Entri Populer

Selasa, 29 Desember 2009

Good Governance

MEMBANGUN BUDAYA BIROKRASI UNTUK
GOOD GOVERNANCE
Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi
Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN
22 September 2005
Prof. Dr. Sofian Effendi
A. Pendahuluan
1. Pada 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk Reformasi
Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in
Indonesia) menerbitkan Laporan Tata Pemerintahan Negara Indnesia.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tiga tujuan reformasi tata
pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni,
penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan,
dan reformasi keuangan negara, telah berjalan cukup lancar tetapi
belum berhasil seperti diharapkan.
2. Skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dinilai cukup
luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu luas dan terlalu cepat dari
yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia
juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata
hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi
pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di
dunia.
3. Tetapi mengapa reformasi pemerintahan negara yang demikian luas
jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil
menciptakan good governance yang mampu membawa Indonesia keluar
dari multi krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998? Mengapa
kita belum seberhasil Muangthai dan Korea Selatan yang telah mampu
keluar dari krisis ekonomi yang sebenarnya lebih parah?
4. Ada beberapa faktor penyebab, yang paling utama adalah karena
Pemerintah Indonesia sejak Pemerinthan Orde Baru melaksanakan
reformasi birokrasi hanya setengah hati. Reformasi gaji, misalnya, hanya
secara parsial dengan hanya menaikkan 5 – 10 persen dari gaji pokok,
tanpa kerangka konseptual yang solid, dengan mengaitkan gaji dengan
kinerja serta dengan memperbadingkan dengan skala gaji sektor swasta.
Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius,
padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin tata
pemerintahan negara yang amanah dapat dikembangkan.
B. Tata Pemerintahan Amanah
2
5. Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali
dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam
suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah
juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
6. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson
memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu.
Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks
pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana
tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan
pada pertemuan hari ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan
atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun
belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan
internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai
program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara
Indonesia, term “good governance” telah diterjemahkan menjadi
penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang
baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan
secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
7. Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance”
terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi
dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep
“pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan
dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam
governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa
mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep
governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law,
partisipatiof dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS
adalah yanag paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the
process whereby elements in society wield power and authority, and
influence and enact policies and decisions concerning public life,
economic and social development.”
8. OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Sovyet Uni, sebagai
momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya
adalah: (1) penghargaan terhadap HAM, (2) demokrasi, (3) penegakan
Rule of Law, (4) Pasar bebas dan (5) Perhatian terhadap lingkungnan.
Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan
salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.
9. Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam
melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state), civil society
(masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan
masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
3
bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik,
ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan
interaksi yang sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu
biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust),
transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah
kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
10. Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai
assessment yanbg diadakan oleh lembaga-lembaga internasional
selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia samapi saat ini belum
pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena
alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa
dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun
masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance).
Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat
Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas,
penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan,
sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan
bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang
serius melaksanakan good governance?
11. Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita citacitakan
amat memerlukan Good Governance agar kita dapat
menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktek-praktek
yang diterima secara internasional. Namun, perumusan praktek-praktek
tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat
memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi,
Indonesia kemudian semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing
atau lembaga internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan
pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan daerah, serta dalam
pengelolaan keuangan negara.
B. BUDAYA ORGANISASI UNTUK MENDUKUNG GOOD GOVERNANCE
12. Di muka sudah saya singgung serba sedikit bahwa salah satu penyebab
kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung
penyelenggaraan tata pemerintahan amanah karena Pemerintah tidak
menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi.
Selanjutnya ada dua pertanyaan yang perlu dijawab mengenai hal ini.
Pertama, apa yang dimaksudkan budaya organisasi? Kedua, bagaimana
mengubah budaya organisasi
13. Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati
hidup sebuah organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia
mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya
perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya
yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi
pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan
lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max
4
Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira
140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk
organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk
menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan
demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas
organisasi dan lingkungannya berubah.
14. Budaya organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian
suatu organisasi: keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku
yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah
tradisi yang sangat sukar diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan
Keunggulan Korporasi”, Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya
organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota
organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan,
berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan
acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan”.
15. Nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan untuk penyelenggaraan
pemerintahan amanah antara lain adalah: demokratis, adil, costconsious,
transparan, akuntabel. Semuanya ini sebenarnya terangkum
dalam konsep budaya FAST yang disebarluaskan oleh Ary Ginandjar
yaitu: fathonah, amanah, siddiq dan tabligh.
16. Pada organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai
dengan misinya lebih mudah melakukannya. Tetapi dalam organiisasi
kementerian dan lembaga non-departemen di pusat dan dinas serta
lembaga non-dinas di daerah, nilai dan perilaku sudah berkembang
menjadi tradisi yang sukar berubah. Saya pribadi mengalami sendiri
betapa sukar merubah budaya organisasi UGM dari PTN yang sudah
berusia 56 tahun menjadi perguruan tinggi otonom. Mahasiswa, pegawai
dan dosen, serta masyarakat umum termasuk media massam bersamasama
mau pun sendiri-sendiri selalu “menentang” langkah-langkah yang
kami ambil untuk mengejar ketertinggalan UGM dari PT luar negeri.
Budaya UGM harus berubah agar dapat merealisasikan visinya menjadi
“Universitas peneliian bertaraf internasional yang unggul dan terkemuka,
serta berorientasi pada kepentingan bangsa dan dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila.”
D. Bagaimana Mengubah Budaya Organisasi
17. Peter Bijur (2001) menganggap syarat yang paling utama untuk
menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi adalah
kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan
memimpin mau pun dalam ketajaman visinya. Saya kira secara nasional
ini yang menjadi kendala utama kita.
18. Selanjutnya, ada 5 faktor yang penting untuk mensukseskan perubahan
budaya organisasi yaitu:
5
a. Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang telah ditetapkan;
b. Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan untuk perubahan;
c. Ide dan Strategi yang tepat untuk menciptakan lingkungan yang
mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan
strategi untuk mendorong perubahan;
d. Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan kepada para anggota
organisasi;
e. Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem remunerasi dan
penghargaan yang tepat.
E. Perjalanan Panjang menuju Budaya Organisasi Pemerintahan yang
Amanah
19. Perubahan budaya organisasi adalah ibarat perjalan panjang yang
melelahkan dan merupakan upaya yang bersifat incremental, tidak bisa
dicapat melalui gebrakan revolusioner. Budaya organisiasi paternalisitik
dan sentralistik, misalnya, tidak serta merta berhasil berubah dengan
menjungkir balikkan pemerintah yang berkuasa, seperti yang sedang
kitaalami selama beberapa tahun ini.
20. Organisasi yang ingin merubah budayanya harus berani menempuh
jalan yang tidak selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau
bahkan chaos, untuk mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, normanorma,
perilaku dan simbol-simbol budaya baru. Organiisasi harus
disipkan untuk selalu adaptif terehadap perubahan-perubahan, harus
berani bereksperimen, harus berani gagal dan harus dapat
menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya baru, yang ditelakkan
oleh pimpinan organisasi.
21. Walaupun sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program
yang benar, selalu ada resiko perubahan budaya organisasi tidak
berjalan seperti diharapkan, atau dalam kakus sekstrim bertentangan
dengan arah yang diinginkan. Perubahan budaya organisasi adalah
proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan akan sukses. Minimal
diperlukan waktu 5 sampai 10 tahun untuk merubah budaya organisasi
dengan sekala seperti Republik Indonesia atau pemerintah provinsi,
kabuaten dan kota. Karena itu strategi yang diajurkan oleh para ahli
(Morgan, 1996dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap
dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih
aman.
.
Yogyakarta, 22 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar