Entri Populer

Rabu, 05 Agustus 2009

Mahkamah Agung Bukan "Panti Jompo"

Seperti mengalami penyakit "Post Power Syndrome", para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) terus bersikukuh mengusulkan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Adakah motif terselubung dibalik pelanggengan kekuasaan di MA?



Pertanyaan tersebut wajar dilontarkan karena Ketua MA Bagir Manan begitu getol memperjuangkan usulan tersebut sejak tahun 2007. Dalam berbagai statemennya, tersirat adanya keinginan agar pensiun hakim agung sama seperti di Amerika Serikat yaitu untuk seumur hidup. Dan selanjutnya, Presiden SBY melalui Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata juga telah menyatakan dukungannya atas usulan itu di hadapan anggota DPR, pada 2 Juni lalu. Hal tersebut kemudian disampaikan kembali pada rapat tertutup MA bersama Komisi III DPR RI di Mahkamah Agung, Senin 14 Juli.

Adanya rangkaian tersebut jelas menimbulkan tanda tanya. Bila melihat peta perpolitikan menjelang pemilu 2009, tentu gagasan MA berpotensi dijadikan 'dagangan politik'. Berkaca pada pengalaman, setelah pemerintahan berganti, para pejabat yang telah turun atau tidak mempunyai kekuasaan banyak yang terseret kasus hukum. Tentu hal itu juga membayangi orang-orang di pemerintahan saat ini Namun selama jabatan Ketua MA Bagir Manan, tidak sedikit pejabat atau anggota DPR yang akhirnya dibebaskan misalkan saja dalam kasus dugaan korupsi berjamaah DPRD Sumatera Barat.

Berdasar kondisi itu muncul kekhawatiran adanya bargaining politik untuk memperpanjang pensiun Ketua MA Bagir Manan dan hakim agung lainnya. Tujuannya untuk mengamankan nasib pejabat yang berkuasa saat ini dimasa pemerintahan mendatang. Mengingat peta politik yang sulit diterka karena sifatnya politis, maka usulan perpanjangan pensiun 70 tahun itu perlu dikupas dari berbagai sisi.

Dasar Perpanjangan Mengada-ada

Pertama, realita di AS sangat berbeda. Di negara paman Sam itu, jabatan hakim agung memang diberikan untuk seumur hidup. Namun harus digaris bawahi bahwa sistem hukum AS dan Indonesia berbeda. Karena itu, tentu tidak fair bila mengambil secuil realita di AS yaitu usia pensiun seumur hidup tanpa melihat konteks.

Kedua, angka kehidupan orang Indonesia rendah. Menurut data statistik dari BPS dan dari Depkes tahun 2003, angka usia hidup orang Indonesia paling rendah se ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Diatas usia itu, menurut data Depkes, kondisi orang Indonesia juga banyak yang menurun karena dipengaruhi berbagai faktor. Memang, hal itu tidak bisa digeneralisir karena masih banyak juga orang yang bisa berkarya di usia senja. Tapi untuk hakim MA, perlu dipertanyakan kenapa para hakim agung yang sudah sepuh bersikeras duduk di wilayah kekuasaaan. Andaikata mereka masih mau mengabdikan diri dengan keilmuan mereka pada bangsa dan negara ini, tentu akan lebih baik bila kembali ke kampus, melakukan transfer ilmu pada mahasiswa.

Ketiga, soal produktivitas.Menurut BPS, usia 70 tahun masuk kelompok tidak produktif. Hal ini perlu dikaitkan dengan beban kerja hakim agung. Saat ini, tunggakan perkara di MA ditambah perkara yang masuk mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja yang berat dan menyangkut nasib masyarakat luas, apakah layak usia pensiun diperpanjang? Bila menggunakan logika akal sehat, yakinkan kita hakim agung dengan usia 70 tahun dapat menyelesaikan tunggakan perkara itu dengan cepat dan tepat? Bisa jadi, tunggakan perkara tidak berkurang, tapi malah bertambah karena kemampuan membaca yang menurun atau kondisi fisik ikut mempengaruhi.

Keempat, penetapan angka 70 tahun tidak jelas. Angka ini perlu dibandingkan dengan usia pensiun PNS atau pejabat negara lainnya. Untuk hakim Mahkamah Konstitusi (MK), masa kerjanya dibatasi dua hal yaitu adanya pembatasan masa jabatan per lima tahunan dan usia pensiun adalah 67 tahun serta tidak bisa diperpanjang. Kalaupun usianya masih dibawah 67, tetapi sudah menjabat 5 tahun, hakim konstitusi tidak secara otomatis masa kerjanya berlanjut. Tetapi, harus mengikuti seleksi kembali seperti yang baru saja diikuti Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Perpanjangan Tidak Pantas diberikan

Sistem MK terdapat dua pembatasan. Sementara dalam gagasan MA, masa jabatan hakim agung adalah diangkat sekali untuk menjabat terus hingga 70 tahun. Jelas hal ini tidak sehat untuk dunia peradilan. Mengutip teori Robert Klitgraad, korupsi subur ketika ada kewenangan minus transparansi dan akuntabilitas. Dan kondisi inilah yang terjadi di MA yaitu minim transparansi dan akuntabilitas. Contoh sederhana adalah pengelolaan biaya perkara yang serba abu-abu.

Dengan melihat kondisi peradilan Indonesia, perpanjangan masa pensiun menjadi 70 tahun jelas tidak tepat untuk dilaksanakan di Indonesia. Masih adanya sistem yang masih buruk, tentu perpanjangan tidak akan menyelesaikan masalah, atau justru melanggenggkan masalah. Bila nanti sistem sudah diperbaiki, silahkan saja pensiun 70 tahun atau seumur hidup.

Usulan perpanjangan masa pensiun hakim agung menjadi 70 tahun juga tidak pantas diberikan mengingat kinerja para hakim agung kita yang tidak luar biasa atau hanya biasa-biasa saja. Selama ini, kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan sudah mencapai titik yang sangat rendah karena maraknya mafia peradilan.

Batasan Usia Minimal Diturunkan

Saat ini, paradigma berpikir bahwa "yang tua yang benar, atau "yang tua yang didengar" juga harus ditinggalkan. Sudah saatnya ada regenerasi di MA. Diluar sana,masih banyak hakim-hakim muda yang berkualitas, berintegritas dan memiliki pemikiran progresif namun terganjal birokrasi.

Bila para hakim agung merasa masa jabatan di MA kurang lama untuk memperbaiki wajah peradilan, tentu jalan keluarnya bukan dengan memperpanjang pensiun tapi mempercepat usia penerimaan hakim agung. Bila sebelumnya syarat untuk menjadi hakim agung adalah berusia minimal 50 tahun, dapat diturunkan menjadi minimal 40 tahun. Dengan demikian, akan ada generasi baru yang mengisi MA. Dan harapannya, MA nantinya tidak menjadi 'panti jompo' yang diisi orang yang haus kekuasaan. Untuk itu, pemerintah dan DPR harus menimbang jernih usulan MA dan tidak bersekongkol demi kepentingan apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar