Entri Populer

Kamis, 15 Oktober 2009

Paper HUKUM

Meningkatkan kesadaran Hukum

Hukum harus dikembalikan pada keberadaan yang sebenarnya. Harus dikembalikan dari tidak hanya produk ideologi yang mengabdi pada kekuasaan, tetapi juga sebagai salah satu produk kebudayaan, karena kebudayaan diciptakan dan sekaligus menciptakan kehidupan bermasyarakat. Hukum hendaknya berperan bagaikan oksigen dalam darah, dia menghidupkan dan sekaligus dihidupkan oleh masyarakat. Dia harus mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat, peka terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), yang bertitik tolak dari hukum adat yang merupakan jati diri dari masyarakat (hukum) adat di Indonesia, khususnya masyarakat adat Sunda di Jawa Barat. Salah satu unsur budaya hukum yang terpenting adalah adanya "budaya malu" (shame culture) yang merupakan bagian paling penting dari adat ketimuran kita yang berasal dari komunitas-komunitas adat di berbagai suku bangsa di Indonesia. Di Jawa Barat, misalnya, masyarakat adat Baduy, Cigugur, Kampung Naga, Sindang Barang, Sirna Sermi, Cikondang, Dukuh Lengkong, Rancakalong, Panjalu, dan lain-lain.

Bukankah kita memiliki pepatah "sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya" yang cukup menggambarkan betapa pentingnya "budaya malu" dalam sikap dan perilaku kita dalam masyarakat. Pepatah ini mengisyaratkan bahwa kita harus menjaga kehormatan dan kepercayaan orang pada diri kita agar tidak runtuh. Rasa malu terhadap "sanksi sosial" apabila melakukan perbuatan yang dicela masyarakat, yaitu dengan hilangnya rasa kepercayaan masyarakat, sebenarnya bentuk hukuman yang membuat seseorang berusaha untuk "mengendalikan" diri lebih kuat dibandingkan dengan sanksi hukum yang kadang kala tidak efektif dalam mencegah seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan norma sosial lainnya.

Kesadaran hukum

Pengertian kesadaran hukum, menurut Paul Scholten (dikutip dari Sudikno Mertokusumo, "Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat", 1981:2) adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa itu hukum atau apa seharusnya hukum itu, merupakan suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan manusia dengan mana manusia membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang sepantasnya dilakukan dan tidak dilakukan.

Dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum dinyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan, kepatuhan/ketaatan kepada hukum. Pada intinya, kesadaran hukum masyarakat merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat bukanlah produk dari pertimbangan akal sehat belaka, tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti, agama, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Budaya malu

Masyarakat sunda pada dasarnya sangatlah mengenal budaya malu (isin). Karena pada diri urang Sunda tertanam nilai-nilai etika yang sangat halus dan penuh harga diri. Malu jika mempermalukan diri sendiri, mempermalukan keluarga, mempermalukan lingkungan, dan mempermalukan urang Sunda. Nah, modal yang paling utama untuk memiliki kesadaran hukum adalah unsur budaya malu. Malu berbuat jahat dan malu berbuat sesuatu yang ditolak oleh komunitas dan diberi sanksi, yaitu sanksi sosial. Secara konseptual, budaya hukum yang berkolaborasi dengan budaya malu pada hakekatnya merupakan kesadaran hukum. Oleh karena itu, budaya hukum yang dianut suatu masyarakat, sekaligus merupakan kesadaran hukumnya.

Pakar kriminologi dari Australia, John Braithwaite, dalam bukunya Crime, Shame, dan Reintegration (1989) berpendapat, rasa malu seseorang dapat menghadirkan dua bentuk situasi. Pertama, rasa malu yang menimbulkan stigmatisasi atau disebut "disintegrative shaming". Kedua, rasa malu yang menghasilkan "reintegrative" atau kekuatan. Rasa malu yang menghasilkan stigmatisasi cenderung terjadi dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi peranan hukuman sebagai alat peredam kejahatan. Sedangkan rasa malu menimbulkan "reintegrative" cenderung terjadi dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan moral dalam kaitannya dengan pencegahan tindak kejahatan. Esensi pokok dari kajian ini adalah bagaimana kiranya metode menumbuhkan rasa malu di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga ketimpangan tatanan sosial dan potensi kerawanan sosial yang sedang kita alami tidak menambah terpuruknya citra bangsa ini? Sebagai bangsa yang berbudaya, alangkah memalukan jika korupsi dikatakan sudah membudaya di Indonesia.

Kesadaran kita tentang perlunya ditumbuhkan budaya hukum dan budaya malu harus disebarluaskan dan diupayakan dengan berbagai cara. Barangkali kita harus percaya bahwa bangsa Indonesia masih memiliki kesadaran hukum, masih memiliki budaya hukum dan budaya malu. Sebagaimana tercermin dari nilai-nilai luhur silih asih, silih asuh, dan silih asah, yang merupakan kearifan budaya Sunda dalam proses penata lingkungan hidup yang harmonis. Masyarakat Sunda memiliki kesadaran hukum dalam konsep harmoni dalam nilai-nilai keajegan konservasi nilai-nilai silih asih, asuh, dan asah. Namun, masih ada persoalan lain, yakni bagaimanakah derajat kesadaran hukum tersebut, yang mungkin rendah atau tinggi (atau bahkan sedang-sedang saja). Oleh karena itu, pembinaan melalui budaya hukum mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembentukan (atau pembimbingan) kesadaran hukum. Dibutuhkan adanya pendidikan hukum secara berkesinambungan sejak dini dalam masyarakat. Pendidikan itu dapat berupa teladan dalam keluarga maupun secara informal dalam berbagai kesempatan di lembaga pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi, atau perguruan tinggi hukum/nonhukum, serta organisasi kemasyarakatan lainnya.

Akhirnya, disadari pula bahwa kesadaran hukum penyelenggara negara dan masyarakat perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara terus-menerus melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan, dan penegakan hukum untuk menghormati, menaati, dan mematuhi hukum dalam upaya mewujudkan suatu bangsa yang berbudaya hukum, berbudaya malu yang berakar dari nilai-nilai masyarakat adat yang merupakan akar dari kehidupan budaya bangsa, khususnya di Jawa Barat.
sumber blog: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=61628

definisi / pengertian HUKUM

Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.

Berikut ini definisi Hukum menurut para ahli :

- Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam “ De Legibus”:
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.


- Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625:
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
- J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mengatakan bahwa :

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.


- Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651:

Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.


- Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882:

Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara

- Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15):

Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Jadi kesimpulan yang didapatkan dari apa yang dikemukakan oleh ahli di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa ilmu hukum pada dasarnya adalah menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum dan memecahkan masalah-masalah.

sumber blog: http://putracenter.wordpress.com/2009/02/16/definisi-hukum-menurut-para-ahli/

Kamis, 01 Oktober 2009

Filsafat Pancasila

MAKALAH FILSAFAT PANCASILA TENTANG MENGENAL FILSAFAT PANCASILA DILIHAT DARI SEJARAH DAN PELAKSANAANNYA
Tuesday, July 29, 2008

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari filsafat Pancasila ada dua hal yang lebih dahulu kita pelajari yaitu Pancasila dan Filsafat memeplajari Pancasila melalui pendekatan sejarah supaya akan dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu di tanah air kita Indonesia peristiwa – peristiwa yang saya maksudkan adalah yang ada sangkut pautnya dengan Pancasila. Melalui pendekatan kami berharap untuk mendapatkan data obyektif dapat menghasilkan kesimpulan yang obyektif pula oleh karena manusia tidak mungkin menghilangkan sikap obyektif sebagai salah satu bawaan kodrat, maka kami bersyukur bila mendapatkan kesimpulan yang obyektif mungkin inter obyektif
Sejarah Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri karena itu dalam tulisan ini kami mencoba mulai dari masa kejayaan bahwa Indonesia merdeka yang kemidian mengalami penderitaan akibat ulah kolonialisme sehingga timbul perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme tersebut kemudian bangsa Indonesia berhasil meproklamasikan kemerdekaan dan berhasil juga menjawab tanatangan tersebut serta mengisi kemerdekaannya itu dengan pembangunnan. Dalam seluruh peristiwa tersebut Pancasila mempunyai peranan penting

Mengingat hal tersebut pertama tama secara runtun kai kemukakan peristwa penyususnan dan perumusan Pancasila agar mengetahui bagaimana duduk persoalan yang sesungguhnya sehingga masing – masing mendapat nilai yang wajar dan tidak I lupakan. Disamping itu hal kedua yang kami anggap penting adalah pengamalan Pancasila. Kami mengkonstatir bahwa pengmalan Pancasila telah dilakukan pada masa – masa sebelum kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bahkan juga sebelum masa tersebut

B. Perumusan Masalah
Dalam pembuatan karya tulis ini dapat penulis rumuskan sebagai erkut: pengertian Filsafat, guna filsafat, fungsi filsafat, pengertian Pancasila, unsur unsur Pancasila dn fungsi unsur – unsur Pancasila. Dan masalah yang di bahas dalam karya tulis ini untuk lebih terarah dan tidak terlalu jauh maka penulis membatasi masalahnya hanya pada arti fungsi dan guna filsafat Pancasila

C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian adalah:
1. Metode wawancara dan interview
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data, komunikasi tersebut dilakuan dengan ialog ( Tanya jawab ) secara lisan baik langsung maupun tidak langsung wawan cara dapat bersifat langsung yaitu pabila data yang akan di kumpulkan langsung di peroleh dari data ndvidu yang bersangkutan. Wawancara yang bersifat tidak angsg yatu wawancara yang dilakukan dengan seseorang untuk memeperoleh keterangandari orang lain maupun dari sumber buku
2. Observasi
Observasi merupakan suatu teknik untuk mengamati secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan – kegiatan yang sedang berlangsung
3. Angket atau daftar isian
Angket merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan komunikasi dengan sumber data melalui tulisan
Metode ini dapat bersifat langsung atau tidak langsung saama halnya dengan metode wawancara

D. Kerangka Berpikir
Dilihat dari sejarah bahwa Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, penuis enggunakan erangka berfikir elau pendekatanflsafat Pancasila dan sejarahnya
Di bentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno diangkat jadi ketua PPKI dan Bung Hatta menjadi wakil ketua. Cepat dan tindaknya emerdekaan Indonesia sangat tergantung pada bangsa Indonesia sendiri setelah bekerja keras tanpa mengenal lelah dan dukungan seluruh rakyat Indonesia khususnya pemuda – pemuda kita, pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 di dalam rapat tebuka gedung pegangsaaan 56 Jakarta, kemerdekaan indnesia di proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia




BAB II
ANALISA MASALAH

Istilah filsafat sudah tidak asing lagi di dengarnya istilah ini dipergunakan dalam berbagai konteks tapi kita harus tahu dulu apa itu filsafat dan fungsi filsafat serta kegunaan filsafat dengan uraian yang singkat ini saya mengharapkan agar timbul kesan pada diri kita bahwa filsafat adalah suatu yang tidak sukar dan dapat di pelajari oleh semua orang di samping itu saya menghrapkan agar kita tak beranggapan filsafat sebagai suatu hasil potensi belaka dan tidak berpijak realita dengan cara ini saya mengharapkan dapat menggunakan sebagai modal untuk memepelajari pancasila dari sudut pandang filsafat
Agara setiap orang yang belum mengetahui tentang pancasila dari sudut falsafat
a. Di dalam bukunya elements of Philiosofi Kattsott 1963 tentang perenungan filsafat
b. Di dalam bukunya filosofi
c. Selanjutnya mengutip pendapat Van Melsen yang yang intinya adalah menggambarkan flsafat sebagai refleksi di dalam ilmu pengetahuan
d. Di dalam bukunya Perpectivies In Social Philosophy Back 1967
Dan kita menganal filsafat pancasila dari sejarah pelaksanaannya diantara bangsa – bangsa barat tersebut bangsa belandalah yang akhirnya dapat memegang peran sebagai penjajah yang benar – benar yang menghancurkan p\rakyat Indonesia mengingat keadaan perjuangan bangsa Indonesia kita harus mengetahui perjuangan sebelum tahun 1900
Sebenarnya sejak waktu itu pula mempertahankan kemerdekaan dengan cara bermacam – macam perlawanan rakyat Indonesia untuk menemtang kolonialisme, belanda telah berjalan dengan hebat. Akan tetapi masih berjalan sendiri – sendiri dan belum ada kerja sama melelui organisasi yang teratur
Dan kita harus mengetahui unsur – unsur pancasila yang menjiwai perlawanan terhadap kolonialisme jika pejuangan bangsa Indonesia mengetahui dan teliti dengan seksama maka unsur – unsur pancasila merupakan semangat dan jiwa perjuangan tersebut kita harus menganalisa dalam pembahasan seperti:
1. Apa unsur – unsur ketuhanan dalam penjajahan belanda
2. Unsur kemanusiaan dalam penjajahan belanda yang menghancurkan rakyat indonesia dengan tidak ada perikemanusiaan, suatu siksaaan yang di derota rakyat indonesia
3. Unsur persatuan terhadap penjajahan belanda yang memecah belah persatuan
4. Unsur kerakyatan terhadap penjajahan belanda tentang kebebasan untuk mendapatkan pendidikan dan seolah olah rakyat kecil tidak ada artinya
5. Unsur yang terakhir yaitu keadilan tentang penjajahan belanda tidak ada keadilan untuk mendapatkan kebutuhan kebebasan hak

BAB III
INTI PEMBAHASAN MASALAH

A. Pengetian Filsafat
Tulisan ini saya menggunakan istilah pengertian dan bukan definisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang antara lain mengatakan bahwa pada hakekatnya sukar sekali memberikan definisi mengenai filsafat, karena tidak ada definisi yang definitif . Sebenarnya pendapat yang demikian ini tidak hanya mengenai filsafat saja akan tetapi juga menganai definisi lain. Terhadap berbagai kata berikut ini misalnya ekonomi, hukum, politik kebudayaan negara masyarakat manusia , juga terdapat definisi itupun bermacam-macam pula.
Oleh karena itu dalam tulisan ini saya ingin mengemukakan pengertian mengenai filsafat dan cirri-ciri berfilsfat, dengan cara ini saya mengharapkan dapat menggunakannya sebagai modal untuk mempelajari Panca Sila dari sudut pandang filsafat.
1. Pengertian menurut arti katanya, kata filsfat dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata Philein artinya Cinta dan Sophia artinya Kebijaksanaan. Filsafat berarti Cinta Kebijaksanaan, cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh.
Kebijaksanaan artinya Kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti Hasrat atau Keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
2. Pengertian umum dari pengertian menurut kata-katanya tersebut di atas filsafat secara umum dapat diberi pengertian sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran hakekat atai sari atau inti atau esensi segala sesuatu dengan cara ini jawaban yang akan diberikan berupa keterangan yang hakiki. Hal-hal mana sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya
3. Pengertian khsusu, karena filsafat telah mengelami perkembangan yang cukup lama tentu dipengaruhi oleh berbagai factor, mislanya ruang, waktu, keadaan dan orangnya. Itulah sebabnya maka timbul berbagai pendapat mengenai pengertian filsafat yang mempunyai kekhususannya masing-masing.
Ada berbagai aliran didalam filsafat ada suatu bukti bahwa bemacam-macam pendapat yang khsusu yang berbeda satu sama lain. Misalnya.
- Rationalisme mengagunggkan akal
- Materialisme mengagunggkan materi
- Idealisme mengagunggkan idea
- Hedonisme mengagunggkan kesenangan
- Stoicisme mengagunggkan tabiat salah
Aliran – aliran tersebut mempunyai kekhususan masing-masing dengan menekankan kepada sesuatu yang dianggap merupakan inti dan harus diberi tempat yang tinggi , misalnya kesenangan, kesolehan, kebendaan, akal dan idea.

B. Fungsi Filsafat
Berdasarkan sejara kelahirannya filsafat mula-mula berfungsi sebagai induk atau ibu ilmu pengetahuan. Pada waktu itu belum ada ilmu pengetahuan lain sehingga filsafat harus menjawab segala macam hal, soal manusia filsafat yang membicarakannya, demikian pula soal masyarakat, soal ekonomi, soal negara, soal kesehatan dan sebagainya.
Kemudian karena berkembang keadaan dari masyarakat banyak problem yang tidak dapat dijawab lagim oleh filsafat. Lahirnya ilmu pengetahuan sanggup memberikan jawaban terhadap problem-problem tersebut, misalnya ilmu pengetahuan alam, Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Ilmu Pengetahuan Kedokteran, Ilmu Pengetahuan Manusia, Pengetahuan Ekonomi dan lain-lain.
Ilmu pengetahuan tersebut lalu berpecah-pecah lagi menjadi lebih khusus. Demikianlah lahirnya berbagai disiplin ilmu yang sangat banyak dengan kekhususannya masin-masing.

Spesialisasi terjadi sedemikian rupa sehingga hubungan antara cabang dan ranting ilmu pengetahuan sangat kompleks. Hubungan-hubungan tersebut ada yang masih dekat tetapi ada pula yang telah jauh. Bahkan ada yang seolah-oleh tidak mempunyai hubungan. Jika ilmu-ilmu pengetahuan tersebutterus bersusaha memperdalam dirinya akhirnya sampai juga pada filsafat. Sehubungan dengan keadaan tersebut diatas filsafat dapat berfungsi sebagai interdisipliner sistim. Filsafat dapat berfungsi menghubungkan ilmu-ilmu pengetauhuan yang telah kompleks tersebut. Filsapat dapat berfungsi sebagai tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu pengetahuan

Cara ini dapat pula di gunakan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Cara ini dapat saya gambarkan sepertiorang sedang meneliti sebuah pohon wajib meneliti ke seluruh pohon tersebut, ia tidak hanya meperhatikan daunnya, pohonnnya akarnya, bunganya, buahnya dan sebagian lagi, akan tetapi keseluruhannya dalam menghadapi suatu masalah diharapkan menggunakan berbaga disiplin untuk mengatasinya. Misalnya ada problem sosial tentang kenaikan tngkat kejahatan. Hal ini belum dapat di selesaikan dengan tuntas jika hanya menghukum para pelangarnya saja. Di samping itu perlu di cari sebab pokok. Langkah ini mungkin dapat menemukan berbagai sebab yang saling berkaiatan satu sama lain, misalnya adanya tuna karya, tuna wisma, urbanisasi, kelenbihan penduduk, kurangnya lapangan kerja dan sebagainya. Dari penemuan ini dapat kita ketahui bahwa masalah kejahatan menyangkut berbagai disiplin. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan pula oleh berbagai disiplin

C. Guna Filsafat
Berdasarkan atas uraian diatas, filsafat mempunyai kegunaan sbb.
a. Melatih diri untuk berfkir kritik dan runtuk dan menyusun hasil pikiran tersebut secara sistematik
b. Menambah pandangan dan cakrawala yang lebih luas agar tidak berfikir dan bersifat sempit dan tertutup
c. Melatih diri melakukan peneltian, pengkajian dan memutuskan atau mengabil kesipulan mengenai suatu hal secara mendalam dan komprehensif
d. Menjadikan diri bersifat dinamik dan terbuka dalam menghadapi berbagai problem
e. Membuat diri menjadi manusia yang penuh toleransi dan tenggang rasa
f. Menjadi alat yang berguna bagi manusia baik untuk kepentngan prbadinya maupun dalam hubungan dengan orang lain
g. Menyadari akan kedudukan manusia baik sebagai pribadi maupun hubungan dengan orang lain alam sekitar dan tuhan yang maha esa

D. Perjuangan Bangsa Indonesia
Sebelum kedatangan bangsa – bangsa belanda bangsa Indonesia telah mengali sejarahnya yang panjang dengan berbagai liku – likunya. Demikian pula bahwa portugis mendapat perlawanan rakyat Indonesia. Diantara bangsa – bangsa barat tersebut bangsa Belandalah yang akhirnya dapat memegang peranan sebagai penjajah yang benr – benr menghancurkan rakyat Indonesia
Mengingat keadaan yang demikian perjuangan bahwa Indonesia melawan penjajahan belanda dan jepang
1. Perjuangan sebelum tahun 1900
Pada umumnya kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah di tindas dan di cekam oleh penjajah belanda selama tiga setengah abad. Hitungan sejak tahun 1596 yaitu pada waktu orang – orang belanda yang di pimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Indonesia. Orang – orang belanda bermula berdagang dan di terima baik oleh bangsa Indonesia ternyata dengan sefala daya dan upaya yang penuh kelicikanberusaha menjajah bangsa Indonesia
2. Perjuangan Setelah tahun 1900
Bangsa Indonesia menyadari bahwa untuk mengusir penjajah tidak cukup hanya dengan cara mengadu kekuatan fisik saja akan tetapi perlu adanya cara yang lebihteratur dan terkordinasi serta terpadu. Betapapun ketatnya penjajah engekang bangsa ndonesia untuk menjadi bodoh, namun terbuka juga jalan bagi sekelompokkecil rang ndonesia untuk endapatkan pendidikan

E. Unsur Pancasila Menjiwai Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Jika pejuang bangsa Indonesia itu kita teliti dengan seksama maka unsur – unsur Pancasila merupakan semangat dan jiwa perjuangan tersebut diantaranya
a. Unsur Ketuhanan. Pada hakikatnya penjajahan bertentangan dengan ajaran tuhan. Karena penjaahan tidak mengenal cinta kash dan sayang sebagai mana di ajarkan oleh tuhan. Oleh karena itu perlawanan terhadap kolonialisme ada yang di dorong oleh keyakinan melaksanakan tugas – tugas agama
b. Unsur Kemanusiaan. Penjajahan tidak mengenal peri kemanusiaan. Penjajahan pada hakikatnya adalah hendak menemukan kembali nilai – nilai kemanusiaan yang telah di hancurkan oleh penjajah
c. Unsur Persatuan. Di dalam kenyataan memang bangsa Indonesia I pecah- pecah oleh penjajah. Meskipun demikian bangsa Indonesia menyadari bahwa perpecahan akan mengakibatkan keruntuhan sebagaimana semboyan yang berbunyi bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Oleh karena itu bagaimanpun juga persatuan sebagai senjata ampuh tidak hancur sama sekali
d. Unsur Kerakyatan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesua denga peri peri keadilan penjajahan bertentangan dengan kemerdekaan dan kebebasan
e. Unsur Keadilan. Iatas sudah di sebutkan bahwa penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Hal ini terbukti pada pengalaman bangsa Indonesia yang selama I jaah tidak pernah di perlakukan adil. Apalagi untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya sangat di persukar

F. Pelaksanaan
Pancasila yang unsur – unsurnya di gali dari bangsa Indonesia sendiri kemudian di terima bulat oleh bangsa Indonesia menjadi Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia harus di laksanakan
Pelaksanaan Pancasila ada dua macam yaitu:
a. Pelaksanaan Obyektif
Pelaksanaan obyektif adalah pelaksanaan Pancasila di dalam semua peraturan dari yang tertinggi sampai terendah yaitu Undang - Undang Dasar 1945 dan peraturan –peraturan hukum yang ada di bawahnya. Seluruh kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan serta segala tertib hokum di Indonesia harus di dasarkan atas Pancasila
b. Pelaksanaan Subyektif
Pelaksanaan subyektif adalah pelaksanaan di dalam diri setiap orang Indonesia yaitu penguasa, warga negara dan setiap orang yang berhubungan dengan Indonesia

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah penulis berusaha menguraikan masalah dalam setiap babnya penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut
Bahwa nsur – unsur Pancasila memang telah di miliki dan di jalankan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti – bukti sejarah sangat beraneka ragam wujudnya maka perlu diadakan analisa yang seksama. Karena bukti – bukti sejarah sebagian ada yang berupa symbol maka diperlukan analisa yang teliti dan tekun berbagai bahan – bahan bukti itu dapat diabstaksikan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil – hasil yang memadai. Melalui cara – cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada kemungkinan yang bersifat spekulatif. Demikian pula adaunsur – unsur yang di suatu daerah lebih menonjol dari daerah lain misalnya tampak pada perjuangan bangsa Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta tampak pada bangunan dan tulisan dan perbuatan yang ada
Contoh – contoh yang saya tulis diatas, merupakan sebagian bukti atas perjuangan bangsa Indonesia sebagai sejarah bukti – bukti atas peninggalan zaman dahulu misalnya arti dari tiap – tiap bangunan isi dan dan setiap buku tulisan serta lukisan makna dari pembuatan yang ada dengan mengemukakan contoh – contoh ini saya mengharapkan dapat menimbulkan rangsangan untuk elakukan penelitian yang seksama terutama dalam rangka mempelajari filsafat Pancasila dalam tulisan ini setidak – tidaknya saya dapat menyatakan bahwa unsur – unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri dan bukan jiplakan dari luar. Unsur – unsur itu telah ada sebelum tanggal 17 Agustus 1945, bahkan sebelum datangnya kau penjajah dan pernah berfungsi secara sempurna

B. Saran – Saran
Dalam karya tulis ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan karya tulis ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya
- Penulis menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang filsafat Pancasila
- Semoga dengan karya tulis ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan



DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad Notosoetarjo 1962, Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia
2. Notonagoro, Pnacasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
3. K.Wantjik Saleh 1978, Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI, Jakarta PT. Gramedia
4. Soediman Kartohadiprojo 1970, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung Alumni

Hukum Ekonomi Internasional

I. Pendahuluan.
Kata globalisasi dalam dekade terakhir ini tidak saja menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga telah menjadi jargon politik, ideologi pemerintahan (rezim), dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia. Teknologi informasi dan media elektronik dinilai sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.

Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong tren globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua-tiga dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Selanjutnya, interaksi dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda akan menghasilkan konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan intensitas yang berbeda pula. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan pasar internasional.

Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001 yang menyatakan bahwa ”Globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau buruk, Ia memiliki kekuatan untuk melakukan kebaikan yang besar, dan bagi negara-negara di Asia Timur yang telah menerima globalisasi dengan persyaratan mereka sendiri, dengan kecepatan mereka sendiri, globalisasi memberikan manfaat yang besar, walaupun ada kemunduran akibat krisis 1997”.[2]

Prof. A.F.K. Organski menyatakan bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh pembangunanannya melalui tiga tahap pembangunan, yaitu unifikasi (unification), industrialisasi (industriali-zation), dan negara kesejahteraan (social welfare).[3] Pada tingkat pertama, yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integtarsi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi, industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.[4]

Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara.[5] Cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan pelaksanaan nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berasaskan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. khusus dalam bidang kehidupan dan kegiatan ekonomi pada umumnya dan dalam rangka menyongsong masyarakat global, cita hukum nasional sangat membutuhkan kajian dan pengembangan yang lebih serius agar mampu turut serta dalam tata kehidupan ekonomi global dengan aman, dalam pengertian tidak merugikan dan dirugikan oleh pihak-pihak lain.[6]

Lembaga hukum adalah salah satu di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama, ekonomi, perang atau lainnya.[7] Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.[8] Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.

Tuntutan agar hukum mampu berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan prinsip efisiensinya merupakan fenomena yang harus segera ditindaklanjuti apabila tidak ingin terjadi kepincangan antara laju gerak ekonomi yang dinamis dengan mandeknya perangkat hukum.[9] Di samping itu ahli hukum juga diminta peranannya dalam konsep pembangunan, yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga (agent) modernisasi dan bahwa hukum dibuat untuk membangun masyarakat (social engineering).[10]

Perubahan tatanan dunia saat ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan informasi antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional saat ini bercirikan hukum yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum transnasional. Harmonisasi hukum di sini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi hukum nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama.[11] Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional.

Sebagai akibat globalisasi dan peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional, misalnya di dalam hal surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global.[12] Akibatnya semakin memasuki abad XXI, semakin hukum nasional Indonesia akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan dengan sistem hukum lain akan semakin berkurang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian mengenai pengaruh globalisasi ekonomi dan hukum ekonomi internasional dalam pembangunan hukum ekonomi di Indonesia.

II. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[13] Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lama dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi Indonesia yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional. Relevansi hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Bagi Indonesia, tepatnya setelah meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam suatu organisasi internasional yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO), karena dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya.

Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan” hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, dimana semua penegak hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Menjawab dan mengantisipasi dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi strategis dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini.[14] Semakin baik dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula tingkat kepastian hukumnya.[15]

Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods), maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO.[16]

Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.

Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya.[17]

Bagaimanapun karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur.

Globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari negara-negara berkembang akan menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan (agence), memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. Konsultan hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara lain, persamaan ketentuan-ketentuan hukum di berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang Perseroan Terbatas diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun Common Law berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional.

Dibalik usaha keras menciptakan globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan hasil yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda, orang tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir sama, kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya.[18]

Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[19] Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai.

E.C.W. Wade dan Godfrey Philips menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.[20] Berbagai unsur dari pengertian Rule of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.

Pada tataran ide normatif dalam GBHN, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat memerlukan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia.[21] Sayangnya, ketika memasuki tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena pergulatan hidup masyarakat, terkadang dengan mudah dilihat atau dirasakan kemandulan peran dan fungsi hukum.

Sebagai penutup tulisan ini, rasanya masih sangat relevan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup mengantisipasi kemajuan dan pergaulan dengan dunia internasional, kita harus memegang teguh pada batas-batas dan pembedaan antara hukum perdata, dan hukum publik dan antara hukum perdata dan hukum pidana yang sudah umum diterima oleh masyarakat dunia.[22]

III. Penutup.
Rasanya tidaklah adil apabila melihat globalisasi dan liberalisasi ekonomi secara apriori, namun sebaliknya menerimanya dengan mentah-mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan sikap yang bijaksana. Dengan berbagai akibat positif dan negatifnya, globalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah atau bahkan dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justeru akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi bangsa Indonesia. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan menggunakan hukum sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara ini menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.

BIBLIOGRAFI:

1. Djarab, Hendarmin, dkk., ed. Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M. Bandung: Penerbit Angkasa, 1998.
2. Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991.
3. Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999.
4. Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
5. Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI Press, 2000.
6. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2002.
7. Lubis, T. Mulya, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
8. Mendelson, Wallace. “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32.
9. Mertokusumo, sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
10. Otto, Jan Michiel. Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden], diterjemahkan oleh Tristam Moeliono. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003.
11. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
12. Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
13. Sarwini dan L. Budi Kagramanto, ed. Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Surabaya: Karya Abditama, 2001.
14. Stiglitz, Joseph E. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman. Jakarta: Ina Publikatama, 2002.
15. Suhardi, Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
16. Sumantoro. Hukum Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
17. Susanti, Ida dan Bayu Seto, ed. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
18. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju, 2000.
19. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk. Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002.

ENDNOTE:
[1] Perancang Muda, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[2] Joseph E. Stiglitz, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional [Globalization and Its Discontents], diterjemahkan oleh Ahmad Lukman (Jakarta: Ina Publikatama, 2002), hal. 27.
[3] A.F.K. Organski, dalam Wallace Mendelson, “Law and The Develoopment of Nations”, The Journal of Politics, Vol. 32. hal. 223. (merupakan bagian dari diktat bahan kuliah Hukum dan Pembangunan, dikumpulkan oleh Prof. Erman Rajagukguk untuk Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia).
[4] Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar di ucapkan pada upacara penerimaan guru besar bidang hukum di fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997.
[5] Hikmahanto Juwana. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 27.
[6] Hartono, Sri Redjeki, “Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional (Ditinjau dari Aspek Hukum Dagang dan Ekonomi) dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, diedit oleh Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 3.
[7] T. Mulya Lubis, ed., Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. ix.
[8] Gunarto Suhardi. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hal. v.
[9] Agus Yudha Hernoko, “Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-Win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis” dalam Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, diedit oleh Sarwini dan L. Budi Kagramanto, (Surabaya: Karya Abditama, 2001), hal. 95-96.
[10] Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 330
[11] Sri Setianingsih Suwardi, “Pembentukan Hukum Internasional di Organisasi Internasional dan Pengaruhnya terhadap Pranata Hukum Nasional Indonesia” dalam Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., diedit oleh Hendarmin Djarab, dkk. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1998), hal. 190.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hal 74.
[13] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, diedit oleh Ifdhal Kasim, dkk. (Jakarta: Elsam dan HUMA, 2002), hal 363.
[14] Soedjono Dirdjosiswono, “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis dalam Era Perdagangan Internasional Abad XXI” dalam Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., diedit oleh Hendarmin Djarab, dkk. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1998), hal. 14.
[15] Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang [Reële Rechtszekerheid in ontwikkelingslanden], diterjemahkan oleh Tristam Moeliono (Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003), hal. 5-6.
[16] H.S. Kartadjoemena. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: sistem, kelembagaan, prosedur implementasi, dan kepentingan negara berkembang. Jakarta: UI Press, 2000, hal. 1.
[17] A.F. Elly Erawaty, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar” dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Peragangan Bebas, diedit oleh Ida Susanti dan Bayu Seto (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 27.
[18] Erman, Op.cit.. hal. 18-19
[19] Ibid. Hlm. 19
[20] Gunarto Suhardi. Op Cit.. hlm .77
[21] Firoz Gaffar, ed., Reformasi Hukum di Indonesia. (Jakarta: CYBERconsult, 2000), Cetakan keempat. hlm. i.
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung: Alumni, 2002), hal. 196.

Alur Peradilan Tata usaha Negara

A. PERBEDAAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA

Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:

* Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil

* Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.

* Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.

* Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.

* Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.

* Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.

* Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.

* Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.

* Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.


B. PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:

* Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.

* Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.



HAK PENGGUGAT:

1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)


PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN


PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK:
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan.
Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986)
- Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986)



KEWAJIBAN HAKIM:
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63)
2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)
5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1)
6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1)

PIHAK KETIGA:
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pendahuluan

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan hukum inilah yang harus dibutktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.

Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti apa saja yang harus dibuktikan? Untuk selanjutnya akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.

II. PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Alat Bukti

Dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal 5 macam alat bukti, yaitu :[1]

· Surat atau tulisan

· Keterangan ahli

· Keterangan saksi

· Pengakuan para pihak

· Pengetahuan hakim

1) Surat atau tulisan

a. Pengertian

Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.[2]

b. Macam-macam alat bukti surat

Þ Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:

- Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian

- Bukan akta

Þ Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :

- Akta otentik

- Akta dibawah tangan

Þ Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis,[3] yaitu :

(1) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya

(2) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya

(3) Surat-surat lain yang bukan akta.

Akta otentik ada dua macam, yaitu :

a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)

b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)

Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten[4]

No.


Aspek / unsur


Ambtelijk Akten


Partij Akten

1


Inisiatif dari


Pejabat yang bersang-kutan karena jabatannya


Para pihak karena kepentingannya

2


Isi akta


Ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan ber-dasarkan UU


Ditentukan oleh para pihak

3


Ditanda tangani oleh


Pejabat itu sendiri tanpa pihak lain


Para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi

4


Kekuatan bukti


Tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu


Dapat digugat dengan pembuktian sebaliknya

Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.[5]

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.[6]

2) Keterangan ahli

Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.[7]

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain.[8] Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

3) Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.[9]

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :

a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa

b. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai

c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun

d. Orang sakit ingatan.

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :

a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak

b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu.[10] Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya.[11] Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.[12]

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya,[13] adalah :

Keterangan saksi

1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri

2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis

3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu

Keterangan ahli

1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa

2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis

3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.

4) Pengakuan para pihak

“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.[14]

Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja.[15] Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.

5) Pengetahuan hakim

Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.[16] Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.

B. Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara

Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :[17]

1. Apa yang harus dibuktikan

2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri

3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan

Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

III. KESIMPULAN

Macam-macam alat bukti di PTUN :

· Surat atau tulisan

· Keterangan ahli

· Keterangan saksi

· Pengakuan para pihak

Sesuai dengan pasal 100 UU No.5/1986 dapat disimpulkan bahwa hukum acara TUN itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut, begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim dibatasi kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinannya.



DAFTAR PUSTAKA

A. Pitto, Prof., Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978.

Mukti Arto, Drs. H., SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.

Rozali Abdullah, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Sudikno Mertokusumo, Dr. SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I., Yogyakarta : 1972.

Teguh Samudera, SH., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992.

Undang-Undang No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Wicipto Setiadi, SH., MH., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu Perbandingan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Yos Johan Utama, SH., M.Hum., Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbbit UNDIP Semarang, t.th

Hukum Kepegawaian

Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya, dan digaji berdasakan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dasar Hokum Kepegawaian, antara lain :
a. UU RI No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU RI No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok – pokok Kepegawaian;
b. PP RI No. 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
c. PP RI No. 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil;
d. PP RI No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
e. Dll

Pegawai negeri terdiri dari :
1) Pegawai Negeri Sipil, dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a) Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan kepada APBN dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas Negara lainnya;
b) Pegawai Negeri Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada APBD dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
2) Anggota Tentara Nasional Indonesia.
3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pegawai Negeri Tidak Tetap adalah Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.

Kedudukan Pegawai Negeri yaitu sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan, dan pembangunan.

Dalam tugas dan kedudukan Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, untuk menjaga nertalitas Pegawai Negeri yaitu dengan tidak memperbolehkan/dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus dari partai politik.

Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri dan pemberhentian tersebut dapat dilakukan secara terhormat ataupun tidak secara hormat.

Kewajiban Pegawai Negeri yaitu wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintahan, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan RI.

Hak Pegawai Negeri yaitu memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

Gaji adalah sebagai balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan.
System penggajian dapat digolongkan dalam 2 (dua) system, yaitu :
a. System skala tunggal : System penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai negeri yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya.
b. System skala ganda : System penggajian yang menentukan besarnya gaji bukan saja didasarkan pada pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan beratnya tanggung jawabnya pekerjaannya.
c. System skala gabungan : Gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, disamping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang lebih tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus.

Komisi Kepegawaian Negara, bertugas untuk :
a. Merumuskan kebijaksanaan umum kepegawaian;
b. Merumuskan kebijaksanaan umum penggajian dan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil; dan
c. Memberikan pertimbangan dalam penggangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan structural tertentu yang menjadi wewenang Presiden.

Formasi adalah penentuan jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri yang diperlukan untuk mampu melaksanakan tugas pokok yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Formasi ini ditetapkan berdasarkan perkiraan beban kerja dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan macam – macam pekerjaan, rutinitas pekerjaan, keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan hal – hal lain yang mempengaruhi jumlah dan sumber daya manusia yang diperlukan.

Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah Jabatan Karier.

Jabatan Karier adalah Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Jabatan Karier dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu :
a. Jabatan Structural adalah jabatan yang secara tegas ada didalam structural organisasi, dan
b. Jabatan Fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi sudut fungsinya diperlukan oleh organisasi.

Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat kedudukan seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena Meninggal Dunia. Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena :
a. Atas permintaan sendiri;
b. Mencapai batas usia pensiun;
c. Perampingan organisasi pemerintahan; dan
d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan, karena :
a. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintahn; dan
b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumnya kurang dari 4 (empat) tahun.

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri atau tidak dengan hormat, karena :
a. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumnya 4 (empat) tahun atau lebih; atau
b. Melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri tingkat berat.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena :
a. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan;
b. Melakukan penyelewengan terhadap ideology Negara, Pancasila, UUD 1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan Pemerintah; atau
c. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan tindak pidana kejahatan, dikenakan pemberhentian secara sementara sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut yaitu pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sementara dari Pegawai Negeri Sipil.

Apabila dalam pemeriksaan atau telah ada putusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut direhabilitasikan terhitung sejak ia diberhentikan sementara. Rehabilitas yang dimaksud yaitu Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula.

Apabila dalam pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil tersebut dinyatakan bersalah, dan oleh sebab itu dihukum penjara atau kurungan berdasarkan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaannya atau dierhentikan dengan tidak hormat.

Pegawai Negeri Sipil harus diberikan pelatihan dan pendidikan, dimana penyelenggaraan dan pengaturan pendidikan dan pelatihan jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil dimaksudkan agar terjaminnya keserasian pembinaan Pegawai Negeri Sipil.

Pembinaan dan pelatihan pendidikan tersebut terdiri dari : Kegiatan perencanaan termasuk perencanaan, anggaran, penentuan standar pemberian akreditasi, penilaian, dan pengawasan.

Tujuan pendidikan dan pelatihan jabatan anatar lain adalah :
a. Meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, dan keterampilan;
b. Menetapkan adanya pola berpikir yang sama;
c. Menciptakan dan pengembangan metode kerja yang lebih baik; dan
d. Membina karier PNS.

Pada pokoknya pendidikan dan pelatihan prajabatan dan pendidikan dan pelatihan dalam jabatan :
a. Pendidikan dan Pelatihan prajabatan (pre service training) adalah suatu pelatihan yang diberikan kepada Calon PNS, dengan tujuan agar ia dapat terampil melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya;
b. Pendidikan dan Pelatihan dalam jabatan (in service training) adalah suatu pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan.

HUKUM PERIZINAN

Istilah bangunan memiliki pengertian yang sangat luas dan kompleks. Sehingga pada tanggal 7 Mei 1999 Pemerintah Negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pengertian bangunan dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 dari undang-undang tersebut. Sementara khusus pengertian bangunan gedung, pemerintah pada tanggal 16 Desember 2002 mengeluarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dimana pengertiannya dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1. Semenjak lahirnya kedua undang-undang ini, maka begitu dikeluarkannya Surat Izin Mendirikan Bangunan (SIMB) atau Surat Izin Mendirikan Bangunan Gedung (SIMBG) oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan, maka khusus untuk Kotamadya Medan, ada 3 (tiga) unsur pengawas dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan bangunan gedung yaitu; 1. Pemerintah yang dalam hal ini Pemko Tkt II Medan oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan khususnya Sub Dinas Pengawasan untuk bangunan yang pemiliknya swasta, sementara Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) mengawasi bangunan gedung yang pemiliknya pemerintah 2. Penyedia Jasa atau Ahli Bangunan (Contractor ; Annemer) 3. Masyarakat Jasa Konstruksi yang dalam hal ini oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD) Propinsi Sumatera Utara Dengan tiga unsur pengawas seperti ini seyogianya tidak lagi ditemukan kegagalan pekerjaan konstruksi maupun kegagalan bangunan. Tetapi kenyataannya masih ditemukan kasusnya seperti Hotel J.W. Marriot di Jalan Puteri Hijau dan rumah tinggal Jalan Berastagi No.8 Medan. Sehubungan dengan itu penelitian tesis ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan lebih jelas tentang; 1. Bagaimana sistem pengawasan konstruksi bangunan menurut hukum perizinan 2. Sanksi apa yang dapat diberikan terhadap adanya pelaksanaan konstruksi bangunan yang menyimpang dari hukum perizinan Dengan metode penelitian pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan melalui tipe yuridis normatif, dimana bahan hukum primer, sekunder, dan tersier diolah secara deduktif untuk mendapatkan hasil secara kualitatif maka penelitian tesis yang diberi judul; “Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan” ini, ditemukan hasilnya sebagai berikut: 1. Sistem pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan di Kotamadya Medan, masih lemah, rumit (ribet), dan tidak terlaksana dengan baik, karena tidak ada koordinasi antara ketiga unsur pengawasnya yang mengakibatkan banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap hukum perizinan dalam hal mendirikan bangunan. 2. Sanksi atau hukuman terhadap pelaksanaan konstruksi bangunan yang menyimpang dari hukum perizinan, masih sangat ringan dibanding dengan dampak kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut. Dengan temuan hasil seperti ini disarankan; 1. Sistem pengawasan konstruksi bangunan di Kotamadya Medan pada masa akan datang supaya dilakukan terpadu dan terkoordinasi di bawah satu pintu mulai dari sejak pengurusan perizinannya, pemerintah melalui dinas-dinas tertentu jangan mengawasi sendiri bangunan milik pemerintah karena hal ini bisa bias dan hasilnya tidak obyektif. 2. Sanksi atau hukuman akibat pelanggaran konstruksi bangunan yang menyimpang dari hukm perizinan khususnya sanksi pidananya supaya segera diterapkan dan bila penting diperberat agar menjadi efek jera bagi para pelaku pelanggaran sehingga pada masa-masa yang akan datang kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dapat dihindarkan atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir.

Other Description:
The term of construction has a very broad and complex understanding that the government of the Republic of Indonesia issued Law No.18/1999 on construction Service on May 7, 1999. The definition of construction can be seen in Article 1 (2) of the law. In addition, especially for the special definition of building construction, the government of the Republic of Indonesia issued Law No.28/2002 on Building Construction on December 16, 2002 and its definition can be seen in Article 1 (1). Since the issuance of these two laws, the Building and Town Planning Service issued the permit to construct a building (SIMB/SIMBG) and especially for the city of Medan, there are 3 (three) elements of supervisors in controlling the implementation of building construction as follows: 1. City Government of Medan represented by the Building and Town Planning Service especially its Sub-service of Control that control all the private-owned buildings while the Housing and Settlement Service controls all the building owned by the government. 2. Service provider or experts in building construction (Contractor/Developer) 3. Construction Service Society in this case represented by Sumatera Utara Regional Construction Service Development Institution (LPJKD) With these three elements of supervisors, the failure in construction work or building construction should exist. But the cases such as those of J.W.Marriot on Jalan Puteri Hijau and a residence at 8 Jalan Berastagi still exist. In relation to this fact, this study was conducted to more clearly examine: 1. How the building construction control system is applied according to licensing law. 2. What sanction can be given to the implementation of building construction deviating from the licensing law. The data for this normative juridical study with statute approach entitled “Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan (Building Construction Control System According To Licensing Law)” were based on the primary, secondary a tertiary legal materials which were then deductively processed to obtain a qualitative result as follows: 1. The control system of building construction implementation in Medan is still weak, complicated, poorly implemented and without coordination between the three elements of supervisors that many cases in building construction have been resulted from licensing law violation. 2. The sanction or punishment for the implementation of building construction violating the licensing law is still very irrelevant compared to the loss inflicted by the violation itself. Based on the result of this study, it is suggested that: 1. The control system of building construction implementation in Medan in the future should be integrated, done and coordinated under one door commencing from the licensing arrangement and the government, through its certain services, should not control the state-owned buildings by itself because it can be a bias and the result is not objective. 2. The sanction or punishment for the building construction violating the licensing law, especially its criminal sanction, must be immediately implemented and, if necessary, the sanction must be harder in order to make the violator learn from it that, in the future, the failure of construction work can be avoided or at least can be minimized.