Entri Populer

Minggu, 27 Maret 2011

Sistem Peradilan

Menurut Pendapat Sudikno Mertokusumo

Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, sernua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain (Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten, ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang- undang", sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang- undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa adanya dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain Undang-undang no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang juga untuk mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam peradilan. Dualisme ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan bahwa tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau "mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun 1970 dicabut (Varia Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu pula yang dijadikan alasan mengapa peradilan kita sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan kalau timbul istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan sebagainya. Apakah benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan peradilan kita dewasa ini disebabkan oleh dualisme sistem peradilan kita yang sudah berumur setengah abad lebih (pada hakekatnya sistem peradilan kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla Belanda)? Apakah benar bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di bawah dua atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah: berlarut-larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan- putusan yang tidak profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara dengan dalih "penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi adanya kolusi suap dan sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita dewasa ini tidaklah memenuhi harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan, banyak pencari keadilan dikecewakan oleh perlakuan maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang timbul ialah apakah salama ini (setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti sekarang? Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama dengan sekarang (bandingkan pasal 7 ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU no. 14 th 1970) dalam arti dualistis. Sepanjang pengetahuan saya selama ini belum pernah diadakan studi evaluasi yang intensif dan serius tentang sistem peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan tersebut di atas: apakah benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya kebebasan peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah betul bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya? Kiranya kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi kontribusi juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber daya manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang sistem peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah peradilan kita mulai pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini. Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of justice except the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the key man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972). Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak ada salahnya diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang bersih. Kalau kita hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu mengevaluasi sistem peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi tidaknya terutama kepentingan para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh sistem peradilan ataukah hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang saja? Mengubah undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya. Mengubah sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti yang sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam pembuatan rancangan undang undangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah peradilan kita akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil sikap: memulihkan segera citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber daya manusianya walaupun kita mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan, atau mengubah sistem peradilan yang akan makan waktu lebih lama lagi karena harus mengadakan penelitian, studi banding, pembentukan undang-undang dan sosialisasinya, yang hasilnya masih merupakan tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk sementara" Pemerintah tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan perkataan lain akan mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh karena itu mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu segera dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru kemudian dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau bersama-sama dengan peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus dapat dimulai dengan studi evaluasi peradilan kita dewasa ini.
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak- pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang -undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan -putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan "aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri.
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang peradilan agama.
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pad a Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. (SUMBER: http://sudiknoartikel.blogspot.com)

Daftar acuan
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial function", National College of State Trial Judges, Reno, Nevada
Yogyakarta, 18 Agustus 1997

Badan Peradilan

Ada banyak sekali pengertian dari Peradilan, antara lain :
- Menurut FOCHEMA ANDREA, Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.
- Menurut LEMAERE, Peradilan adalah sebagai suatu pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak.
- Menurut VAN KAN, Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan peradilan.

BADAN PERADILAN ZAMAN HINDIA BELANDA

Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
1. Peradilan Gubernemen
2. Peradilan Pribumi
3. Peradilan Swapraja
4. Peradilan Agama
5. Peradilan Desa

1. PERADILAN GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.

Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
A. Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
– Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.

– Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”

3. Raad Van Justitie
4. Hooggerechtshof

B. Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
1. a. Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.

b. Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.

2. Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada Hooggerechtshof.

3. Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.

BADAN PENGADILAN ZAMAN JEPANG

1. Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2. Semua Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
– Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
– Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
– Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
– Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
– Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.

Peradilan Desa 2

PENDAHULUAN

Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik

untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena

melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya

telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun

desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang

”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang

kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa

Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).

Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama

yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman

(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing

setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda

Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.

menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya

bukanlah suatu hal yang baru.

Fakta-fakta sejarah tersebut

1

Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum

menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang

dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi

permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah

perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya

seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,

prostitusi,

kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat

banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah

dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu

identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang

cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,

tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi

demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan

penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap

sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam

persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak

setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian

khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk

pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis

oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman

non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah

Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.

Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini

untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala

niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)

Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam

mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan

substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan

dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa

pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.

penyalahgunaan

narkoba,

dan

sebagainya

telah

mengganggu

2

AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN

Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di

Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya

dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang

bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan

rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).

Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig

adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi

tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi

petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan

kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa

teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas

kesamaan leluhur), dan sebagainya.

Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa

yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi

administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim

disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang

melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua

bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan

embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;

Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh

prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas

diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk

hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan

perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD

(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa

pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan

perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat

oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan

3

demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah

“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua

istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.

Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan

desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman

untuk membuat awig-awig?

Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig

mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari

kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.

Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa

pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,

membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang

bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman

mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal

18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang”

Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di

Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003

dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan

sebagai berikut:

”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali

yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga

atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan

sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”

termasuk

4

Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan

dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat

awig-awig,

menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang

berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu

merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,

landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig

dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman

dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan

jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa

pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5

dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat

awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai

“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman

yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan

desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-

masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada

awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat

oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang

mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.

disamping

menyelenggarakan

pemerintahan

sendiri,

serta

Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig

Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig

adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.

sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan

kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana

ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab

kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut

Filosofi inilah yang

5

adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),

dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat

dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan

umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan

hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.

a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik

sebagai individu maupun kelompok.

b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana

adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai

Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai

Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia

dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai

kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik

sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran

tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis

dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat

dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu

manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada

dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat

mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani

dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis

Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya

suasana yang harmonis dalam

manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya

dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan

lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir

yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,

suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai

suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala

tiada lain

masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan

6

(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas

umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha

pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos

3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)

Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig

Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig

walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika

masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig

ditetapkan

(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah

mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa

itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,

ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,

dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman

Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan

awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek

pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis

telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa

hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan

sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).

Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)

dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama

desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan

awig-awig

(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan

memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat

akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,

polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan

hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum

Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).

secara

lisan

melalui

keputusan-keputusan

dalam

rapat

penting

untuk

dilakukan

dalam

rangka

penemuan

hukum

7

Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –

terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig

yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara

Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis

di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam

kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya

mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,

sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan

oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan

contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig

terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-

awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet

(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam

beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti

misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas

Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara

Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,

sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,

yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format

peraturan

menyerupai sistematika UUD 1945.

Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan

pokok)

mengenai

pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam

pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak

dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai

keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari

substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem

penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan

pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan

paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam

perundang-undangan,

sistematika

awig-awig

desa

pakraman

kehidupan

desa

pakraman,

sedangkan

aturan-aturan

8

awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan

ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu

persoalan hukum (perkara) tertentu, baik

pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).

Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita

Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau

parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau

pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun

kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa

dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig

umumnya

pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian

masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda

(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).

yang berupa sengketa maupun

dijelaskan

mekanisme

penyelesaian

masalah

apabila

terjadi

Sanksi dalam Awig-awig

Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai

untuk

tujuan

keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),

kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini

dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim

dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi

adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda

(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa

jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya

pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.

Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari

yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha

danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang

disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag

(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi

mengembalikan

keseimbangan

apabila

terjadi

gangguan

9

kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong

ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),

sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama

(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara

danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci

untuk mengembalikan kesucian desa).

Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman

secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru

banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan

atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di

sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan

sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara

umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa

terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala

dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena

merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)

desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang

sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau

kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara

pasupati atau pemelaspasan.

PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG

Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig

Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai

kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)

yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya

mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman

dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai

istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada

keseragaman

difinisi.

Dalam

Surat

Edaran

Gubernur

Bali

Nomor

10

470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk

pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar

Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan

dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002

lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah

penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau

Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk

pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga

tahun;

(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling

lama satu tahun.

Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan

Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di

masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153

Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,

pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar

Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali

Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan

bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi

Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”

Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa

disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali

mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai

penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan

Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP

BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali

tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa

menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat

sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang

penduduk Bali dikelompokkan

11

tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah

penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-

awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai

saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua

golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang

beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan

hak dan kewajibannya saja.

Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)

Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.

Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,

sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya

ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan

(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa

Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;

(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:

ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa

Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;

na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut

pararem.

Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada

prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman

Gadungan meliputi:

a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut

bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;

b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat

desa).

Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,

seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman

12

Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan

Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa

Penida, dan sebagainya.

Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,

adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil

dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan

dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap

waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan

perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai

masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak

dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).

Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena

harus menunggu adanya pararem.

Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam

awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model

ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam

Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian

tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain

penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya

Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:

(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu

saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah

bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga

sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;

(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking

krama;

(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.

Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu

dengan menyatakan sebagai berikut:

Swaddharman lan olih-olihan tamiu:

13

ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok

ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten

ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;

na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;

ca. Tan piwal ring sapargin desane;

ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan

sapanunggilannya.

Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin

Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa

sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).

Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,

tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan

perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan

prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya

tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara

detil dalam awig-awignya.

Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-

masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini

dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-

awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.

Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi

tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap

awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai

penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa

pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada

umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban

sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,

seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.

Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban

tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan

sukarela (dana punia), dan sebagainya.

14

Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari

proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu

apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar

awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa

pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa

pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman

satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu

oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),

bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan

petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa

pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta

pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab

terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal

sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka

mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir

dan bathin).

PENUTUP

Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.

Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk

pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim

disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah

penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman

bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi

negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan

penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan

model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang

terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara

kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam

15

awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang

tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman

(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,

berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin

terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang

bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,

penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan

bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian

dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang

artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan

kebutuhannya masing-masing.

Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari

proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan

penduduk

penyelenggara pemerintahan desa pakraman.

pendatang

ditangani

oleh

prajuru

desa

pakraman

sebagai

DAFTAR PUSTAKA

Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana

Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.

Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin

Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan

Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal

Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan

Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan

Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu

16

Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.

Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.

Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.

Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.

Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003

Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.

Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Peradilan Desa 2

PENDAHULUAN

Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik

untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena

melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya

telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun

desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang

”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang

kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa

Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).

Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama

yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman

(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing

setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda

Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.

menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya

bukanlah suatu hal yang baru.

Fakta-fakta sejarah tersebut

1

Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum

menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang

dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi

permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah

perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya

seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,

prostitusi,

kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat

banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah

dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu

identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang

cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,

tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi

demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan

penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap

sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam

persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak

setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian

khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk

pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis

oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman

non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah

Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.

Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini

untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala

niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)

Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam

mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan

substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan

dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa

pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.

penyalahgunaan

narkoba,

dan

sebagainya

telah

mengganggu

2

AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN

Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di

Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya

dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang

bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan

rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).

Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig

adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi

tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi

petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan

kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa

teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas

kesamaan leluhur), dan sebagainya.

Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa

yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi

administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim

disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang

melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua

bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan

embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;

Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh

prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas

diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk

hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan

perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD

(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa

pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan

perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat

oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan

3

demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah

“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua

istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.

Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan

desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman

untuk membuat awig-awig?

Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig

mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari

kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.

Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa

pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,

membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang

bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman

mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal

18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang”

Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di

Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003

dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan

sebagai berikut:

”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali

yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga

atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan

sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”

termasuk

4

Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan

dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat

awig-awig,

menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang

berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu

merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,

landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig

dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman

dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan

jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa

pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5

dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat

awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai

“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman

yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan

desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-

masing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada

awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat

oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang

mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.

disamping

menyelenggarakan

pemerintahan

sendiri,

serta

Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig

Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig

adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana.

sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan

kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana

ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab

kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut

Filosofi inilah yang

5

adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),

dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat

dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan

umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan

hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.

a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik

sebagai individu maupun kelompok.

b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana

adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai

Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai

Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia

dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai

kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik

sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran

tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis

dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat

dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu

manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada

dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat

mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani

dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis

Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya

suasana yang harmonis dalam

manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya

dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan

lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir

yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,

suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai

suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala

tiada lain

masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan

6

(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas

umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha

pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos

3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)

Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig

Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig

walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika

masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig

ditetapkan

(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah

mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa

itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,

ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,

dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman

Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan

awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek

pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis

telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa

hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan

sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).

Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)

dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama

desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan

awig-awig

(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan

memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat

akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,

polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan

hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum

Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).

secara

lisan

melalui

keputusan-keputusan

dalam

rapat

penting

untuk

dilakukan

dalam

rangka

penemuan

hukum

7

Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –

terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig

yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara

Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis

di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam

kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya

mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,

sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan

oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan

contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig

terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-

awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet

(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam

beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti

misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas

Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara

Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,

sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,

yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format

peraturan

menyerupai sistematika UUD 1945.

Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan

pokok)

mengenai

pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam

pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak

dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai

keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari

substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem

penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan

pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan

paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam

perundang-undangan,

sistematika

awig-awig

desa

pakraman

kehidupan

desa

pakraman,

sedangkan

aturan-aturan

8

awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan

ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu

persoalan hukum (perkara) tertentu, baik

pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).

Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita

Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau

parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau

pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun

kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa

dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig

umumnya

pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian

masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda

(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).

yang berupa sengketa maupun

dijelaskan

mekanisme

penyelesaian

masalah

apabila

terjadi

Sanksi dalam Awig-awig

Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai

untuk

tujuan

keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),

kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini

dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim

dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi

adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda

(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa

jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya

pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.

Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari

yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha

danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang

disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag

(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi

mengembalikan

keseimbangan

apabila

terjadi

gangguan

9

kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong

ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),

sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama

(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara

danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci

untuk mengembalikan kesucian desa).

Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman

secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru

banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan

atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di

sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan

sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara

umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa

terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala

dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena

merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)

desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang

sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau

kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara

pasupati atau pemelaspasan.

PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG

Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig

Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai

kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)

yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya

mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman

dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai

istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada

keseragaman

difinisi.

Dalam

Surat

Edaran

Gubernur

Bali

Nomor

10

470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk

pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar

Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan

dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002

lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah

penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau

Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk

pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga

tahun;

(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling

lama satu tahun.

Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan

Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di

masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153

Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,

pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar

Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali

Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan

bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi

Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”

Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa

disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali

mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai

penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan

Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP

BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali

tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa

menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat

sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang

penduduk Bali dikelompokkan

11

tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah

penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awig-

awig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai

saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua

golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang

beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan

hak dan kewajibannya saja.

Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)

Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.

Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,

sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya

ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan

(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa

Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;

(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:

ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa

Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;

na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut

pararem.

Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada

prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman

Gadungan meliputi:

a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut

bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;

b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat

desa).

Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,

seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman

12

Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan

Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa

Penida, dan sebagainya.

Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,

adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil

dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan

dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap

waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan

perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai

masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak

dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).

Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena

harus menunggu adanya pararem.

Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam

awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model

ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam

Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian

tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain

penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya

Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:

(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu

saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah

bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga

sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;

(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking

krama;

(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.

Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu

dengan menyatakan sebagai berikut:

Swaddharman lan olih-olihan tamiu:

13

ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok

ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten

ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;

na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;

ca. Tan piwal ring sapargin desane;

ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan

sapanunggilannya.

Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin

Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa

sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).

Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,

tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan

perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan

prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya

tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara

detil dalam awig-awignya.

Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-

masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini

dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-

awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.

Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi

tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap

awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai

penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa

pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada

umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban

sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,

seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.

Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban

tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan

sukarela (dana punia), dan sebagainya.

14

Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari

proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu

apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar

awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa

pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa

pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman

satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu

oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),

bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan

petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa

pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta

pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab

terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal

sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka

mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir

dan bathin).

PENUTUP

Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.

Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk

pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim

disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah

penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman

bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi

negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan

penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan

model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang

terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara

kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam

15

awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang

tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman

(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,

berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin

terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang

bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,

penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan

bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian

dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang

artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan

kebutuhannya masing-masing.

Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari

proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan

penduduk

penyelenggara pemerintahan desa pakraman.

pendatang

ditangani

oleh

prajuru

desa

pakraman

sebagai

DAFTAR PUSTAKA

Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana

Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.

Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin

Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan

Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal

Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan

Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan

Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu

16

Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.

Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.

Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.

Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.

Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006

Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003

Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.

Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.