Entri Populer

Selasa, 29 Desember 2009

Makalah Hukum Kepegawaian

1
ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN PTUN BANDUNG
PERKARA NO. 92/G/2001/PTUN BANDUNG
TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN
Sarinah, Agus kusnadi, Atje
ABSTRAK
Obyek penelitian ini adalah tentang gugatan sengketa kepegawaian di PTUN
Bandung oleh Ir. A, PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mendapat SK
Penurunan Pangkat karena beristri lebih dari satu tanpa sepengetahuan istri dan
seijin atasan, dan Putusan PTUN Bandung yang menyatakan “gugatan tidak dapat
diterima, dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara yang diajukan”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan
pendekatan yuridis normatif. Maksud penggunaan metode tersebut adalah, untuk
menilai kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam
menyelesaikan sengketa dengan obyek sengketa.
Kesimpulan penelitian: SK Penurunan Pangkat terhadap Ir. A, PNS Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, sesuai dengan PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45
tahun 1990 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian PNS, serta PP Nomor 30
Tahun 1980 Tentang Peraturan disiplin PNS. Putusan PTUN Bandung yang
menyatakan “tidak berwenang memeriksa perkara dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara yang diajukan ”, sesuai dengan Pasal 48, 51 ayat (3) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang nomor 9 tahun 2004 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. Undangundang
Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
2
Kata kunci : PNS, Pelanggaran disiplin, SK Penurunan Pangkat, Sengketa
kepegawaian, wewenang menangani perkara
ANALYSE AND EVALUATION ON THE CASE NO. 92/G/2001/PTUN
BANDUNG
CONCERNING CIVIL EMPLOYMENT DISPUTE
Sarinah, Agus Kusnadi, Atje
ABSTRACT
The obyect of this research is about suing of officer dispute at PTUN
Bandung by Ir. A, a civil servant at the West Java office, getting SK of Demotion
because of bigamous more than one his wife without prior knowledgement, and
decision of PTUN Bandung expressing " inacceptable suing, and the unqualified
examination and finish dispute arranged the effort raised state”
The method used in this research is analytical descriptive approaching of
yuridical normative. The intend use of the method is the assessment between law
and regulation used in finishing obyect dispute
Research conclusion: SK of Demotion to Ir. A, a civil servant at the West
Java office, as according to PP of Number 10 Year 1983 jo PP of Number 45 Year
1990 About Permission of Marriage and Divorce PNS, and also PP of Number 30
Year 1980 About Regulation of discipline PNS. Decision of PTUN Bandung
expressing " unqualified case examination and finish dispute arranged the effort
state raised ", as according to Section 48, 51 sentence ( 3) Code of Laws Number 5
Year 1986 jo. Code of Laws Number 9 Year 2004 about Civil Service Arbitration
Tribunal, Section 36 Code of Laws Number 8 Year 1974 jo. Code of Laws Number
43 Year 1999 About Officer Specifics
Keyword : Civil servant, Discipline collision, SK of demotion, Officer dispute,
authority of cases threatment.
3
1. PENDAHULUAN
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara mempunyai posisi
sangat strategis dan peranan menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan. Sebagai aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk itu, PNS
sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap
peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas kedinasan.
Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan
kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, setiap PNS wajib
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab.
Pemerintah melalui PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin
PNS, memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan
berhasil guna, melalui atau berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja, yang
dilakukan secara bertahap sejak pengangkatan, penempatan, pendidikan dan
latihan, pemindahan, penghargaan, serta pemberhentian, dengan selalu mengacu
kepada kode etik dan peraturan disiplin yang diberlakukan. Semua itu dilakukan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan kinerja sumber daya aparatur.
Demikian juga sebaliknya, jika PNS di dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya melakukan pelanggaran misalnya, beristeri lebih dari satu
4
tanpa seijin atasan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983, dapat
dijatuhi hukuman disiplin berbentuk penurunan pangkat sebagaimana diatur dalam
pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kenyataan penurunan pangkat ini dapat menimbulkan ketidakpuasan pada PNS
tersebut dan tidak menutup kemungkinan memicu terjadinya sengketa
kepegawaian, dan bila sengketa kepegawain ini terjadi, akan ditangani oleh komisi
khusus di bidang kepegawaian yakni Komisi Kepegawaian Negara yang bertugas
menangani PNS yang merasa hak-haknya dirugikan. Komisi Kepegawaian
Negara sebagai lembaga yang menangani masalah sengketa kepegawaian dan
diharapkan dapat memperjuangkan hak-hak PNS, hingga saat ini belum terbentuk,
walaupun keberadaan komisi tersebut telah dituangkan dalam pasal 13 UU No.
43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sementara KORPRI sendiri hingga
saat ini belum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
kepegawaian.
Sekalipun demikian, pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan suatu
lembaga yang khusus bertugas menangani sengketa kepegawaian, sebagaimana
dapat dilihat dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, yang
mengatur tentang “Peradilan Kepegawaian“. Karena sengketa kepegawaian
menurut Sastro Djatmiko1, juga dapat timbul disebabkan penugasan oleh atasan
dengan tugas tertentu, percepatan dan pensiunan pegawai, izin perkawinan,
1. Sastro Djatmiko, “ Hukum Kepegawaian di Indonesia “, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 48-52,
lihat juga Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, ada 8 (delapan) sub bidang dalam
rangka pelaksanaan pembinaan PNS.
5
perceraian dengan menyangkut hak-hak salah satu pihak, serta pemberian izin-izin
lainnya.
Selanjutnya, menurut Sastro Djatmiko, sengketa dibidang kepegawaian dalam
penggolongannya yang lebih fleksibel, di bagi tiga yaitu : dalam hal keberatan
terhadap suatu hukuman disiplin, dalam hal keberatan terhadap daftar pernyataan
kecakapan tempat, dan dalam susunan kepangkatan .
Itulah sebabnya, penyelesaian sengketa kepegawaian sedapat mungkin
dilakukan dalam lingkup unit kerja di instansi yang mengeluarkan keputusan
hukuman disiplin tingkat berat berupa “pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai PEGAWAI NEGERI SIPIL”
oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian baik di tingkat pusat maupun
daerah. Bila hal ini terjadi, dapat ditempuh upaya banding administratif melalui
gugatan sesuai mekanisme hukum yang berlaku yaitu melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
Peradilan Administrasi atau “Administratieve rechtspraak” atau Judicial control of
adminitrative action” sesungguhnya juga merupakan genus peradilan, karena
tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu
negara terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Mengacu pada Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, bagi Indonesia sebagai negara hukum, hak dan kepentingan perseorangan
dijunjung tinggi, untuk itu kepentingan perseorangan harus seimbang dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Itulah sebabnya tujuan
pembentukan peradilan administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan
6
perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan masyarakat, sehingga tercapai
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Kasus kepegawaian pada dasarnya merupakan kasus yang cukup menarik
untuk dikaji, karena permohonan gugatan sengketa kepegawaian ke lembaga
peradilan di beberapa kota besar, dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan
segala persoalan baru. Hal ini terjadi karena adanya sejumlah ketentuan dalam
hukum kepegawaian yang terkadang tumpang tindih atau belum diatur dan belum
dilengkapi dengan penjelasan dalam undang-undangnya. Kondisi demikian
membuat penegak hukum memberikan penafsiran menurut persepsinya masingmasing
sebagaimana dalam kasus Putusan PTUN Bandung untuk perkara Nomor
92/G/2001/PTUN tentang sengketa kepegawaian antara Ir. A, seorang PNS di
lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan atasannya, karena PNS
tersebut beristeri lebih dari satu tanpa sepengetahuan istri dan tanpa seijin atasan,
sehingga dijatuhi hukuman disiplin dalam bentuk SK Penurunan Pangkat oleh
atasannya.
Perumusan Masalah
1. Apakah putusan terhadap Ir. A, sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. Apakah putusan PTUN Bandung dengan menyatakan “gugatan tidak
dapat diterima, dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang diajukan”, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
7
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis
dengan pendekatan yuridis normatif. Maksud penggunaan metode tersebut adalah,
untuk menilai kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang digunakan
dalam menyelesaikan sengketa dengan obyek sengketa
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi
Ir. A, seorang PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tanpa
sepengetahuan isteri dan seijin atasan, telah beristeri lebih dari satu. Berdasarkan
pengaduan si isteri dan hasil pemeriksaan, terbukti melanggar PP Nomor 10
Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, dan PP Nomor 30
Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, sehingga dijatuhi hukuman displin
melalui SK Penurunan Pangkat. Selanjutnya Ir. A menggugat Gubernur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat di PTUN Bandung dan menjadikan SK Penurunan
Pangkat sebagai obyek Sengketa Kepegawaian di PTUN Bandung.
Putusan PTUN Bandung terhadap perkara nomor 92/G/2001/ PTUN Bandung
intinya; Dalam eksepsi : mengabulkan eksepsi absolut Tergugat bahwa SK
Penurunan Pangkat yang diterbitkan sesuai prosedur administrasi kepegawaian ;
bahwa PTUN Bandung tidak berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang diajukan. Dalam pokok perkara : Menyatakan
gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
Pertimbangan Putusan di atas antara lain : adanya pengaduan dari isteri
Penggugat dan pemeriksaan, Tergugat bermaksud menegakkan disiplin pegawai
8
yang menurut Tergugat telah melanggar disiplin PNS; untuk mewujudkan hal
tersebut di atas, Tergugat menerbitkan objek sengketa; acuan dasar yang diterapkan
Tergugat adalah PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS; atas
penjatuhan hukuman disiplin tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Jo Pasal 16 PP
Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, dapat mengajukan
keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum tersebut dalam
jangka waktu 14 hari terhitung mulai tanggal ia menerima keputusan hukuman
disiplin tersebut; berdasarkan Pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 disebutkan : “Bahwa
dalam hal suatu badan hukum atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa tata
usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
secara administratif yang tersedia (ayat 1), sedangkan ayat ( 2 ) menyebutkan”
pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan”; bertitik tolak pada uraian
pertimbangan Pasal 15 ayat (2) Jo Pasal 16 PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin PNS di atas, maka jenis keberatan dimaksud adalah merupakan
Banding Administratif; terlepas apakah Penggugat telah mengajukan keberatan
atau telah melakukan prosedur Banding Administratif pada atasannya dari pejabat
yang menghukum Penggugat, maka pengadilan haruslah menyatakan tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh Penggugat,
karena berdasarkan Pasal 51 ayat (3) maka PTUN-lah yang berwenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan ditingkat pertama sengketa tata usaha
9
negara dalam perkara ini yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta ; karena Eksepsi absolut Tergugat telah dikabulkan, maka terhadap
eksepsi lain dan pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lagi.
Mengkaji Putusan PTUN Bandung beserta pertimbangan hukumnya,
selanjutnya dilakukan tinjauan yuridis terhadap lembaga peradilan sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
B. Tinjauan yuridis :
Kompetensi utama Badan Peradilan Administrasi yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
menyelesaikan sengketa administrasi antara Pemerintah dan warga masyarakat,
disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga.
Peraturan perundang-undangan khususnya pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menyatakan:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sengketa-sengketa dibidang kepegawaian tidak ditangani langsung oleh suatu
peradilan tetap, namun diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan suatu
proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat yang
disebut peradilan semu( Quasi rechtspraak). Pengertian Peradilan kepegawaian
yang dimaksud adalah serentetan prosedur administrasi yang ditempuh oleh
10
pegawai negeri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu tindakan
berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pejabat yang berwenang) yang
merupakan kepentingannya.
Dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 8
tahun 1974 Jo Undang-undang No 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UU No 9
tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal sengketa
kepegawaian terlebih dahulu dilakukan prosedur administrasi di lingkungan
pemerintahan sendiri. Bila mana penyelesaian tersebut belum memberikan
kepuasan maka PNS yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Administrasi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) sebagai pengadilan tingkat
pertama.
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa kepegawaian, diatur lebih lanjut
dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang berbunyi :
ayat (1) dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu,
maka sengketa tata usaha tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia,
ayat (2) pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan upaya administratif adalah suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum apabila ia tidak
puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, yang dilaksanakan dilingkungan
11
pemerintahan sendiri. Upaya administartif itu terdiri dari : (1) Banding
administratif, yakni apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, (2) Keberatan,
yakni jika penyelesaian harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang mengeluarkan keputusan jika seluruh prosedur itu telah ditempuh,
tetapi ada pihak yang belum merasakan keadilan atau kepuasan, maka
persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di
tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 “
C. Eksistensi Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(maachtstaat). Dengan penjelasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan
masyarakat dan negara, diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis) hal ini
menunjukkan bahwa semua warga negara termasuk aparatur negara mempunyai
kedudukan yang sama dimuka hukum, dengan demikian aparatur negara di dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dituntut untuk selalu
bersikap dan berprilaku sesuai norma-norma hukum di dalam memberikan
pelayanan serta pengayoman kepada warga masyarakat.
12
Dalam kaitan ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
pilar dari negara hukum, karena di satu sisi mempunyai peranan menonjol yaitu
sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap sikap tindak administrasi negara
supaya tetap berada dalam rel hukum, di sisi lain, sebagai wadah untuk melindungi
hak individu dan warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan
atau tindakan sewenang-wenang administrasi negara.
Sebagai lembaga pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control “ karena ia
merupakan lembaga yang berada diluar kekuasaan administrasi
negara (bestuur)
2. Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan
represif atau lazim disebut “control a posteriori “ karena selalu
dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3. Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas” karena hanya
menilai dari segi hukum (rechtmatig) nya saja.
Fungsi pengawasan PTUN nampaknya sulit dilepaskan dari fungsi
perlindungan hukum bagi masyarakat (individu-individu), karena dapat
memposisikan individu berada pada pihak yang lebih lemah bila berhadapan di
pengadilan, sementara tolok ukur bagi Hakim Administrasi dalam mengadili
Sengketa Administrasi Negara adalah pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ( sering disebut pasal ‘ payung
‘ atau menghidupkan kompetensi PTUN diantara pasal-pasal yang lain), yang
menentukan alasan-alasan untuk dapat digunakan dalam gugatan di Pengadilan
Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam ayat tersebut merupakan juga dasar
pengujian (toetsingsgronden) dan dasar pembatalan bagi hakim dalam menilai
13
apakah keputusan tata usaha negara yang digugat itu bersifat melawan hukum
atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau
tidak.
Sementara itu, isi ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 dimaksudkan
sebagai berikut : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah : (a).Keputusan Administrasi negara yang digugat
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b).
Keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang baik atau layak (AAUPB/AAUPL)
Dari rumusan di atas, ditemukan asas larangan “penyalahgunaan wewenang “
dan asas larangan “bertindak tidak sewenang-wenang “ keduanya termasuk bagian
dari Asas asas umum pemerintahan yang baik ( AAUPB ).
Menurut Indroharto2, urgensi keberadaan Azas asas umum pemerintahan yang
layak ( AAUPL ) yang tersirat dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986
adalah, disamping dapat digunakan untuk menggugat juga merupakan dasar-dasar
( kriteria atau ukuran ) yang digunakan Hakim Administrasi dalam menguji atau
menilai ( toetsingsgronden ) apakah Keputusan Administrasi Negara ( beschikking
) yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Lebih lanjut,
Indroharto memerinci dasar-dasar pertimbangan untuk menguji Keputusan
Administrasi Negara yang dapat digugat kedalam empat ukuran, yakni;
(1). Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2).
Melanggar larangan detournement de pouvoir, (3). Menyimpang dari nalar yang
2. Indroharto, “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah Agung, Jakarta, 1985
14
sehat (melanggar larangan willekeur), (4). Bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang layak.
Sebenarnya keberadaan ke-empat kriteria di atas, diformulasikan dari
ketentuan Pasal 53 ayat (2) butir a,b.c yang dibandingkan dengan ketentuan Pasal
8 ayat (1) Wet AROB dan merupakan dasar menguji undang-undang oleh Afdeling
Rechtspraak raad van Stater terhadap suatu beschikking yang digugat, namun UU
No. 5 Tahun 1986 tidak dengan tegas mencantumkan Asas asas umum
pemerintahan yang layak kedalam salah satu pasalnya (seperti dalam butir (d)
Wet AROB).
Jadi yang perlu diperhatikan dalam penerapan Asas asas umum pemerintahan
yang layak secara konkrit adalah memperhatikan pandangan-pandangan, ide-ide
kondisi yang dianut dalam sistem dan praktek pemerintahan baik politik, kultural
maupun ideologi. Dengan demikian, Hakim Administrasi perlu berpedoman
pada beberapa dasar pertimbangan di atas, karena para hakim pada saat
menerapkan hukum (Asas asas umum pemerintahan yang layak) bertindak sebagai
penemu hukum, pembentuk hukum, pembaharu hukum, penegak hukum dan
sebagai benteng keadilan.
Sementara penerapan asas hukum oleh Hakim Administrasi di pengadilan
menurut Philipus M Hadjon3, secara teknis dapat didekati dengan dua cara yaitu
melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Di dalam Metode induksi, langkah
pertama yang dilakukan hakim dalam menangani sengketa adalah merumuskan
fakta, mencari hubungan sebab-akibat dan mereka-reka probabilitasnya.
3. Philipus M Hadjon, “ Pengkajian Ilmu HukumDogmatic ( nasional)”, Makalah Yuridika Nomor
6 Tahun IX, Nopember 1994, hlm. 12-14
15
Kemudian diikuti dengan metode deduksi, yang diawali dengan mengumpulkan
fakta-fakta, dan setelah fakta berhasil dirumuskan, selanjutnya dilakukan upaya
“penerapan hukum (asas hukum)”.
Langkah utama dalam penerapan hukum adalah mengidentifikasi aturan aturan
hukum. Dari langkah ini akan dijumpai suatu kondisi hukum yang bermacammacam.
Pertama, adanya kekosongan hukum ( kekosongan peraturan perundangundangan
) jika hal ini terjadi, maka hakim berpegang pada asas “ius curia novit”
hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Upaya
inilah yang sering disebut sebagai metode Penemuan hukum (rechtsvinding)
Kedua, akan terjadi kondisi antinomi (konflik norma hukum ). Solusinya
berlakulah prinsip-prinsip “asas lex posterior derogat legi priori,” asas lex
specialis derogat lex generalis” dan “asas lex superior derogat legi inferior “
Ketiga, dalam menghadapi norma hukum yang kabur, maka hakim berpegang
pada rasio hukum yang terkandung dalam peraturan hukum, untuk selanjutnya
menetapkan metode interprestasi yang tepat, sedangkan menurut Bagir Manan4,
untuk mempertemukan antara kaidah hukum dengan peristiwa hukum atau fakta,
diperlukan berbagai metode yaitu metode penafsiran dan metode konstruksi.
Melihat perkembangan praktek penerapan kaedah hukum tidak tertulis oleh
Hakim Administrasi dewasa ini, nampaknya ada kecenderungan mengarah pada
kondisi diterimanya yurisprudensi, di samping kedua asas yang sudah tercantum
dalam Pasal 53 ayat (2) butir b dan c artinya, yurisprudensi dapat diakui sebagai
4 Bagir Manan, “ Pemecahan Persoalan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Ceramah penataran
hakim agama se-Indonesia, diselenggarakan Depag RI 20 Nopember 1993, hlm. 11-15
16
hukum dalam arti konkret (in concreto) sehingga disebut dengan Hukum
Yurisprudensi .
D. Analisa dan Evaluasi Perkara
Gugatan yang dilakukan oleh PNS, Ir.A terhadap atasannya merupakan suatu
tindakan hukum ( litigasi ) yang umum dilakukan seorang pegawai karena merasa
tidak puas atas SK tersebut, disertai sikap tidak menerima terhadap penyelesaian
yang dilakukan melalui pemeriksaan internal (peradilan semu) di luar pengadilan,
karena tidak mendapat hasil maksimal.
Menurut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan
pihak yang dirugikan pada pihak lain harus didasarkan pada ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 53 ayat I, dan bila melihat objek sengketa, maka pengajuan
gugatan oleh penggugat ke Peradilan Administrasi pada dasarnya sudah tepat
karena diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sejak Penggugat
menerima Surat Keputusan tersebut ( Pasal 55 UU No 5 tahun 1986 Jo UU No. 9
tahun 2004 ), akan tetapi bila melihat ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) PP No. 30
tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS khususnya untuk putusan berupa
hukuman disiplin, dapat dilakukan melalui upaya administratif yaitu, Penggugat
menyampaikan keberatan disertai alasan-alasan walaupun sengketa belum selesai.
Dengan demikian gugatan dapat diajukan untuk diadili langsung oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dan bukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal
51 ayat (3) UU No 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara), oleh
karenanya putusan PTUN Bandung yang menyatakan tidak berwenang untuk
mengadili perkara tersebut adalah sudah tepat
17
Selanjutnya, penggugat menyatakan bahwa Gubernur telah bertindak
sewenang-wenang dalam mengeluarkan Surat Keputusan No 862.3/Kep,
592/kepeg/2001. Pernyataan penggugat tersebut tidak tepat atau tidak sesuai
dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, karena berdasarkan faktafakta
diketahui adanya proses yang jelas dan pengujian terlebih dahulu semenjak
adanya laporan istri Penggugat yang ditindaklanjuti pemeriksaan oleh
ITWILPROP dan rekomendasi pimpinan unit kerja penggugat yang berisi, bahwa
sebelum mengeluarkan keputusan tersebut telah diberikan kesempatan kepada
penggugat untuk melakukan pembelaan ataupun keberatannya dalam pemeriksaan
(Pasal 9 ayat (1) (2) dan (3) Pasal 10, 11 dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP No 30
Tahun 1980, terhadap kasus penggugat oleh beberapa instansi atau badan yang
berwenang dilingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Mengenai pokok perkara, tentang pernyataan Tergugat/Gubernur bahwa
dalam menerbitkan Keputusan tidak bertindak sewenang-wenang, adalah benar
karena sebagai pejabat yang berwenang menghukum (Pasal 7 ayat (1) Huruf d PP
No. 30 tahun 1980), Gubernur berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap
Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti melanggar peraturan disiplin pegawai
negeri, setelah dilakukan pemeriksaan (Dengan memperhatikan tentang ijin
perkawinan dan perceraian PNS yang telah diubah), dengan demikian Keputusan
No. 62.3/kep.592/Kepeg/2001 yang diterbitkan tergugat tidak bertentangan dengan
apa yang dimaksud dalam alasan-alasan gugatan dalam Pasal 53 UU Nomor 5
tahun 1986 Jo UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
18
1. Dengan jelas Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Keputusan tersebut tidak bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, Putusan majelis hakim yang isinya menyatakan “gugatan tidak
dapat diterima”, mengandung makna bahwa gugatan tidak memenuhi syarat-syarat
formal sebuah gugatan, khususnya syarat formal yang tidak terpenuhi berkaitan
dengan bukan kewenangan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung,
sebab kompetensi merupakan hal terpenting karena merupakan pemberian
kekuasaan, kewenangan atau hak pengadilan yang melakukan peradilan.
Kompetensi Absolut/ atribusi (Absolute competentie atau attributie Van
rechtsmacht) oleh R Subekti diberi arti “Uraian tentang kekuasaan atau wewenang
sesuatu jenis pengadilan”5.
Mengenai Eksepsi, pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara diajukan
kepada pengadilan yang bersangkutan selama berlangsungnya proses persidangan,
dengan catatan eksepsi diajukan sebelum majelis hakim menetapkan putusan, dan
untuk keperluan tersebut maka inisiatif harus datang dari pihak tergugat,
walaupun dalam hal ini hakim berpendapat bahwa persoalan yang diajukan
kepadanya itu tidak termasuk dalam wewenangnya, sehingga secara ex-officio
hakim menyatakan dirinya tidak berkompeten. Tentang hal ini, Sjachran Basah6
menegaskan bahwa, eksepsi terhadap distribusi harus diajukan pada permulaan
5 R,. Subekti, “ Hukum Acara Perdata”, Bina Cipta, bandung, 1977, hlm. 28
6. Sjahran Basah, “ Eksistensi dan tolok ukur Peradilan Administrasi di Indonesia”, Alumni,
Bandung, cetakan ke 3, 1997, hlm. 70
19
sidang, dimana kepada tergugat untuk pertama kalinya diberikan kesempatan
menyampaikan jawaban atas gugatan terhadap dirinya. Melewatkan kesempatan
itu, berarti bahwa tergugat telah kehilangan hak untuk mengemukakan eksepsi
distribusi dan hakim tidak diijinkan menyatakan tidak wewenangnya serta menolak
gugatan tanpa inisiatif dari tergugat.
Kedua macam tangkisan itu harus dikemukakan terpisah dari pokok
persoalannya. Hakim memeriksa dan menyelesaikan masalah eksepsi itu terlebih
dahulu sebelum memasuki pokok persoalan. Hal tersebut berlainan dengan eksepsi
“lain” yang harus dikemukakan serentak dengan pokok persoalan dan diputuskan
pula secara bersamaan.
Dalam Putusan PTUN ini, bila pengadilan menyatakan tidak berwenang untuk
mengadili perkara, maka seharusnya hakim mengeluarkan Putusan sela sehingga
tidak perlu memeriksa pokok perkara, walaupun tindakan hakim yang tidak
mengeluarkan Putusan sela dalam memeriksa perkara tersebut dapat dibenarkan
karena tidak melanggar ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian Putusan PTUN Bandung terhadap perkara Nomor
92/G/2001/PTUN BANDUNG, adalah putusan tepat dan benar karena sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Putusan terhadap Ir. A, PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dijatuhi
hukuman disiplin berbentuk SK Penurunan Pangkat, sesuai dengan PP
Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Ijin
20
Perkawinan dan Perceraian PNS, dan PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang
Peraturan disiplin PNS.
2. Putusan majelis hakim yang menyatakan “gugatan tidak dapat diterima,
dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara yang diajukan”, sesuai dengan Pasal 48, 51 ayat (3) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 36 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
B. Rekomendasi
Isi Putusan yang menyatakan “PTUN Bandung tidak berwenang memeriksa
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diajukan“, pada dasarnya dapat
dibenarkan karena tidak melanggar ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, tetapi pernyataan tersebut lebih baik dikeluarkan melalui Putusan sela,
dengan demikian majelis hakim tidak perlu memeriksa pokok perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pemecahan Persoalan Hukum, Makalah disampaikan pada
Ceramah Penataran Hakim Agama se-Indonesia diselenggarakan Depag,
1993
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Mahkamah Agung,
Jakarta, 1985
Kotan Y Stefanus, Mengenal Peradilan Kepegawaian di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995
Marbun SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997
21
Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintahan, Cet Pertama, Citra Aditya Bakti Bandung, 1993
Philipus M Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatic (nasional), dalam
Makalah Yuridika No. 6 Tahun IX Nopember 1994.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977
Sastro Djatmiko, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
Soedibyo Triadmodjo, ( 1983 ), Hukum Kepegawaian Mengenai Kedudukan, Hak
dan Kewajiban PNS, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Cet, Pertama,
Alumni Bandung, 1992

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/LEMLIT%20JURNAL%20SENGKETA%20PEGAWAI.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar