Entri Populer

Selasa, 29 Desember 2009

Filsafat Pancasila

SISTEM FILSAFAT PANCASILA
(TEGAK SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN PANCASILA - UUD PROKLAMASI 45 )


Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, SH



I. LATAR BELAKANG SEJARAH NILAI DAN FUNGSI FILSAFAT

Budaya dan peradaban umat manusia berawal dan berpuncak dengan nilai-nilai filsafat yang dikembangkan dan ditegakkan sebagai sistem ideologi. Maknanya nilai filsafat sebagai jangkauan tertinggi pemikiran untuk menemukan hakekat kebenaran ( kebenaran hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup, pandangan hidup, (Weltanschauung); sekaligus memancarkan jiwa bangsa, jatidiri bangsa (Volksgeist) dan martabat nasional !.
Integritas filsafat Pancasila terjabar sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila dengan visi-misi sebagai diamanatkan dalam UUD Proklamasi 45.
Menegakkan integritas sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 adalah pembudayaan filsafat Pancasila dan ideologi nasional Indonesia Raya!

A. Makna, Sejarah, dan Fungsi Filsafat
Istilah filsafat secara etymologis terbentuk dari kata bahasa Yunani: filos dan sophia. Filos = friend, love; sophia = learning, wisdom. Jadi, makna filsafat = (orang) yang bersahabat dan mencintai ilmu pengetahuan, serta bersikap arif bijaksana. Karena itulah diakui orang belajar filsafat berarti mencari kebenaran sedalam-dalamnya, kemudian menghasilkan sikap hidup arif bijaksana. Demikian pula para pemikir filsafat (filosof) dianggap manusia berilmu dan bijaksana.
Sesungguhnya nilai ajaran filsafat telah berkembang, terutama di wilayah Timur Tengah sejak sekitar 6000 – 600 SM; juga di Mesir dan sekitar sungai Tigris dan Eufrat sekitar 5000 – 1000 sM; daerah Palestina/Israel sebagai doktrine Yahudi sekitar 4000 – 1000 SM (Radhakrishnan, et al. 1953: 11; Avey 1961: 3-7). Juga di India sekitar 3000 – 1000 SM, sebagaimana juga di Cina sekitar 3000 – 500 SM.
Nilai filsafat berwujud kebenaran sedalam-dalamnya, bersifat fundamental, universal dan hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup oleh pemikir dan penganutnya.
Sedangkan pemikiran filsafat yang dianggap tertua di Eropa (Yunani) baru berkembang sekitar 650 SM. Jadi, pemikiran filsafat tertua bersumber dari wilayah Timur Tengah; sinergis dengan ajaran nilai religious. Fenomena demikian merupakan data sejarah budaya sebagai peradaban monumental, karena Timur Tengah diakui sebagai pusat berkembangnya ajaran agama supranatural (agama wahyu, revealation religions). Kita juga maklum, bahwa semua Nabi/Rasul berasal dari wilayah Timur Tengah (Yahudi, Kristen dan Islam). Berdasarkan data demikian kita percaya bahwa nilai filsafat sinergis dengan nilai-nilai theisme religious. Karena itu pula, kami menyatakan bahwa nilai filsafat Timur Tengah dianggap sebagai sumur madu peradaban umat manusia karena kualitas dan integritas intrinsiknya yang fundamental-universal theisme religious.
Nilai ajaran filsafat Barat (Eropa, Yunani) adalah nilai filsafat natural dan rasional (ipteks); karenanya dianggap sebagai sumur susu peradaban. Makna uraian di atas: manusia atau bangsa yang ingin sehat dan jaya, hendaknya memadukan nilai theisme religious dengan ipteks; sebagaimana pribadi manusia yang ingin sehat minumlah susu dengan madu. Artinya, budaya dan peradaban yang luhur dan unggul akan berkembang berdasarkan nilai-nilai (moral) agama dan ipteks.
Budaya dan peradaban modern mengakui bahwa perkembangan ipteks dan kebudayaan manusia bersumber dan dilandasi oleh ajaran nilai filsafat. Karena itu pula, filsafat diakui sebagai induk ipteks (= philosophy as the queen and as the mother of knowledge as well). Nilai filsafat menjangkau alam metafisika dan misteri alam semesta; visi-misi penciptaan manusia. Alam semesta dengan hukum alam memancarkan nilai supranatural dan suprarasional sebagaimana rokhani manusia dan martabat budinuraninya juga memancarkan integritas suprarasional!
Sistem filsafat dan cabang-cabangnya --- termasuk sistem ideologi--- dalam kepustakaan modern diakui sebagai Kultuurwissenschaft, dan atau Geistesswissenschaft (terutama filsafat hukum, filsafat politik, filsafat manusia, filsafat ilmu, filsafat ekonomi dan filsafat etika).
Sedemikian besar dan dominan pengaruh ajaran sistem filsafat dan atau ideologi dimaksud terlukis dalam skema 1, dalam makna : lingkaran global menunjukkan supremasi nilai filsafat religious yang bersumber dari Timur Tengah yang memberikan martabat moral kepribadian manusia secara universal!



























SUMBER DAN PUSAT PERKEMBANGAN FILSAFAT
Pusat Pengembangan Moral dan Ipteks dalam Wawasan Filsafat

skema 1 (MNS, 1980)



B. Ajaran Sistem Filsafat sebagai Sistem Ideologi : tegak sebagai Sistem Kenegaraan.

Ajaran berbagai nilai filsafat --- sebelum berkembang sebagai sistem ideologi!--- terutama menampilkan nilai fundamental sebagai essensi dan integritas ajarannya; berupa ajaran : materialisme, animisme, dynamisme, polytheisme, pantheisme, secularisme, dan atheisme …. yang berpuncak sebagai ajaran monotheisme, universalisme --- sering disamakan sebagai sistem filsafat : theisme-religious ---. Peradaban modern menyaksikan, bahwa sistem filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat monotheisme-religious!. Integritas ini secara fundamental dan intrinsik memancarkan keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur (yang berwatak : theisme-religious).

Ajaran dan nilai filsafat amat mempengaruhi pikiran, budaya dan peradaban umat manusia. Semua sistem kenegaraan ditegakkan berdasarkan ajaran atau sistem filsafat yang mereka anut (sebagai dasar negara, ideologi negara). Berbagai negara modern menunjukkan keunggulan masing-masing, dan terus memperjuangkan supremasi dan dominasi sistem kenegaraannya: liberalisme-kapitalisme, marxisme-komunisme, zionisme, theokratisme; sosialisme, naziisme, fascisme, fundamentalisme. Juga termasuk negara berdasarkan (nilai ajaran) agama: negara Islam ….. termasuk sistem ideologi Pancasila (=sistem kenegaraan Pancasila sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 45). Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 sebagai aktualisasi filsafat hidup (Weltsanschauung) yang diamanatkan oleh PPKI sebagai pendiri negara!.

Secara ontologis, epistemologis dan axiologis sistem filsafat Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat kepribadian manusia (SDM) yang dianugerahi martabat mulia sebagaimana terjabar dalam ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila ! Keunggulan dan kemuliaan ini merupakan anugerah dan amanat Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Maha Rahman dan Maha Rahim --- sebagai tersurat di dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45 ! --- sebagai asas kerokhanian bangsa dan NKRI.
Sesungguhnya ajaran filsafat merupakan sumber, landasan dan identitas tatanan atau sistem nilai kehidupan umat manusia. Sedemikian berkembang, maka khasanah ajaran nilai filsafat kuantitati-kualitatif terus meningkat; terbukti dengan berbagai aliran (sistem) filsafat yang memberikan identitas berbagai sistem budaya, sistem kenegaraan dan peradaban bangsa-bangsa modern.
Nilai-nilai filsafat, termasuk filsafat Pancasila ditegakkan (dan dibudayakan) dalam peradaban manusia modern ---khususnya bangsa Indonesia, --- terutama :
1. Aktualisasi Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45;
2. Aktualisasi nilai kebangsaan dan kenegaraan Indonesia Raya, sebagai terlukis dalam skema 3 dan 4;
3. Secara ontologis-axiologis bangsa Indonesia belum secara signifikan melaksanakan visi-misi yang diamanatkan oleh sistem filsafat Pancasila, sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi 45 ---terutama dalam era reformasi 1998 – sekarang

Dalam dinamika peradaban modern, semua bangsa berkembang dan menegakkan tatanan kehidupan nasionalnya dengan sistem kenegaraan. Sistem kenegaraan ini dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh sistem filsafat dan atau sistem ideologi; seperti : theokratisme, sistem liberalisme-kapitalisme, sosialisme, zionisme; marxisme-komunisme-atheisme, naziisme, fascisme, fundamentalisme …. dan sistem ideologi Pancasila!


II. INTEGRITAS SISTEM FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI SISTEM
IDEOLOGI NASIONAL

Dinamika politik modern antar negara berjuang merebut supremasi ideologi dalam makna secara fungsional adalah supremasi sistem kenegaraan masing-masing. Dinamika (baca : perebutan politik supremasi!) bermuara sebagai wujud neo-imperialisme! (metamorphose : kolonialisme-imperialisme!).
Fenomena demikian menjadi tantangan nasional (baca : tantangan antar ideologi) bangsa-bangsa dan negara-negara modern. Artinya, sistem kenegaraan Pancasila secara niscaya (a priori) terus bersaing demi eksistensi (kemerdekaan dan kedaulatan) bangsa, negara dan budaya (jatidiri nasional!).


A. Sistem Filsafat Pancasila Sebagai Sistem Ideologi Nasional

Nilai Filsafat Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia --- terutama sebagai jiwa dan asas kerokhanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme-imperialisme 1596-1945 ---. Nilai filsafat Pancasila baik sebagai pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung) bangsa, sekaligus sebagai jiwa bangsa (Volksgeist, jatidiri nasional) memberikan identitas dan integritas serta martabat (kepribadian) bangsa dalam budaya dan peradaban dunia modern; sekaligus sumber motivasi dan spirit perjuangan bangsa Indonesia!.
Nilai filsafat Pancasila secara filosofis-ideologis dan konstitusional berkembang dalam sistem kenegaraan Indonesia ; yang dapat dinamakan : sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila yang terjabar dalam UUD Proklamasi 45. Jadi, tegaknya bangsa dan NKRI sebagai bangsa merdeka, berdaulat, bersatu dan bermartabat amat ditentukan oleh tegaknya integritas sistem kenegaraan Pancasila dan UUD Proklamasi 45 !
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis dan konstitusional, semua komponen bangsa wajib setia dan bangga (imperatif : mengikat, memaksa) kepada sistem kenegaraan Pancasila sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi 45; termasuk kewajiban bela negara! .
Sebagai bangsa dan negara modern, kita mewarisi nilai-nilai fundamental filosofis-ideologis sebagai pandangan hidup bangsa (filsafat hidup, Weltanschauung) yang telah menjiwai dan sebagai identitas bangsa (jatidiri nasional, Volksgeist) Indonesia. Nilai-nilai fundamental warisan sosio-budaya Indonesia ditegakkan dan dikembangkan dalam sistem kenegaraan Pancasila, sebagai pembudayaan dan pewarisan bagi generasi penerus.
Kehidupan nasional sebagai bangsa merdeka dan berdaulat ---sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 berwujud NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45. Sistem NKRI ditegakan oleh kelembagaan negara (suprastruktur) bersama semua komponen bangsa (=infrastruktur) dan warganegara (subyek SDM pemilik, penegak dan pewaris) berkewajiban menegakkan asas normatif filosofis-ideologis secara konstitusional, yakni UUD Proklamasi 1945 seutuhnya sebagai wujud kesetiaan dan kebanggaan nasional.
Nilai-nilai fundamental dimaksud terutama filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa (i.c. filsafat Pancasila) yang oleh pendiri negara (PPKI) dengan jiwa hikmat kebijaksanaan dan kenegarawanan, musyawarah mufakat menetapkan dan mengesahkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka (dalam UUD Proklamasi 45 seutuhnya). Berdasarkan legalitas dan otoritas PPKI sebagai pendiri negara, maka UUD Proklamasi sesungguhnya mengikat (imperatif) seluruh komponen bangsa, bahkan seluruh generasi bangsa untuk setia menegakkan dan membudayakannya. Asas demikian diakui dan berlaku secara universal sebagai aktualisasi nilai sosio-budaya dan martabat nasional dapat dilukiskan dengan ringkas dalam uraian berikut.

B. Identitas dan Integritas Sistem Filsafat dan Sistem Ideologi Nasional

Totalitas sistem filsafat dan sistem ideologi nasional memberikan integritas dan martabat nasional; selanjutnya ditegakkan dalam integritas sistem kenegaraan --- yang dinamakan dengan predikat berdasarkan sistem filsafat dan atau sistem ideologi yang menjiwai dan melandasi sistem kenegaraan dimaksud.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional sistem kenegaraan inilah yang ditegakkan dalam wujud kemerdekaan dan kedaulatan serta kepribadian (martabat) nasional bangsa-bangsa modern. Secara ontologis dan axiologis, sistem filsafat dan atau sistem ideologi ini menjadi asas dan landasan budaya dan moral nasional--- yang kompetitif antar bangsa dalam rangka merebut supremasi ideologi! ---.
Bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya dijiwai nilai-nilai budaya dan moral Pancasila, yang dikutip di muka merupakan sari dan puncak nilai sosio budaya Indonesia. Nilai mendasar ini ialah filsafat hidup (Weltanschauung, Volkgeist) Indonesia Raya.
Berdasarkan kepercayaan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka diakui nilai filsafat Pancasila mengandung multi - fungsi dalam kehidupan bangsa, negara dan budaya Indonesia Raya (Asas-asas Wawasan Nusantara).








Kedudukan dan fungsi nilai dasar Pancasila, dapat dilukiskan sebagai berikut:













Skema 2 (MNS, 1980)

Sesungguhnya nilai dasar filsafat Pancasila demikian, telah terjabar secara filosofis-ideologis dan konstitusional di dalam UUD Proklamasi (pra-amandemen) dan teruji dalam dinamika perjuangan bangsa dan sosial politik 1945 – 1998 (1945 – 1949; 1949 – 1950; 1950 – 1959 dan 1959 – 1998). Reformasi 1998 sampai sekarang, mulai amandemen I – IV: 1999 – 2002 cukup mengandung distorsi dan kontroversial secara fundamental (filosofis-ideologis dan konstitusional) sehingga praktek kepemimpinan dan pengelolaan nasional cukup memprihatinkan.
Bangsa-bangsa modern menyaksikan bagaimana supremasi ideologi neo-liberalisme yang bermuara neo-imperialisme--- lebih-lebih pasca perang dingin, dengan runtuhnya Uni Soviet 1990 ---. Atas nama globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme negara-negara adidaya sekutu USA dan UE sebagai representasi neo-liberalisme terus memacu supremasi ideologi dalam sosial politik dan ekonomi global!.
(Perhatikan dan cermati Bagian IV makalah ini!)



III. INTEGRITAS SISTEM KENEGARAAN PANCASILA DAN UUD
PROKLAMASI ’45

Sebagai aktualisasi sistem filsafat Pancasila dan atau sistem ideologi (nasional) Pancasila secara ontologis dan axiologis dikembangkan dan ditegakkan sebagai integritas Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 dengan asas-asas fundamental berikut :

A. Sistem Filsafat Pancasila Sebagai Asas Kerokhanian Bangsa dan Negara

Filsafat Pancasila memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas martabat manusia, sebagai pancaran asas moral (sila I dan II); karenanya ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila yang bersumber asas normatif theisme-religious, secara fundamental sbb:
1. Bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II: hidup, kemerdekaan dan hak milik/rezki); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. Bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. Kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. Manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b. Manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. Manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian). Manusia terikat dengan hukum alam dan hukum moral !.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat (sistem demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat). Asas-asas fundamental ini memancarkan identitas, integritas dan keunggulan sistem kenegaraan RI (berdasarkan) Pancasila – UUD 4, sebagai sistem kenegaraan Pancasila.
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya --- karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia---.
Jadi, bagaimana sistem kenegaraan bangsa itu, ialah jabaran dan praktek dari ajaran sistem filsafat dan atau sistem ideologi nasionalnya masing-masing. Berdasarkan asas demikian, kami dengan mantap menyatakan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila, dan terjabar (pedoman penyelenggaraanya) dalam UUD Proklamasi 45 --- yang orisinal, bukan menyimpang sebagai “ terjemahan “ era reformasi yang menjadi UUD 2002 --- yang kita rasakan amat sarat kontroversial, bahkan menjadi budaya neo-liberalisme !

Secara filosofis-ideologis dan konstitusional inilah amanat nasional dalam visi-misi Pendidikan dan Pembudayaan Filsafat Pancasila dan Ideologi Nasional! Visi-misi mendasar dan luhur ini menjamin integritas SDM dalam Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD 45

B. Dasar Negara Pancasila Sebagai Asas Kerokhanian Bangsa dan Sistem Ideologi Nasional dalam Integritas UUD Proklamasi 45

Secara ontologis-axiologis (filsafat Pancasila) terjabar dalam UUD Proklamasi 45 bersifat imperatif (filosofis-ideologis dan konstitusional) ontologi bangsa dan NKRI adalah integral (manunggal) dan bersifat t e t a p (integritas, jatidiri / Volksgeist) atau kepribadian dan martabat nasional.
Tegaknya suatu bangsa dan negara ialah kemerdekaan dan kedaulatan sebagai wujud kemandirian, integritas dan martabat nasional. Bagi bangsa Indonesia dapat dinyatakan sebagai: Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi.
Dalam analisis kajian normatif-filosofis-ideologis dan konstitusional atas UUD Proklamasi 45 dalam hukum ketatanegaraan RI, dapat diuraikan asas dan landasan filosofi-ideologis dan konstitusional berikut :
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental yang bersifat tetap; sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 – 135; 155 – 162; Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81). Sebagai kaidah negara yang fundamental, sekaligus sebagai asas kerokhanian negara dan jiwa konstitusi, nilai-nilai dumaksud bersifat imperatif (mengikat, memaksa). Artinya, semua warga negara, organisasi infrastruktur dan suprastruktur dalam negara imperatif untuk melaksanakan dan membudayakannya.
Sebaliknya, tiada seorangpun warga negara, maupun organisasi di dalam negara yang dapat menyimpang dan atau melanggar asas normatif ini; apalagi merubahnya.
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (baca: NKRI) ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 45. Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45. Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya. Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. Karena Pembukaan ditetapkan hanya 1x oleh pendiri negara (the founding fathers, PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus 1945). Siapapun dan organisasi apapun yang tidak mengamalkan dasar negara Pancasila ---beserta jabarannya di dalam UUD negara---; bermakna tidak loyal dan tidak membela dasar negara Pancasila; maka sikap dan tindakan demikian dapat dianggap sebagai makar (tidak menerima ideologi negara dan UUD negara). Jadi, mereka dapat dianggap melakukan separatisme ideologi dan atau mengkhianati negara.
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat pendiri negara (PPKI) di dalam Penjelasan UUD 45; terutama melalui uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas kerokhanian negara (geistlichen Hinterground dan Weltanschauung ) bangsa terutama:
4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya.

Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya."

Jadi, kedudukan Pembukaan UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila; karenanya memiliki integritas filosofis-ideologis dan legalitas supremasi otoritas secara konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan menegakkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state) dengan membudayakannya.

Secara filosofis-ideologis ajaran Filsafat Pancasila menjadi sumber dan landasan Metatheory dan Megatheory (Grandtheory) dari Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 yang memancarkan integritas dan keunggulan sebagai diuraikan dalam Bagian IV !.
Nilai-nilai ontologis-axiologis Pancasila terjabar dan diaktualisasi melalui Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 dan sebagai Sistem Ideologi Nasional Indonesia Raya masa depan!

Asas-asas fundamental filosofis-ideologis dan konstitusional diatas, adalah jabaran dan aktualisasi asas filsafat Pancasila (ontologis-axiologis), terutama :
1. Asas filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi secara ontologis-axiologis tegak dalam aktualisasi Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45
2. Menjamin ranah (in casu : HAM) privat dan publik berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM sebagai diamanatkan bagian III A diatas. Tegasnya, individualitas dan komunitas berkembang dalam asas keseimbangan dalam wujud asas kekeluargaan sebagai asas integralisme fungsional!
3. Menjiwai dan melandasi asas moral dan budaya politik nasional : politisi, kepemimpinan nasional, bahkan warganegara dalam pergaulan nasional dan internasional senantiasa menegakkan integritas moral dan martabat nasional!
4. Asas HAM, hak kemerdekaan (kebebasan) tetap dijamin selama warganegara, golongan / parpol tetap setia (loyal, bangga) kepada dasar negara (ideologi negara) Pancasila dan UUD Proklamasi 45.
5. Secara filosofis-ideologis dan UUD Pasal 29 bangsa dan NKRI menganggap ideologi marxisme-komunisme-atheisme bertentangan dengan ideologi Pancasila yang beridentitas theisme-religious; karenanya dikategorikan sebagai : separatisme ideologi, makar !
Sebaliknya, siapapun atas nama kebebasan (=liberalisme) dan demokrasi (=kedaulatan rakyat) mengembangkan / memperjuangkan nilai ideologi selain ideologi negara Pancasila (non-Pancasila), dikategorikan sebagai melakukan tindakan : separatisme ideologi, makar dan atau mengkhianati sistem kenegaraan Pancasila! ---Waspadalah kepada berbagai sistem ideologi yang mengancam integritas ideologi Pancasila, seperti : ideologi liberalisme-kapitalisme, sekularisme; dan marxisme-komunisme-atheisme!---
Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila, bermakna bahwa bangsa Indonesia (rakyat, warganegara RI) berkewajiban membela NKRI dalam integritasnya sebagai sistem kenegaraan Pancasila ---antar sistem kenegaraan: kapitalisme – liberalisme, dan marxisme – komunisme – atheisme --- yang dapat mengancam integritas bangsa dan NKRI. Jadi, bangsa Indonesia senantiasa waspada dan siap bela negara atas tantangan dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam integritas ideologi Pancasila: baik neoimperialisme Amerika maupun ideologi marxisme – komunisme – atheisme dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI atau KGB.

IV. KEUNGGULAN NKRI SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN (IDEOLOGI)
PANCASILA

Berdasarkan asas-asas ontologis-axiologis Pancasila (asas jatidiri dan asas kerokhanian bangsa), sebagai dimaksud Bagian III A-B, maka aktualisasinya dalam sistem kenegaraan berdasarkan UUD Proklamasi 45 adalah sebagai berikut.

A. Ajaran Sistem Filsafat Pancasila dan Sistem Kenegaraan Pancasila
Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan negara Proklamasi, sebagai NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45. Asas dan identitas fundamental, bersifat imperatif; karenanya fungsional sebagai asas kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45.
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, terjabar secara konstitusional:
1. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV= sistem demokrasi Pancasila).
2. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.
3. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai sistem negara hukum Pancasila.
4. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan RI.
5. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungai seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2007: 108 - 127).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).
NKRI adalah negara bangsa (nation state) sebagai pengamalan sila III yakni nilai Wawasan Nasional yang ditegakkan dalam NKRI dan Wawasan Nusantara. Jadi, aktualisasi asas ontologis-axiologis filsafat Pancasila ditegakkan dalam sistem kenegaraan Pancasila sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 45; diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
Perwujudan dan Sistem NKRI (Berdasarkan) Pancasila - UUD 45*











(MNS, 1985: 2005)
skema 3

*) = NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila

B. Sistem Ideologi Pancasila ditegakkan dalam N-Sistem Nasional
Maknanya, secara das Sein und das Sollen dasar negara Pancasila (ideologi nasional) sebagai terlukis dalam skema 2 dan 3, dikembangkan, ditegakkan dan dibudayakan dalam N-Sistem Nasional sebagai aktualisasi integritas sistem kenegaraan Pancasila (UUD Proklamasi 45).

Secara skematis, terlukis dalam skema berikut.



skema 4 MNS, 1988)


*) = N = sejumlah sistem nasional, terutama:

1. Sistem filsafat Pancasila
2. Sistem ideologi Pancasila
3. Sistem Pendidikan Nasional (berdasarkan) Pancasila
4. Sistem hukum (berdasarkan) Pancasila
5. Sistem ekonomi Pancasila
6. Sistem politik Pancasila (= demokrasi Pancasila)
7. Sistem budaya Pancasila
8. Sistem Hankamnas, Hankamrata

Skema ini melukiskan bagaimana sistem filsafat Pancasila dijabarkan secara normatif-konstitusional dan fungsional sebagai terlukis dalam struktur (nilai) kenegaraan yang dimaksud komponen-komponen dalam skema 3-4 dimaksud !.

C. Integritas Filsafat Pancasila dalam Keunggulan Sistem Kenegaraan Pancasila
Sebagai pelaksanaan asas kerokhanian bangsa dan negara sesungguhnya NKRI berdasarkan Pancasila UUD Proklamasi 45 memancarkan keunggulan sistem kenegaraan Indonesia.
Secara konstitusional NKRI ditegakkan (dan dibudayakan) sebagai sistem kenegaraan dalam integritas dan identitas fundamental dan asas kenegaraan, berikut:
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional dengan membudayakan N-Sistem Nasional dimaksud.

Asas-asas fundamental ini ditegakkan secara normatif-fungsional dalam N-sistem nasional (sejumlah sistem nasional): prioritas 1 – 8 sistem nasional ! Sebaliknya, dalam era reformasi nilai dasar negara Pancasila dan UUD Proklamasi 45 mengalami distorsi; sehingga dalam praktek kita menyaksikan berkembangnya budaya neo-liberal (demokrasi-liberal; dan ekonomi-liberal ; bahkan mengalami degradasi wawasan nasional!
Sesungguhnya pendidikan nasional ---in casu pendidikan nilai dasar Pancasila adalah asas dan inti nation and character building--- sinergis dengan System bildung (pembangunan dan pengembangan sistem, yakni sistem nasional); terutama: sistem nasional dalam politik dengan asas kedaulatan rakyat atau demokrasi (= demokrasi berdasarkan Pancasila); sistem nasional dalam ekonomi ( = sistem ekonomi Pancasila); dan sistem nasional dalam hukum (= sistem hukum Pancasila)….. dan sebagainya.



V. INTEGRITAS SISTEM KENEGARAAN PANCASILA DALAM TANTANGAN GLOBALISASI-LIBERALISASI DAN POSTMODERNISME

Dinamika Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme sesungguhnya adalah gelombang negara adidaya untuk merebut supremasi ideologi liberalisme-kapitalisme; sebagai otoritas neo-imperialisme dunia. Dinamika ini juga sinergis dengan gelombang Postmodernisme yang laksana badai menggoda dan melanda bangsa dan negara modern, terutama bangsa negara berkembang. Fenomena dimaksud nampak dalam karsa elite untuk mempelopori reformasi--- karena merasa warisan nilai lama perlu di reformasi --- , meskipun ternyata menjadi bencana yang dapat meruntuhkan integritas nasional dan integritas negara !.
Kita menyaksikan bagaimana reformasi glasnost dan perestroika yang dicanangkan Michael Gorbachev di Unie Soviet kemudian r u n t u h menjadi negara tidak berdaya dan “ m u r t a d “ dari ideologi marxisme-komunisme-atheisme !.
Catatan: Runtuhnya negara adidaya Unie Soviet menjadi negara tidak berdaya, namun rakyatnya bersyukur dapat kembali memuja Tuhan (Agama, Theisme) sehingga negara Rusia sekarang amat sangat meningkat kemakmuran dan kejayaannya.

A. Tantangan Nasional : Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme

Menyelamatkan bangsa dan NKRI dari tantangan demikian (baca: keruntuhan sebagaimana yang dialami Unie Soviet), maka bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan mental-ideologi Pancasila. Visi-misi demikian terutama meningkatkan wawasan nasional dan kepercayaan nasional (kepercayaan diri) agar SDM warganegara kita mampu mewaspadai tantangan: globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme dan neo-PKI/KGB!
Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar dan akan melanda kehidupan nasional ---sosial-ekonomi dan politik, bahkan mental dan moral bangsa---maka benteng terakhir yang diharapkan mampu bertahan ialah keyakinan nasional atas kebenaran dan kebaikan (baca: keunggulan) dasar negara Pancasila baik sebagai jatidiri bangsa dan filsafat hidup bangsa (Volksgeist, Weltanschauung), sekaligus sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional). Hanya dengan keyakinan nasional ini manusia Indonesia tegak-tegar dengan keyakinannya yang benar dan terpercaya: bahwa sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari filsafat Timur memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. Sebagai jiwa UUD negara yang menjiwai dan melandasi budaya dan moral politik Indonesia dalam integritas sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45.
Bandingkan dengan ajaran filsafat kapitalisme-liberalisme yang beridentitas individualisme-materialisme-sekularisme-pragmatisme (neo-imperialisme) akan hampa spiritual religius sebagaimana juga identitas ideologi marxisme-komunisme-atheisme! Kapitalisme-liberalisme memuja kebebasan dan HAM demi kapitalisme (baca: materi, kekayaan sumber daya alam yang dikuasai neoimperialisme): dalam praktek politik dan ekonomi liberal, yang menjajah Irak awal abad XXI ---negara adidaya yang bergaya pembela HAM di panggung dunia!--- ternyata HAM yang HAMPA!. Mengapa bangsa-bangsa beradab, bahkan PBB sebagai organisasi dunia yang beradab tetap bungkam ?!
Tantangan globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme dapat berwujud adanya degradasi wawasan nasional dan wawasan ideologi nasional. Demikian pula adanya degradasi mental ideologi, seperti budaya demokrasi liberal dan HAM individualisme-egoisme--- bukan kesatuan dan kerukunan sebagai asas moral filsaafat dan ideologi bangsanya---. Perhatikan beberapa fenomena sosial politik dan ekonomi (neo-liberal) dalam era reformasi sebagai praktek budaya: kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme dalam hampir semua bidang kehidupan Indonesia, bermuara sebagai neoimperialisme! Sinergis dengan kondisi global maka dalam NKRI juga tantangan kebangkitan neo-PKI / KGB;
1. Watak setiap ajaran filsafat dan ideologi dengan asas dogmatisme senantiasa merebut supremasi dan dominasi atas berbagai ajaran filsafat dan ideologi yang dipandangnya sebagai saingan. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang dianut negara-negara Barat sebenarnya telah merajai kehidupan berbagai bangsa dan negara: politik kolonialisme-imperialisme. Karena itulah, ketika perang dunia II berakhir 1945, meskipun mereka meraih kemenangan atas German dan Jepang, namun mereka kehilangan banyak negara jajahan memproklamasikan kemerdekaan, termasuk Indonesia. Sejak itulah penganut ideologi kapitalisme-liberalisme menetapkan strategi politik neo-imperialisme untuk melestarikan penguasaan ekonomi dan sumber daya alam di negara-negara yang telah mereka tinggalkan (disusun strategi rekayasa global, 1947).
2. Melalui berbagai organisasi dunia, mulai PBB, World Bank dan IMF sampai APEC dipelopori Amerika Serikat mereka tetap sebagai kesatuan Sekutu dan Unie Eropa dalam perjuangan merebut supremasi politik dan ekonomi dunia (neo-imperialisme). Lebih-lebih dengan berakhirnya perang dingin (1950-1990) mereka makin menunjukkan supremasi politik neoimperialisme!
3. Hampir semua negara berkembang yang kondisi ipteks, industri dan ekonomi amat tergantung kepada negara maju (G-8) maka melalui bantuan modal pembangunan baik bilateral maupun multilateral, seperti melalui IMF dan World Bank, termasuk IGGI kemudian CGI semuanya mengandung strategi politik ekonomi negara Sekutu (USA dan UE).
4. Melalui kesepakatan APEC, mereka mempropagandakan doktrin ekonomi liberal, atas nama ekonomi pasar ---tidak boleh ada proteksi demi peningkatan kemampuan dan kemandirian---. Sementara potensi ekonomi berbagai negara berkembang tanpa proteksi, tanpa daya saing yang memadai...... semuanya dilumpuhkan dan ditaklukkan. Tercapailah politik supremasi ekonomi kapitalisme-liberalisme, sebagai neo-imperialisme.
5. Sesungguhnya sejak dimulai perang dingin (sekitar 1950 – 1985) Sekutu telah menampilkan watak untuk merebut dominasi dan supremasi politik internasional. Kondisi perang dingin yang amat panjang meskipun menguras dana dan biaya perang (angkatan perang dan persenjataan), namun juga dijadikan media propaganda bahwa otoritas supremasi politik dan ideologi dunia tetap dimiliki Blok Barat. Supremasi politik dan ideologi ini juga didukung oleh supremasi ipteks .......sehingga banyak intelektual negara berkembang (baca: negara GNB) yang belajar ipteks ke negara-negara blok Barat. Sebagian intelektual kita itu telah tergoda dan terlanda wawasan politiknya, sehingga sebagai elite reformasi mempraktekkan demokrasi liberal, ekonomi liberal, bahkan juga budaya negara federal!

Ternyata kemudian, mereka telah dididik juga sebagai kader pengembang ideologi dan politik ekonomi kapitalisme-liberalisme ---termasuk dalam NKRI---. Kepemimpina mereka belum membuktikan keunggulannya dalam mengatasi multi –krisis nasional yang makin menghimpit rakyat warga bangsa tercinta. Kondisi buruk ini dapat menjadi lahan subur bangkinya neo-PKI/KGB yang berpropaganda menjadi ”penyelamat ” kaum miskin dan buruh tani dalam NKRI!

Inilah fenomena dan bukti sebagian elite dalam NKRI tergoda dan terlanda ideologi neo-liberalisme dan neo-komunisme!

Perhatikan dan hayati skema 5 berikut !
INTEGRITAS NASIONAL DAN NKRI SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN PANCASILA

























*) = UUD 45 Amandemen, dengan kelembagaan negara (tinggi) : = Presiden, MPR, DPR, DPD; MK, MA dan BPK (+ KY) (MNS, 2007) skema: 5

B. Tantangan Nasional dalam Era Reformasi

Pemerintahan dan kelembagaan negara era reformasi, bersama berbagai komponen bangsa berkewajiban meningkatkan kewaspadaan nasional yang dapat mengancam integritas nasional dan NKRI.
Tantangan nasional yang mendasar dan mendesak untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya, terutama:
1. Amandemen UUD 45 yang sarat kontroversial; baik filosofis-ideologis bukan sebagai jabaran dasar negara Pancasila, juga secara konstitusional amandemen cukup memprihatinkan karena berbagai konflik kelembagaan. Berdasarkan analisis demikian berbagai kebijaksanaan negara dan strategi nasional, dan sudah tentu program nasional mengalami distorsi nilai ---dari ajaran filsafat Pancasila, menjadi praktek budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme---. Terutama demokrasi liberal dan ekonomi liberal……..bermuara sebagai supremasi neo-imperialisme!
2. Elite reformasi dan kepemimpinan nasional hanya mempraktekkan budaya demokrasi liberal atas nama HAM; yang aktual dalam tatanan dan fungsi pemerintahan negara (suprastruktur dan infrastruktur sosial politik) hanyalah: praktek budaya oligarchy, plutocracy.......bahkan sebagian rakyat mempraktekkan budaya anarchy (anarkhisme)!
3. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional ---bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila, sebagai sistem ideologi nasional---. Karenanya, elite reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jatidiri nasional!
4. NKRI sebagai negara hukum, dalam praktek justru menjadi negara yang tidak menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila – UUD 45. Praktek dan “budaya” korupsi makin menggunung, mulai tingkat pusat sampai di berbagai daerah: Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kekayaan negara dan kekayaan PAD bukan dimanfaatkan demi kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, melainkan dinikmati oleh elite reformasi. Demikian pula NKRI sebagai negara hukum, keadilan dan supremasi hukum; termasuk HAM belum dapat ditegakkan.
5. Tokoh-tokoh nasional, baik dari infrastruktur (orsospol), maupun dalam suprastruktur (lembaga legislatif dan eksekutif) hanya berkompetisi untuk merebut jabatan dan kepemimpinan yang menjanjikan (melalui pemilu dan pilkada). Berbagai rekayasa sosial politik diciptakan, mulai pemekaran daerah sampai usul amandemen UUD 45 (tahap V) sekedar untuk mendapatkan legalitas dan otoritas kepemimpinan demi kekuasaan. Sementara kondisi nasional rakyat Indonesia, dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada konsepsi alternatif strategis pemecahannya. Kondisi demikian dapat melahirkan konflik horisontal dan vertikal, bahkan anarchisme sebagai fenomena sosio-ekonomi-psikologis rakyat dalam wujud stress massal dan anarchisme!
6. Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal sampai semangat separatisme. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila, integritas nasional dan integritas NKRI, dan integritas moral (komponen pimpinan, manusia, bangsa!)
7. Momentum pemujaan kebebasan (neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM, dimanfaatkan partai terlarang PKI untuk bangkit. Mulai gerakan “pelurusan sejarah” ---terutama G.30S/PKI--- sampai bangkitnya neo-PKI sebagai KGB melalui PRD dan Papernas. Mereka semua melangkahi (baca: melecehkan Pancasila – UUD 45) dan rambu-rambu (= asas-asas konstitusional) yang telah berlaku sejak 1966, terutama:
a. Bahwa filsafat dan ideologi Pancasila memancarkan integritas sebagai sistem filsafat dan ideologi theisme-religious. Artinya, warga negara RI senantiasa menegakkan moral dan budaya politik yang adil dan beradab yang dijiwai moral Pancasila berhadapan dengan separatisme ideologi: marxisme-komunisme-atheisme yang diperjuangkan neoPKI / KGB dan antek-anteknya.
b. UUD Proklamasi seutuhnya memancarkan nilai filsafat Pancasila: mulai Pembukaan, Batang Tubuh (hayati: Pasal 29) dan Penjelasan UUD 45.
c. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan dikukuhkan Tap MPR RI No. I/MPR/2003 Pasal 2 dan Pasal 4.
d. Tap MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; dan
e. Undang Undang No. 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara ( yang direvisi, terutama Pasal 107a—107f).

Perhatikan dan hayati isi nilai dalam skema 5

Praktek dan Budaya Neo-Liberalisme Menggoda dan Melanda NKRI

Dunia postmodernisme makin menggoda dan melanda dunia melalui politik supremasi ideologi. Kita semua senang dan bangga, menikmati kebebasan dan keterbukaan atas nama demokrasi dan HAM, tanpa menyadari bahwa nilai-nilai neoliberalisme menggoda dan melanda sehingga terjadi degradasi wawasan nasional, sampai degradasi mental dan moral sebagian rakyat bahkan elite dalam era reformasi.
Sebagian elite reformasi bangga dengan praktek reformasi yang memuja kebebasan (=liberalisme) atas nama demokrasi (demokrasi liberal) dan HAM (HAM yang dijiwai individualisme, materialisme, sekularisme) sehingga rakyat Indonesia masih terhimpit dalam krisis multi dimensional.
Harapan berbagai pihak dengan alam demokrasi dan keterbukaan, nasib rakyat akan dapat diperbaiki menjadi lebih sejahtera dan adil sebagaimana amanat Pembukaan UUD 45 : “ ........ memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa .... “ dapat terlaksana, dalam makna SDM Indonesia cerdas dan bermoral! Tegasnya, bukan euforia reformasi dengan budaya demokrasi neo-liberal dalam praktek oligarchy, plutocracy dan anarchy…….berwujud konflik horisontal…..degradasi wawasan nasional dan moral (korupsi menggunung) dapat bermuara disintegrasi bangsa dan NKRI.
Sesungguhnya, dalam era reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM, ternyata ekonomi rakyat makin terancam oleh kekuasaan neoimperialisme melalui ekonomi liberal. Analisis ini dapat dihayati melalui bagaimana politik pendidikan nasional (UU RI No: 9 tahun 2009 tentang BHP sebagai kelanjutan PP No. 61 / 1999) yang membuat rakyat miskin makin tidak mampu menjangkau.
Bidang sosial ekonomi, silahkan dicermati dan dihayati Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, yang mengancam hak-hak sosial ekonomi bangsa !
Demokrasi liberal dengan biaya amat mahal beserta social cost yang cukup memprihatinkan ---konflik horisontal, sampai anarkhisme yang bermuara disintegrasi bangsa --- adalah tragedi penyimpangan elite reformasi dalam menegakkan sistem kenegaraan Pancasila! ----lebih-lebih pasca Amandemen UUD Proklamasi 45, menjadi : UUD 2002 !

C. Kebijaksanaan dan Strategi Nasional : Pendidikan dan Pembudayaan Filsafat Pancasila
dan Ideologi Nasional

Sesungguhnya sub thema ini adalah aktualisasi pembudayaan ontologis-epistemologis- axiologis filsafat Pancasila seutuhnya demi integritas SDM Indonesia Raya dan Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45.
Demi tegaknya integritas nilai filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional ---dan tegaknya integritas Sistem Kenegaraan Pancasila--- negara berkewajiban melaksanakan amanat Pendidikan dan Pembudayaan Filsafat Pancasila dan Ideologi Nasional.
Demi SDM warganegara NKRI sebagai generasi penerus, penegak dan bhayangkari negara Pancasila wajarlah semua rakyat warga bangsa Indonesia Raya menghayati dan mengamalkan filsafat Pancasila (sebagai filsafat hidup, dasar negara, ideologi negara!). Visi-Misi demikian makin mendesak sebagai kesiapan Ketahanan Nasional menghadapi TANTANGAN GLOBALISASI-LIBERALISASI DAN POSTMODERNISME sebagai terlukis dalam skema 5.








Pembudayaan dilaksanakan mulai dan melalui keluarga, media komunikasi (cetak dan elektronika) dengan program : Mimbar Nasional Filsafat Pancasila.
Program dimaksud sinergis dengan peningkatan program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) mulai pendidikan dasar sampai pendidikan menengah! Khusus untuk Pendidikan Tinggi juga dikembangkan matakuliah : Filsafat Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
Amanat pendidikan dan pembudayaan Filsafat Pancasila sebagai Ideologi Nasional sejiwa dengan visi-misi yang diamanatkan Pembukaan UUD Proklamasi 45 : “......memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ........” yang dijabarkan sebagai : nation and character building. Karenanya, menjadi kewajiban moral dan konstitusional (imperative) untuk kita laksanakan.
Guna melaksanakan visi-misi ini secara memadai, tenaga pembina dan dosen perlu dipersiapkan; termasuk : kurikulum dan kepustakaannya.




P E N U T U P

Berdasarkan uraian ringkas makalah Sistem Filsafat Pancasila secara mendasar dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran berikut :
1. Sistem filsafat Pancasila adalah bagian dari sistem filsafat Timur yang memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. Ajaran filsafat Pancasila yang dikembangkan sebagai sistem ideologi nasional dikembangkan dan ditegakkan dalam integritas sistem kenegaraan Pancasila (sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 45).
2. Filsafat Pancasila sebagai asas kerokhanian bangsa dan NKRI memberikan integritas keunggulan sistem kenegaraan Indonesia Raya.

Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional:
a. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.
b. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: asas normatif sila IV).
c. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan dan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral (manusia warga negara) politik Indonesia.
d. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.
e. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia, negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V) dijiwai dan dilandasi sila I-II; dan ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila, sebagai demokrasi ekonomi dan pemberdayaan rakyat sebagai SDM subyek penegak integritas NKRI.

3. Dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme bermuara supremasi (ideologi neo-liberalisme) sebagai neo-imperialisme, menjadi tantangan nasional yang mengancam integritas sistem kenegaraan Pancasila; sekaligus integritas mental-moral-SDM Indonesia masa depan!. Tantangan ini makin mendesak karena sinergis dengan fenomena kebangkitan neo-PKI / KGB dalam NKRI yang “cucitangan” atas tanggung jawab G 30 S / PKI ---dengan dalih : pelurusan sejarah---
4. Secara ontologis-axiologis era reformasi jauh menyimpang dari kaidah fundamental filsafat Pancasila dan ideologi Pancasila sebagai diamanatkan UUD Proklamasi 45 --- yang telah diubah menjadi UUD 2002 ---. Karenanya, pemerintah dan elite reformasi mempraktekkan budaya dan moral demokrasi liberal, ekonomi liberal ......bahkan memuja kebebasan (=liberalisme), demokrasi liberal (bukan demokrasi berdasarkan moral Pancasila); atas nama HAM (HAM yang individualistik, yang dipropagandakan oleh USA sementara fenomena sosial politik global mereka menindas HAM, dengan menjajah beberapa negara Timur Tengah : seperti Irak .... dan Afghanistan ! ). Fenomena demikian menunjukkan HAM mereka hanyalah propaganda H A M P A !
5. Dinamika neo-liberalisme dan neo-imperialisme dalam era postmodernisme ---termasuk era reformasi--- menggoda dan melanda bangsa-bangsa, termasuk Indonesia ! Bilamana kita tidak tegak-tegar dengan integritas nilai filsafat Pancasila, rakyat kita mengalami degradasi nasional ...... bahkan degradasi mental dan moral (theisme-religious menjadi sekularisme; bahkan materialisme-kapitalisme-individualisme dan atheisme!) Fenomena demikian bermuara sebagai bencana nasional, tragedi moral dan peradaban bangsa-bangsa masa depan!
6. Multikrisis dimensional nasional dalam NKRI belum teratasi, kita dihimpit dengan global crisis financial dari negara adidaya (USA dan UE) yang dapat memacu politik supremasi neo-imperialisme dari ideologi neo-liberalisme !
7. Adalah kewajiban nasional, bahkan kewajiban moral kita semua --- terutama elite reformasi dan Pemerintah --- untuk merenung dan mawasdiri sebagai audit nasional, khususnya sebagai audit reformasi! Maknanya, apakah kita sudah sungguh-sungguh setia dan bangga dengan sistem kenegaraan Pancasila sebagai diamanatkan PPKI dalam UUD Proklamasi 45; ataukah kita telah tergoda dan terlanda oleh “kejayaan” negara liberalisme-kapitalisme --- sehingga kita ikut membudayakan demokrasi liberal dan ekonomi liberal (mungkin juga mental dan moral liberal).
Demikian sebagai bahan pertimbangan dan renungan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa mengayomi dan memberkati bangsa Indonesia dalam integritas sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45.

Malang, 20 Mei 2009
Laboratorium Pancasila
Universitas Negeri Malang (UM)
Ketua,


Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, SH
(Guru Besar Emiritus UM)
Kepustakaan:

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan pustaka firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________________ 2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh : Saafroedin Bahar), Jakarta, PT. Midas Surya Grafindo.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London, George Allen and Unwind Ltd.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003) dan PP RI No. 6 tahun 2005.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.


























LAMPIRAN :

Untuk lebih memahami HAM berdasarkan ajaran Filsafat Pancasila, dilengkapi dengan studi perbandingan dengan ajaran HAM berdasarkan Teori Natural Law (teori hukum alam) yang dianut ideologi Liberalisme-Kapitalisme dan dengan ajaran HAM berdasarkan Filsafat Idealisme Murni (Hegel) yang dianut ideologi marxisme-komunisme-atheisme; perhatikan skema terlampir;

HAM BERDASARKAN FILSAFAT PANCASILA
(Asas Keseimbangan HAM dan KAM)


























Skema 6 (MNS, 2000: 85 – 98)


























HAM BERDASARKAN FILSAFAT PANCASILA
(DALAM BANDINGAN DENGAN: TEORI NATURAL LAW & TEORI HEGEL)


(MNS, 1983 – 1993; 2003)

skema 7
Catatan:
Dalam filsafat Islam, sesungguhnya HAM (hidup, kemerdekaan dan hak milik) sebagai anugerah “hanyalah” untuk manusia secara universal. Martabat mulia dan agung manusia, pada hakikatnya berwujud integritas keimanan sebagai martabat kerokhanian manusia. Keimanan (dan ketakwaan) inilah sesungguhnya yang manjadi mahkota dan integritas kemuliaan martabat manusia di hadapan Maha Pencipta dan Maha Berdaulat Jadi, kategori keimanan adalah anugerah dan amanat khusus bagi pribadi manusia yang setia dengan komitmen kerokhaniannya, sebagaimana dimaksud (Q 7: 172; dan 49: 17; 51: 56).
Sesungguhnya, hakekat HAM dalam asas keseimbangan dengan HAM ialah kemuliaan martabat manusia jasmani-rohani, dan dunia-akhirat. Hakekat demikian menjamin martabat HAM yang hidup dengan kerohaniannya dalam alam keabadian (akhirat), yang dipercaya umat beragama (sekaligus sebagai pengamalan Dasar Negara Pancasila, sila I dan II).

Makalah Hukum Kepegawaian

1
ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN PTUN BANDUNG
PERKARA NO. 92/G/2001/PTUN BANDUNG
TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN
Sarinah, Agus kusnadi, Atje
ABSTRAK
Obyek penelitian ini adalah tentang gugatan sengketa kepegawaian di PTUN
Bandung oleh Ir. A, PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mendapat SK
Penurunan Pangkat karena beristri lebih dari satu tanpa sepengetahuan istri dan
seijin atasan, dan Putusan PTUN Bandung yang menyatakan “gugatan tidak dapat
diterima, dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara yang diajukan”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan
pendekatan yuridis normatif. Maksud penggunaan metode tersebut adalah, untuk
menilai kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam
menyelesaikan sengketa dengan obyek sengketa.
Kesimpulan penelitian: SK Penurunan Pangkat terhadap Ir. A, PNS Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, sesuai dengan PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45
tahun 1990 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian PNS, serta PP Nomor 30
Tahun 1980 Tentang Peraturan disiplin PNS. Putusan PTUN Bandung yang
menyatakan “tidak berwenang memeriksa perkara dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara yang diajukan ”, sesuai dengan Pasal 48, 51 ayat (3) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang nomor 9 tahun 2004 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. Undangundang
Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
2
Kata kunci : PNS, Pelanggaran disiplin, SK Penurunan Pangkat, Sengketa
kepegawaian, wewenang menangani perkara
ANALYSE AND EVALUATION ON THE CASE NO. 92/G/2001/PTUN
BANDUNG
CONCERNING CIVIL EMPLOYMENT DISPUTE
Sarinah, Agus Kusnadi, Atje
ABSTRACT
The obyect of this research is about suing of officer dispute at PTUN
Bandung by Ir. A, a civil servant at the West Java office, getting SK of Demotion
because of bigamous more than one his wife without prior knowledgement, and
decision of PTUN Bandung expressing " inacceptable suing, and the unqualified
examination and finish dispute arranged the effort raised state”
The method used in this research is analytical descriptive approaching of
yuridical normative. The intend use of the method is the assessment between law
and regulation used in finishing obyect dispute
Research conclusion: SK of Demotion to Ir. A, a civil servant at the West
Java office, as according to PP of Number 10 Year 1983 jo PP of Number 45 Year
1990 About Permission of Marriage and Divorce PNS, and also PP of Number 30
Year 1980 About Regulation of discipline PNS. Decision of PTUN Bandung
expressing " unqualified case examination and finish dispute arranged the effort
state raised ", as according to Section 48, 51 sentence ( 3) Code of Laws Number 5
Year 1986 jo. Code of Laws Number 9 Year 2004 about Civil Service Arbitration
Tribunal, Section 36 Code of Laws Number 8 Year 1974 jo. Code of Laws Number
43 Year 1999 About Officer Specifics
Keyword : Civil servant, Discipline collision, SK of demotion, Officer dispute,
authority of cases threatment.
3
1. PENDAHULUAN
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara mempunyai posisi
sangat strategis dan peranan menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan. Sebagai aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk itu, PNS
sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap
peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas kedinasan.
Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan
kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, setiap PNS wajib
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab.
Pemerintah melalui PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin
PNS, memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan
berhasil guna, melalui atau berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja, yang
dilakukan secara bertahap sejak pengangkatan, penempatan, pendidikan dan
latihan, pemindahan, penghargaan, serta pemberhentian, dengan selalu mengacu
kepada kode etik dan peraturan disiplin yang diberlakukan. Semua itu dilakukan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan kinerja sumber daya aparatur.
Demikian juga sebaliknya, jika PNS di dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya melakukan pelanggaran misalnya, beristeri lebih dari satu
4
tanpa seijin atasan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983, dapat
dijatuhi hukuman disiplin berbentuk penurunan pangkat sebagaimana diatur dalam
pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kenyataan penurunan pangkat ini dapat menimbulkan ketidakpuasan pada PNS
tersebut dan tidak menutup kemungkinan memicu terjadinya sengketa
kepegawaian, dan bila sengketa kepegawain ini terjadi, akan ditangani oleh komisi
khusus di bidang kepegawaian yakni Komisi Kepegawaian Negara yang bertugas
menangani PNS yang merasa hak-haknya dirugikan. Komisi Kepegawaian
Negara sebagai lembaga yang menangani masalah sengketa kepegawaian dan
diharapkan dapat memperjuangkan hak-hak PNS, hingga saat ini belum terbentuk,
walaupun keberadaan komisi tersebut telah dituangkan dalam pasal 13 UU No.
43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sementara KORPRI sendiri hingga
saat ini belum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
kepegawaian.
Sekalipun demikian, pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan suatu
lembaga yang khusus bertugas menangani sengketa kepegawaian, sebagaimana
dapat dilihat dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, yang
mengatur tentang “Peradilan Kepegawaian“. Karena sengketa kepegawaian
menurut Sastro Djatmiko1, juga dapat timbul disebabkan penugasan oleh atasan
dengan tugas tertentu, percepatan dan pensiunan pegawai, izin perkawinan,
1. Sastro Djatmiko, “ Hukum Kepegawaian di Indonesia “, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 48-52,
lihat juga Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, ada 8 (delapan) sub bidang dalam
rangka pelaksanaan pembinaan PNS.
5
perceraian dengan menyangkut hak-hak salah satu pihak, serta pemberian izin-izin
lainnya.
Selanjutnya, menurut Sastro Djatmiko, sengketa dibidang kepegawaian dalam
penggolongannya yang lebih fleksibel, di bagi tiga yaitu : dalam hal keberatan
terhadap suatu hukuman disiplin, dalam hal keberatan terhadap daftar pernyataan
kecakapan tempat, dan dalam susunan kepangkatan .
Itulah sebabnya, penyelesaian sengketa kepegawaian sedapat mungkin
dilakukan dalam lingkup unit kerja di instansi yang mengeluarkan keputusan
hukuman disiplin tingkat berat berupa “pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai PEGAWAI NEGERI SIPIL”
oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian baik di tingkat pusat maupun
daerah. Bila hal ini terjadi, dapat ditempuh upaya banding administratif melalui
gugatan sesuai mekanisme hukum yang berlaku yaitu melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
Peradilan Administrasi atau “Administratieve rechtspraak” atau Judicial control of
adminitrative action” sesungguhnya juga merupakan genus peradilan, karena
tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu
negara terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Mengacu pada Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, bagi Indonesia sebagai negara hukum, hak dan kepentingan perseorangan
dijunjung tinggi, untuk itu kepentingan perseorangan harus seimbang dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Itulah sebabnya tujuan
pembentukan peradilan administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan
6
perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan masyarakat, sehingga tercapai
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Kasus kepegawaian pada dasarnya merupakan kasus yang cukup menarik
untuk dikaji, karena permohonan gugatan sengketa kepegawaian ke lembaga
peradilan di beberapa kota besar, dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan
segala persoalan baru. Hal ini terjadi karena adanya sejumlah ketentuan dalam
hukum kepegawaian yang terkadang tumpang tindih atau belum diatur dan belum
dilengkapi dengan penjelasan dalam undang-undangnya. Kondisi demikian
membuat penegak hukum memberikan penafsiran menurut persepsinya masingmasing
sebagaimana dalam kasus Putusan PTUN Bandung untuk perkara Nomor
92/G/2001/PTUN tentang sengketa kepegawaian antara Ir. A, seorang PNS di
lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan atasannya, karena PNS
tersebut beristeri lebih dari satu tanpa sepengetahuan istri dan tanpa seijin atasan,
sehingga dijatuhi hukuman disiplin dalam bentuk SK Penurunan Pangkat oleh
atasannya.
Perumusan Masalah
1. Apakah putusan terhadap Ir. A, sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. Apakah putusan PTUN Bandung dengan menyatakan “gugatan tidak
dapat diterima, dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang diajukan”, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
7
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis
dengan pendekatan yuridis normatif. Maksud penggunaan metode tersebut adalah,
untuk menilai kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang digunakan
dalam menyelesaikan sengketa dengan obyek sengketa
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi
Ir. A, seorang PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tanpa
sepengetahuan isteri dan seijin atasan, telah beristeri lebih dari satu. Berdasarkan
pengaduan si isteri dan hasil pemeriksaan, terbukti melanggar PP Nomor 10
Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, dan PP Nomor 30
Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, sehingga dijatuhi hukuman displin
melalui SK Penurunan Pangkat. Selanjutnya Ir. A menggugat Gubernur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat di PTUN Bandung dan menjadikan SK Penurunan
Pangkat sebagai obyek Sengketa Kepegawaian di PTUN Bandung.
Putusan PTUN Bandung terhadap perkara nomor 92/G/2001/ PTUN Bandung
intinya; Dalam eksepsi : mengabulkan eksepsi absolut Tergugat bahwa SK
Penurunan Pangkat yang diterbitkan sesuai prosedur administrasi kepegawaian ;
bahwa PTUN Bandung tidak berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang diajukan. Dalam pokok perkara : Menyatakan
gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
Pertimbangan Putusan di atas antara lain : adanya pengaduan dari isteri
Penggugat dan pemeriksaan, Tergugat bermaksud menegakkan disiplin pegawai
8
yang menurut Tergugat telah melanggar disiplin PNS; untuk mewujudkan hal
tersebut di atas, Tergugat menerbitkan objek sengketa; acuan dasar yang diterapkan
Tergugat adalah PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS; atas
penjatuhan hukuman disiplin tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Jo Pasal 16 PP
Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, dapat mengajukan
keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum tersebut dalam
jangka waktu 14 hari terhitung mulai tanggal ia menerima keputusan hukuman
disiplin tersebut; berdasarkan Pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 disebutkan : “Bahwa
dalam hal suatu badan hukum atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa tata
usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
secara administratif yang tersedia (ayat 1), sedangkan ayat ( 2 ) menyebutkan”
pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan”; bertitik tolak pada uraian
pertimbangan Pasal 15 ayat (2) Jo Pasal 16 PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin PNS di atas, maka jenis keberatan dimaksud adalah merupakan
Banding Administratif; terlepas apakah Penggugat telah mengajukan keberatan
atau telah melakukan prosedur Banding Administratif pada atasannya dari pejabat
yang menghukum Penggugat, maka pengadilan haruslah menyatakan tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh Penggugat,
karena berdasarkan Pasal 51 ayat (3) maka PTUN-lah yang berwenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan ditingkat pertama sengketa tata usaha
9
negara dalam perkara ini yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta ; karena Eksepsi absolut Tergugat telah dikabulkan, maka terhadap
eksepsi lain dan pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lagi.
Mengkaji Putusan PTUN Bandung beserta pertimbangan hukumnya,
selanjutnya dilakukan tinjauan yuridis terhadap lembaga peradilan sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
B. Tinjauan yuridis :
Kompetensi utama Badan Peradilan Administrasi yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
menyelesaikan sengketa administrasi antara Pemerintah dan warga masyarakat,
disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga.
Peraturan perundang-undangan khususnya pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menyatakan:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sengketa-sengketa dibidang kepegawaian tidak ditangani langsung oleh suatu
peradilan tetap, namun diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan suatu
proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat yang
disebut peradilan semu( Quasi rechtspraak). Pengertian Peradilan kepegawaian
yang dimaksud adalah serentetan prosedur administrasi yang ditempuh oleh
10
pegawai negeri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu tindakan
berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pejabat yang berwenang) yang
merupakan kepentingannya.
Dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 8
tahun 1974 Jo Undang-undang No 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UU No 9
tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal sengketa
kepegawaian terlebih dahulu dilakukan prosedur administrasi di lingkungan
pemerintahan sendiri. Bila mana penyelesaian tersebut belum memberikan
kepuasan maka PNS yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Administrasi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) sebagai pengadilan tingkat
pertama.
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa kepegawaian, diatur lebih lanjut
dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang berbunyi :
ayat (1) dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu,
maka sengketa tata usaha tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia,
ayat (2) pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan upaya administratif adalah suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum apabila ia tidak
puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, yang dilaksanakan dilingkungan
11
pemerintahan sendiri. Upaya administartif itu terdiri dari : (1) Banding
administratif, yakni apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, (2) Keberatan,
yakni jika penyelesaian harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang mengeluarkan keputusan jika seluruh prosedur itu telah ditempuh,
tetapi ada pihak yang belum merasakan keadilan atau kepuasan, maka
persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di
tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 “
C. Eksistensi Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(maachtstaat). Dengan penjelasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan
masyarakat dan negara, diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis) hal ini
menunjukkan bahwa semua warga negara termasuk aparatur negara mempunyai
kedudukan yang sama dimuka hukum, dengan demikian aparatur negara di dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dituntut untuk selalu
bersikap dan berprilaku sesuai norma-norma hukum di dalam memberikan
pelayanan serta pengayoman kepada warga masyarakat.
12
Dalam kaitan ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
pilar dari negara hukum, karena di satu sisi mempunyai peranan menonjol yaitu
sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap sikap tindak administrasi negara
supaya tetap berada dalam rel hukum, di sisi lain, sebagai wadah untuk melindungi
hak individu dan warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan
atau tindakan sewenang-wenang administrasi negara.
Sebagai lembaga pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control “ karena ia
merupakan lembaga yang berada diluar kekuasaan administrasi
negara (bestuur)
2. Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan
represif atau lazim disebut “control a posteriori “ karena selalu
dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3. Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas” karena hanya
menilai dari segi hukum (rechtmatig) nya saja.
Fungsi pengawasan PTUN nampaknya sulit dilepaskan dari fungsi
perlindungan hukum bagi masyarakat (individu-individu), karena dapat
memposisikan individu berada pada pihak yang lebih lemah bila berhadapan di
pengadilan, sementara tolok ukur bagi Hakim Administrasi dalam mengadili
Sengketa Administrasi Negara adalah pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ( sering disebut pasal ‘ payung
‘ atau menghidupkan kompetensi PTUN diantara pasal-pasal yang lain), yang
menentukan alasan-alasan untuk dapat digunakan dalam gugatan di Pengadilan
Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam ayat tersebut merupakan juga dasar
pengujian (toetsingsgronden) dan dasar pembatalan bagi hakim dalam menilai
13
apakah keputusan tata usaha negara yang digugat itu bersifat melawan hukum
atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau
tidak.
Sementara itu, isi ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 dimaksudkan
sebagai berikut : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah : (a).Keputusan Administrasi negara yang digugat
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b).
Keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang baik atau layak (AAUPB/AAUPL)
Dari rumusan di atas, ditemukan asas larangan “penyalahgunaan wewenang “
dan asas larangan “bertindak tidak sewenang-wenang “ keduanya termasuk bagian
dari Asas asas umum pemerintahan yang baik ( AAUPB ).
Menurut Indroharto2, urgensi keberadaan Azas asas umum pemerintahan yang
layak ( AAUPL ) yang tersirat dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986
adalah, disamping dapat digunakan untuk menggugat juga merupakan dasar-dasar
( kriteria atau ukuran ) yang digunakan Hakim Administrasi dalam menguji atau
menilai ( toetsingsgronden ) apakah Keputusan Administrasi Negara ( beschikking
) yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Lebih lanjut,
Indroharto memerinci dasar-dasar pertimbangan untuk menguji Keputusan
Administrasi Negara yang dapat digugat kedalam empat ukuran, yakni;
(1). Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2).
Melanggar larangan detournement de pouvoir, (3). Menyimpang dari nalar yang
2. Indroharto, “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah Agung, Jakarta, 1985
14
sehat (melanggar larangan willekeur), (4). Bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang layak.
Sebenarnya keberadaan ke-empat kriteria di atas, diformulasikan dari
ketentuan Pasal 53 ayat (2) butir a,b.c yang dibandingkan dengan ketentuan Pasal
8 ayat (1) Wet AROB dan merupakan dasar menguji undang-undang oleh Afdeling
Rechtspraak raad van Stater terhadap suatu beschikking yang digugat, namun UU
No. 5 Tahun 1986 tidak dengan tegas mencantumkan Asas asas umum
pemerintahan yang layak kedalam salah satu pasalnya (seperti dalam butir (d)
Wet AROB).
Jadi yang perlu diperhatikan dalam penerapan Asas asas umum pemerintahan
yang layak secara konkrit adalah memperhatikan pandangan-pandangan, ide-ide
kondisi yang dianut dalam sistem dan praktek pemerintahan baik politik, kultural
maupun ideologi. Dengan demikian, Hakim Administrasi perlu berpedoman
pada beberapa dasar pertimbangan di atas, karena para hakim pada saat
menerapkan hukum (Asas asas umum pemerintahan yang layak) bertindak sebagai
penemu hukum, pembentuk hukum, pembaharu hukum, penegak hukum dan
sebagai benteng keadilan.
Sementara penerapan asas hukum oleh Hakim Administrasi di pengadilan
menurut Philipus M Hadjon3, secara teknis dapat didekati dengan dua cara yaitu
melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Di dalam Metode induksi, langkah
pertama yang dilakukan hakim dalam menangani sengketa adalah merumuskan
fakta, mencari hubungan sebab-akibat dan mereka-reka probabilitasnya.
3. Philipus M Hadjon, “ Pengkajian Ilmu HukumDogmatic ( nasional)”, Makalah Yuridika Nomor
6 Tahun IX, Nopember 1994, hlm. 12-14
15
Kemudian diikuti dengan metode deduksi, yang diawali dengan mengumpulkan
fakta-fakta, dan setelah fakta berhasil dirumuskan, selanjutnya dilakukan upaya
“penerapan hukum (asas hukum)”.
Langkah utama dalam penerapan hukum adalah mengidentifikasi aturan aturan
hukum. Dari langkah ini akan dijumpai suatu kondisi hukum yang bermacammacam.
Pertama, adanya kekosongan hukum ( kekosongan peraturan perundangundangan
) jika hal ini terjadi, maka hakim berpegang pada asas “ius curia novit”
hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Upaya
inilah yang sering disebut sebagai metode Penemuan hukum (rechtsvinding)
Kedua, akan terjadi kondisi antinomi (konflik norma hukum ). Solusinya
berlakulah prinsip-prinsip “asas lex posterior derogat legi priori,” asas lex
specialis derogat lex generalis” dan “asas lex superior derogat legi inferior “
Ketiga, dalam menghadapi norma hukum yang kabur, maka hakim berpegang
pada rasio hukum yang terkandung dalam peraturan hukum, untuk selanjutnya
menetapkan metode interprestasi yang tepat, sedangkan menurut Bagir Manan4,
untuk mempertemukan antara kaidah hukum dengan peristiwa hukum atau fakta,
diperlukan berbagai metode yaitu metode penafsiran dan metode konstruksi.
Melihat perkembangan praktek penerapan kaedah hukum tidak tertulis oleh
Hakim Administrasi dewasa ini, nampaknya ada kecenderungan mengarah pada
kondisi diterimanya yurisprudensi, di samping kedua asas yang sudah tercantum
dalam Pasal 53 ayat (2) butir b dan c artinya, yurisprudensi dapat diakui sebagai
4 Bagir Manan, “ Pemecahan Persoalan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Ceramah penataran
hakim agama se-Indonesia, diselenggarakan Depag RI 20 Nopember 1993, hlm. 11-15
16
hukum dalam arti konkret (in concreto) sehingga disebut dengan Hukum
Yurisprudensi .
D. Analisa dan Evaluasi Perkara
Gugatan yang dilakukan oleh PNS, Ir.A terhadap atasannya merupakan suatu
tindakan hukum ( litigasi ) yang umum dilakukan seorang pegawai karena merasa
tidak puas atas SK tersebut, disertai sikap tidak menerima terhadap penyelesaian
yang dilakukan melalui pemeriksaan internal (peradilan semu) di luar pengadilan,
karena tidak mendapat hasil maksimal.
Menurut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan
pihak yang dirugikan pada pihak lain harus didasarkan pada ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 53 ayat I, dan bila melihat objek sengketa, maka pengajuan
gugatan oleh penggugat ke Peradilan Administrasi pada dasarnya sudah tepat
karena diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sejak Penggugat
menerima Surat Keputusan tersebut ( Pasal 55 UU No 5 tahun 1986 Jo UU No. 9
tahun 2004 ), akan tetapi bila melihat ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) PP No. 30
tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS khususnya untuk putusan berupa
hukuman disiplin, dapat dilakukan melalui upaya administratif yaitu, Penggugat
menyampaikan keberatan disertai alasan-alasan walaupun sengketa belum selesai.
Dengan demikian gugatan dapat diajukan untuk diadili langsung oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dan bukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal
51 ayat (3) UU No 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara), oleh
karenanya putusan PTUN Bandung yang menyatakan tidak berwenang untuk
mengadili perkara tersebut adalah sudah tepat
17
Selanjutnya, penggugat menyatakan bahwa Gubernur telah bertindak
sewenang-wenang dalam mengeluarkan Surat Keputusan No 862.3/Kep,
592/kepeg/2001. Pernyataan penggugat tersebut tidak tepat atau tidak sesuai
dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, karena berdasarkan faktafakta
diketahui adanya proses yang jelas dan pengujian terlebih dahulu semenjak
adanya laporan istri Penggugat yang ditindaklanjuti pemeriksaan oleh
ITWILPROP dan rekomendasi pimpinan unit kerja penggugat yang berisi, bahwa
sebelum mengeluarkan keputusan tersebut telah diberikan kesempatan kepada
penggugat untuk melakukan pembelaan ataupun keberatannya dalam pemeriksaan
(Pasal 9 ayat (1) (2) dan (3) Pasal 10, 11 dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP No 30
Tahun 1980, terhadap kasus penggugat oleh beberapa instansi atau badan yang
berwenang dilingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Mengenai pokok perkara, tentang pernyataan Tergugat/Gubernur bahwa
dalam menerbitkan Keputusan tidak bertindak sewenang-wenang, adalah benar
karena sebagai pejabat yang berwenang menghukum (Pasal 7 ayat (1) Huruf d PP
No. 30 tahun 1980), Gubernur berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap
Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti melanggar peraturan disiplin pegawai
negeri, setelah dilakukan pemeriksaan (Dengan memperhatikan tentang ijin
perkawinan dan perceraian PNS yang telah diubah), dengan demikian Keputusan
No. 62.3/kep.592/Kepeg/2001 yang diterbitkan tergugat tidak bertentangan dengan
apa yang dimaksud dalam alasan-alasan gugatan dalam Pasal 53 UU Nomor 5
tahun 1986 Jo UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
18
1. Dengan jelas Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Keputusan tersebut tidak bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, Putusan majelis hakim yang isinya menyatakan “gugatan tidak
dapat diterima”, mengandung makna bahwa gugatan tidak memenuhi syarat-syarat
formal sebuah gugatan, khususnya syarat formal yang tidak terpenuhi berkaitan
dengan bukan kewenangan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung,
sebab kompetensi merupakan hal terpenting karena merupakan pemberian
kekuasaan, kewenangan atau hak pengadilan yang melakukan peradilan.
Kompetensi Absolut/ atribusi (Absolute competentie atau attributie Van
rechtsmacht) oleh R Subekti diberi arti “Uraian tentang kekuasaan atau wewenang
sesuatu jenis pengadilan”5.
Mengenai Eksepsi, pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara diajukan
kepada pengadilan yang bersangkutan selama berlangsungnya proses persidangan,
dengan catatan eksepsi diajukan sebelum majelis hakim menetapkan putusan, dan
untuk keperluan tersebut maka inisiatif harus datang dari pihak tergugat,
walaupun dalam hal ini hakim berpendapat bahwa persoalan yang diajukan
kepadanya itu tidak termasuk dalam wewenangnya, sehingga secara ex-officio
hakim menyatakan dirinya tidak berkompeten. Tentang hal ini, Sjachran Basah6
menegaskan bahwa, eksepsi terhadap distribusi harus diajukan pada permulaan
5 R,. Subekti, “ Hukum Acara Perdata”, Bina Cipta, bandung, 1977, hlm. 28
6. Sjahran Basah, “ Eksistensi dan tolok ukur Peradilan Administrasi di Indonesia”, Alumni,
Bandung, cetakan ke 3, 1997, hlm. 70
19
sidang, dimana kepada tergugat untuk pertama kalinya diberikan kesempatan
menyampaikan jawaban atas gugatan terhadap dirinya. Melewatkan kesempatan
itu, berarti bahwa tergugat telah kehilangan hak untuk mengemukakan eksepsi
distribusi dan hakim tidak diijinkan menyatakan tidak wewenangnya serta menolak
gugatan tanpa inisiatif dari tergugat.
Kedua macam tangkisan itu harus dikemukakan terpisah dari pokok
persoalannya. Hakim memeriksa dan menyelesaikan masalah eksepsi itu terlebih
dahulu sebelum memasuki pokok persoalan. Hal tersebut berlainan dengan eksepsi
“lain” yang harus dikemukakan serentak dengan pokok persoalan dan diputuskan
pula secara bersamaan.
Dalam Putusan PTUN ini, bila pengadilan menyatakan tidak berwenang untuk
mengadili perkara, maka seharusnya hakim mengeluarkan Putusan sela sehingga
tidak perlu memeriksa pokok perkara, walaupun tindakan hakim yang tidak
mengeluarkan Putusan sela dalam memeriksa perkara tersebut dapat dibenarkan
karena tidak melanggar ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian Putusan PTUN Bandung terhadap perkara Nomor
92/G/2001/PTUN BANDUNG, adalah putusan tepat dan benar karena sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Putusan terhadap Ir. A, PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dijatuhi
hukuman disiplin berbentuk SK Penurunan Pangkat, sesuai dengan PP
Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Ijin
20
Perkawinan dan Perceraian PNS, dan PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang
Peraturan disiplin PNS.
2. Putusan majelis hakim yang menyatakan “gugatan tidak dapat diterima,
dan tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara yang diajukan”, sesuai dengan Pasal 48, 51 ayat (3) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 36 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
B. Rekomendasi
Isi Putusan yang menyatakan “PTUN Bandung tidak berwenang memeriksa
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diajukan“, pada dasarnya dapat
dibenarkan karena tidak melanggar ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, tetapi pernyataan tersebut lebih baik dikeluarkan melalui Putusan sela,
dengan demikian majelis hakim tidak perlu memeriksa pokok perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pemecahan Persoalan Hukum, Makalah disampaikan pada
Ceramah Penataran Hakim Agama se-Indonesia diselenggarakan Depag,
1993
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Mahkamah Agung,
Jakarta, 1985
Kotan Y Stefanus, Mengenal Peradilan Kepegawaian di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995
Marbun SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997
21
Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintahan, Cet Pertama, Citra Aditya Bakti Bandung, 1993
Philipus M Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatic (nasional), dalam
Makalah Yuridika No. 6 Tahun IX Nopember 1994.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977
Sastro Djatmiko, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
Soedibyo Triadmodjo, ( 1983 ), Hukum Kepegawaian Mengenai Kedudukan, Hak
dan Kewajiban PNS, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Cet, Pertama,
Alumni Bandung, 1992

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/LEMLIT%20JURNAL%20SENGKETA%20PEGAWAI.pdf

Hukum Kepegawaian

PENGERTIAN
Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya, dan digaji berdasakan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dasar Hokum Kepegawaian, antara lain :
a. UU RI No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU RI No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok – pokok Kepegawaian;
b. PP RI No. 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
c. PP RI No. 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil;
d. PP RI No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
e. Dll

Pegawai negeri terdiri dari :
1) Pegawai Negeri Sipil, dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a) Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan kepada APBN dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas Negara lainnya;
b) Pegawai Negeri Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada APBD dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
2) Anggota Tentara Nasional Indonesia.
3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pegawai Negeri Tidak Tetap adalah Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.

Kedudukan Pegawai Negeri yaitu sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan, dan pembangunan.

Dalam tugas dan kedudukan Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, untuk menjaga nertalitas Pegawai Negeri yaitu dengan tidak memperbolehkan/dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus dari partai politik.

Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri dan pemberhentian tersebut dapat dilakukan secara terhormat ataupun tidak secara hormat.

Kewajiban Pegawai Negeri yaitu wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintahan, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan RI.

Hak Pegawai Negeri yaitu memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

Gaji adalah sebagai balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan.
System penggajian dapat digolongkan dalam 2 (dua) system, yaitu :
a. System skala tunggal : System penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai negeri yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya.
b. System skala ganda : System penggajian yang menentukan besarnya gaji bukan saja didasarkan pada pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan beratnya tanggung jawabnya pekerjaannya.
c. System skala gabungan : Gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, disamping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang lebih tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus.

Komisi Kepegawaian Negara, bertugas untuk :
a. Merumuskan kebijaksanaan umum kepegawaian;
b. Merumuskan kebijaksanaan umum penggajian dan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil; dan
c. Memberikan pertimbangan dalam penggangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan structural tertentu yang menjadi wewenang Presiden.

Formasi adalah penentuan jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri yang diperlukan untuk mampu melaksanakan tugas pokok yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Formasi ini ditetapkan berdasarkan perkiraan beban kerja dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan macam – macam pekerjaan, rutinitas pekerjaan, keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan hal – hal lain yang mempengaruhi jumlah dan sumber daya manusia yang diperlukan.

Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah Jabatan Karier.

Jabatan Karier adalah Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Jabatan Karier dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu :
a. Jabatan Structural adalah jabatan yang secara tegas ada didalam structural organisasi, dan
b. Jabatan Fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi sudut fungsinya diperlukan oleh organisasi.

Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat kedudukan seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena Meninggal Dunia. Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena :
a. Atas permintaan sendiri;
b. Mencapai batas usia pensiun;
c. Perampingan organisasi pemerintahan; dan
d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan, karena :
a. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintahn; dan
b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumnya kurang dari 4 (empat) tahun.

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri atau tidak dengan hormat, karena :
a. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumnya 4 (empat) tahun atau lebih; atau
b. Melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri tingkat berat.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena :
a. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan;
b. Melakukan penyelewengan terhadap ideology Negara, Pancasila, UUD 1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan Pemerintah; atau
c. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan tindak pidana kejahatan, dikenakan pemberhentian secara sementara sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut yaitu pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sementara dari Pegawai Negeri Sipil.

Apabila dalam pemeriksaan atau telah ada putusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut direhabilitasikan terhitung sejak ia diberhentikan sementara. Rehabilitas yang dimaksud yaitu Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula.

Apabila dalam pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil tersebut dinyatakan bersalah, dan oleh sebab itu dihukum penjara atau kurungan berdasarkan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaannya atau dierhentikan dengan tidak hormat.

Pegawai Negeri Sipil harus diberikan pelatihan dan pendidikan, dimana penyelenggaraan dan pengaturan pendidikan dan pelatihan jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil dimaksudkan agar terjaminnya keserasian pembinaan Pegawai Negeri Sipil.

Pembinaan dan pelatihan pendidikan tersebut terdiri dari : Kegiatan perencanaan termasuk perencanaan, anggaran, penentuan standar pemberian akreditasi, penilaian, dan pengawasan.

Tujuan pendidikan dan pelatihan jabatan anatar lain adalah :
a. Meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, dan keterampilan;
b. Menetapkan adanya pola berpikir yang sama;
c. Menciptakan dan pengembangan metode kerja yang lebih baik; dan
d. Membina karier PNS.

Pada pokoknya pendidikan dan pelatihan prajabatan dan pendidikan dan pelatihan dalam jabatan :
a. Pendidikan dan Pelatihan prajabatan (pre service training) adalah suatu pelatihan yang diberikan kepada Calon PNS, dengan tujuan agar ia dapat terampil melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya;
b. Pendidikan dan Pelatihan dalam jabatan (in service training) adalah suatu pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan.