Entri Populer

Jumat, 08 Januari 2010

Tipisus

A. Pengertian Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan : “ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

B. Dasar hukum dan kekhususan. UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

Hk. Administrasi Ø Hk. Pidana Ekonomi ( UU No 7 Drt 1955). Ø
UU Hk Pidana > KUHPM
UU Pidana Ø TP. Korupsi; /> UU lain Ø TP. Narkotika Ø TP Terorisme
Hk. TP. Khusus
Hubungan : Hk. TP Khusus – Hk Pidana Umum : Hk. Pidana Umum – Hk. TP.Pid Khusus
Ps 103 KUHP
Melengkapi


Perundang-undangan Pidana :

1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.

1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)

Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

C. Kekhususan T.P. Khusus. Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.

1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs) 1.1. Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs) 1.2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang) 1.3. Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs) 1.4. Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs) 1.5. Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara. (ket.khs) 1.6. Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs). 1.7. Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus). 1.8. Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang) 1.9. Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs) 1.10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs) 1.11. Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs) 1.12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs) 1.13. Tindak pidananya dapat bersifat politik ( ket.khs). 1.14. Dapat pula berlaku asas retro active 2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal. 1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3] 2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain; 3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi. 4. Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara; 5. Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE); 6. Dianutnya Peradilan In absentia; 7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank; 8. Dianut Pembuktian terbalik; 9. Larangan menyebutkan identitas pelapor; 10. Perlunya pegawai penghubung; 11. Dianut TTS dan TT D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus. Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus : 1. Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955) 2. Tindak pidana Korupsi 3. Tindak Pidana Terorisme. Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi. ad 1. Hukum Pidana Ekonomi I. Pengertian, dan dasar Hukum UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP). II. Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah: a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah- ubah; b. Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum); c. Peradilan in absentia; Peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962. d. Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi; e. Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran; f. Perluasan berlakunya hukum pidana g. Penyelesaian di luar acara (schikking).[6] h. Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi. i. Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum. j. Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. k. Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi

III. Perumusan Tindak Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi. Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e. Tindak pidana berdasarkan Ps 26. Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini. Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah : a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1). b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1) c. Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1). Tindak Pidana berdasarkan Pasal 32 Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan : a. pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c; d. tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8; e. suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10; f. tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28 g. atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas. Rumusan lengkap Ps 32 sbb: Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas. Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955. Rumusan secara lengkap sbb: Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini. Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:

1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
2. tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.

Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :

1. tagihan-tagihan;
2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.

Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps 399 KUHP. Ps 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :

1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.

1. UU No 8 Prp tahun 1962 LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
2. UU No 9 Prp tahun 1962 LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.

IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum. Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48. Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada. Menurut Ps 36 seorang Hakim atau Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1). V. Badan-Badan Pegawai Penghubung. Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung. Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan persetujuan Menteri Kehakiman. Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP. VI.Tindakan Tatatertib Sementara Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu, tujuan dan tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tatatertib sementara. Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:

1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan tindakan tetatertib sementara

1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)

Tujuan pengambilan tindakan tetatertib sementara

1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
2. supaya tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapatdisita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.

Tindakan Melaksanakan Tindakan Tetatertib Sementara

1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan, dibawah pengampuan
3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.

Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tatateretib Sementara Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan : a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa. b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa. Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim. Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut : a. oleh hakim karena jabatannya b. atas tuntutan jaksa c. atas permohonan terdakwa. Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan: a. tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib. b. dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat. Uang pengganti kerugian itu dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.
VII. Sanksi
Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955. Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila hakim tidak menentukan lain.[10]. Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu. Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan. 1. UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah. 2. UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu : a. memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya; b. menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara; c. melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat). 3. UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif.

Daftar Pustaka
[1] Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3] Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4] UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5] Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6] Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi. Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7] Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb No 240 tahun 1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995. Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea. Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8] Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9] RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10] Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11] Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12] Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.

Tindak Pidana Lanjutan

1. Asas Hukum Pidana

Beberapa asas yang terdapat dalam hukum pidana yaitu :

A. Asas Legalitas

Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi kepadanya. Syarat tersebut bersumber pada asas legalitas.

Pada hakekatnya, bahwa azas legalitas yang menhendaki adanya suatu peraturan pidana dalam perundang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan dengan tidak mengurangi berlakunya hukum adat pidana, yang menetapkan suatu perbuatan itu sebagai suatu tindak pidana.

Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang, juga disyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHP (pasal 1 ), pasangan dari pasal 1 ayat 1 KUHP.

Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita bahwa :

- Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang
- Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu dari perbuatan itu ; dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan.

Asas legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :

1. Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia 1948, pasal II ayat 2
2. Perjanjian Eropa untuk melindungi hak manusia dan kebebasan asasi 1950 (perjanjian New York) pasal 15 ayat 1.

Asas Legalitas mengandung tiga perngertian, Yaitu :

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3. Aturan-aturan pidana tidak berlaku surut.
Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental.

An selm von feverbach, seorang sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Sehubungan dua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa latin :
- Nulla Poena Sine Lege :
Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undag-undang
- Nulla poena sine crimine :
Tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana
- Nullum crimen sine poena legali :
Tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Dasar perumusan asas legalitas itu sebagai realisasi dari teorinya yang dikenal dengan nama “ Theorie Van Psychologische Zwang ” yang menganjurkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan, bukan saja tentang macam pidana yang dicantumkan.
Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas ini, Roeslan Saleh Mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai tiga dimensi :
a. Dimensi politik hukum
b. Dimensi politik kriminal
c. Dimensi politik organisasi

B. Asas Nasionalitas

Asas Nasionalitas terbagi menjadi dua :

1. Asas Nasionalitas Aktif

Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.

Asas ini menentukan, bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu Negara disandarkan pada kewarganegaraan Nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya dimana perbutan dilakukan.

Ini berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga Negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan dimana perbuatan itu dilakukannya diluar Negara asalnya, undang-undang hukum pidana itu tetap berlaku pada dirinya.

Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah indonesia ”.




2. Asas Nasionalitas Pasif

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (Juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-pebuatan yang dialkuan diluar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan Negara itu.

Asas ini tercantum dala pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP, kemudian diperluas dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi.

Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individu orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah Negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap Negara untuk menegakkan hukum di wilayah sendiri.

Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu Negara menurut asas ini disandarkan kepada kepentingan hukum (Rechtbelang) menurut Simons : Rechtgoed yang dilanggarnya. Dengan demikian apabila kepentingan hukum dari suatu Negara yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang, baik oleh warga Negara ataupun oleh orang asing dan pelanggaran yang dilakukukan baik diluar maupun didalam Negara yang menganut asas tadi, Undang-undang hak pidana Negara itu dapat diperlakukan terhadap di pelanggar tadi.

C. Asas Territorialitas atau Wilayah

Pertama-tama kita lihat bahwa hukum piadana suatu Negara berlaku diwilayah Negara itu sendiri, ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Logis kalau ketentuan-ketentuan hukum suatu Negara berlaku diwilayahnya sendiri.
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayahnya Negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua Negara menganut asas ini, termasuk Indonesia.

Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Pasal 2 KUHP mengandung asas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke Strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam wilayah Indonesia. Asas territorialitas berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi didalam wilayah Negara. Yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga Negara maupun orang asing.


KESIMPULAN

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan nasionalitas dan territorialitas.
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Nasionalitas
a. Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik hukum pidana Indonesia, mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
b. Nasionalitas Pasif
Asas yang menentukan bahawa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbutan yang dilakukan di luar negeri.
3. Asas Territorialitas
perundang-undangan huukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, yang dilakukan setiap orang, baik sebagai warga Negara Walaupun orang asing.

2. Peniadaan Hukum

Alasan penghapus pidana ( strafuitsluitingsground ) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan pidana, meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi , tidak dapat dijatuhkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam :

1. Alasan penghapus pidana umum
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 - 51 KUHP

2. Alasan penghapus pidana khusus
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP.

Sesuai dengan ajaran daad-dader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :

a) Alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana ( strafbaarfeit ) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.

b) Alasan pemaaf ( schuldduitsluitingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban ( toerekeningsvatbaarheid ) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.

Selain dikenal adanya dasar penghapus pidana dalam undang-undang maka dikenal pula dasar penghapus pidana diluar Undang-undang. Seperti Misalnya hak mendidik dari orang tua , izin dari orang yang dirugikan (persetujuan) , hak jabatan dari dokter, penghapus pidana putative , peniadaan sifat melawan hukum dalam Arti Materiil maupun tiada kesalahan dalam arti materiil ( Afwezigheid Van Alle Schuld).


3. Poging
Di dalam hukum pidana ada di kenal dengan “Percobaan” atau dalam kata asingnya disebut “Poging”. Percobaan adalah suatu perbuatan yang timbul karena adanya niat sebagaimana telah tampak pada saat permulaan perbuatan, akan tetapi perbuatan tersebut tidak sampai selesai olah karena adanya halangan yang datang dari luar kehendak pembuat.
Ada 3 (tiga) macam unsur yang membuat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu percobaan yaitu:
1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan
2. Niat tersebut telah dimulai dilaksanakan
3. Perbuatan yang dilaksanakan tersebut tidak selesai karena adanya gangguan dari luar diri si pembuat.
Percobaan atau Poging dapat kita lihat di KUHP pada pasal 53, akan tetapi undang-undang tidak memberikan batas-batas tertentu mengenai arti percobaan itu, hanya mengemukakan ketntuan mengenai syarat-syarat agar percobaan menuju ke arah kejahatan itu dapat dihukum.
Menurut Pasal 53 KUHP , agar percobaan melakukan kejahatan (pelanggaran tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Apabila maksud untuk melakukan kejahatan itu sudah nyata
- Tindakan untuk melakukan kejahatan itu sudah dimulai
- Perbuatan tersebut cenderung menuju kearah kejahatan itu tidak terlaksana, karena pengaruh keadaan yang timbul kemudian, tetapi bukan karena kehendak si pelaku itu sendiri..
Di dalam Pasal 53 (2) KUHP menyebutkan bahwa maksimum utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan, ini menjelaskan bahwa dicantumkannya Pasal 53 dalam suatu peristiwa pidana tujuannya adalah untuk memperingan hukuman. Jadi karena adanya pengurangan ancaman hukumannya dengan sepertiga itulah akhirnya percobaan disebut juga sebagai unsur memperingan hukuman.Percobaan dapat dikatakan sebagai peringan hukuman karena tindak kejahatan telah dilakukan atau telah dimulai akan tetapi perbuatan tersebut tidak terselesaikan karena adanya halangan yang datangnya bukan dari diri si pelaku.
Bahwa dengan dimulainya suatu tindak pidana berarti bahwa pelanggaran atas ketentuan-ketentuan pidana telah dimulai pula. Contohnya saja pelanggaran terhadap pencurian sebagaimana dimaksud dalam pasal 362 KUHP yang memberi ancaman 5(lima) tahun maximum, namun karena perbuatan pencurian tersebut belum selesai dilaksanakan, sehingga dipergunakanlah sebagai alasan untuk mengurangi ancaman maximum itu dengan sepertiganya menjadi kurang lebih 3,4 (tiga tahun empat bulan).

Perancangan kontrak

PERBEDAAN ANTARA
MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DENGAN KONTRAK


MEMORANDUM OF UNDERSTANDING
KONTRAK
1.
Pengertian
❖ Nota kesepahaman yang dibuat antara subjek
hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya,
baik dalam suatu negara maupun antarnegara untuk
melakukan kerjasama dalam berbagai aspek
kehidupan dan jangka waktunya tertentu.
❖ Dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang
didasarkan pada hasil permufakatan para pihak,
baik secara tertulis maupun secara lisan. (Black’s
Law Dictionary)
❖ Perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan
diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang
mengaturnya secara detail, karena itu,
memorandum of understanding berisikan hal-hal
yang pokok saja. (Munir Fuady)
❖ Dokumen yang memuat saling pengertian di antara
para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari
memorandum of understanding harus dimasukkan
ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan
mengikat.(Erman Rajagukguk).
❖ Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.(Pasal 1313 KUH Perdata).
❖ Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak
berbuat suatu hal yang khusus (Black’s Law
Dictionary).
Page 2
❖ Suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti akan
diikuti perjanjian lainnya.(I.Nyoman Sudana)
2.
Sumber Hukum
a. Pasal 1320 KUHPerdata
b. Pasal 1338 KUHPerdata
c. UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Catatan :
ketentuan-ketentuan tersebut tidak menyebutkan
secara tegas mengenai pengertian atau substansi
Memorandum of Understanding..
d. Doktrin
e. Kebiasaan
a. Pasal 1320 KUHPerdata
b. Pasal 1338 KUHPerdata
Catatan :
Kedua ketentuan Undang-Undang tersebut
mengatur secara tegas mengenai substansi kontrak.
c. KUHD
d. Undang-Undang lainnya
e. Doktrin
f. Kebiasaan
3.
Jenis
a. MoU menurut negara yang membuatnya.
1. MoU yang bersifat nasional
2. MoU yang bersifat internasional
b. MoU menurut kehendak para pihak
1. MoU dengan maksud untuk membina ikatan
moral saja diantara mereka, dan karena itu tidak
ada pengikatan secara yuridis di antara mereka.
2. MoU dengan maksud agar para pihak
mengingin-kan dirinya terikat dalam suatu
kontrak, tetapi baru ingin mengatur
kesepakatan-kesepakatan umum saja yang
kemudian akan diatur secara mendetail dalam
a. Kontrak menurut sumbernya
1. Kontrak yang bersumber dari hukum keluarga
2. Kontrak yang berasal dari kebendan, yaitu
yang berhubungan dengan peralihan hukum
benda.
3. Kontrak obligatoir, yaitu kontrak yang menim-
bulkan kewajiban
4. Kontrak yang berasal dari hukum acara
(bewijsovereenkomst)
5. Kontrak yang berasal dari hukum publik
(publiekrechtelijke overeenkomst)
Page 3
kontrak yang lebih lengkap.
3. MoU dengan maksud agar para pihak memang
berniat untuk mengikatkan diri satu sama
laindalam suatu kontrak, tapi hal itu belum dapat
dipastikan, mengingat adanya keadaan-keadaan
atau kondisi-kondisi tertentu yang belum dapat
dipastikan.
b. Kontrak menurut namanya
1. Kontrak nominaat / kontrak bernama. (Jual
beli, tukarmenukar,sewa-menyewa, hibah,
pemberian kuasa)
2. Kontrak innominaat / kontrak tidak bernama.
(Leasing, belisewa,franchise, joint venture)
3. Kontrak campuran.
4.
c. Kontrak menurut bentuknya
1. Tertulis
2. Tidak Tertulis
d.Kontrak timbal balik
1. Kontrak timbal balik sempurna
2. Kontrak sepihak
e. Kontrak berdasarkan sifatnya
1. Kontrak kebendaan
2. Kontrak obligatoir
4.
Subjek / Pihak
a. Pihak yang berlaku secara nasional
1. Badan hukum privat Indonesia dengan badan
hukum privat Indonesia lainnya.
2. Badan hukum privat Indonesia dengan
pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
3. Badan hukum privat Indonesia dengan penegak
hukum
4. Badan hukum publik dengan badan hukum
publik lainnya
a. Kreditur, yaitu pihak yang berhak atas sesuatu
dari pihak lain
b. Debitur, yaitu pihak yang berkewajiban
memenuhi sesuatu kepada kreditur
Page 4
b. Pihak yang berlaku secara internasional
1. Pemerintah Indonesia dengan pemerintah
negara asing
2. Badan hukum privat Indonesia dengan badan
hukum privat negara asing
5.
Objek
Kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
bidang ekonomi, perhutanan, kehutanan dan lain-lain.
a. Menyerahkan sesuatu
b. Melakukan sesuatu
c. Tidak melakukan sesuatu
6.
Wilayah
berlakunya
a. Publik
1. Secara nasional
2. Secara internasional
b. Privat
Privat
7.
Jangka Waktu
Harus ditentukan secara jelas kapan mulai dan
berakhirnya tergantung kesepakatan para pihak dan
dapat diperpanjang.
Mulai berlakunya suatu kontrak harus ditentukan
secara jelas tetapi berakhirnya dapat tidak
ditentukan waktunya, sesuai dengan kesepakatan
para pihak yang membuatnya. jadi kekuatan jangka
waktu kontrak dapat terbatas maupun tidak terbatas.
8.
Struktur
a. Titel / Judul
b. Pembukaan
c. Para pihak yang membuat
d. Substansi
e. Penutup / Closing
f. Tanda tangan para pihak
a. Judul
b. Pembukaan
c. Komparasi / para pihak
d. Premis / dasar / pertimbangan
e. Isi
f. Penutup
g. Tanda tangan para pihak
h. Lampiran
Page 5
9.
10.
Kekuatan
Mengikat
Materi
Tidak mempunyai akibat/sanksi hukum yang tegas
karena hanya merupakan ikatan moral.
Hanya memuat hal-hal yang pokok saja
Mempunyai akibat/sanksi hukum yang tegas.
Memuat ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan
secara terperinci .
Page 6
Kajian :
KAJIAN TERHADAP
PERBANDINGAN ANTARA MEMORANDUM of UNDERSTANDING DAN KONTRAK
A. Latar Belakang
BPK sebagai satu lembaga negara yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap pengolaan dan tanggung jawab
keuangan negara. Terkait dengan tugasnya tersebut BPK tidak dapat berdiri sendiri melainkan memerlukan kerja sama
dengan lembaga lainnya baik lembaga publik maupun lembaga privat.
Dalam menjalin kerja sama antar lembaga diperlukan suatu pedoman sehingga menimbulkan suatu kepastian hukum
bagi kedua belah pihak, baik bagi BPK maupun lembaga yang menjadi mitra kerja sama BPK, kerjasama tersebut
dituangkan dalam bentuk kontrak atau perjanjian kerja sama.
Pada saat ini kontrak atau perjanjian kerja sama tersebut sering kali dibuat dalam bentuk nota kesepahaman atau yang
lebih dikenal dengan Memorandum of Understanding (selanjutnya disebut “MoU”), misalnya Mou antara BPK dengan
PPATK, MoU antara BPK dengan Kejaksaaan Agung, Mou tersebut biasanya dibuat secara ringkas dan berisikan hal-hal
yang pokok saja serta tidak memuat sanksi yang tegas bagi kedua belah pihak, sehingga dalam pelaksanaanya Mou
tersebut sering kali tidak dipatuhi oleh masing-masing pihak.
B. Permasalahan
Bentuk kerja sama apakah yang sesuai bagi BPK dalam melakukan kerja sama dengan lembaga atau instansi lainnya ?
Page 7
C. Pembahasan
Istilah perjanjian atau kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata mengenai perikatan yaitu dalam pasal 1313 yang
berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih”.Selain itu ketentuan yang terkait dengan permasalahan diatas adalah pasal 1320 mengenai syarat sahnya
perjanjian dan pasal 1338 mengenai asas kebebasan berkontrak. Bila dilihat dari isinya ketiga pasal tersebut dapat
menjadi dasar terbentuknya berbagai macam dan bentuk perjanjian atau kontrak dalam berbagai bidang kehidupan
selama tidak melanggar peraturan yang berlaku.
Dalam hubungan antara lembaga pada saat ini dikenal bentuk-bentuk perjanjian kerjasama baik dalam bentuk
kontrak ataupun dalam bentuk Memorandum of Understanding. Dari kedua bentuk perjanjian kerjasama tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Kontrak dapat diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus dan dapat dibuat dalam bentuk otentik ataupun di bawah tangan. Yang
membedakannya adalah kekuatan pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari, dalam kontrak memuat hal-hal yang
diperjanjikan secara terperinci dan jelas serta tegas termasuk memuat sanksi bagi para pihak jika melakukan wanprestasi
baik sengaja ataupun tidak disengaja. Jangka waktu kontrak dapat ditentukan sendiri oleh para pihak sehinnga dapat
ditentukan secara tegas mengenai kapan waktu berakhirnya ataupun tidak. BPK selaku lembaga, sering memuat
perjanjian dalam bentuk kontrak dengan pihak ketiga seperti perjajian pengadaan barang dan jasa serta perjanjian /
kontrak jasa konstruksi. Hal ini tepat, karena perjanjian-perjanjian tersebut menyangkut hal-hal yang sifatnya materiil,
sehingga jika dibuat dalam bentuk kontrak akan menjadi jelas pertanggungjawabannya.
Page 8
Pada saat ini pihak-pihak yang melakukan kerja sama sering kali menuangkannya dalam bentuk MoU. MoU sendiri
berarti dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat (Erman Rajaguguk).
MoU biasanya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan , dimana isinya ringkas, bahkan sering kali satu halaman saja.
Biasanya MoU bersifat pendahuluan saja yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian pokok yang mengatur secara
rinci / teknis mengenai hal-hal yang diperjanjikan (akan tetapi hal tersebut bukan merupakan keharusan).
MoU mempunyai jangka waktu yang pasti dan dapat diperpanjang atas persetujuan kedua belah pihak, mengenai
kekuatan mengikat dari Mou karena MoU hanya merupakan suatu ikatan moral saja, maka tidak ada pengikatan juridis di
antara para pihak, sehingga tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak, akan tetapi para pihak dapat
menindaklanjuti/melaksankan Mou dalam bentuk kontrak supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seperti telah
disebutkan bahwa BPK sering kali membuat MoU dengan pihak lain khususnya dengan lembaga / instansi lainnya, hal ini
dapat dibenarkan karena biasanya MoU tersebut isinya mengenai hal-hal yang sifatnya non materiil sehingga bila ada
salah satu pihak yang melanggar atau melakukan wanprestasi tidak menimbulkan kerugian materiil bagi BPK.
D. Kesimpulan :
Berdasarkan uraian tersebut maka bentuk kerja sama yang sesuai bagi BPK dalam melakukan kerja sama dengan instansi
/ pihak lainnya harus dilihat dari isi kerja sama tersebut terlebih dahulu, jika kerja sama tersebut bersifat materiil seperti
perjanjian jasa konstruksi serta perjanjian pengadaan barang dan jasa, sebaiknya dibuat dalam bentuk kontrak agar
Page 9
terdapat pertanggungjawaban yang jelas jika terjadi wanprestasi, akan tetapi jika substansi perjanjian tersebut non
materiil. seperti perjanjian antara BPK dengan PPATK tentang kerjasama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, cukup dibuat dalam bentuk Memorandum of Understanding atau yang lebih dikenal
dengan MoU.
Daftar Referensi :
1.
Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Salim H.S.,SH.,MS.
2.
Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Salim H.S.,SH.,MS.
3.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Konsepsi Perancangan Peraturan Perundang-Undang Dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan

Serva ordinem et ordo servabit te :“layanilah peraturan maka peraturan pun akan melayanimu”[1]

Kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional

Peraturan perundang-undangan adalah hukum tetapi hukum tidak identik dengan peraturan perundang-undangan. Bagaimanakah dan di manakah tempat peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum yang berlaku di suatu negara?

Negara Indonesia adalah negara hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum serta mendasarkan pula pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sistem hukumnya adalah sistem hukum kontinental sebagai warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Sistem hokum kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Walaupun demikian, dalam prakteknya, kita juga mengenal adanya sistem hukum lain, yaitu hukum agama, hukum adat, dan juga diakuinya yurisprudensi serta kewenangan hakim untuk menemukan hukum.

Untuk mewujudkan pembentukan hukum tertulis, diperlukan tatanan yang tertib di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan pengundangannya.

Sebagai salah satu aspek dalam rangka pembangunan hukum nasional, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sesuai dengan perkembangan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah berubah berdasarkan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Untuk mewujudkan ketentuan yang baku dan standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dengan undang-undang, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, maka berbagai ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang selama ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan yang berasal dari masa kolonial Belanda, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan kita atau yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sebagai instrumen pengatur yang sah pada negara hukum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi hukum positif yang harus ditaati dan menjadi pegangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh setiap lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.

Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tingkat perencanaan, kemudian persiapan yang termasuk juga teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Pada tingkat perencanaan, dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, dikenal instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sejak tanggal 13 Oktober 2005 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Naskah Akademik

Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan suatu Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 68 Tahun 2005). Dalam Perpres tersebut perlu tidaknya Naskah Akademik merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyiapkannya, sedangkan berdasarkan Tata Tertib DPR, penyiapan Naskah Akademik merupakan kewajiban dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung kewajiban berdasarkan tata Tertib DPR tersebut berimbas kepada Pemerintah untuk juga menyiapkan Naskah Akademik. Jika Pemerintah tidak menyiapkan Naskah Akademik, maka suatu RUU yang diajukan tanpa Naskah Akademik tidak bisa untuk masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.

Naskah Akademik dianggap penting sebagai landasan dalam penyusunan suatu RUU, hal ini sesuai dengan definisnya bahwa setidak-tidaknya suatu RUU dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsinya (berkaitan dengan latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturannya).

Naskah Akademik merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering dikemukakan bahwa dalam pertimbangan suatu RUU selalu dicantumkan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis mengingatkan bahwa betapa dasar atau landasan tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang mendasarkan pada filosofis dan yuridis.

Berdasarkan Naskah Akademik, maka fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan bersama antara Pemerintah dan DPR (atau Pemda dan DPRD), tanpa memihak pada kepentingan golongan atau kepentingan individu. Jika Naskah Akademik yang dibuat mendasarkan pada urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup pengaturan, atau objek yang akan diatur, jangkauang serta arah pengaturan sesuai dengan yang dikehendaki masyarakat, maka proses bottom up sebagaimana yang selama ini diinginkan masyarakat akan terwujud.

Dengan demikian, Naskah Akademik sebagai naskah yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan suatu Rancangan Undang-Undang, harus dibuat berdasarkan penelitian dan pengkajian terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat yang memerlukan pemecahannya melalui undang-undang dengan menggunakan metodologi yang baik.

Perancangan Peraturan Perundang-undangan

Perancangan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu tahap dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan perancangan, seorang perancang atau pengambil kebijakan harus memperhatikan beberapa hal.

Agar suatu peraturan perundang-undangan ditaati secara spontan dan bukan dengan paksaan, suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai dasar berlaku yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar suatu peraturan perundang-undangan mempunyai kekuatan berlaku yang baik, yaitu, mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis.[2]

Selain itu, untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, perlu diperhatikan berbagai asas (beginselen van behoorlijke regelgeving). Beberapa pendapat mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain, Van der Vlies dan Prof. Hamid S. Attamimi yang membedakan asas-asas tersebut antara asas formil dan asas materiil.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, asas formil yang dimaksud adalah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas-asas di atas, untuk peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, misalnya, materi muatan hukum pidana mengandung asas legalitas, tidak berlaku surut, tiada hukuman tanpa kesalahan, praduga tak bersalah, pembinaan terhadap narapidana. Sedangkan dalam hukum perdata, contohnya, syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan, adanya kebebasan dalam berkontrak, adanya itikad baik, dan adanya hal-hal tertentu.
Bentuk dan Jenis Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan kekuatan hukumnya sesuai dengan hierarki urutannya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut, jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. UU/Perpu;

3. PP;

4. Perpres;

5. Perda.

Sedangkan jenis peraturan perundang-undangan lainnya diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam pembentukan peraturan, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah. Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Yang dapat mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan. Dengan demikian, pembentuk peraturan perundang-undangan (perancang) dituntut untuk selalu melakukan tugas pengharmonisan dan sinkronisasi dengan peraturan yang ada dan/atau terkait pada waktu menyusun peraturan.

Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas masing-masing (departemen terkait atau dinas terkait) yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya.

Pengetahuan mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-undangan karena :

1. setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya;

2. tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapa dijadikan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan;

3. pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal :

a. pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.

b. dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori);

c. dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;

d. dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis derogat lex generalis).

4. pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan kaitannya dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Undang-undang dan Perda bermateri muatan salah satunya adalah pengaturan hak asasi manusia dan pengaturan sanksi yang memberatkan atau membebani rakyat.

Hak dan Kewenangan Pengujian Undang-Undang

Untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan, berdasarkan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kekuasaan kehakiman selain dilakukan oleh Mahkamah Agung juga dikenal adanya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (

judicial review). Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicialreview tersebut, maka pembentuk peraturan perundang-undangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus memahami benar konsep pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari segi yuridis, sosiologis, maupun filosofisnya.

· Kepala Subdit. Pembinaan dan Pengembangan Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM;

· Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan yang difasilitasi oleh Pusdiklat SPIMNAS Bidang TMKP Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 28 Maret 2007.

·

[1] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta: 2002.

[2] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992.

Hukum Adat Batak

Sejak dahulu kala etnis Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini.Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Prof DR B Simanjuntak, 2001).

Pada saat sekarang ini dalam setiap pelaksanaan adat Batak Toba seringkali terjadi ketegangan, perbedaan pendapat walaupun jarang yang menimbulkan konflik, (jarang bukan berarti tidak pernah). Kenapa hal ini bisa terjadi? Banyak hal yang dapat menimbulkannya antara lain, faktor agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, defusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan berlainan suku, pengaruh era globalisasi dan lain-lain. Faktor-faktor inilah menyebabkan pergeseran pelaksanaan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang. Sebenarnya hal ini sudah diantisipasi oleh tokoh adat Raja Patik Tampubolon setelah masuknya agama (Kristen) ke tanah Batak Toba.

Beliau mengelompokkan pergeseran adat itu dalam 3 bahagian dan diimplementasikan oleh DR AB Sinaga dalam tiga species dalam pelaksanaan adat tersebut yaitu, Adat Inti, Adat na Taradat, dan Adat na Niadathon. Dalam perkembangan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang muncul 1 (satu) spesies lagi yaitu Adat na Soadat.

Untuk menghindarkan ketegangan dan beda pendapat kita harus mengetahui dan semufakat bahagian adat manakah yang akan dilaksanakan dalam suatu upacara adat dari ke 4 (empat) spesies upacara adat.

1. ADAT INTI
Adat inti mencakup seluruh kehidupan yang terjadi pada penciptaan dunia oleh Debata Mulajadi Nabolon. Adat inti diberikan bersamaan dengan penciptaan. Sesudah Mulajadi Nabolon menciptakan dewa tiga serangkai yaitu Batara Guru, Bala Sori dan Bala Bulan, maka dengan segera dimamahkanlah kepada mereka undang-undang dan hukum untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Tatkala pada awal mula manusia pertama dicipta (ada) di dunia ini maka Mula Jadi Nabolon memeteraikan “adat” dalam diri manusia tersebut serta memeteraikan undang-undang dan hukum ke dalam hati mereka tentang yang boleh dan terlarang, yakni “terlarang” (tongka), “jangan” (unang) dan tak patut (naso jadi). Dengan demikian, Adat Inti mutlak harus dituruti dan dilaksanakan sebagai undang-undang, adat dan hukum dalam kehidupan, seperti yang ditegaskan dalam ungkapan berikut :

Adat do ugari
Sinihathon ni Mulajadi
Siradotan manipat ari
Siulahonon di siulu balang ari

artinya :
Adat adalah aturan yang ditetapkan oleh Tuhan Pencipta, yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam kehidupan (Simanjuntak, 1966).

Harus diakui bahwa adat dilakukan pada saat sekarang oleh masyarakat Batak Toba adalah mengacu pada Adat Inti, walaupun secara empirik tata cara Adat Inti ini tidak pernah lagi dilaksanakan secara utuh. Sifat adat inti adalah “primer” dalam arti mendahului dan konsitutif terhadap yang lain yang mengemban muatan etis normatif dan kemutlakan serta konservatif (tidak berubah). Pelaksanaan Adat Inti tidak boleh dimufakati untuk mengobahnya dalam upacara adat karena terikat dengan norma dan aturan yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (sebelum agama mempengaruhi sikap etnis Batak Toba terhadap upacara adat).

Misalnya menentukan hari pelaksanaan upacara adat (maniti ari), menentukan media dan adat yang akan digunakan dalam upacara adat. Misalnya menentukan daging yang akan dimakan, kerbau, lembu atau babi, tergantung pada jenis adat yang dilaksanakan. Gondang sabangunan atau uning-uningan, musik tiup, key board tidak dikenal (tidak diperbolehkan) dalam pelaksanaan adat inti, dan banyak lagi norma-norma yang mutlak harus ditaati dan dipenuhi sejak merencanakan kegiatan, hari pelaksanaan dan sesudah upacara adat.

Karena adat inti ini mutlak dan konservatif serta mengemban muatan etis normatif pelaksanaannya tidak bisa diobah. Misalnya, acara adat sari matua tidak bisa diobah menjadi acara adat saur matua dan lain-lain. Menurut RP Tampubolon menuruti atau melanggar adat inti sebagai undang-undang (patik) dan hukum (uhum) adalah soal hidup atau mati, melanggar dan mengobahnya adalah dosa berat yang mengakibatkan kebinasaan.

Dengan uraian tentang Adat Inti di atas maka kita pada saat sekarang yang masih setia melaksanakan upacara adat, kita tidak mungkin lagi (tidak mampu) melaksanakannya sesuai dengan iman berdasarkan agama yang kita anut dan inilah merupakan pergeseran pelaksanaan adat yang kita laksanakan.

2. ADAT NA TARADAT
Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga-warga masyarakat.

Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme.

Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.

Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi
Napinungka ni ompunta na parjolo
Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi

(Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang). Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.

Ungkapan ini menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain :

Aek godang tu aek laut
Dos ni roha do sibahen na saut, artinya
Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan

Nangkok si puti tuat si deak
a i na ummuli ima tapareak, artinya
Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan

Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.

Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat yang telah ditentukan.

Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip. Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (baca delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.

Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).

Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).

Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan. Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.
3. Adat na Niadathon
Adat na Niadathon yaitu tingkatan pelaksanaan tata upacara adat yang sudah dipengaruhi kebudayaan dan peradaban yang telah menjadi kebiasaan dan kelaziman baru. Melalui kebiasaan pelaksanaan adat pada species 2 yaitu Adat na Taradat terjadilah pergeseran-pergeseran nilai dan perobahan pelaku adat untuk menyikapi pelaksanaan upacara adat inti, melainkan memunculkan “adat baru” melawan dan menindas tata laksana upacara adat inti. Bentuk-bentuk kegiatan upacara adat yang baru pun muncul antara lain upacara adat wisuda, babtisan anak, lepas sidi, perayaan ulang tahun, peresmian perusahaan, dan lain-lain, yang sebenarnya jenis upacara adat di atas tidak dijumpai pada upacara adat Batak Toba khususnya pada adat inti.

Pada upacara adat dalam species Adat na Niadathon ini sangat dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Di sini keterbukaan pintu adaptasi terhadap budaya dan kebiasaan dari luar atau pengaruh era globalisasi telah digunakan untuk merongrong dan menjajah adat inti atau adat asli yang selalu dilaksanakan etnis Batak Toba yang lama kelamaan menjadi memudar dan kabur, dan mungkin pada suatu saat akan tidak jelas dan pada akhirnya akan lenyap.

4. Adat na Soadat
Spesies adat berikut ini secara harafiah Adat na Soadat adalah adat yang bukan adat, karena tata laksana upacara adat disini tidak lagi berdasarkan struktur dan sistematika yang lazim dilaksanakan oleh etnis Batak Toba. Upacara yang dilaksanakan adalah sekedar “ngumpul” dalam bentuk resepsi, baik dalam upacara perkawinan, kematian dan lain-lain.

Struktur kekerabatan Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pihak pengambilan boru), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak yang mengambil isteri) tidak lagi difungsikan, demikian juga halnya simbol-simbol dan media yang digunakan dalam upacara adat seperti dengke (ikan), boras (beras), ulos, jambar (daging yang dibagi-bagikan sesuai dengan kedudukan (status) kekerabatan (affina) seseorang pada upacara adat) dan lain-lain semua disingkirkan. Dalam penolakan upacara adat dalam spesies Adat na Soadat ini umpama Batak Toba menyebutkan :

Mumpat taluktuk, sega gadu-gadu
Nunga muba adat naung buruk ala ro adat naimbaru,
(Tercabut patok, rusak pembatas sawah, adat yang lama telah berobah karena sudah datang adat yang baru).

Ungkapan ini sebenarnya berkonotasi yang tidak baik karena patok adalah petunjuk yang ditetapkan dan dimufakati justru dicabut, maka ketetapan boleh dilanggar, hal ini akan menimbulkan ketegangan dan perpercahan. Pembatas sawah yang dianalogikan sebagai aturan dan batas-batas tindakan dan perilaku dengan dasar nilai-nilai adat sudah rusak akan menimbulkan kekhaosan, pertentangan dan perpercahan.

Kelompok yang menolak upacara adat ini adalah sebahagian dari kelompok agama Kristen sekte kharismatik dan juga kelompok agama Kristen Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan mungkin individu-individu pada gereja suku yang menolak pelaksanaan upacara adat. Menurut kelompok ini upacara adat berasal dari leluhur yang masih hidup dalam penyembahan berhala pada masa kegelapan sebelum agama Kristen masuk ke daerah Batak Toba. Oleh karena itu upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan segala ide, gagasan, paradigma, norma kuasa roh kegelapan yang ada di belakangnya dengan demikian upacara adat sangat bertentangan dengan hukum dan Firman Tuhan (H J Silalahi, 2004).

Kelompok Kharismatik yang menolak upacara adat perkembangannya sangat pesat termasuk di Indonesia. Menurut Pdt Burju Purba dalam waktu relatif singkat sejak tahun 1960 sampai sekarang sudah memiliki anggota lebih kurang 500 juta jiwa di dunia. Menurut penelitian David Berret, umat Kristiani di dunia saat ini terdiri dari gerakan Kharismatik 44 %, Katolik 33 % dan selebihnya 22 % di luar Katolik dan Kharismatik (SIB, 7 Maret 2004). Perkembangan jumlah jemaat Kharismatik akan terus bertambah diprediksi tidak lama lagi hanya 2 (dua) komunitas kristen di dunia ini yaitu komunitas sekte Kharismatik dengan persentase lebih besar dan sekte Katolik dalam persentase yang lebih kecil. Dengan demikian apabila sekte Kharismatik konsisten menolak upacara adat, maka dalam hitungan tahun upacara adat Batak Toba tidak lagi sekedar bergeser tetapi akan tamatlah riwayatnya.

Penutup
“Seandainya” ada sisi negatif dari pelaksanaan upacara adat tetapi masih lebih banyak sisi positifnya. Oleh karena itulah masih banyak (mayoritas) etnis Batak Toba melaksanakan upacara adat. Adat yang dilaksanakan pada saat sekarang adalah berlandaskan kepada ajaran agama yang diterangi oleh Firman Tuhan. Dengan demikian adat merupakan media perwujudnyataan “kasih” seperti yang diajarkan oleh Tuhan Allah. Sesudah agama Kristen dianut mayoritas etnis Batak Toba fungsi adat sebagai mengatur kehidupan manusia untuk menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan, dikonotasikan dalam istilah hadameon (kedamaian), bukan menciptakan ketegangan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu seluruh komponen khususnya etnis Batak Toba berkewajiban melestarikan adat Batak Toba itu.

Kepada saudara-saudara dari kelompok sekte Kharismatik dan kelompok-kelompok lainnya yang menolak upacara adat Batak Toba perlu disadari bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Lebih-lebih satu rumpun keluarga yang masuk dalam sistem kekerabatan. Manusia hidup di tengah-tengah kemajemukan suku, agama, ras dan adat. Supaya hidup berdampingan rukun dan damai tidak mungkin dipaksakan suatu norma aturan dan hukum yang digariskan dengan satu sudut pandang satu agama untuk itu perlu tenggang rasa dan saling menghargai, menghindarkan kekhaosan perpecahan dan konflik.

Perbandingan Hukum Pewarisan Menurut BW dan Hukum Adat Bali

Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya menjadi anak laki-laki.

Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan. Dari uraian tersebut penelitian ini mengambil fokus kajian tentang Perbandingan Hukum Pewarisan menurut Hukum Adat Bali dan BW.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mempelajari berbagai bentuk literatur hukum termasuk diantaranya adalah: yurisprudensi, peraturan, penelitian, mailing list, bahan kajian hukum lainnya yang relevan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan hak waris menurut Adat Bali dan menurut BW serta untuk mengetahui kedudukan laki-laki dalam hal hak waris menurut BW dan Hukum Adat Bali.
Penelitian ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa Hukum Adat Bali dan BW sama-sama memiliki asas bahwa harta diwariskan setelah pewaris meninggal dunia dan asas penggantian tempat ahli waris. Perbedaan antara masing-masing hukum pewarisan adalah bahwa Hukum Adat Bali mengenal pewarisan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat yang dapat diwariskan sebelum pewaris meninggal (dengan alasan ketidakmampuan pewaris untuk menjalankan tugasnya dalam masyarakat), sementara hal tersebut tidak diatur dalam BW. Dalam Hukum Adat Bali asas pewarisan yang dianut adalah patriarkhi dimana pihak laki-laki sebagai ahli waris, sementara dalam BW baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi ahli waris.

Hukum Adat

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera untuk kita semua, sebelumnya kami mengucapkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa , karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan tugas ini dapat kami selesaikan.

Tugas ini di susun untuk memenuhi nilai tugas program Semester-2 fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.

Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sebagai masukan di waktu yang akan datang.

Selesainya tugas ini tidaklah terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta saran dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.

Demikian hal ini disampaikan secara tertulis, atas perhatiannya kami ucapakan terima kasih.

Batam, 07-07- 2008

Kelompok I

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI……..……………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Definisi Hukum Adat…....………………………………………. 3

BAB II MANFAAT HUKUM ADAT

2.1 Hukum adat dan Budaya Hukum Indonesia.……………………..4

2.2 Masyarakat Hukum Adat Indonesia……………………………...4

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Hubungan hukum adat Indonesia dengan Pasal 28 (1)……..…….5

BAB IV KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan………………………………………………………..6

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Hukum Adat

Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.

Kepribadian bangsa kita dapat dilihat dari keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada Lambang negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua).

Dengan mempelajari hukum adat di Indonesia maka kita akan mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum Indonesia, dan sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional.

Berkat hasil penelitian Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian bangsa Indonesia semenjak tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang – undang dasarnya dapat mewujudkan tata hukum Indonesia.

Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun 1850.

3

BAB II

Manfaat Hukum Adat
2.1 Hukum Adat dan Hukum Indonesia

Masyarakat Indonesia memiliki kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan yakni membangun dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Kedinamikaan suku merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah hukum adat yang ditransformkan menjadi hukum nasioanal dan dicantumkan dalam UUD 1945.

Mempelajari hukum adat maka kita akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk menurut kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan dengan hukum nasional.

Hukum di Indonesia salah satunya bersumber dari costum, dimana sumber tersebut mengikuti perkembangan zaman dan harus disesuaikan dengan azas – azas hukum yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa. Suatu peraturan yang telah diundangkan harus disepakati dan dipatuhi bersama dengan tidak ada pengecualian.

2.2 Masyarakat Hukum Adat Indonesia

Di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum adat yang diantaranya:

1. Masyarakat Hukum Territorial

2. Masyarakat Hukum Genealogis

3. Masyarakat Hukum Territorial – Genealogis

4. Masyarakat Hukum Adat – Keagamaan

5. Masyarakat Adat di Perantauan

6. Masyarakat Adat lainnya.

4

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Hubungan hukum adat Indonesia dengan Pasal 28 (1)

Hubungan hukum adat Indonesia dengan pasal 28 (1) adalah bahwa hakim memenuhi kekosongan hukum, apabila hakim menambah peraturan - perundangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku.

Menurut Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (Open System Van het Recht). Pendapat itu lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.

Berhubung dengan itulah telah menimbulkan konsekwensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipiil pada sistem hukum yang berlaku.

Hukum di Indonesia berasal dari Hukum Eropa Kontinental, kebiasaan (Adat) dan hukum Islam, dan melalui interprestasi hakim dapat menyelaraskan keputusan yang mungkin sulit diambil dalam pengadilan.


5

BAB IV

KESIMPULAN

Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Suatu hal yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok masyarakat

Kelemahan KUHAP dalam Praktek

Sumber resmi yang menyebut KUHAP sebagai sebuah karya Agung adalah pada tanggal 25 Januari 1982, saat berlangsung penataran Hukum Acara Pidana di Departemen Penerangan, oleh Nasrun Syachrun yang saat itu menjabat Sekjen Departemen Kehakiman. Argumentasinya saat itu adalah, bahwa KUHAP sangat berbeda dengan HIR dan banyak mengatur hal yang baru, misalnya pengakuan akan Hak Asasi Manusia (Hak tersangka/terdakwa)



Kini setelah 26 tahun berlakunya KUHAP, ternyata juga timbul masalah “Agung” yang lain. Jejak-jejak Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) ternyata tidak terhapus. Sebab ternyata KUHAP tidak “berdaya” untuk itu. Singkatnya mari kita mencoba melihat beberapa fakta berikut ini.



Korban tindak pidana (delik biasa atau aduan) setelah melaporkan kasusnya, kadang surat bukti pelaporan tidak segera diberikan, hal bisa dijadikan lahan pemerasan, sebab pihak terlapor kadang langsung dihubungi oleh petugas dan memberitahukan bahwa yang bersangkutan dilaporkan melakukan tindak pidana, mau diproses atau tidak semuanya bisa diatur. (RUU KUHAP harus mengatur batas waktu soal proses pelaporan polisi untuk ditingkatkan menjadi penyidikan serta pelapor diberikan akses untuk mengetahui perkembangan kasusnya)



Masalah lain, terkadang pelapor harus menjadi korban dua kali, selain korban tindak pidana, ia harus berkorban materi dan waktu. Karena tidak jelasnya proses laporan, pelapor harus bolak balik untuk menanyakan perkembangan kasusnya, selain itu sering dimintai uang bensin, rokok, pembeli kertas, pulsa.



Dalam KUHAP, telah diatur soal, telah di atur beberapa hal seperti : Hak-hak tersangka/terdakwa, Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan, Dasar Hukum Penangkapan/Penahanan serta jangka waktunya, Ganti kerugian dan rehabilitasi, Penggabungan perkara perdata ke dalam perkara pidana, Upaya hukum, Koneksitas, Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan



Dalam KUHAP sekitar 19 hak tersangka diatur, yang seharusnya diselaraskan dengan asas praduga tidak bersalah, tapi yang terjadi adalah pengaburan hak-hak tersebut dengan mengedepankan praduga bersalah. Misalnya dalam hal penangkapan/penahanan, dasar hukum yang dijadikan acuan berupa surat perintah, dibuat kemudian (tanggalnya dimundurkan) walaupun kejadian ini tersedia juga lembaga praperadilan untuk mengujinya.



Banyak kasus penangkapan/penahanan yang tidak disertai dengan surat perintah, dan ketika diuji oleh lembaga praperadilan, semuanya menjadi sah. Modusnya adalah, penyidik segera membuatkan surat perintah penangkapan/penahanan selain penyesuaian tanggal, juga buku register surat diubah sedemikian rupa, sehingga seolah-olah telah ada ekspedisi surat yang dimaksud. (Buku register surat ditulis ulang atau dihapus/tipe-ex pada bagian tertentu).



Nah, pemeriksaan sidang praperadilan tidak menguji hal ini, sebab cukup diperlihatkan adanya surat perintah kemudian didukung oleh registrasi surat, maka hakim praperadilan akan menyatakan sah penangkapan/penahanan yang sedang diuji. Jadi lembaga ini juga nyaris tidak berdaya, sebab hanya menjadi lembaga penguji formalitas belaka. Demikian halnya dalam hal penggeledahan/penyitaan, yang untuk kondisi normal harus ada isin dari Ketua Pengadilan setempat, tapi dalam praktek geledah/sita dulu, masalah isin bisa belakangan. (RUU KUHAP harus memperluas wewenang lembaga praperadilan atau disandingkan dengan rencana lembaga Hakim Komisioner)



Praktek lain yang terjadi adalah, jika terjadi sidang praperadilan, dan ternyata penyidik sulit untuk menghidari tentang tidak adanya (tidak sahnya) surat perintah penangkapan/penahanan, maka berkas perkara buru-buru dilimpahkan ke Kejaksaan, dan pihak JPU (berdasar rasa toleran) buru-buru juga melimpahkan ke Pengadilan (dan biasanya karena rasa toleransi juga) dan hakim langsung melakukan pemeriksaan pokok perkara, maka praperadilan dianggap gugur. (RUU KUHAP, jika masih tetap mempertahankan lembaga praperadilan, maka diatur bahwa selama ada pemeriksaan praperadilan, perkara pokok tidak bisa diperiksa sampai praperadilan dinyatakan selesai)



Dalam prakteknya, orang yang diduga/disangka melakukan suatu tindak pidana, masih sering diperlakukan tidak manusiawi, misalnya terjadi kekerasan fisik atas dirinya. Salah satu hal yang menjiwai KUHAP adalah seorang tersangka akan merasa aman jika berada dikantor polisi, tapi faktanya berbicara lain, Coba perhatikan beberapa tahanan meringis kesakitan begitu mereka di kantor polisi.





Masalah surat perintah penangkapan seharusnya terbit sesuai dengan Pasal 17 KUHAP, yang mengisyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup, penjelasan pasal 17 KUHAP menyebutkan yang dimaksud bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana……..dst.



Tetapi mengapa dengan menduga adanya tindak pidana, tersangka yang ditangkap kerap digebuki, bahkan dipertontonkan ke publik (perhatikan tayangan kriminal di TV). KUHAP seharusnya menjamin secara tegas bahwa seseorang yang baru diduga melakukan tindak pidana tidaklah boleh disiksa. Pimpinan organisasi satuan Polri, seharusnya tidak menutup mata atas praktek-praktek seperti ini. (RUU KUHAP seharusnya memuat aturan bagi aparatus kepolisian yang melakukan kekerasan seperti ini, termasuk pimpinannya)



Pada proses penangkapan (kecuali tertangkap tangan), yang tidak disertai surat perintah, sangat sering petugas yang melakukannya cukup mengatakan ”sekarang ikut ke kantor dan nanti di sana dijelaskan semuanya” (RUU KUHAP seharusnya mengatur bahwa pada saat proses penangkapan, petugas wajib untuk segera membacakan segala hak-hak tersangka, jika tidak, penangkapan dinilai tidak sah dan petugas yang melakukan harus dikenai sanksi yang tegas)



Pada proses penahanan, sungguh-sungguh subjektifitas yang dikedepankan (tanpa menafikkan objektifitas ) Masalah penahanan saat ini menjadi ladang subur untuk memeras (termasuk soal perubahan status penahan). Dalam praktek, seorang tersangka ditahan atau tidak, bisa diatur. Penyidik tanpa risih dengan terbuka melakukan tindakan pemerasan kepada tersangka. ”Anda mau ditahan atau tidak, kalau tidak kita bisa atur, yang penting anda mengerti komandan saya” kalimat ini tidak asing lagi.



Coba kita lihat Pasal 21 (1) KUHAP, bahwa perintah penahanan dilakukan berdasarkan bukti yang cukup (jadi bukan lagi bukti permulaan yang cukup) dengan kekuatiran (bukan keyakinan) tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Persoalannya kemudian, bagaimana kalau tersangka/terdakwa karena sesuatu keadaan atau kondisi diyakini tidak akan melarikan diri, apakah masih layak untuk ditahan.



Demikian juga kekuatiran merusak atau menghilangkan barang bukti, pertanyaan besarnya, bukankah sebuah kasus setelah dinyatakan lengkap (P21 atau dilimpahkan ke pengadilan) semua barang bukti telah disita, jadi alasan ini tidaklah logis. Sebab, jika alasan ini juga dipakai berarti berkas belumlah lengkap, sebab ternyata masih ada barang bukti yang belum disita dan tersangka dikuatirkan akan merusak atau menghilangkannya. (RUU KUHAP harus mengatur secara jelas unsur objektifitasnya tanpa subjektifitas dan penahanan hanya satu jenis yaitu penahanan rutan (sama dengan HIR), tanpa ada penangguhan kecuali keadaan darurat, dan yang bisa ditahan semua tindak pidana yang ancaman hukumannya 1 tahun lebih tanpa ada pasal-pasal tertentu lagi).