Entri Populer

Jumat, 08 Januari 2010

Kelemahan KUHAP dalam Praktek

Sumber resmi yang menyebut KUHAP sebagai sebuah karya Agung adalah pada tanggal 25 Januari 1982, saat berlangsung penataran Hukum Acara Pidana di Departemen Penerangan, oleh Nasrun Syachrun yang saat itu menjabat Sekjen Departemen Kehakiman. Argumentasinya saat itu adalah, bahwa KUHAP sangat berbeda dengan HIR dan banyak mengatur hal yang baru, misalnya pengakuan akan Hak Asasi Manusia (Hak tersangka/terdakwa)



Kini setelah 26 tahun berlakunya KUHAP, ternyata juga timbul masalah “Agung” yang lain. Jejak-jejak Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) ternyata tidak terhapus. Sebab ternyata KUHAP tidak “berdaya” untuk itu. Singkatnya mari kita mencoba melihat beberapa fakta berikut ini.



Korban tindak pidana (delik biasa atau aduan) setelah melaporkan kasusnya, kadang surat bukti pelaporan tidak segera diberikan, hal bisa dijadikan lahan pemerasan, sebab pihak terlapor kadang langsung dihubungi oleh petugas dan memberitahukan bahwa yang bersangkutan dilaporkan melakukan tindak pidana, mau diproses atau tidak semuanya bisa diatur. (RUU KUHAP harus mengatur batas waktu soal proses pelaporan polisi untuk ditingkatkan menjadi penyidikan serta pelapor diberikan akses untuk mengetahui perkembangan kasusnya)



Masalah lain, terkadang pelapor harus menjadi korban dua kali, selain korban tindak pidana, ia harus berkorban materi dan waktu. Karena tidak jelasnya proses laporan, pelapor harus bolak balik untuk menanyakan perkembangan kasusnya, selain itu sering dimintai uang bensin, rokok, pembeli kertas, pulsa.



Dalam KUHAP, telah diatur soal, telah di atur beberapa hal seperti : Hak-hak tersangka/terdakwa, Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan, Dasar Hukum Penangkapan/Penahanan serta jangka waktunya, Ganti kerugian dan rehabilitasi, Penggabungan perkara perdata ke dalam perkara pidana, Upaya hukum, Koneksitas, Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan



Dalam KUHAP sekitar 19 hak tersangka diatur, yang seharusnya diselaraskan dengan asas praduga tidak bersalah, tapi yang terjadi adalah pengaburan hak-hak tersebut dengan mengedepankan praduga bersalah. Misalnya dalam hal penangkapan/penahanan, dasar hukum yang dijadikan acuan berupa surat perintah, dibuat kemudian (tanggalnya dimundurkan) walaupun kejadian ini tersedia juga lembaga praperadilan untuk mengujinya.



Banyak kasus penangkapan/penahanan yang tidak disertai dengan surat perintah, dan ketika diuji oleh lembaga praperadilan, semuanya menjadi sah. Modusnya adalah, penyidik segera membuatkan surat perintah penangkapan/penahanan selain penyesuaian tanggal, juga buku register surat diubah sedemikian rupa, sehingga seolah-olah telah ada ekspedisi surat yang dimaksud. (Buku register surat ditulis ulang atau dihapus/tipe-ex pada bagian tertentu).



Nah, pemeriksaan sidang praperadilan tidak menguji hal ini, sebab cukup diperlihatkan adanya surat perintah kemudian didukung oleh registrasi surat, maka hakim praperadilan akan menyatakan sah penangkapan/penahanan yang sedang diuji. Jadi lembaga ini juga nyaris tidak berdaya, sebab hanya menjadi lembaga penguji formalitas belaka. Demikian halnya dalam hal penggeledahan/penyitaan, yang untuk kondisi normal harus ada isin dari Ketua Pengadilan setempat, tapi dalam praktek geledah/sita dulu, masalah isin bisa belakangan. (RUU KUHAP harus memperluas wewenang lembaga praperadilan atau disandingkan dengan rencana lembaga Hakim Komisioner)



Praktek lain yang terjadi adalah, jika terjadi sidang praperadilan, dan ternyata penyidik sulit untuk menghidari tentang tidak adanya (tidak sahnya) surat perintah penangkapan/penahanan, maka berkas perkara buru-buru dilimpahkan ke Kejaksaan, dan pihak JPU (berdasar rasa toleran) buru-buru juga melimpahkan ke Pengadilan (dan biasanya karena rasa toleransi juga) dan hakim langsung melakukan pemeriksaan pokok perkara, maka praperadilan dianggap gugur. (RUU KUHAP, jika masih tetap mempertahankan lembaga praperadilan, maka diatur bahwa selama ada pemeriksaan praperadilan, perkara pokok tidak bisa diperiksa sampai praperadilan dinyatakan selesai)



Dalam prakteknya, orang yang diduga/disangka melakukan suatu tindak pidana, masih sering diperlakukan tidak manusiawi, misalnya terjadi kekerasan fisik atas dirinya. Salah satu hal yang menjiwai KUHAP adalah seorang tersangka akan merasa aman jika berada dikantor polisi, tapi faktanya berbicara lain, Coba perhatikan beberapa tahanan meringis kesakitan begitu mereka di kantor polisi.





Masalah surat perintah penangkapan seharusnya terbit sesuai dengan Pasal 17 KUHAP, yang mengisyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup, penjelasan pasal 17 KUHAP menyebutkan yang dimaksud bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana……..dst.



Tetapi mengapa dengan menduga adanya tindak pidana, tersangka yang ditangkap kerap digebuki, bahkan dipertontonkan ke publik (perhatikan tayangan kriminal di TV). KUHAP seharusnya menjamin secara tegas bahwa seseorang yang baru diduga melakukan tindak pidana tidaklah boleh disiksa. Pimpinan organisasi satuan Polri, seharusnya tidak menutup mata atas praktek-praktek seperti ini. (RUU KUHAP seharusnya memuat aturan bagi aparatus kepolisian yang melakukan kekerasan seperti ini, termasuk pimpinannya)



Pada proses penangkapan (kecuali tertangkap tangan), yang tidak disertai surat perintah, sangat sering petugas yang melakukannya cukup mengatakan ”sekarang ikut ke kantor dan nanti di sana dijelaskan semuanya” (RUU KUHAP seharusnya mengatur bahwa pada saat proses penangkapan, petugas wajib untuk segera membacakan segala hak-hak tersangka, jika tidak, penangkapan dinilai tidak sah dan petugas yang melakukan harus dikenai sanksi yang tegas)



Pada proses penahanan, sungguh-sungguh subjektifitas yang dikedepankan (tanpa menafikkan objektifitas ) Masalah penahanan saat ini menjadi ladang subur untuk memeras (termasuk soal perubahan status penahan). Dalam praktek, seorang tersangka ditahan atau tidak, bisa diatur. Penyidik tanpa risih dengan terbuka melakukan tindakan pemerasan kepada tersangka. ”Anda mau ditahan atau tidak, kalau tidak kita bisa atur, yang penting anda mengerti komandan saya” kalimat ini tidak asing lagi.



Coba kita lihat Pasal 21 (1) KUHAP, bahwa perintah penahanan dilakukan berdasarkan bukti yang cukup (jadi bukan lagi bukti permulaan yang cukup) dengan kekuatiran (bukan keyakinan) tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Persoalannya kemudian, bagaimana kalau tersangka/terdakwa karena sesuatu keadaan atau kondisi diyakini tidak akan melarikan diri, apakah masih layak untuk ditahan.



Demikian juga kekuatiran merusak atau menghilangkan barang bukti, pertanyaan besarnya, bukankah sebuah kasus setelah dinyatakan lengkap (P21 atau dilimpahkan ke pengadilan) semua barang bukti telah disita, jadi alasan ini tidaklah logis. Sebab, jika alasan ini juga dipakai berarti berkas belumlah lengkap, sebab ternyata masih ada barang bukti yang belum disita dan tersangka dikuatirkan akan merusak atau menghilangkannya. (RUU KUHAP harus mengatur secara jelas unsur objektifitasnya tanpa subjektifitas dan penahanan hanya satu jenis yaitu penahanan rutan (sama dengan HIR), tanpa ada penangguhan kecuali keadaan darurat, dan yang bisa ditahan semua tindak pidana yang ancaman hukumannya 1 tahun lebih tanpa ada pasal-pasal tertentu lagi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar