Entri Populer

Minggu, 07 Februari 2010

Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional

I. PENDAHULUAN
Masalah ratifikasi adalah merupakan persoalan yang penting
dan menarik untuk di bahas, karena sangat erat dengan perjanjian
internasional. Hal ini dikarenakan perjanjian internasional adalah
merupakan salah satu sumber dari hukum internasional utama dari
tata urutan sember hukum internasional. Hal ini dapat kita lihat dari
Pasal 39 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menyatakan :
“The Court, whose function it is to decide in accordance with
internasional law … shall apply :
a. Internasional Convention, wether general or particular estabilishing
rules expressly recognized by the contesting states”
Tulisan ini sesuai dengan judulnya adalah untuk mempelajari
ruang lingkup praktek ratifikasi dalam organisasi internasional
khususnya organisasi internasional regional, serta dengan

Marsekal Pertama TNI (Purn) Poerwanto lahir di Klaten Tahun 1940, dan hidupnya
diabdikan pada TNI-Angkatan Udara disamping sebagai guru. Kesarjanaannya (S-1)
didapat dari Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta, sedangkan gelar Magisternya (S-2)
didapat dari Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta dan dari Air
University di Amerika Serikat. Dengan pangkat Lektor Kepala sekarang mengajar di
Universitas Budi Luhur dan Universitas Indonesia Jakarta.
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
1
pembahasan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dalam
perkembangannya sangat mengagumkan.

II. TINJAUAN UMUM TENTANG RATIFIKASI
1. Pengertian Ratifikasi
Ratifikasi atau tanda-tanda yang dilakukan oleh wakil-wakil
negara yang turut serta dalam perundingan telah dikenal sejak zaman
dahulu, yaitu ketika kepala negara merasa perlu meyakinkan dirinya
bahwa wakil/utusan negara yang diberi kuasa penuh itu tidak
melampaui batas-batas wewenangnya. Kesulitan berkomunikasi
secara tepat waktu itu menyebabkan kepala negara yang
bersangkutan tidak dapat terus menerus mengikuti gerak langkah para
utusan yang dikirimkannya, sehingga ratifikasi dirasakan perlu
sebelum kepala negara dapat mengikat negaranya pada suatu
perjanjian internasional. Pada zaman sekarang dengan semakin
mudahnya komunikasi berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi alasan di atas sudah mulai berkurang, dan timbul alasan lain
untuk mempertahankan lembaga ratifikasi yaitu timbulnya
pemerintahan-pemerintahan demokrasi parlementer. Pada saat
sekarang ratifikasi menjadi suatu cara bagi Lembaga Perwakilan
Rakyat untuk meyakinkan dirinya, bahwa wakil-wakil pemerintah yang
turut serta dalam perundingan dan menandatangani suatu perjanjian
internasional tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
kepentingan nasional. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam
buku beliau Pengantar Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa
persetujuan (consent) pada suatu perjanjian yang diberikan dengan
penandatanganan itu bersifat sementara dan masih harus
disahkan/penguatan demikian itu dinamakan ratifikasi.

Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
2
2. Tujuan Ratifikasi
Sebagaimana diutarakan dimuka bahwa pengesahan suatu
perjanjian yang dilakukan oleh wakil/utusan negara yang turut serta
dalam perundingan itu bertujuan untuk meyakinkan diri dari kepala
negara yang bersangkutan, bahwa para utusan negara tidak
melampau batas-batas kewenangannya. Atau dengan kata lain
ratifikasi betujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara-
negara perserta guna mengadakan peninjauan serta pengamatan
secara seksama, apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian itu
atau tidak. Namun dalam suatu negara yang menganut Sistem
Pemerintahan Demokrasi Parlementer ratifikasi itu bertujuan
memberikan kesempatan kepada parlemen untuk meyakinkan dirinya,
bahwa wakil pemerintah yang turut serta dalam perundingan dan
penandatanganan perjanjian itu tidak melakukan hal-hal yang
dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Dilihat dari segi
praktek negara-negara tentang ratifikasi terbukti bahwa ratifikasi
diperlukan karena beberapa alasan praktis, antara lain :
1. Negara-negara berhak untuk meneliti terlebih dahulu dokumen-
dokumen yang ditandatangani oleh utusan-utusannya, sebelum
menyatakan diri terikat pada suatu perjanjian internasional.
2. Berlandaskan pada kedaulatannya, setiap negra berwenang untuk
tidak ikut serta pada suatu perjanjian dengan membatalkan tanda-
tanda wakil-wakil yang berkuasa penuh tersebut dengan cara tidak
meratifikasi perjanjian yang bersangkutan.
3. Seringkali perjanjian harus diamandir atau disesuaikan dulu
dengan hukum nasional. Periode antara penandatanganan dan
ratifikasi memungkinkan negara-negara penandatanganan sempat
merumuskan amandemen dengan cara merumuskan dalam pasal-
pasal tentang reservasi.
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
3
Dengan penjelasan tersebut ternyata bahwa ratifikasi
bukanlah merupakan satu-satunya cara bagi suatu negara untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Tetapi ratifikasi
adalah suatu cara yang paling sering digunakan untuk mengikatkan
diri pada perjanjian-perjanjian yang dianggap penting.

3. Prosedur Ratifikasi
Dalam konstitusi banyak negara pada umumnya untuk
membuat suatu perjanjian internasional kewenangannya adalah
ditangan Badan Eksekutif. Tetapi dalam perundang-undangan
nasional berbagai negara sering pula diatur sebelum pengesahan
dilakukan terlebih dahulu diperlukan persetujuan Badan Legislatif, dan
jika persetujuan sudah diperoleh baru kemudian ratifikasi menjadi
tahap terakhir dari prosedur pengikatan diri suatu negara pada suatu
perjanjian internasional. Menurut Sam Suhaidi dalam “Sebuah analisa
sebagai jawaban atas pertanyaan sehubungan dengan Pasal 11 UUD
1945 dalam Majalah Padjadjaran No. 3 tahun 1981, menyatakan
bahwa pada pokoknya prosedur ratifikasi ini mencakup dua aspek :
1. Tindakan legislatif, yaitu umumnya dengan jalan Undang-Undang
sehingga dengan diundangkannya perjanjian itu, maka perjanjian
tersebut menjadi mengikat negara dipandang dari segi hukum
nasional.
2. Tindakan eksekutif, yaitu sesudah perjanjian ditandatangani oleh
kekuasaan eksekutif, kemudian perjanjian disampaikan kepada
badan legislatif untuk memperoleh persetujuannya, yang umumnya
berupa undang-undang. Selanjutnya oleh badan eksekutif
dibuatlah piagam ratifikasi, dan prosedur ini baru selesai sesuah
diadakan pertukaran piagam ratifikasi.
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
4
Ketentuan tersebut berlaku bagi perjanjian bilateral, dan
untuk perjanjian multilateral adalah setelah diadakan
penyerahan/penyimpanan piagam ratifikasi kepada negara penyimpan
(depository state). Dengan pertukaran dan atau penyimpanan piagam
ratifikasi maka terpenuhilah syarat-syarat untuk mengikatnya
perjanjian internasional tersebut terhadap negara-negara peserta
perjanjian dipandang dari segi Hukum Internasional. Menurut Lord Mac
Nair dalam buku beliau “The Law of Treaties” menyatakan bahwa
prosedur ratifikasi itu mencakup dua tahap :
1. Penandatanganan dan penyegelan naskah ratifikasi.
2. Pertukaran piagam ratifikasi antara kedua belah pihak, dalam hal
perjanjian bilateral, atau penyimpanan piagam ratifikasi pada
negara penyimpan bagi perjanjian multilateral.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa merupakan tahap-tahap
akhir dari prosedur pengikatan diri suatu negara terhadap suatu
perjanjian internasional, yaitu bagi hukum internasional yang penting
bukanlah hanya ratifikasinya, melainkan juga pertukaran piagam
ratifikasi atau penyimpanan piagam ratifikasi pada depository state.

III. PRAKTEK RATIFIKASI DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL
REGIONAL
1. Organisasi Internasional
Dalam hukum internasional positif, tidak ada satu pasalpun
yang memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan
organisasi internasional itu. Sebagaimana halnya dalam semua
cabang ilmu hukum, untuk memperoleh definisi yang tepat yang
diterima secara umum bukanlah hal yang mudah, namun demikian
para ahli berusaha mengemukakan pendapat mereka mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan Organisasi Internasional. Untuk
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
5
sekedar mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan
organisasi internasional, kita lihat beberapa pendapat :
a. Bowertt, D.W. dalam buku beliau “The Law of International
Institutions”, menyatakan : “… and to generally accepted definition
of the public international union has ever been reached. In general,
however, they were permanent association (i.e. Postal or Railway
Administration), based upon a treaty of a multilateral rather than
bilateral type and with some definite criteri on of purpose”.
b. Starke, J.G. dalam buku beliau “An Introduction to International
Law” tidak memberikan batasan yang khusus tentang pengertian
Organisasi International. Beliau hanya membandingkan fungsi, hak
dan kewajiban serta wewenang berbagai organ lembaga
internasional dengan negara modern :
“In the first place, just as the function of the modern state and the
rights, duties, and powers of its instrumentalities are governed by a
branch of munifical law called state constitutional law, so
international institutions are similarly conditioned by a body of rules
may will be described as international constitutional law”.
c. Boer Mauna dalam buku beliau “Hukum Organisasi Internasional”
menegaskan : “Organisasi Internasional adalah suatu perhimpunan
negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk
mencapai kepentingan bersama melalui organ-organ dari
perhimpunan itu sendiri”.
2. Regionalisme
Secara umum dapat dikatakan bahwa timbulnya kerja sama
regional dapat bersumber dari beberapa kepentingan serta perasaan
kedaerahan dan identitas yang sama. Michael Leifer dalam tulisannya
“Regionalism the Global Balance and Southeast Asia” menyatakan :
“The actual manifestation of regional is behaviour on the part of states
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
6
may derive form a variety of sources. It may arises form a common
sense of place an identity, form the prospect to mutual advantage in
cooperation and from a perception of common external danger. But,
however derived a common sense of region represented in institutional
from by sovereign states contigous to one another is, above all, a
political expression”. Sedangkan menurut Henry G. Schermers, dalam
buku beliau berjudul “International Institution” menyatakan bahwa
organisasi regional itu adalah : “Regional organization are formed by
states form the same region. They share the following characteristics :
a. Outside influence … region cooperation has been stimulated by the
need felt in the region cooperation itself to resist external
influence..
b. Greater homegeneity regional coorperation is practiced between
states with comparable political system and comparable cultural
and economic backgrounds …
c. Divergent membership … to utilize the largest possible unit for
each spesific function it would be pointless to regulate a matter
solely for a small region if it could be regulated on a world wide
scale or within a larger region …
Dari batasan tersebut diatas diketahui bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kerja sama regional, antara lain
letak geografis, ekonomi, kebudayaan, serta kepentingan dan tujuan
yang sama. Semua faktor tersebut menimbulkan keinginan
membentuk organisasi internasional regional.
3. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional yang Diadakan oleh
Organisasi Internasional Regional.
Dalam rangka mempelajari praktek ratifikasi perjanjian
internasional yang diadakan oleh organisasi internasional penulis akan
mengambil model MEE (European Economic Community), karena
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
7
sampai sekarang MEE yang merupakan organisasi internasional
regional paling berhasil dalam mewujudkan integrasi negara kawasan
Eropa Barat dibidang sosial, ekonomi dan perdagangan. Bahkan kini
integrasi ditujukan juga di bidang politik. Mengenai terbentuknya
integrasi negara Eropa Barat yang memulai gerak langkahnya dalam
bidang ekonomi dan perdagangan ini, beranggotakan 9 negara, yang
terdiri dari 6 negara inti yang lebih dikenal dengan sebutan “The Inner
Six”, yaitu Perancis, Italia, Nederland dan Luxemburg, serta tiga
negara lainnya yang telah menyatakan aksesinya dalam keanggotaan
MEE, yaitu Denmark, Irlandia dan Inggris. Pada mulanya Norwegia
juga menyatakan ikut serta dalam MEE, kemudian dalam Plebisitnya
pada bulan September 1972 rakyat Norwegia menolak keanggotaan
negaranya pada MEE, sehingga sejak Oktober 1972 Norwegia
menyatakan keluar dari MEE.
Sebagai akibat Perang Dunia telah meninggalkan kenangan-
kenangan dan kesan yang pahit bagi negara yang menderita sebagai
akibat perang di Eropa. Untuk menanggulanginya maka para
negarawan berusaha mengadakan integrasi bagi negara-negara yang
menderita akibat perang. Pada tanggal 21 Maret 1943 Sir Winston
Churchill dari Inggris menghimbau untuk membentuk Dewan Ekonomi
untuk mentertibkan dunia dan menyembuhkan penderitaan akibat
keganasan perang. Namun himbauan ini hilang tenggelam begitu saja.
Kemudian pada tanggal 9 Mei 1950 Menteri Luar Negeri Perancis dan
Jerman kedalam satu organisasi ECSC (European Coal and Steel
Community) yang dianggap sebagai batu loncatan wujud intergrasi
dibidang ekonomi perdagangan. Kemudian tanggal 25 Maret 1955
dibentuk satu komisi yang diketuai Paul Henry Speak untuk membuat
draft article konvensi bagi dibentuknya satu pasar bersama Eropa, dan
komisi berhasil mencapai kata sepakat untuk mendirikan organisasi
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
8
kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan. Maka pada tanggal
25 Maret 1957 di Roma berdiri MEE (European Economic
Community). Organisasi internasional regional ini yang bersama MEE
mempunyai badan-badan perlengkapan yang terdiri atas :
1. Assembly; 2. Council; 3. Commision; 4. Court of Justice dan
Sekretariat.
Sedangkan tujuan didirikan MEE pada hakikatnya adalah integrasi
Eropa dengan cara memajukan perekonomian negara-negara anggota
dan memperbaiki taraf hidup serta memperluas lapangan kerja
rakyatnya, memajukan perdagangan diantara negara anggota, dan
menjamin adanya persaingan bebas, menjaga keseimbangan
perdagangan diantara negara anggota, menghapuskan semua
rintangan yang menghambat lajunya perdagangan internasional, dan
meluaskan hubungan dengan negara lain diluar kawasan Eropa yang
menjadi anggota MEE.
Usaha-usaha yang dilakukan MEE dalam mencapai tujuan
tersebut ternyata berhasil dengan baik, bahkan sudah mencapai target
satu setengah tahun lebih cepat dari waktu yang digariskan semula
yaitu 12 tahun. Keberhasilan MEE ini dirasakan lebih mempengaruhi
lagi setelah berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan negara-
negara di luar Eropa Barat, antara lain : (a) Diadakan perjanjian-
perjanjian perdagangan dengan negara-negara bekas jajahan (koloni)
Perancis dan Italia; (b) Perjanjian pendamaian dengan negara-negara
Uganda, Kenya dan Tanzania, yang ditandatangani di Tasmania
tanggal 24 September 1969. Dengan masuknya Inggris menjadi
anggota MEE melalui aksesi yang dilakukan bersama-sama dengan
Norwegia dan Irlandia, maka timbul masalahnya, yaitu berkenan
dengan negara-negara Commonwealthnya. Tetapi akhirnya dicapai
kata sepakat untuk mengadakan perjanjian khusus antara MEE dan
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
9
negara-negara Commonwealth, kecuali negara Australia, Kanada dan
Selandia Baru, karena negara-negara tersebut dianggap telah mapan
dan termasuk negara kaya dan makmur. Dalam Konvensi di Roma
1957, tentang pendirian MEE, ditentukan : “Konvensi ini akan berlaku
setelah di ratifikasi oleh para peserta konvensi, sesuai dengan
prosedur hukum konstitusi masing-masing negara”. Dalam ayat
berikutnya ditetapkan, instrumen ratifikasi harus disimpan pada negara
Italia sebagai “Depository State” dan harus mengita setelah semua
negara panandatangan menyerahkan piagam ratifikasinya. Apabila
penyimpanan dimaksud tidak dilakukan dalam 15 hari sebelum bulan
berikutnya, maka konvensi baru mengikat pada hari pertama bulan
kedua setelah piagam ratifikasinya disimpan. Peluang bagi negara-
negara ketiga untuk dapat menjadi anggota MEE adalah melalui
aksesi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 237 konvensi Roma
1957. Sedangkan mengenai cara dilakukan perjanjian internasional
oleh MEE dengan negara ketiga dan atau dengan organisasi
internasional lainnya, konvensi menentukan jenis perjanjian-perjanjian
tertentu, yaitu
1. Perjanjian mengenai tarif, bea dan cukai (pasal 11 ayat 2).
2. Perjanjian mengenai politik dan perdagangan (pasal 113)
3. Perjanjian mengenai kemungkinan dilakukannya perjanjian
asosiasi dengan negara-negara lain, negara diluar kwasan Eropa
(pasal 238).
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
10
Untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara
ketiga dimaksud, maka ratifikasinya cukup dilakukan oleh Dewan
Menteri MEE (council), tidak perlu adanya persetujuan (consent) bulat
dari semua anggota MEE. Berdasarkan pada ketentuan pasal 238
tersebut, telah berhasil dibuat perjanjian-perjanjian asosiasi dengan
negara ketiga yang antara lain :
1. Perjanjian asosiasi dengan Yunani tanggal 9 Juli 196, dan berlaku
mulai pada tanggal 1 Nopember 1962.
2. Perjanjian asosiasi dengan negara-negara Afrika dan Madagaskar,
berlaku pada 1 Juni 1964.
3. Perjanjian asosiasi dengan negara-negara Kenya dan Uganda
ditandatangani di Tanzania tanggal 24 September 1969.
4. Perjanjian asosiasi dengan organisasi internasional regional ACPO
(African, Carribean and Pasific Organization yang beranggotakan
46 negara) mengenai penurunan bea import untuk barang-barang
yang datang dari ACPO Countries.

Akan tetapi apabila perjanjian-perjanjian yang akan dilakukan oleh
MEE dengan pihak ketiga menyangkut masalah keuangan dan atau
bantuan pembangunan, maka ratifikasi baru dapat dilakukan setelah
diperoleh persetujuan dari semua negara anggota MEE.

IV. Kesimpulan
Apabila kita inventarisir uraian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ternyata masalah ratifikasi bukan hanya merupakan persoalan
hukum internasional semata, melainkan juga merupakan persoalan
Hukum Tata Negara. Hukum Internasional sekedar mengatur
dalam hal apa saja persetujuan yang diberikan suatu negara pada
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
11
saat perjanjian memerlukan ratifikasi. Sedangkan mengenai
prosedur ratifikasi itu dilakukan adalah semata-mata merupakan
persoalan intern menurut ketentuan-ketentuan konstitusional
masing-masing negara peserta perjanjian tersebut.

2. Mengenai ratifikasi dalam organisasi internasional, baik yang
bersifat global maupun regional, peraturan mengenai saat
mengikatnya perjanjian secara hukum adalah setelah dilakukannya
penyimpanan instrumen ratifikasi itu pada depository state, dan
adalah menjadi tugas negara penyimpan untuk membagi-bagikan
salinan instrument ratifikasi itu pada semua negara perserta
perjanjian.
3. Dalam hal organisasi internasional regional, yang dalam hal ini
MEE, ratifikasi dilakukan oleh Dewan Menteri MEE tidak perlu
diratifikasi oleh semua negara anggota MEE, kecuali perjanjian
yang dibuat oleh MEE menyangkut masalah keuangan dan atau
bantuan pembangunan, maka ratifikasi baru dapat dilakukan
setelah memperoleh persetujuan (consent) bulat dari semua
negara anggota MEE.

Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
12
KEPUSTAKAAN

BOUR MAUNA, Hukum Organisasi Internasional (Diktat) Fakultas
Hukum Universitas Pajajaran Bandung, 1982

MAC NAIR, LORD, The Law of Treaties 1914 – 1973, Methuen
Company, Ltd. 1974

MOCHTAR KUSUMAATMADJA, Pengantar Hukum Internasional, Buku
I Bagian Umum, Penerbit Binacipta Bandung, 1982.

SAM SUHAIDI ATMAWIRIA, Sebuah Analisa sebagai Jawaban atas
Pertanyaan, Sehubungan dengan Pasal 11 UUD
1945, dalam Majalah Padjadjaran No. 3 tahun 1981.
Praktek Ratifikasi dalam Organisasi Internasional
13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar