Entri Populer

Rabu, 01 Juli 2009

Perkara Pelanggaran Perda Tidak Bisa Dikasasi

Permohonan kasasi aktivis Falum Gong ditolak MA. Ia dihukum berdasarkan Perda Ketertiban Umum.

Salah satu perkara yang tidak bisa diajukan kasasi adalah perkara yang ancaman hukumannya adalah pidana paling lama satu tahun penjara. Sementara ancaman kurungan di dalam Perda tidak boleh lebih dari 6 bulan.



Pasal 45 A Ayat (1) UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung membatasi perkara yang bisa diajukan kasasi, antara lain putusan praperadilan, perkara pidana yang diancam dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun penjara dan perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.



Nah, mengacu pada ketentuan di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa setiap perkara pelanggaran terhadap Peraturan Daerah (Perda) tidak dapat diajukan kasasi. Hal tersebut dikarenakan, berdasarkan Pasal 143 Ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan Perda dapat memuat ancaman hukuman kurungan paling lama 6 bulan.



Argumen hukum inilah yang digunakan majelis kasasi Mahkamah Agung saat menolak permohonan kasasi Hok Soebagio. Kepada hukumonline, Soebagio menuturkan bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman percobaan 2 bulan kurungan dengan masa percobaan 6 bulan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena dianggap telah terbukti melanggar Pasal 8 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Daerah No 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.



Soebagio menjelaskan, duduk perkara persoalan ini ketika pada April 2005, ia beserta beberapa sebelas aktivis Falun Gong menggelar aksi solidaritas di depan Kedutaan Besar China. “Aksi yang kami lakukan saat itu hanyalah duduk di trotoar sambil meditasi dan mempertunjukkan beberapa gambar yang memperlihatkan bagaimana para pengikut Falun Gong di China disiksa secara kejam oleh pemerintah China,” cerita Soebagio.



Merasa demonstrasinya sudah memenuhi ketentuan yang terdapat dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, Soebagio pun melanjutkan aksi solidaritasnya. Namun, sekira satu jam, aparat kepolisian dari Polres Jakarta Selatan kemudian mengusir Soebagio c.s sekaligus mengangkutnya ke Kantor Polres Jakarta Selatan karena dianggap melanggar jalur hijau sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Angka 1 dan 2 Perda Ketertiban Umum. “Saya beserta kawan-kawan ditangkap dan menginap selama satu malam di Polres Metro Jakarta Selatan.”



Proses hukum pun berlanjut ke pengadilan. Herman Allositandi, hakim PN Jakarta Selatan, saat itu melalui putusannya bernomer 367/Pid/TPR/PN Jak Sel, memvonis Soebagio dkk telah terbukti bersalah melanggar Perda No 11 Tahun 1998. Atas putusan PN Jaksel ini, Soebagio melalui kuasa hukumnya dari LBH Jakarta lantas mengajukan banding. Namun usaha bandingnya sia-sia. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah menguatkan putusan PN Jaksel. Di tingkat kasasi, perjuangan Soebagio kembali kandas.



Perda No 11 Tahun 1988

Pasal 8

Kecuali untuk keperluan dinas, setiap orang dilarang untuk:

1. memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan untuk umum

2. melakukan perbuatan dengan alasan apapun yang dapat merusak jalur hijau dan atau taman beserta

kelengkapannya.



Pasal 27 Ayat (1)

Perbuatan yang melanggar pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 23 dan pasal 24 Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya (3) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)





Ajukan PK

Kini, Soebagio coba mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Soebagio beralasan tindakan aparat kepolisian yang menangkap dan menahannya selama satu malam justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 Ayat (3) Perda No 11 Tahun 1988. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa dalam melakukan tugasnya, penyidik tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan.



Selain itu, Soebagio beralasan aksi solidaritas yang saat itu dilakukannya telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dimana dijelaskan tentang tempat-tempat yang dilarang untuk dilakukannya unjuk rasa, yaitu di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara dan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.



“Dengan demikian, trotoar di seberang kedubes RRC adalah tempat terbuka untuk umum. Sehingga putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan yang sudah menghukum kami, jelas telah bertentangan dengan UU No 9 Tahun 1998,” tegas Soebagio. “Selain itu, berdasarkan peta lokasi yang kami peroleh dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta, lokasi tempat kami berunjuk rasa ternyata bukanlah jalur hijau,” tambahnya.



Sementara, dalam berkas jawaban atas permohonan PK Soebagio, pihak Polres Metro Jakarta Selatan membantah semua dalil Soebagio. Mengenai kewenangan menangkap yang dipertanyakan Soebagio misalnya. Polres Jaksel beralasan hal itu merupakan kewenangan dari lembaga Praperadilan, bukan PK.



Polres Jaksel juga menyatakan bahwa dalil Soebagio yang mengaku sudah melakukan unjuk rasa sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 menjadi tidak relevan, karena demonstrasi yang dilakukan para aktivis falun gong tersebut dinilai sudah melanggar jalur hijau, yang dengan kata lain melanggar Perda No 11 Tahun 1988.



Tindak pidana ringan atau bukan?

Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chaerul Huda menuturkan, pada prinsipnya orang yang melanggar suatu Perda dapat dikenakan sanksi pidana. “Sepanjang Perda itu mengatur mengenai sanksi pidana,” jelas Huda.



Lebih jauh Huda menerangkan, berdasarkan ketentuan di dalam KUHAP, terhadap suatu tindak pidana ringan sebenarnya bisa dilakukan sidang ditempat. “Terhadap tindak pidana ringan yaitu tindak pidana yang diancam oleh kurungan maksimal tiga bulan, dapat dilakukan sidang ditempat.” Penjelasan Huda menjadi menjelaskan mengapa aparat penyidik dalam ketentuan Perda No 11 Tahun 1988 tidak boleh melakukan penangkapan apalagi penahanan.



Sedangkan dalam perkara Soebagio ini, Huda melihat adanya kekeliruan hukum jika perkara tetap diperiksa di Pengadilan. “Jadi tidak jelas perkaranya. Apakah tindak pidana ringan atau bukan. Karena kalau diperiksa di pengadilan, menjadi hilang karakterisitik tindak pidana ringannya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar