Entri Populer

Rabu, 05 Agustus 2009

Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Tindak Perkosaan Di Waktu Perang Asia Pasifik-Jepang, Bosnia-Herzegovina Dan Rwanda

Description (Indonesia):
Berbagai kasus perkosaan yang tejadi dan dilakukan di waktu perang berlangsung diberbagai negara, dimulai dengan kasus temara Jepang selama kependudukannya di wilayah Asia tahun 1943-1945 diikuti kemudian dengan kasus Rwanda tahun 1994 dan Bosnia Herzegovina tahun 1991. Perkosaan pun bukan lagi hanya sebatas kejahatan individu tetap sudah menjadi kejahatan kejahatan yang sifatnya ststematis, terencana dan berskala besar sebagaimana yang terjadi dengan kasus Jepang dan Bosnia. Perkosaan bahkan digunakan sebagai alat untuk memenangkan perang sebagaimana yang terjadi dengan kasus Rwanda dan Bosnia dimana perkosaan digunakan sebagai alat untuk melakukan Genosida. Perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang sangat rentan menjadi korban ketika konflik bersenjata terjadi. Perlunya seperangkat aturan hukum yang mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak dari berbagai tindak kejahatan termasuk didalamnya tindak kejahatan terhadap kehormatan (honor). Berbagai perangakat hukum internasional banyak yang telah mengatur dam memberikan perlindungan terhadap hak perempuan sebagai seorang pribadi hukum yang mandiri. Namun, khusus untuk kasus perkosaan di waktu perang perangkat hukum yang mengatur adalah Konvensi Jenewa IV 1949 dalam pasal 27nya dan protokol tambahan II konvensi tersebut pasal 4nya. Dimana dikatakan bahwa perkosaan (rape) merupakan suatu bentuk kejahatan yang tidak boleh dilakukan terhadap penduduk sipii sebagai pihak non-kombatan dalam perang. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berarti pelanggaran terhadap hukum internasional. Banyaknya kasus-kasus perkosaan di waktu perang membawa permasalahannya tersendin diantaranya : pengungsi, pengadilan intemasional dan ganti kerugian bagi korban perkosaan. Pada skripsi ini akan dibahas mengenai sejauh mana perangkat hukum yang ada tcrsebut dapat mencegah dan memberikan pelindungan dan jalan keluar bagi korban perkosaan di waktu perang sehingga hak-hak mereka dapat terlindungi dan terpenuhi.

DK-PBB Menindak Perkosaan semasa Perang

Perkosaan sebagai senjata perang, ratusan ribu perempuan di wilayah konflik sudah menjadi korbannya. Masyarakat internasional bertanggungjawab untuk menindaknya, demikian dipastikan oleh Dewan Keamanan PBB. Dalam sebuah resolusi diserukan supaya pemerintah mengambil langkah perlindungan terhadap warga sipil dari kekerasan sexual. Sidang Dewan Keamanan di New York, khusus untuk agenda ini, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice.

Pada tahun 2000 diterima resolusi yang mengecam kekerasan sexual sebagai senjata terhadap perempuan. Tetapi beberapa negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, antara lain Rusia dan Cina, dengan veto menentang resolusi itu. Kedua negara menyatakan tetap tidak membenarkan perkosaan sebagai taktik perang, tetapi bagi keduanya perkosaan bukanlah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB memang berwenang menilai hal-hal tertentu yang bisa dianggap mengancam perdamaian dunia.

Ibarat penyakit menular
Tetapi menurut Menteri Luar Negeri Amerika Condoleezza Rice kekerasan sex terhadap perempuan di masa perang benar-benar merongrong negara atau wilayah yang harus ditindak oleh masyarakat internasional. Banyak negara lain juga mengirim wakil-wakil perempuan ke sidang ini, untuk menekankan penolakan mereka terhadap praktek keji ini.

Menurut Condoleezza Rice kekejian perang ini sudah merupakan semacam penyakit menular di wilayah konflik. Sering lebih berbahaya berada di daerah konflik sebagai perempuan katimbang sebagai tentara. Demikian Jenderal Patrick Cammaert, jenderal Belanda yang pernah memegang komando missi PBB di Kongo.

Negeri Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York diwakili oleh Piet de Klerk, wakil dubes Belanda untuk PBB. Sebagai negara tuan rumah Mahkamah Pidana Internasional, Belanda merasa sangat terlibat dalam masalah ini. Dalam sidang, Piet de Klerk menekankan bahwa pentingnya menindak iklim di mana orang-orang merasa diri di atas hukum.

Piet de Klerk: "Kejahatan seperti ini harus dihukum. Pertama-tama pada tingkat nasional. Dan kalau itu berkenaan dengan perkosaan yang melampaui batas negara, maka Mahkamah Pidana internasional juga bisa berperan".

Pasukan PBB juga pelaku
Pembicara lain dalam sidang Dewan Keamanan itu mengangkat contoh keji tidak terhitungnya jumlah perempuan korban kejahatan perang. Sering mereka juga dimutilasi para pemerkosa sebagai bentuk intimidasi terhadap penduduk lain yang mengincar si pelaku itu.

Juga dibahas kenyataan ironis bahwa ternyata pasukan PBB bersalah juga menjadi pelaku kekerasan sexual di wilayah-wilayah konflik. Sikap jenderal Cammaert jelas, demikian wakil Belanda Piet de Klerk:

"Cammaert menunjuk bahwa para komandan mereka juga harus bertanggungjawab. Mereka tidak hanya berwenang memulangkan para penjaga perdamaian, namun mereka dapat juga ditangkap. Hal itu tentu tidak enak bagi negara-negara yang mengirim pasukan, namun jika PBB bertindak tegas, maka dalam praktek juga harus diambil tindakan. Dan kesadaran itu kini makin jelas".

Taktik perang
Pentingnya resolusi yang kini diloloskan tersebut adalah bahwa negara-negara seperti Cina dan Rusia kini mengakui kekerasan sexual sebagai taktik perang dan itu adalah masalah keamanan internasional. Dalam resolusi itu juga diserukan agar lebih banyak perempuan dilibatkan dalam misi perdamaian, sebagai anggota militer maupun personel polisi dan sebagai utusan khusus PBB.

PERKOSAAN

Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN” ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerkosaan.
Berdasarkan kegunaan secara teoritis maka diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pidana pada khususnya.
Apabila dilihat dari kegunaan praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan atau keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerkosaan. Sumbangan pemikiran ini terutama ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijaksanaan hukum pidana di Indonesia.
Untuk mendapatkan landasan teoritis mengenai penyusunan skripsi ini, maka penulis mempergunakan studi kepustakaan yaitu dengan jalan membaca dan mempelajari buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. Dalam penelitiaan ini data yang telah dikumpulkan dan diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Setelah data diperoleh, maka disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif, sehingga diperoleh kejelasan mengenai permasalahan yang dibahas dan selanjutnya disusun sebagai skripsi yang bersifat ilmiah.
Dari hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana pemerkosaan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia antara lain disebutkan dalam Pasal 285 KUHP, Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Pasal 489 Konsep KUHP Tahun 2004-2005. Hukum positif yang berlaku Indonesia saat ini belum mampu memberikan perlindungan kepada korban kejahatan secara maksimal, khususnya dalam hal kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana perkosaan. Adapun kendala yang muncul dalam pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan antara lain adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ganti kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana perkosaan. Kendala lainnya adalah sistem penegakan hukum, dimana mulai dari kepolisian sampai ke persidangan di pengadilan, korban hanya dianggap sebagai saksi, dalam hal ini adalah saksi korban.

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK PIDANA PENCABULAN

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari pemerintah.
Sebetulnya usaha perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu diisi oleh anak-anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan.
Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak anak). Sementara itu masalah anak terus dibicarakan dalam konggres-konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Pada konggres ke I di Jenewa tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile Delinquency.
Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November. Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat.
Dalam Pasal 16 Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada seorangpun anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan semacam itu.
Mendasarkan pada ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah.
Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak.
Kesejahteraan Anak menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Adapun kesejahteraan anak itu sendiri menurut Arif Gosita adalah :
“Hak asasi anak yang harus diusahakan bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara obyek dan subyek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Setiap peserta bertanggung jawab atas pengadaan kesejahteraan anak. Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib) berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang merata akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu usaha pengadaan kesejahteraan anak sebagai segi perlindungan anak mutlak harus dikembangkan”.

Dari definisi tentang kesejahteraan anak tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa kesejahteraan anak merupakan hak asasi bagi masing-masing anak dan pengadaan kesejahteraan anak merupakan kewajiban asasi setiap anggota masyarakat dan negara. Termasuk perlindungan anak dari kemungkinan menjadi korban tindak pidana.
Sebagai hak asasi, kesejahteraan anak di Indonesia diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seiring dengan perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin dituntut pelaksanaannya. Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Efek atau dampak positif dari perkembangan teknologi dan budaya adalah semakin canggihnya teknologi yang ada pada saat ini, sedangkan efek negatifnya adalah adanya pergaulan bebas dan semakin meningkatnya kejahatan seks yang terjadi, khususnya yang menimpa anak-anak.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak dari tindak pidana pencabulan ?
2. Hambatan apa yang muncul dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan ?


L. METODE PENELITIAN
1. Metode pendekatan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. J. Supranto mengatakan bahwa penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang condong bersifat kuantitatif, berdasarkan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelaahan secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu situasi. Dalam penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
3. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari seluruh populasi.
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh unit yang akan diteliti, atau dapat dikatakan populasi merupakan jumlah manusia ataupun fenomena yang mempunyai karakteristik sama. Dalam penelitian ini sebagai populasinya adalah semua yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan. Mengingat luasnya populasi yang diteliti, maka untuk menghemat waktu dan biaya serta untuk menjaga akurasi data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengambilan sampel. Teknik yang digunakan adalah teknik non random sampling, yang artinya hanya objek yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat diambil sebagai sampel, dengan demikian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah hanya objek yang memiliki keterlibatan langsung dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
Sebagai responden dari penelitian ini adalah sebagai berikut ;
a. Ketua JPPA Kabupaten Kudus.
b. Kanit PPA Polres Kudus.
c. 20 (dua puluh) orang masyarakat (orang tua) di Kabupaten Kudus.
Untuk menentukan sampel dari masyarakat di Kabupaten Kudus, digunakan teknik random sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara sembarangan atau tanpa pilih atau secara rambang, dimana setiap objek atau individu atau gejala yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data primer dan data sekunder ;
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data. Data ini diperoleh dengan mengadakan interview atau wawancara secara langsung dengan responden a dan b. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Khusus untuk mengumpulkan data primer dari responden c yaitu masyarakat Kabupaten Kudus digunakan teknik kuesioner atau penyebaran angket.
b. Data Sekunder
Data sekunder ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana.
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a) Bahan hukum primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b) Bahan hukum sekunder:
1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan;
2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.
c) Bahan hukum tersier:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum.
5. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang sistematis.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.

Ruang Lingkup Hukum Humaniter

Pada bagian ini, akan dikemukakan pendapat para ahli yang menganut aliran sempit. Disebut demikian karena pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter hanyalah Hukum Jenewa saja, yaitu yang mengatur mengenai perlindungan para korban perang, karena hanya bagian itulah yang benar-benar menggambarkan sifat kemanusiaan. Sedangkan apabila Hukum Den Haag dimasukkan ke dalamnya, maka hal tersebut akan mengurani sifat kemanusiaan itu karena Hukum Den Haag mengatur mengenai peperangan termasuk cara melakukan peperangan.

ruang-lingkup-hukum-humaniter1Pada transparansi di samping, dikemukakan pendapat dari Geza Herczegh dan Rosenblad, di mana keduanya menganut aliran ini walaupun dengan alasan yang berbeda. Demikian pula pendapat Mochtarkusumaatmadja yang lebih cenderung mengatakan bahwa Hukum Humaniter hanya merupakan sebagian dari Hukum Perang yang mengatur tentang perlindungan korban perang; sedangkan Hukum Perang menurut Beliau lebih identik dengan Hukum Den Haag itu sendiri.

Sebenarnya, berdasarkan penerapan asas-asas Hukum Humaniter sebagaimana yang telah dideskripsikan dalam tulisan lainnya di sini, maka Hukum Den Haag secara tidak langsung juga telah mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan pada saat perang.

Sebagai contoh, adanya penerapan asas kemanusiaan di dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag III (1907), adalah contoh yang jelas guna menggambarkan adanya nilai-nilai kemanusiaan di dalam Konvensi Den Haag III (demikian pula konvensi-konvensi Den Haag lainnya). Adanya “declaration of war” yang terdapat dalam Pasal 1 dimaksudkan agar negara yang bersengketa mempersiapkan dirinya dalam menghadapi musuhnya dengan cara, antara lain, menyelamatkan penduduk sipil yang tidak ikut bertempur ke dalam zona-zona aman (zona demiliterisasi). Jadi, ketentuan ini di samping mengandung asas kesatriaan; pun juga mencerminkan asas kemanusiaan. Kiranya nilai-nilai kemanusiaan dalam Hukum Humaniter tidak hanya tercermin pada klausula-klausula pasal yang secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan para korban perang, namun dengan demikian, juga tersirat di dalam Konvensi Den Haag III dan konvensi-konvensi Den Haag yang lainnya.

Adapun aliran yang terakhir adalah pandangan yang merupakan pandangan yang berada di tengah-tengah ruang-lingkup-hukum-humaniter32ruang lingkup Hukum Humaniter yang luas dan sempit. Pandangan ini menyatakan bahwa ruang lingkup Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

Apabila dicek pada dasar hukumnya, maka pandangan ini terlihat lebih mencocoki, karena landasan utama Hukum Humaniter yang terdiri dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan dua Protokol Tambahan 1977, menggambarkan adanya Hukum Jenewa serta Hukum Den Haag. Ketentuan mengenai Hukum Jenewa terdapat di dalam ke empat Konvensi Jenewa 1949; sedangkan ketentuan mengenai Hukum Den Haag terdapat di dalam Part III (Pasal 33-47) mengenai “methods and means of warfare” serta “combatant and PoW status”. Sebagaimana dapat dilihat dalam Commentary Protokol I, maka dapat diketahui bahwa ketentuan Part III ini menegaskan kembali, menyempurnakan serta melengkapi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Regulasi Den Haag tahun 1907 khususnya Pasal 22 dan 23.

Akhirnya, sebagaimana pernah dikemukakan pada bagian pertama tulisan ini, ruang lingkup Hukum Humaniter ini hanyalah sebagai wacana bagi pemikiran di kalangan para ahli. Esensi yang terpenting tentunya terletak pada penerapan aturan-aturan Hukum Humaniter pada waktu perang. Semoga uraian singkat ini dapat menambah wawasan.

Hukum Agraria & Hukum Pertanahan

Dikutip dari pendapat Herman Soesangobeng, SH., MA. Peneliti, analis adat dan pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional dalam rangka pembentukan Hukum Pertanahan Nasional, disampaikan bahwa selama ini terdapat kerancuan pandangan menganggap pengembangan norma hukum agraria berarti sama dengan mengembangkan hukum pertanahan, karena menganggap istilah ‘agraria’ dipandang lebih luas dari ‘tanah’. Tafsiran ini tampaknya diawali dari penjelasan dan tafsiran Gow Giok Siong yang menyatakan bahwa istilah ‘hukum agraria’ lebih luas dari hukum tanah. Padahal, kajian perbandingan sistim hukum Romawi, civil law, common law, maupun hukum adat, membuktikan sebaliknya cakupan masalah yang diatur hukum pertanahan lebih luas daripada hukum agaria.

Oleh karena itu kerancuan serta kesalahan tafsir tentang arti hukum agraria (agrarian law), agrarischerecht) dan hukum pertanahan (land law, grondrecht), perlu dipertegas arti serta lingkup masalah yang diatur masing-masing hukum tersebut.

Kajian perbandingan hukum membuktikan, setiap sistim hukum mengenal perbedaan tegas antara hukum pertanahan dengan hukum agraria. Hukum pertanahan mengatur tanah sebagai benda tetap / tidak bergerak bertalian erat dengan hukum harta kekayaan sedangkan hukum agraria mengatur perbuatan hukum untuk mengolah serta memanfaatkan tanah dalam hal ini benda-benda di atas tanah dikategorikan sebagai benda bergerak. Pada hukum pertanahan itulah, tanah dibedakan jenisnya menurut kedudukan hukum serta subjek pemegang hak yang berhak memiliki dan mengurusnya.

Jember, Januari 2006

MEMBANGKITKAN “POLITICAL WILL” PEMERINTAH DI SEKTOR PENDIDIKAN MELALUI INSTRUMEN HUKUM

“I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation.
If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.

Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

A. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Dalam sebuah konteks tatanan kehidupan masyarakat yang berdemokrasi, buah hasil dari demokrasi tidak akan dapat dirasakan apabila kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengatasi berbagai pemasalahan pendidikan. Sebab sesungguhnya, inilah yang justru menjadi salah satu tujuan utama masyarakat demokrasi, di mana nilai-nilai pendidikan diharapkan mampu merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat.

Berbagai instrumen hukum di tingkat internasional telah diciptakan untuk memperkuat pemenuhan hak masyarakat guna memperoleh pendidikan sebagai hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Beberapa instrumen internasional yang cukup penting tersebut, diantaranya yaitu: Pembukaan dan Pasal 26 dari Universal Declaration of Human Right (1948), Pasal 3 Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (1953), Pasal 13 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), Pasal 10 Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (1979), serta Convention Against Discrimination in Education (1960).

Selain memainkan peranan penting dalam pengembangan individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca terjadinya reformasi, kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Tidak hanya sampai sebatas ketentuan konstitusi saja, Pemerintah Indonesia juga memberikan jaminan atas pemenuhan pendidikan melalui perangkat-perangkat hukum di bawahnya, misalnya seperti Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagi Peraturan lainnya yang terkait dengan masalah pendidikan.

Ketentuan legislasi nasional Indonesia di bidang Pendidikan dapat dikatakan sudah sejalan dengan berbagai instrumen hukum di tingkat internasional. Kini yang menjadi pertanyaannya adalah apakah ketentuan tersebut telah mampu dijalankan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah kita selama ini.

B. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat dua indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.

Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).

Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah, termasuk apabila dibandingkan dengan Srilanka sebagai salah satu negara yang terbelakang.

Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

C. Investasi Bangsa Jangka Panjang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih.

Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.

D. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum

Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.

Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

D. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan

Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.

Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.

Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD.

Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara express verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006.

Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Adapun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut:

1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan Iemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.

Bahkan terkait dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007, Pemerintah dan DPR telah mensahkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mendatang hanya sebesar 10,3 %. Masihlah teramat jauh dari angka 20% yang telah diamanahkan oleh Konstitusi kita. Oleh karena itu, jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak kesengajaan dan sekaligus pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, penulis sangat yakin jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kembali pelanggaran konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini berkuasa.

E. Problematika Anggaran

Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.

Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).

Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”.

Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan untuk “menerbitkan” badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar.

Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.

F. Political Will

Untuk mengkaji mengenai pelaksanaan kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan, penulis mengajak untuk sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.

Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan William Lowe Boyd (1994) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight From Democracy.

Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.

Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam, baik dari segi ekonomis maupun politis. Kemudian money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.

Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi negara berkembang terbesar di Asia setelah Jepang dan China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana seperti media pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan kemudian menjalankan prioritas program perbaikan mutu pendidikan nasional.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.

G. Respons Yudisial terhadap Pendidikan

Bila kita melakukan perbandingan hukum di beberapa negara maju dan berkembang lainnya, maka kita akan dapat melihat betapa besarnya peran institusi pengadilan dalam mendorong tercapainya kewajiban pemerintah dalam menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Pendapat yang dikemukakan oleh Sheldom Gelman bahwa salah satu fungsi pengadilan adalah sebagai forum untuk mendorong terjadinya tercapainya kebutuhan konstitusi dan legislatif secara berimbang, berarti telah terlaksana dengan baik di negara-negara tersebut.

Salah satu negara yang mempunyai pengadilan dimana kerap mengeluarkan putusan yang memberikan dukungan penuh dan tegas terhadap hak atas pendidikan adalah negara India, negara yang menurut Arend Lijphart termasuk dalam kategori strong judicial review. Doktrin judicial activism yang berkembang pesat di negara tersebut telah mengantarkan para hakim pengadilannya untuk berani mengambil terobosan-terobosan hukum dan memaksa lembaga eksekutifnya, baik itu di tingkat pusat maupun di setiap negara bagiannya, untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya di bidang pendidikan. Pengadilan di India telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan suatu perkara terkait dengan pemenuhan pendidikan dasar bagi masyaraktnya. Beberapa putusan yang cukup terkenal yaitu pada perkara Oliver Brown v. Board of Education dan perkara University of Delhi v. Ram Nath, dimana putusan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal bangkitnya pendidikan di seluruh pelosok India.

Berbeda dengan Indonesia, dua kali putusan MK yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan dinyatakan inkonstitusional tidak juga membuat jera pelaku pemerintahan saat ini. Dua kali putusan “kartu kuning” rasanya sudah cukup untuk memperingatkan pemerintah yang telah melakukan pelanggaran konstitusi. Apabila di kemudian hari terjadi kembali judicial review atas UU APBN 2007, yang menurut hemat penulis kemungkinan besar akan terjadi, maka kini saatnya bagi MK untuk mengeluarkan putusan “kartu merah” atas kesengajaan Pemerintah untuk ketiga kalinya yang lagi-lagi menetapkan anggaran pendidikan di bawah angka minimum 20 persen sebagaimana telah diamanahkan dalam UUD 1945.

Menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak sesuai dengan moral konstitusi (morality of constitution) maupun semangat UUD 1945 (the spirit of constitution). Putusan tegas dan jelas harus dijatuhkan untuk membangkitkan dan menggugah kesadaran seluruh pelaku pemerintahan akan arti pentingnya pendidikan guna menyelamatkan anak-anak bangsa yang kelak akan menjadi asset utama bagi perkembangan Indonesia di masa yang akan datang. Jika ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan putusan tersebut akan menjadi tonggak sejarah bangkitnya Pendidikan Indonesia dari keterpurukannya selama ini.
Efek lain yang akan terjadi bila MK memutuskan demikian, maka setidaknya akan mengalir gelombang kesadaran berkonstitusi di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka akan kembali berupaya untuk memberdayakan instrumen hukum yang ada di setiap daerahnya masing-masing secara maksimal, guna “menggugat” hak dasar pendidikan setiap individu.

Sebab sejauh ini, menurut penulis, masyarakat hanya terpaku pada apa yang sedang diperjuangkan oleh sekelompok “pejuang pendidikan” di tingkat pusat, khususnya di arena persidangan Mahkamah Konstitusi. Padahal upaya untuk memperjuangkan pendidikan melalui instrumen hukum dapat pula dilakukan dengan jalan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke hadapan Mahkamah Agung, dalam hal ini yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang menjadi turunan dari UU SISDIKNAS dianggap bertentangan dengan UU SISDIKNAS itu sendiri.

Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui Pasal I perubahan Pasal 31 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU SISDIKNAS telah terdapat berbagai hak warga negara guna memperoleh pendidikan yang bermutu, hak pengajar dan tenaga pendidik, tanggung jawab keuangan pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan, dan lain sebagainya. Ketentuan judicial review seperti ini dapat pula diterapkan terhadap UU yang lainnya, tidak sebatas pada UU SISDIKNAS saja. Jika kesadaran akan hak konstitusional ini berkembang di berbagai wilayah Indonesia, niscaya seluruh elemen pemerintah daerah dan masyarakatnya akan bersatu padu dan berlomba guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu pengadilan harus selalu berupaya memperhatikan berbagai instrumen dan konvensi internasional yang berlaku dan mempergunakannya sebagai rujukan terhadap perkara yang diperiksa apabila dalam praktiknya terdapat ketidakkonsekuenan antara norma internasional dan hukum dalam negeri. Berbagai dokumen internasional seperti Convention on the Rights of the Child, di mana salah satu penekanannya dilakukan dalam hal pemenuhan pendidikan dasar dan sebagai negara penandatangan maka sudah sangat jelas dan tanpa ada lagi keraguan bahwa pemerintah Indonesia juga berada di bawah kewajiban hukum internasional untuk melaksanakan ketentuan dimaksud guna memberikan pendidikan dasar bagi siapa pun juga dalam kerangka pemenuhan fundamanetal right warga negaranya.

Mengutip pendapat Holmes, Hakim Agung Amerika, bahwa ketentuan konstitusi bukanlah sekedar rumusan matematika ang membentuk suatu susunan. Konstitusi adalah organ institusi yang hidup. Ia mempunyai peranan yang teramat penting dan dibentuk tidak semudah merangkai kata-kata dari sebuah kamus, tetapi dengan memperhatikan secara benar keaslian dan pertumbuhannya setiap saat. Oleh karena itu, sudah saatnya institusi yudisial mampu membuat konstitusi kembali menjadi milik rakyat yang sesungguhnya dan kemudian digunakan untuk mengatur pemerintahan.

H. Post Scriptum

Dari deskripsi di atas, dapat dikatakan kinerja pendidikan nasional Indonesia memang masih memprihatinkan. Hal itu salah satunya terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat terlihat jelas dari pengalokasian anggaran pendidikan yang rendah dan kurang memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya.

Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab, apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya, baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat.

Demikian pula diharapkan peran lembaga yudisial dapat berbuat banyak untuk menyadarkan pemerintah memenuhi kewajiban konstitusinya, sebab ketika lembaga eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi memiliki concern penuh terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia, maka kini pelita harapan satu-satunya hanyalah berada di tangan lembaga yudisial, baik itu berasal dari Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, maupun dari Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks ini, kita perlu berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, ataupun Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri, Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menggeser dan menggantikan peran Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi memajukan pendidikan Indonesia. ۩

BIBLIOGRAPHY:

Prmary Sources:

* Universal Declaration of Human Right, 1948.
* Convention Againts Discrimination in Education, 1960.
* Convention on the Rights of the Child, 1989.
* International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966.
* Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
* UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
* UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
* UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
* UU APBN tahun 2005 s/d 2007.
* Putusan MKRI No. 011-012-026/PUU-III/2005.
* Oliver Brown v. Board of Education, AIR 1990 SC 2432.
* University of Delhi v. Ram Nath, AIR, 1963 SC 1873.
* Etc.

Secondary Sources:

* Darmaningtyas, Sarana Pendidikan: Potret Buram Wajah Pendidikan, 2003
Elliot, Mark, The Constitutional Foundations of Judicial Review, Hart Publishing, USA 2003.
* Greanery, Vinncent, Literary Standards in Indonesia, 1992.
* Lie, Anita, Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi, 2003.
* McMahon, Walter W. and Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, Univ. of Illinonis, 2002.
* Plank, David N. and William Lowe Boyd, Antipolitics, Education, and Institutional Choice: the Flight from Democracy, 2004.
* Tyagi, B.S., Judicial Activism in India, Srishti Publisher, India, 2000.
* UNDP, Human Development Report, 2005.
* UNESCO and The World Bank, Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), 2004.
* Etc.

Mahkamah Agung Bukan "Panti Jompo"

Seperti mengalami penyakit "Post Power Syndrome", para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) terus bersikukuh mengusulkan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Adakah motif terselubung dibalik pelanggengan kekuasaan di MA?



Pertanyaan tersebut wajar dilontarkan karena Ketua MA Bagir Manan begitu getol memperjuangkan usulan tersebut sejak tahun 2007. Dalam berbagai statemennya, tersirat adanya keinginan agar pensiun hakim agung sama seperti di Amerika Serikat yaitu untuk seumur hidup. Dan selanjutnya, Presiden SBY melalui Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata juga telah menyatakan dukungannya atas usulan itu di hadapan anggota DPR, pada 2 Juni lalu. Hal tersebut kemudian disampaikan kembali pada rapat tertutup MA bersama Komisi III DPR RI di Mahkamah Agung, Senin 14 Juli.

Adanya rangkaian tersebut jelas menimbulkan tanda tanya. Bila melihat peta perpolitikan menjelang pemilu 2009, tentu gagasan MA berpotensi dijadikan 'dagangan politik'. Berkaca pada pengalaman, setelah pemerintahan berganti, para pejabat yang telah turun atau tidak mempunyai kekuasaan banyak yang terseret kasus hukum. Tentu hal itu juga membayangi orang-orang di pemerintahan saat ini Namun selama jabatan Ketua MA Bagir Manan, tidak sedikit pejabat atau anggota DPR yang akhirnya dibebaskan misalkan saja dalam kasus dugaan korupsi berjamaah DPRD Sumatera Barat.

Berdasar kondisi itu muncul kekhawatiran adanya bargaining politik untuk memperpanjang pensiun Ketua MA Bagir Manan dan hakim agung lainnya. Tujuannya untuk mengamankan nasib pejabat yang berkuasa saat ini dimasa pemerintahan mendatang. Mengingat peta politik yang sulit diterka karena sifatnya politis, maka usulan perpanjangan pensiun 70 tahun itu perlu dikupas dari berbagai sisi.

Dasar Perpanjangan Mengada-ada

Pertama, realita di AS sangat berbeda. Di negara paman Sam itu, jabatan hakim agung memang diberikan untuk seumur hidup. Namun harus digaris bawahi bahwa sistem hukum AS dan Indonesia berbeda. Karena itu, tentu tidak fair bila mengambil secuil realita di AS yaitu usia pensiun seumur hidup tanpa melihat konteks.

Kedua, angka kehidupan orang Indonesia rendah. Menurut data statistik dari BPS dan dari Depkes tahun 2003, angka usia hidup orang Indonesia paling rendah se ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Diatas usia itu, menurut data Depkes, kondisi orang Indonesia juga banyak yang menurun karena dipengaruhi berbagai faktor. Memang, hal itu tidak bisa digeneralisir karena masih banyak juga orang yang bisa berkarya di usia senja. Tapi untuk hakim MA, perlu dipertanyakan kenapa para hakim agung yang sudah sepuh bersikeras duduk di wilayah kekuasaaan. Andaikata mereka masih mau mengabdikan diri dengan keilmuan mereka pada bangsa dan negara ini, tentu akan lebih baik bila kembali ke kampus, melakukan transfer ilmu pada mahasiswa.

Ketiga, soal produktivitas.Menurut BPS, usia 70 tahun masuk kelompok tidak produktif. Hal ini perlu dikaitkan dengan beban kerja hakim agung. Saat ini, tunggakan perkara di MA ditambah perkara yang masuk mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja yang berat dan menyangkut nasib masyarakat luas, apakah layak usia pensiun diperpanjang? Bila menggunakan logika akal sehat, yakinkan kita hakim agung dengan usia 70 tahun dapat menyelesaikan tunggakan perkara itu dengan cepat dan tepat? Bisa jadi, tunggakan perkara tidak berkurang, tapi malah bertambah karena kemampuan membaca yang menurun atau kondisi fisik ikut mempengaruhi.

Keempat, penetapan angka 70 tahun tidak jelas. Angka ini perlu dibandingkan dengan usia pensiun PNS atau pejabat negara lainnya. Untuk hakim Mahkamah Konstitusi (MK), masa kerjanya dibatasi dua hal yaitu adanya pembatasan masa jabatan per lima tahunan dan usia pensiun adalah 67 tahun serta tidak bisa diperpanjang. Kalaupun usianya masih dibawah 67, tetapi sudah menjabat 5 tahun, hakim konstitusi tidak secara otomatis masa kerjanya berlanjut. Tetapi, harus mengikuti seleksi kembali seperti yang baru saja diikuti Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Perpanjangan Tidak Pantas diberikan

Sistem MK terdapat dua pembatasan. Sementara dalam gagasan MA, masa jabatan hakim agung adalah diangkat sekali untuk menjabat terus hingga 70 tahun. Jelas hal ini tidak sehat untuk dunia peradilan. Mengutip teori Robert Klitgraad, korupsi subur ketika ada kewenangan minus transparansi dan akuntabilitas. Dan kondisi inilah yang terjadi di MA yaitu minim transparansi dan akuntabilitas. Contoh sederhana adalah pengelolaan biaya perkara yang serba abu-abu.

Dengan melihat kondisi peradilan Indonesia, perpanjangan masa pensiun menjadi 70 tahun jelas tidak tepat untuk dilaksanakan di Indonesia. Masih adanya sistem yang masih buruk, tentu perpanjangan tidak akan menyelesaikan masalah, atau justru melanggenggkan masalah. Bila nanti sistem sudah diperbaiki, silahkan saja pensiun 70 tahun atau seumur hidup.

Usulan perpanjangan masa pensiun hakim agung menjadi 70 tahun juga tidak pantas diberikan mengingat kinerja para hakim agung kita yang tidak luar biasa atau hanya biasa-biasa saja. Selama ini, kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan sudah mencapai titik yang sangat rendah karena maraknya mafia peradilan.

Batasan Usia Minimal Diturunkan

Saat ini, paradigma berpikir bahwa "yang tua yang benar, atau "yang tua yang didengar" juga harus ditinggalkan. Sudah saatnya ada regenerasi di MA. Diluar sana,masih banyak hakim-hakim muda yang berkualitas, berintegritas dan memiliki pemikiran progresif namun terganjal birokrasi.

Bila para hakim agung merasa masa jabatan di MA kurang lama untuk memperbaiki wajah peradilan, tentu jalan keluarnya bukan dengan memperpanjang pensiun tapi mempercepat usia penerimaan hakim agung. Bila sebelumnya syarat untuk menjadi hakim agung adalah berusia minimal 50 tahun, dapat diturunkan menjadi minimal 40 tahun. Dengan demikian, akan ada generasi baru yang mengisi MA. Dan harapannya, MA nantinya tidak menjadi 'panti jompo' yang diisi orang yang haus kekuasaan. Untuk itu, pemerintah dan DPR harus menimbang jernih usulan MA dan tidak bersekongkol demi kepentingan apapun.

Tentang Panti Asuhan Anak

Jumlah berbagai bentuk perlakuan salah, seperti kekerasan seksual, fisik, ataupun mental terhadap anak semakin meningkat. Perdagangan anak dan perempuan juga marak. Akhir-akhir ini ditemukan adanya anak-anak yang terlibat perbuatan kriminal, bahkan sampai pada penggunaan obat-obat terlarang dan pembunuhan.
Sementara itu, dalam kasus perdagangan anak, perlu dicatat apa yang terjadi pascatsunami di Aceh. Seorang tokoh masyarakat waktu itu melontarkan tuduhan bahwa ada 20 anak Aceh yang dibawa ke luar Aceh dan dititipkan di Panti Asuhan Kristen di pinggir Jakarta.
PGI dituntut memberikan klarifikasi. Penulis merespons tuduhan itu dan meminta bukti otentik. Ternyata tuduhan itu tidak benar dan hanya suatu manuver politik. Kita menyayangkan bahwa anak-anak mengalami politisasi sedemikian rupa yang amat merugikan mereka di masa depan.
Kita pernah dihebohkan dengan adanya kasus Muhammad Azwar, atau yang lebih dikenal dengan nama Raju, di Medan pada 2005. Perkelahian antaranak telah mengantar Raju ke peradilan (Desember 2005), yang menimbulkan kehebohan dalam masyarakat. Persoalannya adalah seberapa jauh kasus perkelahian anak seperti ini bisa dibawa ke pengadilan, apa yang dimaksudkan dengan kenakalan anak, dan batas umur yang memungkinkan anak diproses di pengadilan.
Ketentuan perundangan kita mengatur bahwa anak-anak berusia delapan tahun bisa diadili sementara Nations Standards Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules, 1985) mematok usia 12 tahun. Realitas seperti ini mesti menjadi perhatian kita agar anak tidak menjadi objek yang menderita, antara lain oleh politisasi, arogansi kekuasaan, dan penafsiran hukum.
Adanya ketentuan perundangan yang mengatur tentang anak patut disambut dengan baik sebab hal itu menandakan adanya perhatian pemerintah terhadap eksistensi, masa depan anak, dan pemenuhan hak anak. Hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia seperti tercantum dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) atau Convention on the Rights of Child (CRC) yang disetujui oleh majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989 dan sudah diratifikasi dengan Kepres No 36 Tahun 1990. Dalam diri setiap anak sudah melekat harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang harus dijunjung tinggi, dijaga, dan dipelihara.
Anak-anak berhak atas kelangsungan hidupnya. Berhak atas perlindungan dari setiap bentuk kekerasan mental, fisik, sosial, dan tindakan diskriminatif lainnya. Berbagai upaya perlindungan anak telah diatur lewat peraturan perundangan maupun konvensi. Aturan hukum dan konvensi itu mengatur tentang kesejahteraan anak, tentang usaha menyejahterakan dan melindungi mereka, tentang pengadilan anak, sampai pada mengatur tentang batas usia minimum seorang anak diperbolehkan bekerja. Namun, konsep perlindungan anak yang komprehensif-integral masih perlu dipertegas. Kesejahteraan anak harus menjadi inspirasi dan tujuan yang mendorong kita untuk memberikan perlindungan yang utuh menyeluruh terhadap hak-hak anak.

Pengasuhan dan Pendidikan
UU Perlindungan Anak telah menghadirkan sejumlah persoalan, khususnya bagi lembaga-lembaga pelayanan Anak yang berbasiskan pelayanan agama (Panti Asuhan, Sekolah Minggu, Pengasuhan, dan Pendidikan Non-Panti). Hal ini terkait dengan pasal-pasal UU PA, yakni Pasal 31-39 yang berbicara tentang pengesahan anak (Pasal 31-39) dan juga konsekuensi hukum berkaitan dengan Hak Konstitusional warga Negara (Pasal 86).
Dalam Pasal 31-39 sangat jelas diatur bahwa Yayasan Sosial/Panti Asuhan tidak boleh mengasuh anak yang berbeda agama karena konsekuensi hukumnya. Dalam iklim seperti ini telah terjadi berbagai upaya teror berupa pemaksaan untuk menutup suatu institusi yang melakukan pelayanan pengasuhan anak. Pemaksaan untuk menutup panti sosial dan menghentikan pelayanan anak oleh sekelompok masyarakat, serta menjerat pengasuh-pengasuh kesejahteraan anak dengan “memakai” UU PA, justru merupakan pelanggaran hak anak.
Dari kasus-kasus tersebut makin disadari bahwa bagaimana pun juga UU ini merupakan bagian dari produk politik yang di dalamnya berbagai kepentingan calon diakomodasi sehingga tanpa disadari modus ini menciptakan model “pelanggaran baru” terhadap hak anak. Misalnya, banyak panti digugat dan harus melepaskan anak asuh tanpa ada jaminan dari negara apakah anak-anak tersebut mendapatkan pengasuhan sebagaimana mestinya setelah tidak berada di panti yang selama ini mengasuh mereka.
Data lapangan yang ada menunjukkan bahwa jumlah rumah sosial serta Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial dibandingkan jumlah anak telantar sangat tidak memadai. Apalagi jika ada upaya pembatasan pengasuhan dan penampungan dengan berdalih agama. Maka dapat dipastikan jumlah anak telantar yang tidak dapat ditampung akan semakin banyak.
Berdasarkan realitas itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengadakan beberapa amendemen pada UU PA dalam kerja sama dengan berbagai lembaga; redefinisi terhadap misi panti asuhan, merumuskan ulang bentuk-bentuk pelayanan dalam Panti Asuhan/Panti Sosial yang lebih tepat, agar pada satu sisi pengelola tetap menjalankan tugas dengan berpegang pada undang-undang, pada sisi lain misi untuk mewujudkan syalom Allah bagi anak-anak tetap dapat terwujud.

pengertian hukum pasar modal

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejarah Hukum dalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lembaga yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat sipil. Para sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis sejarah kasus dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang menadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainya dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang memberikan kita gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.

1.2. Tinjauan Pustaka

Pertanyaan :

Bagaimanakah definisi hukum secara umum menurut beberapa pakar?

Budi Cahyono

Jawaban :

Definisi hukum menurut beberapa pakar yaitu:

R. Soeroso, SH
Definisi hukum secara umum : himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut :
1. peraturan dibuat oleh yang berwenang
2. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat
3. mempunyai ciri memerintah dan melarang
4. bersifat memaksa dan ditaati

Abdulkadir Muhammad, SH
Hukum : segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

Drs. C.S.T. Kansil, SH
Hukum itu mengadakan ketata-tertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara.

J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH
Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan hukum tertentu.

Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

Aristoteles
Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

E. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup - perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.

Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu:

1. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum. Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

2. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Penerimaan rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

3. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum/belum. Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada.

4. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu kaidah sosial/hukum.

Sedangkan tujuan hukum itu sendiri menurut:
1. Apeldoorn adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.

2. Prof. Soebekti, tujuan hukum adalah mengabdi tujuan negara yang intinya mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya.

Definisi UU menurut beberapa pakar

1.3. Tujuan
1.Agar Masyarakat atau Mahasiswa dapat lebih mengerti aturan hukum
2.Agar Masyarakat atau Mahasiswa mengerti batasan-batasan dari hukum
3.Agar Masyarakat atau Mahasiswa tidak bertindak yang melanggar hukum

BAB 2. KERANGKA TEORI

Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.

2.1. Apa saja bidang-bidang hukum

1.1. Hukum Perdata : Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.
1.2. Hukum Publik : Hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.
1.3. Hukum Pidana : Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana.
1.4. Hukum Acara : Merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya.
1.5. Hukum Internasional : Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas:
Dalam arti sempit meliputi : Hukum publik internasional saja
Dalam arti luas meliputi : Hukum publik internasional dan hukum perdata internasional

2.2. Apa yang dimaksud dengan sistem hukum internasional?

Dalam pembahasan mengenai makna hukum internasional di sini kecenderungannya adalah mengarah kepada pengertian atau definisi. Untuk dapat memberikan batasan pengertian mengenai hukum internasional,

2.3. Sikap terhadap pelaksanaan sistem pemerintah yang berlaku di indonesia?
Perkembangan ketatanegaraan dapat dibagi menjadi beberapa periode, sejak masa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi. Secara formsl, periode perkembangan ketatanegaraan itu dapat dirinci sebagai berikut :
1. periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949).
2. periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
3. periode berlakunya UUDS 1950(17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
4. periode berlakunya kembali UUD 1945 (5 Juli 1959-5 Juli 1959-sekarang). Pada periodeini pun terbagi menjadi beberapa periode:
a) periode Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
b) periode Orde Lema (11 Maret 1966-21 Mei 1998)
5. periode Reformasi (21 Mei 1998-sekarang).

Penanaman Modal Asing Ditinjau Dari Segi Hukum

Sebenarnya perkembangan penanaman modal asing di Indonesia telah dimulai sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Rancangan Undang-undang penanaman modal asing pertama kali diajukan pada tahun 1952 pada masa kabinet Alisastroamidjojo, tetapi belum sempat diajukan ke parlemen karena jatuhnya kabinet ini. Kemudian pada tahun 1953 rancangan tersebut diajukan kembali tetapi ditolak oleh pemerintah.
Secara resmi undang-undang yang mengatur mengenai penanaman modal asing untuk pertama kalinya adalah UU Nomor 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan Undang-undang ini banyak mengalami hambatan, UU Nomor 78 Tahun 1958 tersebut pada tahun 1960 diperbaharui dengan UU Nomor 15 Tahun 1960 .

Pada perkembangan selanjutnya, karena adanya anggapan bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapan kepada rakyat serta menghambat jalannya revolusi Indonesia, maka UU Nomor 15 Tahun1960 ini dicabut dengan UU Nomor 16 Tahun 1965 . Sehingga mulai tahun 1965 sampai dengan tahun 1967 terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam bidang penanaman modal asing.

Baru pada tahun 1967, pemerintah Indonesia mempunyai undang-undang penanaman modal asing dengan diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1967, yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 Januari 1967 dan kemudian mengalami perubahan dan penambahan yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1970 .Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1986, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 1986 yang diikuti dengan dikeluarkannya SK Ketua BKPM Nomor 12 Tahun 1986 disusul dengan dikeluarkan Keppres Nomor 17 Tahun 1986 .

Kemudian pada tahun 1987, Pemerintah merubah Keppres Nomor 17 Tahun 1986 tersebut, diubah dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1987 demikian pula Ketua BKPM mencabut SK Ketua BKPM Nomor 12 Tahun 1986 dicabut dan diganti dengan SK Ketua BKPM Nomor 5 Tahun 1987, yang pada prinsipnya sama dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1987 yaitu memberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan dalam keputusan sebelumnya. Selanjutnya, Ketua BKPM sebagai pelaksana teknis penanaman modal asing di Indonesia, mengeluarkan Keputusan sebagaiman ternyata dalam Surat Keputusan Ketua BKPM Nomor 09/SK/1989
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dengan dikeluarkannya PP Nomor 17 Tahun 1992 yang antara lain mengatur mengenai penanaman modal asing di kawasan Indonesia Bagian Timur.

Perkembangan terakhir dalam bidang penanaman modal ini adalah dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1994 . PP Nomor 20 Tahun 1994 ini memberikan kemungkinan bagi investor asing untuk memiliki 100% saham dari perusahaan asing serta membuka peluang untuk berusaha pada bidang-bidang yang sebelumnya tertutup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1967.

Perkembangan penanaman modal asing yang lain adalah mengenai Daftar Negatif Investasi (untuk selanjutnya disebut DNI), dahulu disebut Daftar skala Prioritas (DSP) pemerintah telah melakukan perubahan dan menyederhanakan dengan mengatur bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing. DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan setiap tahun dilakukan peninjauan untuk disesuaikan dengan perkembangan.

Pada tahun 1998, DNI ini diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun 1998 dan Keppres Nomor 99 Tahun 1998 . Kedua peraturan tersebut diubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000 . Keppres Nomor 96 Tahun 2000 ini terakhir diubah dengan Keppres Nomor 118 Tahun 2000 .
Upaya pemerintah untuk menarik investor, agar menanamkan modalnya di Indonesia, bahkan melipatgandakan tingkat penanaman modal dari tahun ke tahun salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan memberi kelonggaran dan kemudahan bagi para investor
Peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing selama kurun waktu terakhir ini belum mampu mencerminkan aspek kepastian hukum. Hal ini disebabkan munculnya peraturan yang cenderung memberatkan para investor. Ketidakpastian hukum dan politik dalam negeri merupakan bagian dari masalah-masalah yang menyebabkan ikilm penanaman modal tidak kondusif. Iklim yang kondusif tentu akan sangat mempengaruhi tingkat penanaman modal di Indonesia.

Selain itu juga ketentuan hukum dan peraturan mengenai penanaman modal asing yang harus tetap disesuaikan dengan perkembangan di era globalisasi dan tidak adanya perlakuan diskriminasi dari negara penerima terhadap modal asing (equal treatment). Sehingga partisipasi masyarakat dan aparatur hukum sangat diperlukan dalam menarik investor yaitu dengan cara menciptakan iklim yang kondusif untuk menanamkan modalnya.

Cyber Crime

Cybercrime and other 'hacking' related crimes are serious problems that require indepth study and serious consideration. While trying to find legislative solutions to, say, criminalising hacking, governments are in fact also enhancing their control of the Internet and promoting surveillance in the name of preventing "cyber-crime," "information warfare" or protecting "critical infrastructures."

The lead bodies internationally are the Council of Europe and the G-8, while there has also been some activity within the European Union. The United States has been active behind the scenes in developing and promoting these efforts. After meeting behind closed doors for years, these organizations finally, in 2000, made public proposals that would place restrictions on online privacy and anonymity in the name of preventing cyber-crime.

Hukum Perikatan

dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan
menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.
tiga hal yang harus diketahui dalam mendefinisikan suatu perjanjian:
- adanya suatu barang yang akan diberi
- adanya suatu perbuatan dan
- bukan merupakan suatu perbuatan
Dalam melakukan Perjanjian sah harus disyaratkan pada
- Bebas dalam menentukan suatu perjanjian
- Cakap dalam melakukan suatu perjanjian
- Isi dari perjajian itu sendiri
- Perjanjian dibuat harus sesuai dengan Undang - Undang yang berlaku
seorang yang berpiutang memberikan pinjaman kepada yang berutang, dan yang berutang tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam membayar utang maka yang berpiutang dapat melakukan tuntutan dengan 3 cara :
- Parade Executie (melakukan perbuatan tanpa bantuan dari pengadilan yang hal ini kaitannya dengan hakim)
- reel executie ( dimana hakim memberikan kekuasaan kepada berpiutang untuk melakukan suatu perbuatan)
- Natuurelijke Verbintenis (Secara suka rela dipenuhi/dibayar)