Entri Populer

Minggu, 19 Februari 2012

TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/makalah_seminar-padang.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.
Page 1
1
TINDAK PIDANA PERBANKAN
DAN PENCUCIAN UANG (MONEY
LAUNDERING)


by Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M

(b)eing the manager of other people’s money than of their
own, it cannot well be expected, that they should watch
over it with the same anxious vigilance with which
partners in a private copartnery frequently watch over
their own…Negligence and profusion, therefore, must
always prevails, more or less, in the management of the
affairs of such company.
Adam Smith
I. Pendahuluan
Kasus bobolnya Bank BNI dengan jumlah cukup spektakular yang
kemudian disusul dengan “perampokan” Bank BRI seolah judul roman “tak
putus dirundung malang”. Kasus ini juga mempertebal kepercayaan kita akan
rendahnya etika profesionalisme pengelola industri perbankan dan lemahnya
system pengawasan bank terutama system pengawasan internal.1 Padahal
etika profesionalisme sangat penting bagi pengelolaan bank karena pada
dasarnya kekayaan yang dikelola oleh pengurus bank sebagian besar
merupakan kekayaan masyarakat yang dipercayakan padanya. Pada tahun-
tahun terakhir ini perbankan memang telah mengalami suatu ujian yang
sangat berat terutama dalam profesionalisme kepengurusan bank. Sebenarnya
hal tersebut tidak hanya terjadi pada industri perbankan Indonesia tetapi
juga pada industri perbankan di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya kerugian yang diderita oleh bank multinasional yang disebabkan
oleh pengurus bank seperti pada the Daiwa Bank,2 Baring Bank dan Bank of
Credit and Commerce International (BCCI) yang berakibat ditutupnya bank-
bank tersebut. Masing-masing bank ini menderita kerugian melebihi US$ 1
milliar yang disebabkan oleh tindakan manajemen yang melawan hukum.3
1. Zulkarnain Sitompul, “Skandal BNI dan Pengawasan Internal”, Pilars, No.32/Th.VI/17-23
November 2003, hal. 100.
2. Toshihide Iguchi, Executive Vice President Daiwa Bank Cabang New York melakukan transaksi
illegal sebesar USD 1,1 milyar yang menyebabkan ditutupnya bank tersebut oleh Pemerintah AS.Untuk
lengkapnya lihat Keterangan Pers United States Attorney Southern District of New York, tanggal 2
November 1995. Keterangan Pers ini dapat diperoleh pada website
http://www.
leclaw.com/files/cur45.htm.
3. Pada Baring Bank dilakukan oleh Pedagang derivative dan komoditi dan pada BCCI dilakukan
oleh Presiden dan wakilnya. Thomas C. Baxter, Jr. and Ramasastry, "The Importance of Being Honest -
Lesson from an Era of Large-Scale Financial Fraud," Saint Louis University Law Review, (Winter 1996),
hal. 19.
Page 2
2
Pentingnya etika profesi dalam pengelolaan bank terkait dengan potensi
bank “dirampok” oleh pemilik dan pengelola bank. Potensi ini disebabkan
karena ciri khas transaksi perbankan yaitu volume transaksi sangat besar,
likuid, mudah dipalsukan dan melibatkan jumlah uang yang besar serta
seringkali melintasi batas negara. Masing-masing faktor ini mempermudah
terjadinya kejahatan oleh orang dalam. Volume transaksi yang besar seperti
kredit perumahan dan kredit konsumsi yang dilakukan oleh perbankan
sangat sulit dimonitor. Dengan demikian mudah untuk melakukan penipuan
ditengah banyaknya jumlah transaksi yang legal. Jumlah transaksi yang besar
dapat juga membuat upaya pendeteksian dini menjadi sulit seperti asset yang
dipindahkan melalui perusahaan boneka dalam suatu seri transkasi yang
kompleks. Asset yang likuid juga merupakan suatu kemudahan bagi pelanggar
hukum. Singkatnya adalah lebih mudah mencuri uang tunai dibandingkan
dengan mencuri mesin cetak.4
Padahal, fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan, dalam arti
menerima simpanan dari masyarakat sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Untuk itu dana yang diterima dari masyarakat
haruslah dikelola secara berhati-hati sehingga nasabah penyimpan tidak
khawatir tentang keamanan dan ketersediaan simpanannya.5 Agar fungsi
bank sebagai lembaga perantara dapat berjalan dibutuhkan adanya
kepercayaan masyarakat. Pentingnya kepercayaan masyarakat bagi bank
paling tidak karena dua alasan, pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan
bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, mencegah terjadinya bank runs
and bank panics.6
Sementara itu, perkembangan industri perbankan, globalisasi dan
liberalisasi pasar keuangan telah mengakibatkan terjadinya persaingan di
antara bank-bank terutama dalam penghimpunan dan penanaman dana.
Untuk itu, manajemen bank dituntut mempunyai keterampilan mengelola
kekayaan, utang dan modal bank yang tercermin dalam neraca bank dengan
baik. Suatu hal yang lebih mendasar dari keahlian dan keterampilan tersebut
adalah adanya itikad baik. Artinya pengurus bank seharusnya adalah pihak
yang menjunjung tinggi etika profesionalisme.
Pembobolan BNI dan BRI serta kebangkrutan BCCI pada tahun 1991
misalnya, adalah suatu jenis kasus dari penipuan besar yang dilakukan oleh
orang dalam (insider)yang tidak terdeteksi selama bertahun-tahun. Transaksi
bank yang sangat besar yang melibatkan asset likuid, siap untuk dipalsukan
dan ditempatkan di perusahaan-perusahan yang terpisah sebanyak mungkin
diberbagai negara. BCCI memang suatu kasus ekstrem, tetapi tetap masuk
akal bahwa penipuan oleh insider yang jumlahnya jauh lebih besar masih
dapat terjadi pada bank dibandingkan pada perusahaan bukan bank. 7
4. Peter P. Swire, "Bank Insolvency Law Now That It Matters Again," Duke Law Journal,
(December 1992), hal.844.
5 A Robert Abboud, Money in the Bank How Safe Is It, (Homewood: Bank Administration Institute,
1988), hal.32.
6 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan tentang Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana FH UI, 2002), hal.2.
7. Ibid, hal.845
Page 3
3
Disamping penipuan yang dilakukan oleh orang dalam perbankan, bentuk
transaksi bank telah pula menyebabkan perbankan dapat digunakan sebagai
sarana untuk menyembunyikan dan atau mengaburkan asal usul dana yang
berasal dari tindak pidana. Upaya pengaburan ini dikenal dengan pencucian
uang (money laundering) yang beberapa tahun terakhir ini semakin menjadi
sorotan internasional. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya
tindak kejahatan money laundering yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi sistem ekonomi suatu negara.8
Untuk Indonesia isu pencucian uang menjadi masalah penting oleh karena
dalam beberapa kali review oleh FATF (Financial Action task Force on Money
Laundering)9
terhadap pelaksanaan rezim anti money laundering di
Indonesia, yaitu pada bulan Juni 200110, Februari 200311 dan terakhir
Februari 2004, Indonesia masih dicantumkan dalam daftar NCCTs (Non-
Cooperative Countries and Territories). Penyebab dicantumkannya Indonesia
dalam daftar tersebut pada Juni 2001 adalah tidak adanya undang-undang
yang menetapkan pencucian uang sebagai tindak pidana.
Masuknya Indonesia dalam daftar NCCTs berdampak kurang
menguntungkan bagi perekonomian mengingat seluruh transaksi perbankan
yang berasal dari bank-bank di Indonesia dapat dianggap sebagai transaksi
yang mencurigakan (suspicious transaction) yang berakibat pemerintah dari
negara-negara anggota FATF akan meminta bank-banknya untuk menetapkan
persyaratan yang lebih berat atau mahal apabila melakukan transaksi dengan
bank di Indonesia karena dianggap berisiko tinggi.
II. Tindak Pidana Perbankan
Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun
maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana
Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama
mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank
atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas
karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan
di dalam bank atau keduanya.12
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk
menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan
8 Menurut prediksi IMF, kegiatan money laundering telah melampaui batas 5 % dari GDP dunia,
yang besarnya mencapai 300 – 400 Milyar USD.
9 FATF merupakan organisasi yang dibentuk oleh Kelompok 7 Negara (G-7) dalam G-7 Summit di
Perancis pada bulan Juli 1989.
10 Selain Indonesia, 18 negara lainnya adalah Cook Islands, Mesir, Guatemala, Myanmar, Nauru,
Nigeria, Phillipin, Ukraina, St. Vincent , Grenada, Hungaria, Israel, Lebanon, St. Kitts, Nevis, Dominika,
Marshall Islands, Niue.
11 Pada posisi tersebut, negara yang masih tercatat dalam daftar NCCT’s berkurang menjadi 10
negara yaitu Indonesia, Cook Islands, Mesir, Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria, Phillipin, Ukraina,
dan St. Vincent.
12 Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch
Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar, Tindak Pidana di
Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986). Lihat juga Marjono Reksodiputro, Kemajuan
Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 74.
Page 4
4
dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang
mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak
pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan
sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
A. Jenis-jenis Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur
mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu
dapat digolongkan ke dalam empat macam:
a. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal
47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
d. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal
49 ayat (1) huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal
50A.
a. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal
46 ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satu-
satunya pasal dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman
terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau
pimpinannya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) sering menimbulkan permasalahan yaitu:
Pertama, apakah yang dimaksud dengan “menghimpun dana dari
masyarakat”. Kedua, apakah simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini
hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga
meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga, apakah si pelaku
harus menggunakan nama bank atau tidak. Jawaban atas pertanyaan di atas
dapat dilihat pada putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 46 yaitu dalam
Page 5
5
kasus PT BMA yang berkedok sebagai usaha Multi Level Marketing. PT BMA
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk yang kurang jelas. Kepada
penyimpan dana diberikan seperangkat tekstil dan atau hak untuk meminjam
sejumlah uang. Menurut Bank Indonesia, MLM ini telah melakukan kegiatan
bank gelap yang melanggar Pasal 46 UU Perbankan. Pendapat diterima oleh
pengadilan.
b. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa
membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak
Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan
Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
c. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan
Pembinaan Bank
Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
Page 6
6
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
d. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja
mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau
merusak catatan pembukuan tersebut,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Pasal 49 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang
atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk
keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha
mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank
garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian
atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes,
cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam
rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang
ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku
bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi
yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
Page 7
7
untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang
ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang saham yang
dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua
ratus miliar rupiah).
Suatu pertanyaan yang sering timbul adalah apakah tindak pidana yang
diatur dalam UU Perbankan merupakan tindak pidana umum atau khusus.
Hal ini berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini.
Terdapat kesan, bahwa pihak Kepolisian menganggapnya sebagai tindak
pidana umum, karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi
UU Perbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana
perbankan. Ada pihak lain yang menyebut sebagai tindak pidana khusus,
karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan
minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam
Pasal 42 yang berkaitan dengan permintaan keterangan yag bersifat rahasia
bank dalam proses peradilan perkara pidana.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. :
M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tindak pidana
perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari
Pasal 284 KUHAP).
Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan
yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus.
Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam
bank terhadap bank (crimes against the bank). Kejahatan “orang dalam”
dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama
kehancuran bank karena bagian terbesar asset bank berbentuk likuid.13
Di
Amerika Serikat misalnya insider fraud merupakan 50% dari kejahatan yang
terjadi pada perbankan.14 Kejahatan oleh “orang dalam” ini dapat dilakukan
oleh pengurus dan atau pemegang saham dominan (pemegang saham
pengendali) yang mempengaruhi pengurus bank.15 Kejahatan yang dilakukan
tersebut dapat digolongkan ke dalam dua cara. Pertama, dilakukan dengan
memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri secara
13. Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller, “Bank Failures, Risk Monitoring, and the Market for
Bank Control”, Columbia Law Review, (October 1988), hal.255
14.FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3
15. Peter P. Swire, . Op.cit., hal.841
Page 8
8
melawan hukum. Kedua, mismanagement berat berupa tindakan ceroboh
yang oleh hakim pasti dikecualikan dari prinsip business judgement.16
Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap
kebijakan dan administrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lemahnya
pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun
eksternal (regulator). Di samping itu, berbagai ketentuan yang berlaku
menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang
menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan
bank yang disebabkan oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.17
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan
oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya
diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan
KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372
(penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362
(pencurian), dll. Pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi
korban dari suatu tindak pidana misalnya kasus pembobolan BNI 46 New
York oleh salah seorang mantan pegawainya dikenakan pasal 362 KUHP
(pencurian).
Kedua, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya
diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah.18 UU ini
dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman
yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
Ketiga, UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya
diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan
bank (“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank
sendiri sebagai pelakunya.
III. Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat
dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan
perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh
organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi,
perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil
tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.19
Adapun latar belakang para pelaku pencucuian uang melakukan aksinya
adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari
16. Ibid
17. Jonathan R Macey, et.al. , Op.cit., hal 256
18 Dalam kasus Bank Duta,bank swasta nasional, Mahkamah Agung menghukum Dicky Iskandar Di
Nata, (Wakil Direktur Utama) karena tindak pidana korupsi selama 18 tahun penjara ditambah dengan
denda sebesar Rp.30 juta serta membayar uang pengganti sebesar Rp.410.066 juta kepada Bank Duta
Mahkamah Agung menghukum. Putusan Reg. No.14K/Pid/1992 tanggal 26 Mei 1992.
19 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana
Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 No.3, 2003), hal.26.
Page 9
9
kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of
crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepada pelakukanya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan
tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam kegiatan usaha yang
sah.20 Sementara itu, Black’s Law Dictionary memberikan batasan tentang
pencucian uang sebagai :"Term used to describe investment or other transfer
of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal
sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced”.
21
Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan
sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko
tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko
terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia
tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena
pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia
diperkirakan mencapai 93%. Oleh sebab itu sistem perbankan menjadi
perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua,
tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor
perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi
tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif
untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat
memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk
perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari
satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang
tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam
safe deposit box;
b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan
pada bank yang bersangkutan;
e. Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
f. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum
pejabat bank terkait; dan
g. pendirian/pemanfaatan bank gelap.
20 Rick McDonnel, “Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money
Laundering and Terrorist Financing, Denpasar, 17 Desember 2002.
21 Lihat juga batasan yang digunakan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, the United
Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang
mengartikan money laundering sebagai :“The convention or transfer of property, knowing that such
property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in
such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of
assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal
consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location,
disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is
derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an
offence or offences.”
DASAR – DA
LAUNDERIN
Page 10
10
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses
pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping
itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan cash flow
keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha
perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat
diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut
menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga
keuangan terutama bank. 22
Disamping itu, dengan berlakunya sistem Real Time Gross Settlement
(RTGS), maka dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah
memindahkan dana hasil kejahatan yang dilakukan. Penggunaan media
pembayaran yang bersifat elektronik (electronic funds transfer) akan lebih
menyulitkan pelacakan ditambah pula apabila dana tersebut masuk ke dalam
sistem perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia
bank.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu
placement, layering dan integration.23
Placement merupakan upaya menempatkan atau memasukkan dana
atau instrument keuangan lainnya yang dihasilkan dari suatu aktifitas
kejahatan pada system keuangan yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya.
Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai atau surat berharga ,
misalnya melalui penyeludupan uang tunai atau instrumen keuangan dari
suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal
dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah,
ataupun dengan memecah uang tunai atau instrumen keuangan dalam
jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau
dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga
mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau ditukarkan kedalam
valuta asing. Inilah tahap yang apaling rawan dari proses pencucian uang,
karena proses inilah yang paling mudah dideteksi.
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para
pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses
placement diciptakanlah
Cash Transaction Report atau CTR (laporan
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini
dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Yang
Mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini
diatur dalam Pasal 13 UU NO. 15 Tahun 2002.. Laporan transaksi tunai yang
diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang berjumlah
kumulatif sebesar lima ratus juta atau lebih suatu jumlah yang dianggap oleh
sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar.
Proses placement ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang
yang membawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik
Indonesia sejumlah seratus juta ruliah atau lebih untukmelaporkan kepada
22 Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model, Cambridge
University Press, First Published 2000, hal.9
23. Jane E. Hughes dan Scott B. MacDonald, International Banking Text and Cases, (Boston:
Addison Wesley, 2002), hal 317.
Page 11
11
Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian Direktorat Jenderal Bea Cukai
melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2002).
Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan
dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan
pemiliknya dapat dikaburkan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement
ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain
untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering
dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening-
rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan
rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya
memerangi kegiatan pencucian uang.
Proses “layering” ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan
yang mencurigakan (suspicious transaction report atau STR) seperti diatur
dalam Pasal 13. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank
sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud
dengan tarnsaksi keuangan yang mencurigakan adalah transaksi yang
menyimpang dari profil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah
termasuk transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan
oleh penyedia jasa keuangan.(pasal 1 angka 6).
Integration, yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah
dicuci di investasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak
tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang
menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah
dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan
dengan aturan hukum. Proses integration ini dideteksi dengan CTR atau
STR.
Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang
disampaikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan
sebagai upaya melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia
jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada
PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta
rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu
diputuskan melalui proses pengadilan. (Pasal 8) Selain itu, apabila
tindakpidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, misalnya penyedia
jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana
denda dengan ketentuan maksimumpidana ditambah satu pertiga. Korporasi
tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pemcabutan izin
usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti denganlikuidasi. (Pasal 5)
Untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat,
karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta
mengingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian.
Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di
sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi
tindak kejahatan pencucian uang . Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan
bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan
memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke
Page 12
12
bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit
dilacak oleh penegak hukum. Bahkan melalui sistem perbankan pelaku dalam
waktu yang sangat cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan
melampaui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertambah
sulit apalagi kalau dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan yang
negaranya menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.
IV.Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana
Pencucian Uang
a. Tindak Pidana Perbankan
1. Pengawasan Internal
2. Pengawasan Eksternal
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Peranan PPATK
Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,
Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan
(Financial Inteligent Unit/FIU). Pentingnya PPATK dilatarbelakangi
kesadaran bahwa untuk memerangi pencucian uang dibutuhkan keahlian
khusus bagi penegak hukum. Pendirian unit intellijen keuangan yang
bertugas menerima dan memproses informasi keuangan dari penyedia jasa
keuangan harus dilihat dari latar belakang phenomena semakin
meningkatnya kebutuhan akan lembaga penegak hukum khusus.
Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus
dijalankan oleh FIU. Rekomendasi Caribbean Drug Money Laundering
Conference hanya mensyaratkan tentang perlunya suatu badan khusus yang
bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan
penyitaan. Sedangkan Rekomendasi FATF hanya menyebutkan perlunya
competent authorities yang bertugas menerima laporan dari penyedia jasa
keuangan. Sedangkan European Money Laundering Directive menyebut
badan yang berwenang memerangi money laundering dan mewajibkan
anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki
kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan.
Egmon Group, suatu kelompok longgar dari FIU, memberikan suatu
defenisi umum tentang tentang FIU yaitu:” A central.national agency
responsible for receiving (and as permitted, requesting), analyzing and
disseminating to the competent authorities, disclosures of financial
information: (1) concerning suspected proceeds from crime, or (ii) required
by national legislation or regulation, in order to counter money
laundering.24
24 Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, (Cambridge:
University Press, 2000), hal. 184.
Page 13
13
Definisi di atas berisikan tiga fungsi dasar yang dimiliki oleh semua jenis
FIU yaitu: Pertama, setiap FIU memiliki fungsi sebagai repository artinya
unit ini adalah pusat informasi tentang money laundering. FIU tidak saja
menerima informasi tentang transaksi keuangan akan tetapi FIU juga
menikmati paling tidak kontrol terhadap informasi. Fungsi kedua adalah
fungsi analisis. Dalam memproses informasi yang diterimanya FIU kemudian
memberikan nilai tambah terhadap informasi tersebut. Kinerja fungsinya ini
tergantung pada pada sumber informasi yang dapat diakses oleh FIU. Dalam
memproses informasi FIU berwenang memutuskan apakah suatu informasi
bernilai untuk ditindaklanjuti menjadi investigasi/penyidikan. Fungsi terakhir
FIU adalah sebagai clearing house. Dalam kapasitas ini FIU memfasilitasi
pertukaran informasi tentang transaksi keuangan tidak lazim atau transaksi
keuangan mencurigakan. Pertukaran informasi ini dapat terkait dengan
informasi dalam segala bentuk (individual atau umum) dan dapat
berlangsung dengan berbagai mitra kerja di dalam maupun di luar negeri.
Pilihan mendirikan FIU sebagai pusat informasi dibandingkan dengan
laporan dari penyedia jasa keuangan langsung diserahkan kepada penegak
hukum berdasarkan beberapa alasan yaitu: Pertama, kebutuhan adanya ahli
yang terkumpul di suatu tempat, dimana keahlian tersebut tidak dimiliki oleh
penegak hukum. Kedua, memusatkan seluruh laporan dan proses analisisnya
pada suatu instansi membuat pemerintah dapat bergerak cepat dalam
memerangi kejahatan. Ketiga, FIU memiliki fungsi ekonomis. Pada satu sisi
mengumpulkan informasi secara efisien sedangkan disisi lain FIU
meringankan pekerjaan penegakan hukum sehingga lembaga penegak hukum
dapat berkonsentrasi dalam menyelesaikan masalah. Di negara yang tidak
memiliki unit Pusat Pelaporan seperti Jerman, upaya gerak cepat mengalami
kesulitan besar. Keempat, pendirian suatu lembaga sebagai perantara antara
lembaga keuangan dengan penegak hukum dalam banyak hal dimaksudkan
untuk meningkatkan iklim kepercayaan antara lembaga keuangan dan
penguasa. Hal ini terjadi karena lembaga keuangan tidak diwajibkan
melaporkan transaksi keuangan mencurigakan langsung kepada kepolisian
atau kejaksaan akan tetapi cukup melaporkan kepada FIU yang kemudian
melakukan analisa sebelum melaporkannya kepada penegak hukum. Hal ini
akan mengurangi kemungkinan nasabah yang tidak berdosa harus
berhadapan dengan aparat penegak hukum. Alasan keempat ini juga secara
tegas digaris bawahi oleh UN Model Law on Money Laundering yang
menyarankan dibentuknya FIU.
PPATK memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 26 dan 27 UU-TPPU antara lain:
a. Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi
yang diperoleh.
b. Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang.
c. Melaporkan hasil anilisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
d. Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK).
Page 14
14
e. Melakukan audit terhadap PJK mengenai kewajiban sesuai dengan
ketentuan dalam UU-TPPU dan terhadap pedoman pelaporan
mengenai transaksi keuangan.
f. Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, PPATK bersifat
independen sebagaimana yang dimuat dalam UU-TPPU yaitu :
a. Bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b. Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk
campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
c. Diwajibkannya kepala dan wakil kepala PPATK untuk menolak setiap
campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, setiap PJK diwajibkan untuk
melaporkan kepada PPATK transaksi keuangan yang mencurigakan (STR)
dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (CTR) dalam jumlah
kumulatif sebesar Rp.500.000.000,- atau lebih atau yang nilainya setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja.
2. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principle/KYC)
Menurut Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Prinsip KYC
adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan. Di samping itu, penerapan prinsip ini dimaksudkan untuk
mencegah dipergunakannya bank sebagai sarana pencucian uang oleh
nasabah bank.
Dalam menerapkan Prinsip KYC dimaksud bank diwajibkan :
a. Menetapkan kebijakan mengenai penerimaan nasabah, prosedur
identifikasi nasabah, dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi nasabah, serta prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan KYC.
b. Melaporkan transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction)
kepada BI selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diyakini oleh bank.
c. Menerapkan prinsip KYC yang berlaku di suatu negara bagi kantor
cabang bank yang berada di luar negeri, sepanjang standar KYCnya
sama atau lebih ketat dari yang diatur dalam PBI, dan jika ketentuan
setempat lebih longgar wajib diterapkan PBI KYC. Dalam hal
penerapan PBI KYC mengakibatkan pelanggaran ketentuan negara
setempat, wajib dilaporkan kepada kantor pusatnya dan BI.
Page 15
15
d. Bank wajib menerapkan prinsip KYC dan melakukan pengkinian data
base nasabah yang telah ada (existing customer) selambat-lambatnya
tanggal 13 Juni 2002.
e. Bank wajib melaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank
mengenai prinsip KYC selambat-lambatnya tanggal 13 Februari 2002.
f. Penerapan sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa,
memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank sudah harus
siap selambat-lambatnya tanggal 13 Juni 2002.
Adapun sanksi apabila apabila bank tidak melaporkan perubahan
Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut serta tidak melaporkan kepada
BI transaksi yang mencurigakan yang terjadi di bank yang bersangkutan
selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak transaksi tersebut diketahui oleh bank,
dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp.1 juta per hari
kelambatan dan setinggi-tingginya Rp.30 juta.
Sedangkan sanksi apabila bank tidak melaksanakan kewajiban lainnya
adalah dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) huruf b, c, e, f atau g Undang-undang No.7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10
tahun 1998 yaitu berupa :
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan;
d. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan BI, atau;
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
Disamping sanksi administratif tersebut di atas, terhadap anggota Dewan
Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam undang-undang perbankan dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (termasuk PBI KYC),
diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun serta
denda minimal Rp. 5 miliar dan maksimal Rp.100 miliar (Pasal 49 ayat (2)
huruf b Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998).
Terdapat beberapa kendala yang dialami dalam pelaporan STR dari bank-
bank baik yang berasal dari internal (bank) maupun dari eksternal
(masyarakat) antara lain adalah :
Page 16
16
Kendala yang dihadapi bank dalam melaksanakan prinsip KYC berupa:
a. Takut kehilangan nasabah
Bank merasa khawatir kehilangan nasabah apabila menerapkan
sepenuhnya prinsip KYC baik terhadap nasabah lama (existing customer)
maupun terhadap nasabah baru (new customer). Hal tersebut karena tidak
serentaknya bank-bank dalam menerapkan prinsip KYC pada nasabah.
Kondisi ini memberikan peluang bagi nasabah untuk menolak memberikan
informasi dan memindahkan dananya ke bank yang belum menerapkan
prinsip KYC.
b. Skala usaha bank
Bagi bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh memiliki
karyawan lebih dari 21.000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di
seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit menerapkan prinsip KYC
sepenuhnya, seperti pendataan profil nasabah, pelatihan bagi karyawan, dan
pengadaan sistem informasi, yang untuk itu dibutuhkan waktu yang panjang,
biaya yang besar dan keahlian yang memadai.
c. Ketidakpercayaan perbankan terhadap penegakan hukum
Walaupun UU-TPPU telah memberikan kepastian akan jaminan
keamanan bagi bank dalam pelaksanaan penyampaian laporan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 15, dan Pasal 40 – Pasal 42 UU-TPPU namun
bank masih meragukan pelaksanaannya khususnya terhadap aparat penegak
hukum.
Disamping itu kurangnya perhatian masyarakat terhadap ketentuan
KYC merupakan kendala utama yang dihadapi oleh seluruh bank dalam
menerapkan prinsip KYC. Hal tersebut karena:
a. pengisian formulir KYC menyusahkan nasabah dan dirasa terlalu
berlebihan (misal pengisian jabatan, nama ibu kandung, hobi,
pinjaman dari bank lain) dan tidak nyaman;
b. takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya
perpajakan;
c. tidak merasa memperoleh manfaat dari pengisian KYC dan
menganggap bank terlalu ingin tahu masalah internal nasabah.
Selain itu, dampak yang dihadapi bank pada saat menerapkan prinsip KYC
antara lain
a.
nasabah menolak mengisi formulir KYC yang sudah dikirimkan dan
akan menarik dananya apabila tetap diharuskan mengisi;
b.
nasabah cenderung tidak jujur dalam mengisi data penghasilan
dan sulit ditemui;
c.
nasabah penyimpan dana berkeberatan memberikan slip gaji karena
beranggapan bukan sebagai peminjam dana.
Page 17
17
V. Penutup
Sekalipun Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk dapat
menerapkan rekomendasi yang dikeluarkan FATF, tapi dalam evaluasi yang
dilakukan oleh lembaga ini pada bulan Februari 2003, Indonesia masih saja
dinilai kurang dengan tetapnya posisi Indonesia dalam daftar Non –
Cooperative Countries and Teritories (NCCTs). Alasan utama tetap
dimasukkannya Indonesia dalam daftar itu, antara lain adanya kelemahan
(loopholes) dalam beberapa ketentuan dari UU No.15 Tahun 2002, antara
lain:
a. Adanya batasan “hasil tindak pidana” (proceed of crime) minimal Rp
500 juta. Adanya batasan ini, selain ia tidak lazim juga terdapat celah
yang dapat dimanfaatkan bagi para pencuci uang untuk memecah-
mecah hasil kejahatannya dalam jumlah yang lebih kecil.
b. Batasan waktu penyampaian laporan transaksi tunai. Dalam Pasal 13
ayat (3), penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b dilakukan
paling lambat 14 hari kerja setelah transaksi dilakukan. Batasan waktu
ini dinilai terlalu lama, diusulkan batasan waktu penyampaian dapat
dipersingkat.
c. Tidak dimasukkannya klausul “anti tipping off” yaitu larangan bagi
Penyedia Jasa Keuangan untuk memberitahukan kepada nasabahnya
berkaitan dengan laporan Transaksi Keuangan Mencurikagakan yang
terkait dengan nasabah tersebut. Larangan ini sangat penting karena
apabila pemilik rekening tersebut mengetahui bahwa dirinya
dilaporkan, dikhawatirkan yang bersangkutan dapat menghambat
jalannya penyidikan, atau bahkan menarik simpanannya.
d. Pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan perlu diperluas
dengan menambahkan unsur “transaksi yang berkaitan dengan hasil
tindak pidana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar