informal, menjadi
pedagang asongan, penyemir sepatu, joki di kawasan three in one di
Jakarta, pemulung atau pengemis.

Menurut Data YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), sebanyak 2,4
juta anak terserap sebagai pekerja di sektor formal dan informal.
Jumlah tersebut saat ini tentu lebih banyak lagi. Salah satu alasan
mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga. Akibatnya,
pendidikan dan masa depan anak terbengkalai.

Aspek pidana

Perlindungan dari aspek hukum pidana ditujukan pada anak yang menjadi
korban kejahatan atau menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. Anak yang
menjadi korban kejahatan dapat terjadi di rumah (keluarga) atau di
luar rumah.

Fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggayuti
kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras,
terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stres
dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.

Apabila perlakuan kasar orangtua menyebabkan sakit, luka atau kematian
anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat
dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orangtuanya.

Masih ingat kisah nyata Ari Hanggara, seorang anak yang disiksa ayah
kandungnya, yang kemudian difilmkan. Yang lebih mengerikan, di antara
perlakuan kasar yang diterima anak berupa pelecehan seksual,
menyetubuhi atau memperkosa anak. Berapa banyak ayah kandung yang
"memakan" anak gadisnya sendiri, bahkan sebagian di antaranya ada yang
membuahkan bayi.

Upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah:

Pertama, harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu,
ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak
menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya
dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat
dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga
terdekat.

Kedua, diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak
yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial
agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Disamping itu,
perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi
kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban
kekerasan dalam keluarga.

Fenomena lain berkaitan dengan dampak industrialisasi terhadap
perlindungan anak dari aspek hukum pidana adalah munculnya anak yang
menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh pengidap
pedofilia.

Perilaku pedolifia tidak selalu ditujukan pada sesama jenis (umumnya
oleh pria dewasa terhadap anak laki), tapi bisa juga dilakukan
terhadap lawan jenis. Kita tentu masih ingat pada Robot Gedek alias
Sis, yang baru-baru ini menyodomi beberapa anak laki dan kemudian
membunuhnya.

Anak sering menjadi korban pedofilia karena mereka secara sosial
kedudukannya lemah, mudah diperdaya (ditipu), mudah dipaksa dan takut
untuk melapor kepada orangtuanya kendati telah berkali-kali menjadi
korban. Disamping itu, anak telantar yang banyak berkeliaran di tempat
umum atau daerah kumuh, terutama di masyarakat industri, juga tidak
sedikit yang menjadi korban perilaku pedofilia.

Anak yang menjadi korban pedofilia perlu disosialisasikan di pusat
pemulihan, baik yang diselenggarakan instansi pemerintah, swasta, LSM,
atau lembaga pemerhati hak anak korban kejahatan seksual. Segala
kebutuhan fisik dan sosial anak korban kejahatan seksual selama masa
pemulihan sedapat mungkin dipenuhi dengan baik.

Untuk merealisasikan program ini, sudah barang tentu diperlukan dana
tidak sedikit dan partisipasi masyarakat. Apabila tidak diadakan
pemulihan, dikhawatirkan anak yang menjadi korban akan tertular
perilaku pedofilia, yang kelak dibalaskan kepada anak lain.

Era industrialisasi mengintrodusir munculnya kehidupan kota yang makin
ramai. Berdirinya mall ternyata mampu menyedot minat anak, baik untuk
sekadar mejeng atau bahkan melakukan tindak pidana. Derasnya arus
informasi dan telekomunikasi juga memberikan sumbangan terhadap
penyimpangan perilaku anak.

Maraknya industri pertelevisian dekade terakhir mampu mengubah gaya
dan pola pikir anak. Sebagian besar tayangan televisi lebih banyak
menonjolkan kekerasan dan seks. Akibatnya, muncul sekelompok anak yang
menjadi pelaku tindak kejahatan.

Proses hukum terhadap anak bermasalah atau anak yang terlibat tindak
pidana sering tidak menguntungkan anak. Sejak penyelidikan/penyidikan,
anak yang tersangkut tindak pidana, sudah didera penderitaan. Misalnya
dibentak atau ditangani (ditempeleng, dicubit, disabet dengan pecut
atau kabel). Jika meronta ketika hendak ditangkap, tersangka anak
diseret atau digelandang seperti layaknya penjahat kambuhan kelas
kakap.

Dalam proses pengendalian, terdakwa anak kadang dibaurkan dengan orang
dewasa, kendati persidangan dilakukan secara tertutup. Selama menunggu
sidang, tidak jarang terdakwa anak disatukan di dalam ruang tahanan
dewasa dan menjadi tontonan umum.

Demikian juga dalam pemeriksaan di persidangan-kendati hakim, jaksa
dan pengacara tidak memakai toga-tetap saja berjalan formal di ruang
sidang biasa, sehingga terkesan angker.

Ada pula anak disidang tanpa didampingi orangtua atau wali, pengacara
atau pekerja sosial yang seharusnya memberikan bantuan dan dorongan
selama proses perkara. Dalam memidana, tidak jarang hakim menjatuhkan
hukuman penjara yang pelaksanaannya dilakukan di LP dewasa. Sekeluar
dari penjara anak bersangkutan malah lebih bandel atau jadi bocah
preman, karena menimba ilmu dari penjahat dewasa selama menjalani
hukuman.

RUU peradilan anak

Mengingat perlindungan hukum terhadap anak diberikan dalam berbagai
peraturan yang menyebar, pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang
Peradilan Anak (RUUPA). RUUPA saat ini tengah digodok di DPR untuk
mendapatkan persetujuan legislatif sebelum disahkan Presiden. RUUPA
hendak mengatur seluruh aspek perlindungan anak, baik dari segi
perdata, pidana maupun hukum acaranya.

Sejak digulirkan, RUUPA banyak mendapat tentangan keras dari
masyarakat, terutama dari golongan Islam yang keberatan terhadap
ketentuan dalam RUUPA yang dinilai bertentangan dengan Syariat Islam.

RUUPA hendak mengatur soal pengangkatan anak yang tidak dikenal di
dalam Islam. Demikian juga keinginan menyatukan semua aspek hukum
(perdata, pidana dan hukum acara) dalam UUPA dinilai bertentangan
dengan sendi ilmu hukum yang berlaku yang mengenal pembedaan antara
hukum privat dan publik.

Kendati mendapat reaksi keras dari masyarakat, ternyata ada hal baru
dalam RUUPA, yaitu diatur secara khusus proses peradilan (pidana) bagi
perkara anak, mulai dari penyidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman
sampai pelaksanaan hukuman.

Menurut RUUPA batas usia anak dapat diseret ke pengadilan pidana
adalah 8-18 tahun. RUUPA dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
anak dan melindungi anak telantar serta anak yang tersangkut tindak
pidana, RUUPA mengintrodusir lembaga baru, yaitu Lembaga Sosial
Rehabilitasi Anak (LSRA) untuk menangani anak telantar.

Kita sangat berharap agar RUUPA dapat segera disahkan agar
perlindungan hukum terhadap anak dapat lebih terjamin. Supaya tidak
menimbulkan gejolak, ketentuan yang bertentangan dengan rasa keadilan
dan nilai yang hidup di masyarakat, hendaknya diperbaiki agar RUUPA
dapat diterima masyarakat dan dapat dilaksanakan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar