Entri Populer

Rabu, 01 Juli 2009

Revisi UU Peradilan Militer: Prajurit TNI Bisa Diadili di Peradilan Umum

Saat ini prajurit TNI memang hanya dapat disentuh oleh peradilan militer dan pengadilan HAM ad hoc. Namun, tak lama lagi prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum akan diadili oleh peradilan umum.

Kasus penembakan dua warga sipil yang diduga dilakukan oleh oknum anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di Cempaka Putih, Jakarta Pusat (11/03) masih bergulir. Kapolda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanegara mengatakan bahwa kasus penembakan pedagang asongan dan tukang rotan telah diserahkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum).



Perlu diketahui, berdasarkan Undang-undang No.26/1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia maupun Undang-undang No.31/1997 tentang Peradilan Militer, Ankum adalah pihak yang berwenang melakukan atau memerintahkan melakukan pemeriksaan terhadap prajurit dan menjatuhkan hukuman disiplin kepada prajurit TNI.



Baik UU No.26/1997 maupun UU No.31/1997 tidak membedakan pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit yang bersangkutan. Pelanggaran terhadap hukum militer maupun terhadap hukum pidana umum, prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer.



Namun, kini Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang menyusun RUU tentang Perubahan UU No.31/1997. Substansi RUU tersebut tidak hanya mengatur soal proses penyatuan atap peradilan militer dari Departemen Pertahanan kepada Mahkamah Agung, namun juga menyatakan bahwa prajurit TNI tidak lagi mutlak tunduk pada kekuasaan peradilan militer.



Ketua Baleg Zain Badjeber mengatakan bahwa aturan soal prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum adalah tindak lanjut dari TAP MPR No.VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian RI serta TAP MPR No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian RI. Kedua TAP tersebut kemudian diperkuat oleh TAP MPR No.I/2003.



"Oleh karena itu, di dalam revisi UU Peradilan Militer yang akan diajukan Badan Legislasi akan termasuk bagian materinya. Jadi, di samping penyatuan atap juga masalah pelanggaran hukum pada pidana umum diadili oleh peradilan umum," terang Zain kepada hukumonline (12/03).



Hukum acara

Meski begitu, Zain menjelaskan bahwa perubahan atas UU No.31/1997 tidak serta merta penyidikan ataupun penuntutan terhadap prajurit TNI dapat dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. "UU No.31/1997 itu kan tidak mengatur hukum acara. Apakah dengan sendirinya hukum acaranya tercabut lalu memakai KUHAP? Ini yang akan menjadi satu masalah," tutur politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.



Oleh karena itu, Zain mengatakan bahwa pihaknya kemungkinan akan membuat pengaturan soal transisi di dalam revisi UU No.31/1997. "Transisi itu kemungkinan bahwa kalau (suatu kasus) dibawa ke peradilan umum, itu memakai oditur dan jaksa penuntut umum. Jadi, peradilannya peradilan umum tanpa ada hakim militer, tapi penuntutnya bisa saja dilakukan oleh satu tim bersama," terangnya.



Zain mengatakan bahwa revisi UU No.31/1997 tidak akan mengatur soal hukum acara peradilan militer. Menurutnya, perubahan terhadap hukum acara peradilan militer akan dilakukan secara terpisah. Hal yang perlu disesuaikan dalam hukum acara militer adalah mengenai bagaimana pemeriksaan dan penuntutan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum.



Zain yang juga anggota Komisi II DPR mengatakan bahwa Baleg akan menyerahkan RUU Perubahan UU No.31/1997 ke pimpinan DPR pada bulan April. Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa RUU tersebut telah mendapat tanggapan dari Fraksi TNI/Polri. "Saya kira tidak ada masalah sepanjang kami belum masuk sampai kepada hukum acaranya," cetusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar