Entri Populer

Selasa, 22 Februari 2011

BADAN PERADILAN ZAMAN HINDIA BELANDA DAN JEPANG

Ada banyak sekali pengertian dari Peradilan, antara lain :
- Menurut FOCHEMA ANDREA, Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.
- Menurut LEMAERE, Peradilan adalah sebagai suatu pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak.
- Menurut VAN KAN, Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan peradilan.

BADAN PERADILAN ZAMAN HINDIA BELANDA

Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
1. Peradilan Gubernemen
2. Peradilan Pribumi
3. Peradilan Swapraja
4. Peradilan Agama
5. Peradilan Desa

1. PERADILAN GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.

Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
A. Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
– Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.

– Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”

3. Raad Van Justitie
4. Hooggerechtshof

B. Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
1. a. Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.

b. Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.

2. Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada Hooggerechtshof.

3. Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.

BADAN PENGADILAN ZAMAN JEPANG

1. Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2. Semua Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
– Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
– Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
– Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
– Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
– Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.

Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara

Pendahuluan

Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing[1]. Sekarang ini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasional, regional dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi kearah perubahan meluas di berbagai negara di dunia, baik di bidang politik maupun ekonomi. Perubahan yang diharapkan dalam hal ini perombakan terhadap format-format kelembagaan birokrasi pemerintahan yang tujuannya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif.
Pengertian Umum Lembaga

Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara di gunakan istilah Political instruction, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara atau organ negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) (1997:979-58), kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai 1) ’asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan)’; (2) ’bentuk (rupa, wujud) yang asli’; (3) ’acuan; ikatan (tentang mata cincin dsb)’; (4) ’badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan’. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata negara, diartikan ’badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif)’.

Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ[2].

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.


Lembaga-Lembaga Negara Berdasarkan UUD 1945

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya Lembaga-Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs). Sedangkan dari segi hirarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3 (tiga) lapis yaitu

1. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD 1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis pertama atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu ; Presiden an Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang dan sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi pemilihan umum, Bank Sentral ; Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya. Walaupun dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua jenis lembaga negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya saja kedudukannya walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam UUD, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan Undang-Undang.
Sedangkan Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.

3. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah yaitu merupakan lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah diatur oleh UUD 1945 yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur; DPRD Provinsi; Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati; DPRD Kabupaten; Pemerintahan Daerah Kota; Walikota; DPRD Kota,
Disamping itu didalam UUD 1945 disebutkan pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.


Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara

Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).

Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang biasanya memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan.

Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung, terbentuknya kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan, selain itu terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI dengan Polri berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta terbentuknya Mahkamah Konstitusi.



Daftar Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997

Undang-Undang Dasar 1945

RI, LAN, SANKRI Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003


[1].SANKRI, Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraa Negara, LAN RI, 2003

[2]. Dikutip dari artikel Hubungan antar Lembaga, Indoskripsi.com

KONSEP-KONSEP DASAR TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

Prof Bagir lebih cenderung menyebut “KELEMBAGAAN NEGARA”

Bagaimana dulu dalam UUD 1945
kita pernah punya …
Konstitusi RIS pernah punya
penyebutan badan-badan kenegaraan

Sebagai istilah, dalam UUD 1945 sekarang tdk akan ditemukan satu patah katapun sebutan ”lembaga negara”. Istilah itu berkembang dalam praktik ketatanegaraan kita. UUD 1945 jg tdk menyebut istilah lain. Dalam penjelasan kita temukan sebutan penyelenggara negara. Tapi penjelasan itu sekarang tidak berlaku lagi. Karena setelah amandemen UUD 1945 dikaakan bahwa UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Btang Tubuh. Memang tidak secara eksplisit ada pernyataan bahwa Penjelasan secara resmi dihapus. Tetapi dengan disebut hanya p”Pembaukaan dan Batang Tubuh”, penjelasan sdh tdk lg mjd bagian dari UUD 1945. Pada zaman orde baru, misalnya dlm bahan-bahan P4 tentang UUD 1945, dibahas bahwa UUD 1945 terdiri dari pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, dengan tdk lagi disebut, maka secara a contrario mjd tdk lg bagian darinya. Pertanyaannya adl mengapa para pembentuk UUD tdk scr eksplisit mencabut pejelasan? Misalnya terhadap lembaga DPA, secara eksplisit dihapus, diganti dengan wantimpres. Ini masalah yuridis. Jika ada pernyataan secara yuridis bahwa penjelasan dihapus, artinya bahwa penjelasan itu diakui secara yuridis keberadaannya. Contoh, penjelasan2 yang mengambil dari penjelasan, tidak ada dalam batang tubuh.
Penyebutan Presiden sbg mandataris. Zaman orba, kedudukan Presiden sbg mandataris sgt dominan, dibanding dgn kedudukan presiden sebagai kepala negara. Sebutan mandataris tdk ada dlm batang tubuh UUD 1945. Ini menunjukkan bhw penjelasan dipakai dlm praktik
Contoh lain, ”kekuasaan MPR tdk terbatas”, tidak ada dalam batang tubuh. Mengapa? Karena MPR memegang kedaulatan negara. Sebutan ”memegang kedaulatan negara pun tdk ada. Pada waktu itu, dikatakan bhw ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnnya oleh MPR. Dgn dikatakan seperti itu maka ditafsirkan oleh penjelasan, kalau begitu yg memegang kedaulatan rakyat itu MPR. Di dlm perjalanan praktik kettatanegaraaan kita, yg meninjol adalah kekuasaan MPR itu tidak terbatas. Sehingga MPR dpt membuat ketatapan di luar yg ada pd UUD. Dalam UUD dulu, MPR kekuasaannya memilih presiden/wapres, mengubah UUD, menetapkan UUD. Tetapi kalau kita melihat ketetapan-ketetapan MPR, di luar itu diaturnya pula, macam-macam yg tdk disebut UUD 1945. sumbernya dari mana? MPR menganggap dirinya punya kekuasaan tdk terbatas, shg spt itu. Ada 2 kali ketetapan yg memberikan kekuasaan khusus untuk mengambil segala tindakan yg dianggap perlu utk mensukseskan pe4mbangunan. Seorang ahli hukum, seharusnya tdk boleh menerima begitu saja. Kalo kekuasaan bertindak apa saja, maka …, slh satu paham konstitusi adalah pembatasan kekuasaan. Bahkan masa orla, MPRS di bandung membuat ketetapan no II/1963 yg mengangkat Pres Soekarno sbg Pres seumur hidup. Sedangkan UUD 1945 sdh mengatakan presiden dipilih untuk masa jabatan 5 tahun. Andai Anda tanyakan saat itu, ”Mengapa…..” jawabannya sderhana, :”MPR/MPRS memiliki kekuasaan tidak terbatas”, tdk bisa begitu saja disalahkan, karea penjelasan menyebut begtu.
Yang lainnya, ”Dekonsentarsi” tidak ada dalam batang tubuh, di penjelasan ada, dan itu berjalan. Betapa Penjelasan itu meski scr yuridis konstitusional tidak ada, tapi berpengaruh thd praktik ketatanegaraan.
”Kedaulatan sepenuhnya oleh MPR”. Kalo kita mencari teori ttg itu, dapat diangkat teori dari Jean Bodin. Dia adalah filsuf pertama yg bicara ttg kedaulatan. Salah satu ciri kedaulatan itu tdk dpt dibagi-bagi, tunggal, indivisible. Itu sebabnya kalo kita coba tarik UUD 1945 mengatakan kedaulatan sepenuhnya oleh MPR, sebab indivisible. Itu sangat-sangat dekat dgn pandangan Jean Bodin, meskipun belum tentu ….
Ini kemudian dpt kita temukan dalam ceramah alm Bung Hatta di dpn Pamong Praja 1946, tentang Kedaluatan Rakyat. Di dlmya, bung Hatta mengatakan mengapa MPR memegang kedaulatan krn kedaulatan tdk dpt dibagi-bagi. Dalam perkembangannya paham inui tdk dpt sepenunya diikuti,krn datang ajaran lain pemisahan kekuasaan (montesquieu) dan pembagian kekuasaan (kranenburg). Monsts… menatakan bhw penyelenggara egara dibagi dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,jadi tdk mungkin lagi ada hanya satu badan yg menjalankan kedaulatan.
Andikata ajaran Jean Bodin itu kita terjemahkan sekatang, dimana kita menterjeahkannya? Tdk boleh dibagi-bagi. misalnya kedaulatan di tgn rakyat tdk blh dibagi-bagi. Yg boleh adalah pelaksana, yg menjalakannya boleh dibagi-bagi.
Namun sy katakan lg penjelasan tdk berlaku lg, tp sebagai akademisi, perlu mengetahui sejarah suaru sistem.
Di Uud 1945 ditemukan istilah ”penyelenggara negara”. Misalnya dulu dalam penjelasan Pasl 1 dikatakan MPR adlh penyelenggara negara tertinggi. Kemudian di dalam penjelasan umum UUD 1945 kita temukan jg istilah2 penyelenggara negara, misalny dlm pokok-pokok pikiran, ada istilah penyelenggaran negara. Sama sekali tdk ada istilah lembaga negara. Kalo begitu, atau sebelum kalo begitu, kita eksplor lbh jauh UUD sbl 1945, yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstittusi RIS punya BAB khusus tentang alat-alat perlengkapan negara RIS, kemuadian dijabarkan seterusnya pada bab…., dst. RIS mencantumkan beberapa pranata yg disenutkan, yaitu:
Presiden; atau kalo anda baca tulisan2 saya, Pr4esiden itu memiliki 2 arti dalam bahasa kita. Satu sisi presiden sebagai pejabat, yaitu orang yang memangku jabatan presiden. Sisi lain, presiden juga adalah sebagai lingkungan jabatn. Kalo nanti dari bapa/ibu dosen ini menyinggung Logemann, sdr akan menemukan lingkungan jabatan. Contohnya, kalo syarat 2 mjd pr4esiden, pr4esiden yg menjabat presiden memiliki kekuasaan tertentu. Tetapi adakalanya dimaksudkana adalah lingkungan jabatan. Ketika disebut Predsiden membuat UU, tdk harus orang sbg jabatannya yg harus selalu hadir, tetapi dpt diwakili oleh menteri.
Menteri-menteri. Kita sdh tahu menteri sbgmn kita lht di TV;
Senat. Hanya pernah ada pada waktu RIS itu, krn senat itu adlh semacam DPD nya sekarang, yaitu sbg perwakilan daerah2. Misalnya perwakilan, Pasundan, Jawa Barat, dst. Mengapa perlu? Krn RIS adlh n4egara serikat.
DPR. Jadi di samping senat, ada DPR. Sehingga dikenallah pd wkt itu sistem perwakilan 2 kamar. Isinya msh banyak persoalan.
selanjutnya yg laiinya yaitu MA sbg pemangku kekuasaan kehakiman atau yudisiil.
terakhir, Badan Pengawas Keuangan, bukan Badan Pemeriksa Keuangan.
Tadi dikatakan ada senata sbg ciri khas saat itu, tetapi zaman RIS tdk ada juga wakil presiden, krn alm. Bung Hatta sbg wapres dr RI sewaktu di Yogya, mjd Perdana Menteri RIS, yg sblmnya jg sdh mjd PM, disamping wapres. Mengapa RIS tdk ada wapres? Ini mengikuti kebiasaan parlementer. Dlm tradisi parlementer, biasanya tdk ada jabatan wapres. Mengapa? Krn Presidennya sj tdk ada pekerjaan, apalagi wapres? Itu bahasa di kelas. Bhs ilmiahnya, Presiden tdk melaksanakan penyelenggaraan pemeritahan, yg menjalankan ada pada kabinet, dewan menteri. Kekuasannya terbatas hy menjalankan kekuasaan prerogatif, sekali-kali muncul: grasi, amnesti, abolisi, gelar, tdk banyak, pidato agustusan, sedikit. Diman-man spt itu. Jd mengikuti tradisi itu. Yg dimaksud alat perlengkapan negara itu adalah badan-badan penyelenggara yg ditetapkan dlm UUD. Itu poin, penegasan sy adlh: yg diatur dan dimuat dlm UUD. Dan UUDS 50 ada bab ttg alat-alayt perlengkapan negara ini. Sdr bs baca Pasal 44. Yg dimaksudkan sbg alat perlengkapan negara:
Presiden;
Wapres;
Menteri2
DPR;
MA;
dan Badan Pengawas Keuangan.

UUDS 50 adl sistem parlementer, bahkan lbh murni drpd Konstitusi RIS, yg menyulap PM tdk btgjwb kpd parlemen.
Mengapa di UUDS 50 ada wapres?
Di sini ada konsep Indonesia yg disebut dwitunggal Soekarno Hatta. Tahun 1945an, dwitunggal itu tdk hy simbolik, ttp punya kekuasaaan riil dlm wujud keputusan-keputusan negara yg diambil wapres, ada serta-merta diakui oleh Prsiden. Misalnya sdr, mendengar ada Maklumat no X tahun , berisi ptgjwbn menteri kpd kbinet, ini mengubah sistem presidensiil mjd Parlemen. Di tahun 1950 dikukuhkan kembali dwitunggal, krn wapres tdk ada, bung Hatta mjd meteri.
Sbg cermin menjaga keutuhan RI, maka jabatan ….
Di masa UUDS 50 tdk ada lg senat, krn senat sbg cerminan dr negara federal. Zaman 50 ada negara kesatuan shg senat tdk diperlukan lg. Jg di dlm Konst RIS dan UUDS 50 disebutkan alat-alat perlengkapan. UUD 1945 tdk punya pasal spt itu. Apa sj yg disebut alat perlengkapan negara. UUD 145 langsung sj mengatur lingkungan jabatan, mengenai apa saja jabatan neara itu, langsung mengatur ttg MPR, Pres, DPA, DPR, BPK, dan MA.
Ini sering dikritik oleh ahli konstitusi Indonesia termasuk yg ingin diamandemen, bhw UUD 1945 tdk punya sistematika. Betapa tertibnya UUD RIS 49 dan 50. Tetapu ini bukan satu-satunya yg ada di muka bumi ini. Tanpa nomenklaturnya dulu.
UUD USA, mulai langsung dgn mengatur masing-masing:
Kongres;
Kekuasaan eksekutif;
Legislatif.
Lainnya.
Mungkin pembentuk UUD 45 melihat itu. Ada juga IS tdk terdapat susunan spt itu, langsung saja mengatur Gubernoor generaal, dsb. Jadi mungkin para pembentuk UUD 45 dipengaruhi hal itu, di samping keadaan.
Lembaga Negara sebagai istilah. Tadi sdh dikatakan bhw baik dlm batang tubuh dan penjelasan tdk ada istilah badan/lembaga negara. Baru ditemukan istilah itu dlm TAP MPR no III tahun …., kemudian diperbarui, ada lembaga tertinggi dan lembaga tinggi. Tap MPR 3 /78. Barangkali untuk keperluan riset, perlu membuka dokomen pembahasana sidangnya. Drmana ditemukan istilah itu? Di UUD 45 tdk ada indikasi . Pa yg dimaksud oleh mereka? Ternyata dimasukkan dlm lembaga negara adl MPR, Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA.
Ternyata yg dimaksud dgn lembaga negara adh yg dlm UUD adalah penyelenggara negara yg ada dlm UUD.
Kalau begitu, jika ditarik mundur ke konstitusi RIS dan UUD 50, serupa tapi tdk sama persis.
Karena ini serupa, yaitu penyelenggara negara yg dimaksud UUD 45, maka tdk lain bhw lembaga2 negara tdk lain yg dimaksud dgn alat-alat perlengkapan negara itu.
DPA dlm UUD 1945 tdk ditemukan dlm konstitusi RIS. Alm. Prof soepomo, ketika membuat catatan kecil ttg UUDS 50, ketika membuat buku kecil, merah, mengenai UUDS 50, dalam penjelasan umumnya dikatakan ”DPA ditiadakan”. Alasannya: 1) kekuasaan riiilnya tdk jelas, hany sbg pemberi pendapat kpd Pemerintah/presiden 2) tdk ada seorangpun yg bicara mempertahankan DPA pd saat pembahasan. Jadi kita sdh menemukana yg dimaksud dgn lembaga negara adalah alat-alat perlengkapan negara.
Skrg kita lht perkembangan lembaga negara dlm ketatanegaraaan kit. Ini terjadi setelah perubahan UUD 1945. ada 2 sumber perkembangan UUD, yaitu UUD sendiri dan UU.
UUD setelah perubahan, sy tdk pernah menggunakan kata “amandemen”, krn bhs hukumnya hádala “perubahan”. Penggunaan bahasa “perubahan” itu hádala dari gagasan saya. Estela perubahan UUD 1945 ada 2 perkembangan mengenai lembaga=lembaga negara ini. Yaitu satu pihak ada lembaga negara yg ditiadakan. Yg kedua, ada tambahan baru. Yg ditiadakan sdh disebutkan, DPA diganti dgn wantimpres. Yg ditambah hádala yg jelas fungís kenegaraannya, yaitu menurut sy yg pasti sbg lembaga negara. Kesatu MK, dan kedua hádala DPD. Meskipun keluh kesahnya banyak, tetapi secara formal dimasukkan bhw DPD hádala bagian kekuasaan legislitif, meskipun menurut saya, omong kosong, karena hanya menghabiskan uang rakyat.
Tetapi di samping lembaga itu, orang mengatakan ada KY, KPU, Bank Central, TNI/Polri jg disebut. Jadi ada instituís-institusi baru. Apakah lembagatersebut hádala lembaga negara sbgm dimaksud alat kelengkapan negara? Sy berpendapat tidak. Lembaga2 tersebut bukan alat-alat perlengkapan negara. Mengapa? Karena yg namanya alat perlengkapan negara adalah kelengkapan yg bertindak untuk dan atas nama negara, yg menjalankan sebagian perwujudan negarap. KY tidak, hy menjalankan fungsi2 supervisi, bahkan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman terutama hakim.
Pemberitaan yg lalu menyesatkan, bhw KY adh bagian kekuasaan kehakiman. Karena pengertian kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yg mengadili, sedangkan KY tdk menjalankan kekuasaan mengadili. Dia hy mengusulkan hakim dipecat, dia bukan kekuasaan kelembagaan negara. Jadi, memang kekuasan negara kita sedang ganjil0ganjil. Contoh, di mana sj di dunia ini, DPR adalah pemegang ekuasaan legisatif (psl 20). Apa artinya? Kekuyasaan membentuk UU. Tp apa kerjaan DPR saat ini? Bukan membentuk UU, dia tdk kerjakan. Bahkan kemarin, sy dengar komisi 3 dan jaksa agung, mereka duduk bersama untu mengawasi apa gitu? Lain di UUD, lain di kerjakan. Bahkan, peristiwa di jatinangor saja ikut-0ikutan. Tapi tugasnya adalah membuat UU, bukan mengurus bgmn hutan jd kota.
Sy dulu msh jd hakim, sering jg tempat konsultasi, kadang-kadang sy kuliahi. Ini contoh. Sy baru baca ttg UU penyiaran. Kami baca berdua, di UU penyiaran, terdapat Komisi Penyiaran. KPI Pusat diawasi oleh DPR Pusat, dan KPID diawasi oleh DPRD. \
Begitu pula, Bank Indonesia, dia bukan alat kelengkapan negara. Memang dia membuat uang, tapi itupun atas perintah UU. Apalagi KPU, TNI, Polri. Itu dlm UUD. Meskipun dlm UUD tdk disebut, UU yg menyebutkan lembaga negara. Misalnya UU menyebut bahwa KPI, KPK, sebagai lembaga negara. Sehingga Semkrang lembaga negara menjadi 1) ada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara, dan 2) yg bukan alat kelengkapan negara.
Dalam ajaran konstitusi, tdk boleh UU menafsirkan, kecuali hakim. Mestinya tdk boleh. Tapi UUD kita jg membuka pintu, ”hal-hal yg belum diatur… ada UU organik. Mengapa …..
Krn UU menambah wewenang pengadilan. Pengadilan boleh memerintahkan agar Presiden…..

UUD 45 kita sekarang masih belum lengkap, misalnya syarat2 presiden. UU pun nambah-nambah lembaga negara. Jadi hati-hati kalo kita bica lembaga negara sekarang, yang mana? Sebelum perubahan UUD 1945 dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.

Tanya:
Adakah suatu cara atau teori yg hrs dilakukan pembentuk UU menafsirkan makna UUD? Misalnya Pasla 6a ayat (2). UU menerjemahkan calon diajukan oleh partpol.
Dlm pemberhentian presiden pd masa jabtannya. Mengapa dari Putusan MK disidangkan di MPR lagi?

Jawab:
Teori pertama. Misalnya dari …. Durkheim: ”tidak ada hukum tanoa tujuan”. Jadi pertama kita harus tahu, apa tujuan pembentuk UUD.

Mislanya ketika di BPUPKI, mereka memperdebatkan anta apakah perlu dalam UUD 1945 dicantumkan hak berapat dan berkumpul. Tdk berarti mrk tdk mengakui hak itu, diatur saja dalam UU.
Teori 3: teori konstitusi. Misalnya bgmn hubungan konstitusi dgn demokrasi? Demokrasi apa yg akan kita terapkan. Dengan demikian kita dpt memahami, sebetulnya bgmn yg dimaui UUD. Ada teori, misalnya Thomas Jefferson, sebaiknya UUD setiap generasi diubah. Tapi Madison, mengatakan, tidak boleh begitu. UUD itu harus ada klausul-klausul konstan, shg tdk dpt diubah. Menarik kemuadian kalo sudah mengenai rijid dan fleksibel. Misalnya UUD ”supel”, tidak dalam pengertian fleksibel. Jika diartikan fleksibel, perubahan UUD sama dengan cara mengubah UU. Pengertian supel, yaitu memuat hal-hal pokok saja, nanti kita sesuaikan. Jd seorang pembentuk UUD harus ahli. Jangan semau-mau.
Pertanyaan kedua, shd diputus secara hukum: Presiden sudah melanggar hukum. Tetapi tdk ada dlm UU, kalau Presiden melanggar hukum harus berhenti. Ketika Masuk MPR, seolah-olah MPT tidak terikat putusan hakim. Dia kuasa untuk itu, tetapi ini agak ganjil. Dari segi teori, keganjilan berlebih lagi, karena meskipun pelanggaran hukum, peradilan ini adalah peradilan politik. Karema sanksinya memberhentikan, mestinya tdk perlu membawa-bawa lembaga kehakiman. Di Amerika peradilan tdk dibawa bawa. Tp UUD bunyinya begitu, ya sesenang-senang kita aja.

Tugas tambahan:
TAP MRP III/78 dan 6/73 summary; no more than 3 pages.

Kita hantar sedikit kuliah yad: Hubungan antara Negara dengan alat-alat kelengkapan Negara.
Sdr2, negara hampir semua buku, ketika belajar ilmu negara, mengatakan bhw negara adlh sebuah organisasi. Shg dikatakan, sbg organisasi tdk ada bedanya dgn prinsip organisasi lain, spt koperasi, BEM, dsb. Ciri-cirinya sama, ada pengurus, pembagian kerja, dll.
Dlm literatur lama, dan yg diterima oleh umum, apa bedaya antara negara dengan organisasi lain? Umumhya ada 2 ciri:
Negara memiliki kekuasaan memaksa coercive power;
negara memiliki kewenangan membuat aturan-aturan yg beraku umum;
negara punya kekuasaan publik untuk semua orang.
Itu umum, semua mengatakan seperti itu, dan sy tdk akan melarang.
SY temukan suatu buku, bhw ciri tersebut tdk mutlak betul, krn ada jg organisasi yg punya kekuasaan membuat uturan umum, dan memaksa anggotanya. Menjalankan kekuasan umum, dan memaksa anggotanya. Itu satu, sebagai organisasi.
Karakter yg kedua, negara selalu merupakan legal entity, badan hukum. Sbagai entitas hukum, negarra memikul dua entitas hukum, sebagai public legal entity dan privat legal entity.
Sebgai public legal entity, negara punya primat hukum tersendiri. Misalnya membayar pajak, tdk ada kompromi.
Hubungan negara tdk sederajat, krn menjalankan kekuasan publik.
Kalo ada masalah dgn negara, misalnya pelanggaran, atau negara melakukan perbuatan arbitrary.
Beda dgn negara sbg privat entity. Hubungan hukum negara dengan kita hádala sederajat. Misalnya, dalam perjanjian mebuat jalan antara negara dengan perusahaan. Hubungannya sederajat, kalo tdk menepati janji, ada wanprestasi. Negara pun adlh suatu institusi yg abstrak. Baru negara itu akan terwujud melalui alat-alat kelengkapan negara itu.

Rabu, 09 Februari 2011

Hukum Pemilu

Dasar-dasar Hukum tentang Hukum Pemilu:
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PEMILU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM, BESERTA PENJELASANNYA.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK, BESERTA PENJELASANNYA.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH, BESERTA PENJELASANNYA.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN, BESERTA PENJELASANNYA.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG BANTUAN DAN FASILITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009.
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07-A TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK HAKIM KHUSUS PERKARA PIDANA PEMILU.
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG GUGATAN YANG BERKAITAN DENGAN PARTAI POLITIK.
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PROSES PERSIDANGAN PELANGGARAN PIDANA PEMILU.
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2008 TENTANG PENUNJUKAN HAKIM KHUSUS PERKARA PIDANA PEMILU.
PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN TERHADAP PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 09 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, PROGRAM DAN JADUAL PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TAHUN 2009.
KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA JAKSA AGUNG RI, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI, KETUA BADAN PENGAWASAN PEMILU NOMOR 055/A/VI/2008, POL. B/06/VI/2008, 01/BAWASLU/KB/VI/2008 TENTANG SENTRA PENEGAKAN HUKUM TERPADU DAN POLA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2009.
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG DUKUNGAN KELANCARAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009.

Perbandingan Hukum Tata Negara

Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal ini, seseorang akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu sistem hukum bekerja atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui pendidikan hukum, budaya hukum terus dialirka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.


Pendidikan hukum memberi peluang kepada kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa depan dari suatu masyarakat. Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-posisi penting kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat dunia barat, atau mereka yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada mereka sedikit banyak telah memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku mereka dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Suatu sistem hukum merupakan komponen (bagian sistem) dari sistem sosial; dan sistem pendidikan hukum merupakan komponen (sub-bagian sistem) dari sistem hukum. Sistem dan bagian sistem tersebut pada dasarnya saling terkait dan memberikan arti satu sama lainnya.[1]

Para pemuda-pemudi di seluruh dunia yang kini berstatus sebagai mahasiswa hukum, pada masa yang akan datang besar kemungkinan akan melanjutkan pos-pos penting sebagai pengacara, hakim, legislator, dan aktivis sosial. Dengan demikian, pendidikan hukum mereka akan sangat relevan hanya apabila hal tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk karakter yang dapat menangani permasalahan sosial di masa depan secara konstrukif. Dikarenakan untuk saat ini kita tidak dapat banyak memprediksi konstelasi dan seberapa tajam permasalah tersebut akan terjadi, maka hal ini menguatkan bahwa pengembangan dasar pendidikan hukum akan sangat dibutuhkan dan dihindari agar tidak sekedar berkutat secara ekslusif seputar permasalahan yang sarat dengan kepentingan sosial dan politik.[2] Dalam beberapa bidang ilmu hukum, pada suatu subyek di mana setiap permasalahan terkait erat dengan tingkah laku manusia secara individu dan kolektif, serta subyek tersebut begitu hidup dan penuh dengan preposisi, termasuk dijadikan pijakan dasar, maka pada umumnya suatu bidang tersebut akan penuh dengan dramatisasi dan perdebatan yang kadangkala tidak berhujung. Sedangkan, permasalahan di bidang metodologi dan presentasi terfokus terkadang menjadi lebih disederhanakan. Untuk lebih jauh menyatakan bahwa dilema metodologi pada pendidikan hukum seringkali menjadi hambatan hampir di setiap subyek kurikulum sekolah hukum. Hal ini terjadi pada khususnya dalam hal subyek ilmu perbandingan hukum.[3] Sebagian besar sekolah hukum di seluruh penjuru dunia saat ini mulai memperkenalkan mata kuliah perbandingan hukum. Terlebih lagi, pesatnya pengembangan pengajaran ilmu perbandingan hukum dapat dikatakan sebagai perkembangan yang sangat luar biasa dalam pendidikan hukum pasca berakhirnya perang dunia kedua (World War II). Pengembangan ilmu perbandingan hukum biasanya akan memperoleh kendala utama ketika sekolah hukum dituntut untuk menyediakan pengajar perbandingan hukum yang berkualitas serta besarnya biaya bahan perpustakaan pada bidang di mana orientasi praktik perbandingan hukum dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan hukum.[4] Menjadi pertanyaan kemudian yaitu apakah sebenarnya perbandingan hukum itu sendiri? Pada awalnya, masyarakat hukum menghadapi kesulitan untuk mengartikan penggunaan dari terminologi perbandingan hukum (comparative law). Secara garis besar telah terjadi pembagian ilmu hukum menjadi cabang-cabang tersendiri dari hukum nasional, seperti misalnya hukum keluarga, hukum pidana, hukum perjanjian, dan sebagainya. Namun demikian, perbandingan hukum tidak juga dibedakan sebagaimana ilmu hukum lainnya. Ketidakjelasan ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya kontroversi dan kesalahpahaman yang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya studi perbandingan hukum. Salah satu konsekuensi logisnya, sebagaima dikemukakan oleh Myres McDougal bahwa perbandingan hukum seakan menjadi suatu literatur yang tersimpan rapat, obsesif dan steril untuk jangka waktu yang cukup panjang.[5]

Metode suatu perbandingan dapat kita katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan pengetahuan manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya, memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi hampir di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist.”[6]
Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum. Arti penting dari studi perbandingan sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum juga telah digarisbawahi dalam berbagai laporan resmi. Salah satu di antaranya yaitu datang dari American Bar Association’s Committee on International dan Comparative Law jauh hari sebelum maraknya perkembangan ilmu perbandingan hukum diperbincangkan. Dalam laporan tersebut, pertama, berbagai langkah disarankan sebagai bentuk praktik dalam mempromosikan penerapan perbandingan sebagai suatu metodologi untuk pengajaran terhadap prinsip-prinsip sistem hukum Common Law.[7] Kedua, perbandingan hukum memilik posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi para ahli hukum yaitu studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakkan hukum dalam bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan pengetahuan terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Studi terhadap ide dan konsep, serta signifikansinya terhadap hubungan antarmanusia merupakan kajian utama dalam disiplin ilmu sosial, seperti misalnya ilmu hukum, hal mana untuk mencapai maksud dan tujuannya haruslah dikerjakan secara ekstensif verbalisasi.[8] Para ahli perbandingan hukum dapat pula menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu hukum dengan menemukan pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum terhadap pola atau stuktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan apa yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara menghindarinya ketika suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara Eropa guna menangani kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara dunia lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris atau India.[9] Penguasaan teknik perbandingan secara otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan bagi para Mahasiswa hukum mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem hukum pada negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek perbandingan hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan paa mahasiswa hukum lebih peduli terhadap interaksi di antara sistem hukum melebihi kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini. Sebagai contoh, di seluruh Amerika Serikat, mata kuliah perbandingan hukum nampaknya telah dilaksanakan hampir secara keseluruhan dalam bingkai penelaahan berbagai materi kuliah dan diskusi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari mata kuliah sistem common law yang mereka anut. Metode pengajaran ini, di mana pada umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sebelum terjadinya perkembangan metode kasus, sudah semakin menyebar di berbagai Universitas.[10] Namun demikian, untuk mengembangkan ilmu perbandingan hukum perlu juga kita ketahui beberapa hambatan utamanya. Hambatan ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dan pengajar ilmu perbandingan hukum, salah satu di antaranya yaitu oleh Profesor Thayer. Menurutnya, perbandingan suatu hukum pada dasarnya lebih tepat digunakan sebagai terminologi deskriptif dan hal inilah yang sebenarnya dimaksudkan apabila kita berbicara mengenai perbandingan hukum, yaitu suatu perbandingan baik secara keseluruhan ataupun suatu bagian hukum tertentu dari dua atau lebih negara dengan membawa perbedaan dan persamaan di antara mereka guna diambil suatu kesimpulan.[11] Di satu sisi, permasalahan linguistik biasanya menjadi kendala utama yang dialami oleh sebagian besar peneliti bahan perbandingan. Sayangnya, pertanyaan ini tidaklah pernah bisa dijawab melalui pendekatan teoritis semata. Hal ini menjadi penting dan seringkali menjadi faktor penghambat utama karena arti penting dari nilai perbandingan pada dasarnya hanya dapat diselesaikan oleh seseorang yang tidak mempunyai kendala dalam dunia bahasa. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa berbagai macam studi perbandingan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang dianugerahi atau mempunyai kemampuan di bidang bahasa. Sebagai contoh, terdapat beberapa aspek dari perbandingan hukum yang tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengetahuan terhadap prinsip-prinsip pengetahuan bahasa di Eropa. Pada sisi lain, hal tersebut menjadi sangat tidak mungkin apabila studi perbandingan hukum terhadap sistem hukum dari negara asal dengan sistem hukum dari negara lain, seperti misalnya negara-negara Timur-Tengah atau Afrika, tidak sedikit pun menemukan kendala bahasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa sedikit-banyak kendala ini akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan makna dari terimologi hukum yang digunakan. Lebih lanjut, permasalahan bahasa ini juga telah menjadi hambatan utama dari sebagian besar studi pascasarjana dan kegiatan penelitian, sebab sangat jarang ditemukan pada ssat ini studi perbandingan yang hanya menggunakan bentuk dan bahasa yang sederhana dan mendasar. Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul sturktur dan tata bahasa yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapai akan dapat saling ditutupi antara satu dengan yang lainnya.[12]

[1] John Henry Merryman, “Legal Education There and Here: A Comparison” dalam Stanford Law Review, Vol. 27, No. 3. (Feb., 1975), hal. 859-878.
[2] Rudolf B. Schlesinger, “The Role of the ‘Basic Course’ in the Teaching of Foreign and Comparative Law” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 616-623.
[3] Arthur T. von Mehren, “An Academic Tradition for Comparative Law?” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 624-632.
[4] George Winterton, “Comparative Law Teaching” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 1. (Winter, 1975), hal. 69-118.
[5] Lihat Myres S. McDougal, “The Comparative Study of Law for Policy Purposes: Value Clarification as an Instrument of Democratic World Order “, 1 Am.J. Comp.L., 1952, hal. 24 dan 29.
[6] Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9.
[7] H. C. Gutteridge, “Comparative Law as a Factor in English Legal Education” dalam Journal of Comparative Legislation and International Law, 3rd Ser., Vol. 23, No. 4. (1941), hal. 130-144.
[8] Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law, supra note no. 3.
[9] Ibid.
[10] John N. Hazard, “Comparative Law in Legal Education” dalam the University of Chicago Law Review, Vol. 18, No. 2. (Winter, 1951), hal. 264-279.
[11] Edward D. Re, “Comparative Law Courses in the Law School Curriculum” dalam The American Journal of Comparative Law, Vol. 1, No. 3. (Summer, 1952), hal. 233-242.
[12] H. C. Gutteridge, Comparative Law as a Factor in English Legal Education, supra note 7.

Makalah Perbandingan HTN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sepanjang sejarah Indonesia berdiri, tercatat UUD 1945 beberapa kali mengalami perubahan, sehingga dikenal adanya Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950 ), UUD Sementara 1950 ( periode 17 agustus 1950 – 5 juli 1959 ), UUD 1945 ( periode 1959 – 1971 ), UUD 1945 ( periode 1971 – 1999 ), UUD 1945 ( periode 1999 – sekarang/ setelah perubahan ). Latar belakang perubahan UUD 1945 disebabkan karena adanya perubahan politik. Indonesia mengalami perubahan yakni , periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959- 1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Dimana UUD 1945 memang dibuat dengan tergesa – gesa.Sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa smengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.Hal ini menyebabkan tidak adanya check and balance pada institusi – institusi kenegaraan. Dimana MPR sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat.Dan Presiden memiliki kekuasaan dominan. Presiden menjalankan pemerintahan dengan hal prerogatif(memberi grasi,amnesti,abolisi,dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif(emebentuk undangundang). Presiden merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah majaelis. Dimana dua cabang kekuasaan negara tersebut seharusnya dipisah, tetapi pada saat itu kekuasan tersebut berada pada satu tangan(Presiden). Hal tersebut mengakibatkan adanya pemerintahan yang otoriter.Selain alasan diatas pasal pasal dalam Undang undang sebelum amandemen sangat rawan untuk terjadinya multi tafsir.Misalnya saja pada Pasal 7 UUD 1945 sebelum di amandemen yang menimbulkan multitafsir:
-Presiden dan wakil presden dapet dipilih berkali – kali. -Presiden dan wakil presiden hany aboleh 2x terpilih saja. Dan tentang pasar yang menyebutkan bahwa “Presiden adalah orang Indonesia asli”. Undang-Undang pada saat itu tidak menyebutkan definisi orang Indonesia asli itu seperti apa. Sehingga menimbulkan multitafsir, antara orang yang lahir di Indonesia atau orang yang orang tuanya orang Indonesia.

Undang-undang dasar 1945 belum mencakup tentang aturan yang mengatur demokratis, supermasi hukum, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM dan juga otonomi daerah. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.Infrastruktur politik yang dibentuk antara lain parati politik dan organisasi masyarakat tidak dapat berekspresi dan tidak bisa bertindak sebagaimana mestinya.Pemilu pun hanya sebagai formalitas demokrasi saja.Karena pada kenyataanya pelaksanaan dan seluruh proses ditangani oleh pemerintahan. Kesejahteraan sosial tidak tercapai sesuai atau berdasarkan Pasal 33. Dari perubahan – perubahan yang dialami Undang- undnag dasar 1945 telah disepakati tidak meruba Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 1.2 DASAR PEMIKIRAN Paling tidak, ada lima dasar pemikiran yang melatarbelakangi perubahan UUD 1945 naskah asli adalah: Pertama, struktur ketatanegaraan terialu bertumpu kepada MPR sebagai pelaku kedaulatan rakyat; Kedua, terlalu besarnya kekuasaan eksekutif;
Ketiga, adanya pasal-pasal " luwes" dan multiinterpretatif;
Keempat, banyak kewenangan presiden yang mengatur hal-hal penting dengan
undang-undang; Kelima, rumusan UUD 1945 naskah asli tentang semangat penyelenggara negara tidak didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar kehidupan demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, HAM, dan otonomi daerah (Setjen MPR,2003). Kenyataan sejarah menunjukkan, UUD 1945 naskah asli hanya menghasilkan dua format politik otoriter: Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. 1.3 TUJUAN Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah: * Menyempurnakan aturan dasar tatanan negara, yang sesuai dengan pembukannan Undang – Undang Dasar dan Pancasila. Pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. *Menjamin adanya kedaulatan rakyat dan mempeluas parsitipasi rakyat sesuai dengan asas Demokrasi. *Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan operlindungan Hak Asasi Manusia. *Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaran negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi seperti pengaturan wilayah negara dan pemilu. *Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai perkembangan aspirasi, kebutuhan , dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang. Amandemen UUD 1945 menyempurnakan aturan dasar, mengenai: •Tatanan negara
•Kedaulatan Rakyat
•HAM
•Pembagian kekuasaan
•Kesejahteraan Sosial
•Eksistensi negara demokrasi dan negara hukum
•Hal-hal lain sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa

Alasan dasar Perubahan UUD 1945: • Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang dijadikan landasan dalam • Penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan aspirasi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat kehidupan masyarakat Indonesia yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban manusia pada umumnya maka UUD 1945 diamandemen oleh MPR. Perubahan UUD 1945 memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. • Karena menghilangkan pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sacral, tidak bisa diubah, diganti, dikaji mendalam tentang kebenaran seperti doktrin yang diterapkan pada masa orde baru. • Karena perubahan UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya atau melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat. • Karena perubahan UUD 1945 mendidik jiwa demoktrasi yang sudah dipelopori oleh MPR pada waktu mengadakan perubahan UUD itu sendiri, sehingga lembaga Negara, badan badan lainnya serta dalam kehidupan masyarakat berkembang jiwa demokrasi. Karena perubahan UUD 1945 menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden dibatasi, kekuasaan presiden dibatasi, system pemerintahan dsentralisasi dan otonomi • Karena perubahan UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik kea rah keterbukaan. • Karena perubahan UUD 1945 mendorong para cendekiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan) sehingga mendorong kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, social budaya sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju.

BAB II DASAR YURIDIS & KESEPAKATAN DASAR PERUBAHAN UUD 1945
2.1 DASAR YURIDIS Perubahan undang-undang dasar merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sejarah kehidupan bangsa. Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis bagi kehidupan bangsa Indonesia maka sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. MPR melakukan perubahan Unndang-Undang Dasar 1945 berpedoman pada pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur prosedur perubahan UUD 1945. Sebelum melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR dalam sidang Istimewa Undang-Undang 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan yang sulit sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR.Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang referendum yang mengatur tentang tata cara perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan cara perubahan UUD 1945 yang diatur pada pasal 37 UUD 1945. Adapun dasar hukum perubahan UUD 1945 adalah UUD 1945 itu sendiri, yaitu pasal 37 yang berbunyi : 1.Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota majelis permusyawaratan rakyat harus hadir.
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir
3.Pasal 3 UUD 1945
4.Pasal 37 UUD 1945
5.TAP MPR No.IX/MPR/1999
6.TAP MPR No.IX/MPR/2000
7.TAP MPR No.XI/MPR/2001
2.2 KESEPAKATAN DASAR Banyak tuntutan yang menginginkan perubahan UUD 1945 pada era Reformasi.Tuntutan itu kemudian diperjuangkan oleh fraksi – fraksi MPR.MPR membentuk panitia Ad Hoc III dan Panitia Ad Hoc I.Dalam rapat panitia Ad Hoc III bersepakat dengan : Langsung melakukan perubahan UUD 1945 karena UUD 1945 telah ditetapkan berlaku dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dimana perubahan tersebut harus punya arah yang jelas, tujuan dan batsan yang jelas agar tidak ada pembahasan yang melebar kemana – mana, guna menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis. Ditengah proses pembahasan perubahan Undang – undang dasar 1945 Panitia Ad Hoc pertama menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan Undang – undang Dasar 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir: •Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 •Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia •Mempertegas sistem presidensiil • Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal- pasal •Perubahan dilakukan dengan cara “adendum” Pembukaan Undang – undang dasar 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya NKRI tujuan Negara serta dasar Negara yang harus tetap dipertahankan. Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk Negara Indonesia yakni NKRI didasari pertimbangan bahwa Negara kesatuan adalah bentuk Negara iniditetapkan sejak awal berdirinya Negara dan yang dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang. Kesepakatan dasar untuk mempertegas system pemerintahan presidensial bertujuan untuk memperkokoh system pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh bangsa Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri Negara pada tahun 1945. Kesepakataan dasar lainnya adalah Penjelasan Undang – undang Dasar 1945 yang memuat hal-hal normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal(Batang Tubuh) untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.

BAB III SUSUNAN PERUBAHAN UUD 1945
3.1 JENIS PERUBAHAN
3.1.1. Perubahan Peratama UUD 1945 Perubahan terhadap UUD 1945 akhirnya terwujud dalam Sidang Umun. MPR pada bulan Oktober 1999. Pada tanggal 19 Oktober 1999, MPR menetapkan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2),Pasal14, Pasal15,Pasal17(2),(3),Pasal20,Pasal21UUD1945. Pasal 5 1.Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakila Rakyat. Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. • [ sebelumnya berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.] Pasal 9 1.Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden)
" Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya , memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa". Janji Presiden (Wakil Presiden) : "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa". 2.[tambahan] Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama,berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
PASAL 13 1.Presiden mengangkat duta dan konsul.
2.Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
o [ sebelumnya berbunyi: Presiden menerima duta negara lain.] 2.[tambahan] Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14 1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. o [ sebelumnya berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.] 2.[tambahan] Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 15 Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. • [ sebelumnya berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.] Pasal 17 1.Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2.Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3.Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
o [ sebelumnya berbunyi: Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintah.] Pasal 20 1.Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. o [ sebelumnya berbunyi: Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.] 2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. o [ sebelumnya berbunyi: Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.] 3.[tambahan] Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 4.[tambahan] Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pasal 21 1.Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang- undang. o sebelumnya berbunyi Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
Perubahan Pertama ini akan diikuti dengan perubahan-perubahan berikutnya. Hal ini nampak dengan penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang 11Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan agar Badan Pekerja MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000. 3.1.2 Perubahan Kedua UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 3.1.3 .Perubahan Ketiga UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengubah dan/atau menambah Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3) dan (4); Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 6A Ayat (1), (2), (3) dan (5); Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7); Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3) dan (4); Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6);Pasal 23 Ayat (1), (2) dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2) dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2), Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3) dan (4); dan Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3.1.4. Perubahan Keempat UUD 1945 (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat;(b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kalimat, "Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,"; (c) Mengubah penomeran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menajdi Pasal 25A; (d) Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agund dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; (e) Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana Perubahan kekempat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: - Secara resmi kata yang digunakan adalah “perubahan” UUD NRI Tahun 1945 ,Kata “amandemen” tidak lagi digunakan. - Peynebutan UUD 1945 secara resmi: Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945 (diputuskan melalui sidang paripurna tahunan MPR). - MPR menyepakati cara penulisan , cara adendum.Yakni naskah asli UUD NRI tahun 195 tetap dibiarkan utuh sementara naskah perubahan diletakkan setelah naskah asli. Naskah resmi Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945 terdiri atas 5 bagian (dari askah asli hingga perubahan keempat).
- UUD NRI 1945 terdiri dari dua bagian: Pembukaan dan pasal- pasal. Sedangkan batang tubuh yang selama ini digunakan sebagaimana tercanum dalam pasal III aturan tambahan UUD NRI 1945 tidak lagi dipakai karena digantikan dengna pasal – pasal. -Penjelasan pasal-pasla dalam Undnag – Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak berlaku sesuai dngan ketentuan Pasal III aturan tambahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Selasa, 08 Februari 2011

Definisi Politik Hukum

Definisi Politik Hukum Menurut Para Ahli Hukum:
1. Satjipto Rahardjo: Aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y Stefanus: Kebijaksanaan Penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum) Kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
3. L.J. Van Apeldorn: Politik Hukum sebagai politik perundang-undangan
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. (pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja).
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: Politik Hukum sebagai kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
5. Moh. Mahfud MD (dikaitkan di Indonesia) adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pengertian atau definisi hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau yang tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b. pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada,termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu.

Politik Hukum

Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatar-belakangi proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus juga akan sangat mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuan-ketentuan produk hukum dan kebijakan, dan juga dalam menentukan kebijakankebijakan lembaga-lembaga tersebut dalam tataran praktis dan operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga ia dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan.
Politik di belakang PSDA, di satu sisi memiliki kemampuan besar untuk merusak dan mengikis habis sumber daya alam, namun di sisi lain, ia dapat mempertahankan kelestarian dan daya dukung SDA serta pemanfaatan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, di tengah deras lajunya pembangunan. Hal inilah yang dikupas secara lugas dalam artikel utama edisi kali ini, dengan merujuk pada kasus Rahman Dako, yang ditulis dengan apik oleh Dr Hariadi. Melalui artikel ini, beliau mencoba menggambarkan hubungan antara politik hukum SDA dengan kerusakan hutan Gorontalo.
Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau inovation.sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsif).
Virgina Held (etika Moral, 1989 106-123) secara panjang lebar membicarakan sistem hukum dan sistem politik dilihat dari sudut pandang etika dan moral. Ia melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar pembenarannya. "Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konseku ensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang tindih. Dalam proses pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya. Proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses politik.
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi ole subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secar tertib. Prof. Max Radin menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Dilain pihak hukumtidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (Sosiologi Politik 1981:358) menyatakan: "hukum didefini- sikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.
Penyelewengan prinsi-prinsip hukum terjadi karena politik cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di samping itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989; 144) keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak berhubungan dengan peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan itu mempunyai kekuatan politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat kekuasaan dan mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Hukum tidak ditempatkan pada posisi sentral protes input output sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat . Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip tersebut diselewengkan. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berpindah ke tangan "Pemimpin Besar Revolusi". Hukum disubordinasikan pada politik Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi pemerintahan berdasar Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (perpres). Hubungan hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang. Hukum kehilangan wibawanya dan melorot peranannya menjadi pelayan kepentingan politik, karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru yang bangkit pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad mengembalikan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Hasil-hasil selama ini tampak nyata khususnya dalam penataan kembali kehidupan hukum dan politik sebagai pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun perlu dicatat pula bahwa dalam perjalanan waktu tampaknya godaan pragmatisme pembangunan sulit dikendalikan, di mana pencapaian sasaran-sasaran kuantitatif yang terukur dengan angka-angka statistik menjadi ukuran keberhasilan. Artinya dasar pembenaran teleogis dari politik yang mengedepan, tidak diimbangi oleh pembenaran deontologis dari sistem hukum yang menekankan pada prinsip-prinsip yang seharusnya ditegakkan berdasarkan konstitusi dan hukum.
Di samping itu kekuasaan tak jarang menampakkan wajahnya yang arogan dan tak terjangkau oleh kontrol hukum maupun rakyat melalui lembaga perwakilan. Padahal salah satu esensi dari negara yang berdasar atas hukum adalah bahwa kekuasaanpun mesti tunduk dan bertanggung jawab untuk mematuhi hukum. Kekuasaan politik yang dijalankan dengan menghormati hukum, merupakan yang dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang berdaulat. Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993: 244) menyatakan: "mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik". Aturan hukum dan juga kehidupan sosial yang berperaturan berfungsi sebagai salah satu kondisi bagi kepelakuan. Hukum mencegah gangguan dan sekaligus menjaga stabilitas dan koordinasi kegiatan masyarakat. Dengan demikian memungkinkan tindakan orang lain dan membuat rencana masa depan.
Gejala mengutamakan pencapaian target dengan kurang mengindahkan prinsip-prinsip yang mesti ditegakkan dan arogansi kekuasaan apabila tidak segera diatasi merupakan kendala dalam merealisasikan komitmen Orde Baru untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum. Untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum tak cukup hanya dengan kemauan politik yang selalu dijadikan retorika, yang lebih penting adalah melakukan upaya nyata melaksanakan konstitusi, mengembangkan demokrasi dan membangun wibawa hukum dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal itu akan menjadi realitas apabila sistem hukum dan politik berfungsi dengan baik menurut kewenangan-kewenangan sah yang diatur dalam konstitusi. Sistem check and balance akan terlaksana bila kekuasaan politik menghormati hukum dan dikontrol oleh rakyat secara efektif melalui lembaga perwakilan rakyat. Untuk mewujudkan lembaga hukum dan politik yang saling melengkapi memang diperlukan komitmen yang kuat dan kesungguhan melaksanakan demokratisasi dan penegakkan wibawa hukum. Semua itu bergantung kepada pemahaman dan tanggung jawab kita yang lebih dalam untuk memfungsikan lembaga hukum dan politik sesuai dengan jiwa dan semangat konstitusi, maupun dalam membangun budaya masyarakat yang kondusif untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut.

Senin, 07 Februari 2011

Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti juga yang dialami konsumen di negara – negara berkambang lainnya, tidak hanya pada soalcara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai. Latar belakang perlindungan konsumen Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnyatingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Definisi Perlindungan Konsumen Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 1 disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upayayang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan2
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Sejarah Perlindungan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadipada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayaingi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitui bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar- seminar, penyusunan naskag penelitian, pengkajian dan naskah akademik RUU (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara historis, beberapa diantara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: a.Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desember 1975) b.Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun 1979-1980). c.Yayasan Lembaga Konsummen Indonesia, perlindungan kosumen indonesia suatu sunbangan pemikiran tentang rancangan Undang- undang Perlindungan konsumen (1981). d. Departemen perdagangan RI bekerjasama dengan fakultas hukum UI, RUU tentnang perlindungan konsumen (1997) e.DPR RI, usul inisiatif DPR tentang UU perlindungan KonsumenDesember 1998. Selain pembahasan-pembahasan diatas masih banyak lagi lokakarya-lokakarya, seminar-seminar, berkenaan dengan perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen, dari berbagai aspeknya. Untuk hadirnya suatu UU tentang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 bab dan 65 pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang UU ini dikumandangkan (1975- 2000), meskipun masih ada kekurangan disana sini (selanjutnya menjadi tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional-BPKN). Sekalipun demikian ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat indonesia yang kesemuanay adalah konsumen pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan atau jasa konsumen. Beberapa tahun belakangan ini, ada banyak masalah pelanggaran hak-hak konsumen yang justru makin bertambah. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut menimbulkan keresahan yang sangat akut bagi kehidupan masyarakat. Masyarakatsepertinya dihantui ketakutan yang sangat mengerikan karena makanan atau yang dikonsumsinya setiap hari mengandung berbagai bentuk zat atau bahan yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa mereka. Makanan atau minuman yang menggunakan bahan pengawet untuk mayat (formalin), bahan pewarna pakaian, bahan pengawet yang tidak memenuhi ketentuan yang sehat, boraks dan sebagainya, seakan menjadi momok yang menakutkan karena sangat membahayakan bagi jiwa mereka di kemudian hari. Kasus-kasus tersebut tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Boleh dibilang, hampir setiap tahun selalu menjadi pemberitaan hangat di berbagai media massa Nasional. Hanya, memang kadang-kadang pemberitaan tersebut silih berganti muncul dan tenggelam, menjadi isu yang seakan tak pernah tuntas untuk diselesaikan. Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus-kasus perlindungan konsumen : 1.Perbuatan pelaku usaha, baik disengaja maupun karena kelalaian, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya, kerugian yang diderita konsumen dapat bersifat massal (massive effect). 2. Dampak yang ditimbulkannya juga bersifat seketika (rapidly effect). Sebagai contoh, konsumen yang dirugikan (karena mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit, atau bahkan meninggal dunia. Ada juga beberapa efek yang ditimbulkannya baru terasa beberapa hari kemudian (hidden effect). Contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlah produk yang bisa mengakibatkan sakit kanker pada kemudian hari. 3.Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak ada pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya kapan saja. Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkanprodusen. 2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT untuk pemberantasan malaria melalui Depkes RI. 3.Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 4.Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di 4
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. 1.Asas perlindungan konsumen Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen. a. Asas manfaat Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelau usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c. Asas keseimbangan Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.Asas keamanan dan keselamatan konsumen Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e.Asas kepastian hukum Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
2.Tujuan perlindungan konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut. 1.Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. 3.Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen. 4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5.Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat denganpemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999. Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut : 1.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 2.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 3.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 4.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar. 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. Hak dan Kewajiban Konsumen Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut : 1.Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa. 2.Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 4.Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. 5.Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6.Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7.Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif 8.Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI). Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap barang kenutuhan yang dibutuhkan sehari-hari baik itu barang dan/atau jasa. Hampir semua aspek kehidupan bersentuhan dengan konsumen. Karena itulah hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Sebelum lahirnya UU Perlindungan Konsumen banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur didalamnya tentang konsumen, misal kesehatan, keselamatan, dsb. Terlepas dari Undang-undang yang mengatur tentang konsumen tersebut, pengaturan tentang perlindungankonsumen mempunyai dua aspek yaitu :
1.Aspek hukum publik
2.Aspek hukum privat/perdata

1.Aspek Hukum Publik Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktek bisnis, maupun Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu anggota. Diantara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalahhukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa. Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah yang diberikan wewenang untuk itu, sangat perlu bagi perlindungan konsumen. Berbagai instansi berdasarkan peraturan perundang- undangan tertentu diberikan kewenangan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili setiap perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur dari norma-norma hukum yang berkaitan. Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHPidana atau diluar KUHPidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. KUHP No. 8 Tahun 1981 (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan. Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana. Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagai tindak pidana yang sangat berkaitan dengan kepentingan konsumen termuat dalam KUHPidana maupun yang terdapat diluar KUHPidana adalah : 1.Termuat dalam KUHPidana adalah :
a.Pasal 204 dan 205 KUHPidana.
b.Pasal 382 bis dan 383, 386, 387, 390 KUHPidana.
2.Termuat di luar KUHPidana antara lain : a.Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang lingkungan hidup pada Pasal 82 ayat (3) menyatakan tindakan-tindakan tertentu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. b.Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang perindustrian diatur pada Pasal 28 dari undang-undang ini. c.Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan diatur pada Pasal 80 dan Pasal 86 undang-undang ini.d.Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas jalan dan angkutan jalan.
2.Aspek Hukum Privat/Perdata Dalam hukum perdata yang lebih banyak digunakan atau berkaitan dengan azas- azas hukum mengenai hubungan/masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat mengenai pembuktian dan daluarsa. Buku ketiga memuat berbagai hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi berdasarkan perjanjian saja maupun yang lahir berdasarkan Undang-undang.Hubungan hukum konsumen adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).Hubungan konsumen ini juga dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1313 sampai Pasal 1351 KUHPerdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara sukarela diantara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak (ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata). Selanjutnya diantara perikatan yang lahir karena Undang-undang yang terpenting adalah ikatan yang terjadi karena akibat sesuatu perbuatan yang disebut juga dengan perbuatan melawan hukum (ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata). Sedangkan pertanggung jawaban perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum (on rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUHPerdata, dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam hal ini adalah terjadi hubungan hukum antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam hubungan hukumnyaPenyelesaian Sengketa Konsumen Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak- hakkonsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. 1. Penyelesaian Peadilan Umum Pasal 45 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan “ setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum”. Penyelesaian sengketa ini merupakan pilihan dari para pihak apakah diselesaikan melalui peradilan umum ataukah diluar peradilan atau damai. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK Kemudian pasal 45 ayat (3) UUPK, menyebutkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggunng jawab pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut pasal 46 UU Perlindungan Konsumen adalah : a.Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan b.Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama c.Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen. d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
2.Penyelesaian di Luar Pengadilan
Undang-undang Perlindungan Konsumen Disampingmengatur penyelesaian sengketa di peradilan umum juga mengatur penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan diluar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan: jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam pasal 47 UUPK. Lalu pertanyaannya adalah apakah penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini apakah termasuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Daftar pustaka http://books.google.co.id/books?
id=Oec_lUDTFUC&pg=PA5&lpg=PA5&dq=sejarah+perlindungan+konsumen&source=
bl&ots=_unW9wQ0sN&sig=KuCnFt0H_AhxhXjk3DEdWWEqeog&hl=id&ei=3gsS8HQJYG
I6gOl9ozLDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CBkQ6AEwBg#v=o
nepage&q=sejarah%20perlindungan%20konsumen&f=false
http://www.pemantauperadilan.com/opini/53ASPEK%20HUKUM%20PERLINDUNGAN %20KONSUMEN%20TINJAUAN%20SINGKAT%20UU%20NOM.pdf http://www.kpi.go.id/download/UU%20No.%208%20Tahun%201999%20tentang %20Perlindungan%20Konsumen.pdf http://elisa.ugm.ac.id/files/dinawk/vwLYc3Fo/Slide%20MKK%20Perlindungan %20Konsumen.ppt http://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&ct=res&cd=13&ved=0CAoQFjACOAo&url=http%3A%2F
%2Focw.unnes.ac.id%2Focw%2Fhukum%2Filmu-hukum-s1%2Fhkk307-hukum-
perlindungan-konsumen%2Fbuku%2520ajar%2520HPK.pdf%2Fat_download
%2Ffile&rct=j&q=sejarah+perlindungan+konsumen&ei=MRysS9eBBpLq7AOkmMDGD
w&usg=AFQjCNGWd4hJdalT6gjT8gLLbW-1E8N6Eg
http://hukumnews.com/berita/hukum/36-politik/57-dasar-hukum-pengaduan- konsumen.pdf http://elisa.ugm.ac.id/files/dinawk/KpgAkEhQ/ZulDennyDwiAir%20Heksagonal%20dan %20Air%20O2%20edited.pdf
http://www.pemantauperadilan.com/delik/16-PERLINDUNGAN%20KONSUMEN.pdf
http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-sabarudin2.pdf
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=37&ved=0CBEQFjAGOB4&url=http%3A%2F
%2Fwww.bpkp.go.id%2Funit%2Fhukum%2Fuu
%2F1999%2F0899.pdf&rct=j&q=sejarah+perlindungan+konsumen&ei=1C2sS8CPA5S
_rAfl9fimAQ&usg=AFQjCNFK47P-ktbKYOuWi03TsLi17hiZLw
http://los-diy.or.id/artikel/pp-57.pdf Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman.2004.”Hukum Perlindunngan Konsumen”. Jakarta : Rajawali Pers