Entri Populer

Rabu, 05 Agustus 2009

Tentang Panti Asuhan Anak

Jumlah berbagai bentuk perlakuan salah, seperti kekerasan seksual, fisik, ataupun mental terhadap anak semakin meningkat. Perdagangan anak dan perempuan juga marak. Akhir-akhir ini ditemukan adanya anak-anak yang terlibat perbuatan kriminal, bahkan sampai pada penggunaan obat-obat terlarang dan pembunuhan.
Sementara itu, dalam kasus perdagangan anak, perlu dicatat apa yang terjadi pascatsunami di Aceh. Seorang tokoh masyarakat waktu itu melontarkan tuduhan bahwa ada 20 anak Aceh yang dibawa ke luar Aceh dan dititipkan di Panti Asuhan Kristen di pinggir Jakarta.
PGI dituntut memberikan klarifikasi. Penulis merespons tuduhan itu dan meminta bukti otentik. Ternyata tuduhan itu tidak benar dan hanya suatu manuver politik. Kita menyayangkan bahwa anak-anak mengalami politisasi sedemikian rupa yang amat merugikan mereka di masa depan.
Kita pernah dihebohkan dengan adanya kasus Muhammad Azwar, atau yang lebih dikenal dengan nama Raju, di Medan pada 2005. Perkelahian antaranak telah mengantar Raju ke peradilan (Desember 2005), yang menimbulkan kehebohan dalam masyarakat. Persoalannya adalah seberapa jauh kasus perkelahian anak seperti ini bisa dibawa ke pengadilan, apa yang dimaksudkan dengan kenakalan anak, dan batas umur yang memungkinkan anak diproses di pengadilan.
Ketentuan perundangan kita mengatur bahwa anak-anak berusia delapan tahun bisa diadili sementara Nations Standards Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules, 1985) mematok usia 12 tahun. Realitas seperti ini mesti menjadi perhatian kita agar anak tidak menjadi objek yang menderita, antara lain oleh politisasi, arogansi kekuasaan, dan penafsiran hukum.
Adanya ketentuan perundangan yang mengatur tentang anak patut disambut dengan baik sebab hal itu menandakan adanya perhatian pemerintah terhadap eksistensi, masa depan anak, dan pemenuhan hak anak. Hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia seperti tercantum dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) atau Convention on the Rights of Child (CRC) yang disetujui oleh majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989 dan sudah diratifikasi dengan Kepres No 36 Tahun 1990. Dalam diri setiap anak sudah melekat harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang harus dijunjung tinggi, dijaga, dan dipelihara.
Anak-anak berhak atas kelangsungan hidupnya. Berhak atas perlindungan dari setiap bentuk kekerasan mental, fisik, sosial, dan tindakan diskriminatif lainnya. Berbagai upaya perlindungan anak telah diatur lewat peraturan perundangan maupun konvensi. Aturan hukum dan konvensi itu mengatur tentang kesejahteraan anak, tentang usaha menyejahterakan dan melindungi mereka, tentang pengadilan anak, sampai pada mengatur tentang batas usia minimum seorang anak diperbolehkan bekerja. Namun, konsep perlindungan anak yang komprehensif-integral masih perlu dipertegas. Kesejahteraan anak harus menjadi inspirasi dan tujuan yang mendorong kita untuk memberikan perlindungan yang utuh menyeluruh terhadap hak-hak anak.

Pengasuhan dan Pendidikan
UU Perlindungan Anak telah menghadirkan sejumlah persoalan, khususnya bagi lembaga-lembaga pelayanan Anak yang berbasiskan pelayanan agama (Panti Asuhan, Sekolah Minggu, Pengasuhan, dan Pendidikan Non-Panti). Hal ini terkait dengan pasal-pasal UU PA, yakni Pasal 31-39 yang berbicara tentang pengesahan anak (Pasal 31-39) dan juga konsekuensi hukum berkaitan dengan Hak Konstitusional warga Negara (Pasal 86).
Dalam Pasal 31-39 sangat jelas diatur bahwa Yayasan Sosial/Panti Asuhan tidak boleh mengasuh anak yang berbeda agama karena konsekuensi hukumnya. Dalam iklim seperti ini telah terjadi berbagai upaya teror berupa pemaksaan untuk menutup suatu institusi yang melakukan pelayanan pengasuhan anak. Pemaksaan untuk menutup panti sosial dan menghentikan pelayanan anak oleh sekelompok masyarakat, serta menjerat pengasuh-pengasuh kesejahteraan anak dengan “memakai” UU PA, justru merupakan pelanggaran hak anak.
Dari kasus-kasus tersebut makin disadari bahwa bagaimana pun juga UU ini merupakan bagian dari produk politik yang di dalamnya berbagai kepentingan calon diakomodasi sehingga tanpa disadari modus ini menciptakan model “pelanggaran baru” terhadap hak anak. Misalnya, banyak panti digugat dan harus melepaskan anak asuh tanpa ada jaminan dari negara apakah anak-anak tersebut mendapatkan pengasuhan sebagaimana mestinya setelah tidak berada di panti yang selama ini mengasuh mereka.
Data lapangan yang ada menunjukkan bahwa jumlah rumah sosial serta Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial dibandingkan jumlah anak telantar sangat tidak memadai. Apalagi jika ada upaya pembatasan pengasuhan dan penampungan dengan berdalih agama. Maka dapat dipastikan jumlah anak telantar yang tidak dapat ditampung akan semakin banyak.
Berdasarkan realitas itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengadakan beberapa amendemen pada UU PA dalam kerja sama dengan berbagai lembaga; redefinisi terhadap misi panti asuhan, merumuskan ulang bentuk-bentuk pelayanan dalam Panti Asuhan/Panti Sosial yang lebih tepat, agar pada satu sisi pengelola tetap menjalankan tugas dengan berpegang pada undang-undang, pada sisi lain misi untuk mewujudkan syalom Allah bagi anak-anak tetap dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar