Entri Populer

Minggu, 07 Februari 2010

Hukum Humaniter

1. Pengertian Hukum Humaniter
Dalam kepustakaan hukum internasional istilah
hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif
baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an, ditandai
dengan diadakannya Conference of Government Expert on
the Reaffirmation and Development in Armed Conflict
pada tahun 1971. Selanjutnya, pada tahun 1974, 1975,
1976, dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the
Reaffirmation and Development of International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional,
maka terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai
hukum humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya.
Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut Jean Pictet:
“International humanitarian law in the wide sense is
constitutional legal promosion, whether written and
customary, ensuring respect for individual and his
well being”.1
1 Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam
Haryomataram, op. cit. hlm. 15.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
2
2. Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter
internasional sebagai berikut:
“Part of the rules of public international law which
serve as the protection of individuals in time of armed
conflict. Its place is beside the norm of warfare it is
closely related to them but must be clearly distinguish
from these its purpose and spirit being different”.2
3. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan
bahwa hukum humaniter adalah:
“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan
perlindungan korban perang, berlainan
dengan hukum perang yang mengatur perang itu
sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan perang itu sendiri”.3
4. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter
internasional dengan mengadakan pembedaan antara:
The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan:
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Pendudukan wilayah lawan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;
Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup:
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang, dan
orang sipil.
2 Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law,
dalam ibid, hlm. 17.
3 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam
Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, 1980. hlm. 5.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
3
5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen
Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai
berikut:
“Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah
dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi
manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang”.
Dengan mencermati pengertian dan atau definisi
yang disebutkan di atas, maka ruang lingkup hukum
humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok,
yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Jean
Pictet misalnya, menganut pengertian hukum humaniter
dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum
humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den
Haag, dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh
menganut aliran sempit, menurutnya hukum humaniter
hanya menyangkut Hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan
Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan
bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan
Hukum Den Haag.4
2. Istilah Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut
International Humanitarian Law Applicable in Armed
Conflict berawal dari istilah hukum perang (Laws of War),
yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa
bersenjata (Laws of Armed Conflict), yang akhirnya pada
4 Penjelasan lebih lengkap mengenai ruang lingkup ini lihat
Haryomataram, op.cit., hlm. 15 – 25.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
4
saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter
(International Humanitarian Laws).
Haryomataram membagi hukum humaniter
menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:5
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang
boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The
Hague Laws);
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan
terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat
perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi
hukum perang sebagai berikut:6
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur
tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang,
dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang
(condact of war). Bagian ini biasanya disebut The
Hague laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang
yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut
The Genewa Laws.
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter
internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum
Den Haag dan Hukum Jenewa. Semula istilah yang
digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah
5 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret
University Press, Surakarta. 1994, hlm. 1.
6 Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994,
hlm. 2-3.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
5
perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh
trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban,7
maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan
bahkan meniadakan perang. Upaya-upaya tersebut adalah
melalui:8
1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena
para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin
perdamaian dan keamanan, maka para anggota
menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan
perang, apabila mereka terlibat dalam suatu
permusuhan.
2. Pembentukan Kellog-Briand pact atau disebut pula
dengan Paris Pact 1928. Anggota-anggota dari
perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang
sebagai alat politik nasional dan mereka sepakat akan
mengubah hubungan mereka hanya dengan jalan
damai.
7 Dalam Perang Dunia II terdapat lebih dari 60 juta orang terbunuh.
Dalam abad 18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abab 19
mencapai 16 juta jiwa; Perang Dunia I 38 juta jiwa dan pada konflikkonflik
yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah
mencapai angka 24 juta jiwa. Lihat Defence Nationale, hlm. 217
seperti dikutip dalam ICRC-IPU, Respect for International
Humanitarian Law, Handbook for Parliamentarians No. 1, 19999, hlm.
10.
8 Haryotaram, Hukum Humaniter, op. cit., hlm. 6.
Lihat Mukadimah Covenant LBB; lihat pula pasal 12 Covenant LBB
menyatakan bahwa apabila timbul perselisihan, maka negara anggota
LBB sepakat untuk menyelesaikannya dengan jalan arbitrase, judicial
settlement, dan mereka tidak akan memulai perang sebelum lewat
tiga bulan sesudah keputusan arbitrer atau keputusan hukum
diterima; lihat Haryomataram, op.cit., hlm. 7.
Lihat pasal 1 Paris Pact 1928 yang berbunyi:’…that they condemn
recourse to war for the solution of international controversies…’; dan
pasal 2 nya yang berbunyi:’…that the settlement or solution of all
disputes or conflicts,…, shall never be sought except by pacific
means’:
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
6
Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam
perubahan penggunaan istilah, sehingga istilah hukum
perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata
(Laws of Armed Conflict).9 Mengenai hal ini Edward
Kossoy menyatakan:10
“The term of armed conflict tends to replace at least in all
relevant legal formulation, the older notion of war. On
purely legal consideration the replacement for war by
‘armed conflict’ seems more justified and logical”.
Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed
conflict) sebagai pengganti hukum perang (law of war)
banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949
dan kedua Protokol Tambahannya.11 Dalam perkembangan
selanjutnya, yaitu pada permulaan abab ke-20, diusahakan
untuk mengatur cara berperang, yang konsepsikonsepsinya
banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan
(humanity principle).
Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah
hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi,
yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter
Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata
(International Humanitarian Law Applicable in Armed
Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Law).
Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu
Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata, dan Hukum
9 Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, Henry Dunant
Instiute, 1993, hlm. 3.
10 Edward Kossoy, Living with Guerilla, 1976, hlm. 34 seperti dikutip
oleh Haryomataram, op. cit., hlm. 10.
11 Lihat pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan I
dan II tahun 1977.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
7
Humaniter, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti
yang sama.
3. Asas-Asas Hukum Humaniter
Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama,
yaitu:
1. Asas kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa
dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan,
dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan
yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau
penderiataan yang tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang
tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan caracara
yang bersifat khianat dilarang.
Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut
dilaksanakan secara seimbang, sebagaimana dikatakan
oleh Kunz.:
“Law of war, to be accepted and to be applied in
practice, must strike the correct balance between, on the
one hand the principle of humanity and chivalry, and on
the other hand, military interest”.12
12 Joseph Kunz, The Changing Law of national, dalam ibid., hlm. 34.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
8
4. Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk
melarang perang, karena dari sudut pandang hukum
humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk
mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih
memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed
Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter
adalah untuk memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat
dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai
berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
(unnecessary suffering).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental
bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan
yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan
perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa
mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas
perikemanusiaan.13
13 Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed
Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2, yang menyatakan bahwa: “The
Law of War aims at limiting and alleviating as much as possible the
calamities of war. Therefor, the law of conciliates military needs and
requirements of humanity”.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
9
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM
HUMANITER
Hampir tidak mungkin menemukan bukti
dokumenter kapan dan di mana aturan-aturan hukum
humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk
menyebutkan “pencipta” dari hukum humaniter tersebut.14
Sekalipun dalam bentuknya yang sekarang relatif baru,
hukum humaniter internasional atau hukum sengketa
bersenjata, atau hukum perang, memiliki sejarah yang
panjang.15 Hukum ini sama tuanya dengan perang itu
sendiri, dan perang sama tuanya dengan kehidupan
manusia di Bumi.16
Sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum
humaniter internasional telah mengalami perkembangan
yang sangat panjang. Dalam rentang waktu yang sangat
panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat
usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada
orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semenamena
dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.17
Upaya-upaya tersebut, yang acap kali mengalami
pasang surut, mengalami hambatan dan kesulitan
sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian
beriktunya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam
14 Hans-Peter Gasser, Internatioanal Humanitarian Law, an Introduction,
Paul haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993, hlm. 6.
15 Lihat Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991,
hlm. 7.
16 Jean Pictet, Development and Principles of International
Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, hlm. 6.
17 Ibid., hlm. 6.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
10
tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut
ini:
1. Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer
memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan
musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan
baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada
waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang
berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan
tawanan perang dengan baik.18 Sebelum perang dimulai,
maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu.
Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung
panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada
yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti
selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat
dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik
dari medan pertempuran.19
Juga, dalam berbagai peradaban besar selama
tahun 3000-1500 SM upaya-upaya seperti itu berjalan
terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai
berikut:20
(1) Di antara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah
merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai
dengan adanya pernyataan perang, kemudian
mengadakan arbitrasi kekebalan utusan musuh dan
perjanjian perdamaian.
(2) Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan
dalam “Seven Works of True Mercy”, yang
18 Frits Kalshoven, loc. cit.; lihat juga Jean Pictet, op.cit., hlm. 6.
19 Jean Pictet, loc. cit.
20 Lihat ibid., hlm. 6-12.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
11
menggambarkan adanya perintah untuk memberikan
makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada
musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit, dan
menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu
menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan
kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuh
pun tak boleh diganggu.
(3) Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan
dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang
mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas.
Mereka menandatangani pernyataan perang dan
traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal
dari kota, tidak diganggu. Kota-kota di mana para
penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak
tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian
terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya
dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka
berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang
dengan kekejaman.
(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair
kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu,21
para satria dilarang membunuh musuh yang cacat,
yang menyerah; yang luka harus dipulangkan ke
rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan
sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan
panah api dilarang, penyitaan hal milik musuh dan
21 Dikatakan oleh Viswanath dalam bukunya International Law in
Ancient India, bahwa dalam hukum internasional India kuno terdapat
ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang,
dan perlakuan tawanan perang yang mirip dengan ketentuanketentuan
Peraturan-peraturan Den Haag mengenai Peperangan di
Darat 1907; lihat Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi palang
Merah th. 1949, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 10.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
12
syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang
telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat
tinggal dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia
juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum
perang yang diberlakukan pada periode pra-sejarah,
periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dari
kebiasaan dan hukum perang yang dilakukan antara lain
tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta
larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai
sasaran serangan, dan juga tentang pengakhiran perang.
Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan
(Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja
yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi
mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang
oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan
Gowa diketahui adanya perintah Raja yang memerintahkan
perlakuan tawanan perang dengan baik.22
2. Zaman Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam,
dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang
adil” atau just war, Ajaran Islam tentang perang antara lain
bisa dilihat dalam Al Qur’an surah al Baqarah: 190, 191, al
22 Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang praktek hukum dan
kebiasaan perang pada masyarakat Indonesia pada jaman dahulu
lihat dalam Fadillah Agus Et.al., Hukum Perang Tradisional di
Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-USAKTI dan ICRC,
Jakarta, 1999.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
13
Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39,23 yang memandang
perang sebagai sarana pembelaan diri, dan menghapuskan
kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang
berkembang pada abad pertengahan ini misalnya
mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan
larangan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3. Zaman Modern
Kemajuan yang menentukan terjadi mulai abad ke-
18, dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama
pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I.
Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan
kebiasaan dalam berperang (jus in bello).
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan
hukum humaniter adalah didirikannya organisasi Palang
Merah dan ditandatangani Konvensi Jenewa tahun 1864.
pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat
Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum
imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang.
Hasilnya, adalah Instructions for Government of Armies of
the United States atau disebut Lieber Code, dipublikasikan
pada tahun 1863.24 Kode Lieber ini memuat aturan-aturan
rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang
yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan
terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan
perang yang luka, dan sebagainya.25
Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi perbaikan
Keadaan Tentara yang luka di Medan Perang Darat, 1864
dipandang sebagai Konvensi yang mengawali Konvensi-
23 Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasardasar
Hukum Internasional, IKIP Malang, 1995, hlm. 16.
24 Ibid., hlm. 9.
25 Frits Kalshoven, op. cit., hlm. 11.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
14
konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan
Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan
langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan
perang di darat.26 Berdasarkan Konvensi ini, maka unitunit
dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh
diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan
tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu
pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati baik
kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi
memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih
sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil
kesehatan.27 Tanda Palang Merah ini merupakan lambang
dari International Committee of the Red Cross yang
sebelumnya bernama International Committee for the Aid
of the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga
Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.28
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa
sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan,
maka pada masa ini perkembangan-perkembangan yang
sangat penting bagi hukum humaniter internasional,
dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang
ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun
1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah
dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan
perkembangan hukum humaniter internasional, yang
terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada
Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta
berbagai konvensi lainnya di bidang hukum humaniter,
sebagaimana dapat dilihat dalam Bab III.
26 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas maret
University Press, 1994, hlm. 16.
27 Jean Pictet, op.cit., hlm. 29.
28 Frits Kalshoven, op.cit., hlm. 9.
Pengantar Hukum Humaniter Internasional
15
DAFTAR PUSTAKA
De Mullinen, Frederic, Handbook on the Law of the War
for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987.
Fadillah Agus, Kushartoyo B.S., Aji Wibowo, Arlina
Permanasari & Andrey Sujatmoko, Hukum Perang
Tradisional di Indonesia, Pusat Studi Hukum
Humaniter FH-USAKTI dan ICRC, Jakarta, 1999.
Federal Ministry of Defence of the Federal of Republic of
Germany, VR II 3, 1992.
Gasser, Hans-Peter, International Humanitarian Law: An
Introduction, paul Haupt Publisher, Berne-
Stuttgart-Vienna, 1993.
Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter,
Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994.
-------------, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta,
1994.
ICRC-IPU, “Respect for International Humanitarian Law”,
Handbook for Parliamentarians, No. 1, 1999.
Kalshoven, Frits, Constraint on the Waging of War, ICRC,
1991.
Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi,
Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional,
IKIP Malang, 1995.
Bab I: Pengertian, Peristilahan, dan Perkembangan Hukum...
16
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter
dalam Pelaksanaan dan penerapannya di
Indonesia, 1980.
---------------------, Konvensi-konvensi Palang merah
Tahun 1949, Binacipta, Bandung, 1986.
Pictet, Jean, Development and Principles of International
Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher,
1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar