Entri Populer

Rabu, 05 Agustus 2009

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAK PIDANA PENCABULAN

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari pemerintah.
Sebetulnya usaha perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu diisi oleh anak-anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan.
Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak anak). Sementara itu masalah anak terus dibicarakan dalam konggres-konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Pada konggres ke I di Jenewa tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile Delinquency.
Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November. Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat.
Dalam Pasal 16 Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada seorangpun anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan semacam itu.
Mendasarkan pada ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah.
Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak.
Kesejahteraan Anak menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Adapun kesejahteraan anak itu sendiri menurut Arif Gosita adalah :
“Hak asasi anak yang harus diusahakan bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara obyek dan subyek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Setiap peserta bertanggung jawab atas pengadaan kesejahteraan anak. Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib) berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang merata akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu usaha pengadaan kesejahteraan anak sebagai segi perlindungan anak mutlak harus dikembangkan”.

Dari definisi tentang kesejahteraan anak tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa kesejahteraan anak merupakan hak asasi bagi masing-masing anak dan pengadaan kesejahteraan anak merupakan kewajiban asasi setiap anggota masyarakat dan negara. Termasuk perlindungan anak dari kemungkinan menjadi korban tindak pidana.
Sebagai hak asasi, kesejahteraan anak di Indonesia diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seiring dengan perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin dituntut pelaksanaannya. Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Efek atau dampak positif dari perkembangan teknologi dan budaya adalah semakin canggihnya teknologi yang ada pada saat ini, sedangkan efek negatifnya adalah adanya pergaulan bebas dan semakin meningkatnya kejahatan seks yang terjadi, khususnya yang menimpa anak-anak.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak dari tindak pidana pencabulan ?
2. Hambatan apa yang muncul dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan ?


L. METODE PENELITIAN
1. Metode pendekatan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. J. Supranto mengatakan bahwa penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang condong bersifat kuantitatif, berdasarkan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelaahan secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu situasi. Dalam penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
3. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari seluruh populasi.
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh unit yang akan diteliti, atau dapat dikatakan populasi merupakan jumlah manusia ataupun fenomena yang mempunyai karakteristik sama. Dalam penelitian ini sebagai populasinya adalah semua yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan. Mengingat luasnya populasi yang diteliti, maka untuk menghemat waktu dan biaya serta untuk menjaga akurasi data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengambilan sampel. Teknik yang digunakan adalah teknik non random sampling, yang artinya hanya objek yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat diambil sebagai sampel, dengan demikian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah hanya objek yang memiliki keterlibatan langsung dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
Sebagai responden dari penelitian ini adalah sebagai berikut ;
a. Ketua JPPA Kabupaten Kudus.
b. Kanit PPA Polres Kudus.
c. 20 (dua puluh) orang masyarakat (orang tua) di Kabupaten Kudus.
Untuk menentukan sampel dari masyarakat di Kabupaten Kudus, digunakan teknik random sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara sembarangan atau tanpa pilih atau secara rambang, dimana setiap objek atau individu atau gejala yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data primer dan data sekunder ;
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data. Data ini diperoleh dengan mengadakan interview atau wawancara secara langsung dengan responden a dan b. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Khusus untuk mengumpulkan data primer dari responden c yaitu masyarakat Kabupaten Kudus digunakan teknik kuesioner atau penyebaran angket.
b. Data Sekunder
Data sekunder ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana.
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a) Bahan hukum primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b) Bahan hukum sekunder:
1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan;
2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.
c) Bahan hukum tersier:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum.
5. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang sistematis.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar